E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Duka Lara - Bagian 1



Duka Lara

 ==================================================
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.
==================================================

Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336 
==================================================
 
Satu


Di sebuah jalan tol dalam kota, sebuah sedan mewah melaju dengan cepat menembus gelapnya malam. Kedua penumpangnya yang masih muda tampak begitu bersemangat, berkendara bersama menuju ke rumah seorang gadis yang baru mereka kenal beberapa bulan yang lalu. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan menyita waktu, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Kini keduanya tampak asyik berbincang-bincang dengan seorang gadis yang begitu cantik.
“Orang tuamu belum pulang, Ra?” tanya Randy perihal orang tua Lara yang diketahuinya pergi ke Amerika.
“Belum, malah mereka mau terbang ke Eropa,” jawab Lara seraya merubah posisi duduknya.
“Asyik dong, dengan begitu kau bisa lebih lama menghirup udara kebebasan.”
“Apanya yang asyik, aku justru merasa kesepian karena ditinggal mereka terlalu lama. Untung saja ada sepupuku yang menemaniku selama mereka di luar negeri.”
"O ya, Ra. Ngomong-ngomong, Nina ke mana?” tanya Bobby mengenai sepupu Lara yang menginap di rumah itu.
“Ada, di dalam,” jawab Lara singkat.
“Ajak keluar dong! Biar kita ngobrol sama-sama!” pinta Bobby seraya tersenyum.
“Maaf, Kak! Hari ini dia sibuk belajar, katanya besok ada ujian.”
“Rajin juga ya dia. Dulu, ketika aku masih kuliah. Aku paling malas dengan yang namanya belajar. Kalau lagi ujian, aku biasa mencontek menggunakan secarik kertas kecil yang kusembunyikan di bawah lembaran soal. Dan kalau lagi ada pemeriksaan, contekan itu buru-buru kusembunyikan di celah lipatan bajuku.”
“Aku juga, Bob,” timpal Randy.
“Itu namanya kalian curang. Masih kuliah saja sudah berani tidak jujur, apalagi kalau jadi pejabat. Bisa-bisa kalian jadi koruptor kelas kakap.”
“Ya, untung saja aku tidak jadi pejabat,” kata Randy ringan.
“Tapi, kontraktor curang kelas kakap,” timpal Bobby.
“Huss! Jangan buka kartu dong! Lagi pula, aku melakukan itu karena terpaksa, dan itu pun sudah lama sekali. Sekarang ini aku sudah insyaf dan tidak mau mengulanginya lagi.”
“Maaf, Ran. Ini kulakukan demi kebaikanmu. Terus terang, aku peduli padamu. Jika kau memang sudah insyaf, lalu kenapa belum lama ini kau bisa dapat tender itu. Padahal, jika kulihat perusahaanmu sama sekali tidak memenuhi syarat.”
“Waktu itu lagi-lagi aku terpaksa, Bob. Sebab sainganku juga menggunakan cara curang. Kalau aku tidak melakukan hal yang sama, bagaimana mungkin aku bisa dapat tender. Kalau kerap kali seperti itu, kapan perusahaanku bisa maju.”
Lara yang sejak tadi diam, tiba-tiba ikut bicara. “Kak Randy! Setiap orang kan sudah ada rezekinya masing-masing, jadi kau tidak perlu curang untuk mendapatkannya.”
“Kau betul, Ra. Namun, aku terpaksa berbuat begitu karena sistem yang tidak mendukung. Terus terang saja, jaman sekarang jika ingin bersaing secara jujur diperlukan mental yang kuat dan waktu yang relatif lebih lama,” kata Randy memberi alasan.
“Tapi biar bagaimanapun, cara curang itu tidak sepatutnya dilakukan, Kak. Sekalipun kau mempunyai alasan yang paling masuk akal. Sesungguhnya cara curang itu bisa merugikan orang-orang yang jujur,” jelas Lara memberi pengertian.
“Betul itu, Ra. Sungguh kasihan orang-orang yang jujur, mereka harus berusaha lebih keras agar bisa menjadi orang yang sukses,” Bobby menimpali.
“Baiklah… Mulai hari ini aku berjanji untuk tidak mengulanginya. Terus terang, aku merasa berdosa karena telah menghilangkan kesempatan buat orang-orang yang jujur,” kata Randy menyesal.
“Syukurlah kalau begitu,” kata Bobby seraya berpaling memandang Lara. “O ya, Ra. Ngomong-ngomong, boleh aku menumpang ke belakang?” tanya pemuda itu kemudian.
"O, silakan saja, Kak! Pergi sendiri, ya! Kau kan sudah tahu kamar mandinya,” kata Lara seraya merubah posisi duduknya lagi.
“Tapi, Ra. Aku... ”
“Sudahlah, tidak apa-apa! Anggap saja seperti rumah sendiri!”
“Baiklah kalau begitu,” kata Bobby seraya beranjak ke dalam. Ketika dia melewati ruang tengah dilihatnya Nina sedang menari mengikuti gerakan penari di layar kaca. Saat itu gerakan Nina tampak begitu indah, lenggak-lenggok tubuhnya yang ramping serta gemulai tangannya menahan pemuda itu untuk terus memperhatikannya.
“Tarian yang indah!” ucap Bobby tiba-tiba.
Mendengar itu, Nina pun seketika berpaling. “Ka-Kak Bobby...!” ucap gadis itu  tergagap sambil terus memperhatikan wajah tampan yang kini tersenyum padanya. “Se-sejak kapan kau berdiri di situ?“ tanya gadis itu kemudian.
“Kau tidak perlu malu, Nin! Terus terang, gerakanmu tadi indah sekali, dan aku sangat menyukainya. Kupikir cuma Lara saja yang pandai menari, ternyata kau juga begitu pandai,” kata Bobby terus terang.
"Hmm… sebenarnya apa keperluanmu masuk kemari, Kak?” tanya Nina heran.
"Eng... sebenarnya aku mau menumpang ke belakang. Tapi ketika melihatmu tadi, aku sempat terpana. Eng... kalau begitu, sebaiknya aku segera ke belakang. O ya, maaf kalau aku sudah mengganggumu!” Lantas dengan segera pemuda itu melangkah pergi.
Sementara itu, Nina tampak memperhatikan kepergiannya. “Hmm... dia terpana? Benarkah yang dikatakannya itu?” tanya Nina dalam hati seraya duduk di sofa dan kembali memandang ke layar kaca.
Tak lama kemudian, Bobby sudah kembali. Kemudian dia segera mendekati Nina yang dilihatnya asyik menonton sinetron. “Nin, kau sudah selesai belajar kan?” tanyanya kepada gadis itu.
Mendengar itu, seketika Nina menoleh, memperhatikan wajah tampan yang lagi-lagi tersenyum padanya. "Iya, Kak. Sudah...” jawabnya kemudian.
“Kalau begitu, kita ngobrol di luar yuk!” ajak Bobby kepadanya.
“Maaf, Kak! Aku tidak punya waktu. Tadi saja aku belajar terburu-buru karena mau nonton sinetron ini,” tolak Nina memberi alasan.
“Eng, baiklah... Kalau begitu silakan diteruskan menontonnya. O ya, maaf kalau aku sudah mengganggumu!” ucap Bobby seraya melangkah pergi.
"Tunggu, Kak!” tahan Nina tiba-tiba.
“Iya, Nin. Ada apa?” tanya Bobby seraya kembali memandang ke arah gadis itu. 
“Eng, nanti seusai sinetron ini aku akan menyusul,” Nina berjanji.
Mengetahui itu, Bobby langsung menganggukkan kepalanya. “Aku tunggu ya,” katanya seraya tersenyum dan langsung melangkah pergi.
Pada saat itu, Nina tampak memperhatikan kepergiannya dengan berbagai perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan, di antaranya adalah perasaan bahagia yang bercampur dengan kekhawatiran yang amat sangat. Kini mata gadis itu sudah kembali memperhatikan layar kaca. Sementara itu, Bobby sudah bergabung kembali dengan Randy dan Lara.
"O, jadi rumah Nina berada di daerah itu. Berarti dekat dong,” kata Bobby perihal keberadaan rumah Nina yang ternyata berjarak hanya dua kilo meter dari kediamannya.
“O ya, Kak. Ngomong-ngomong, kenapa sih dari tadi kau menanyakan perihal Nina terus, jangan-jangan... kau naksir dia ya?” tanya Lara menyelidik.
“Eng... ti-tidak. A-aku cuma mau tahu saja,” jawab Bobby tergagap.
“Sudahlah, Kak! Ayo mengaku, kau memang naksir dia kan?” tanya Lara mendesak.
“Iya, Bob. Mengaku saja, dan aku akan sangat mendukung,” timpal Randy seraya tersenyum.
“Eng... baiklah. Aku akan mengaku. Se-sepertinya aku memang menyukai Nina. Tapi, kalian jangan bilang padanya ya! Terus terang, aku sendiri masih belum yakin.”
“Memangnya kenapa, Kak?” tanya Lara penasaran.
“Entahlah, aku juga tidak tahu,” jawab Bobby ringan.
“Bob, kau itu dari dulu selalu begituselalu banyak pertimbangan, nanti kalau sudah keduluan orang baru kau menyesal.”
“Bukan apa-apa, Ran. Kalau ternyata aku tidak mencintainya, kasihan si Nina kan.”
“Eh, Bob. Memangnya dia itu mau kau nikahi, dia itu kan baru mau kau jadikan pacar. Karenanyalah, kau tidak perlu banyak pertimbangan! Pacari saja dulu! Soal cinta atau tidak, itu sih perkara nanti. Dan jika kau memang tidak mencintainya, ya tinggal diputuskan saja. Mudah kan?”
Mendengar itu, Lara langsung ikut bicara. “Eh, Kak Randy. Kau bicara apa? Kau itu memang tidak punya perasaan, kau pikir wanita mudah di putuskan begitu saja. Kalau kau mau tahu, wanita yang sudah dalam cintanya lebih memilih mati daripada diputuskan. Menurutku, lebih baik wanita yang memutuskan ketimbang pria yang memutuskannya.”
“Eh, Ra. Kau jangan mengada-ada! Memangnya cuma wanita yang seperti itu, pria pun bisa seperti itu. Kau itu memang egois. Dengar ya! Kalau sepasang kekasih putus, itu memang sudah risiko orang pacaran. Kalau memang tidak bisa berlanjut, ya memang harus putus. Jangankan yang masih pacaran, yang sudah menikah saja bisa cerai,” kata Randy agak sewot.
 “Kau memang tidak punya perasaan, Kak,” tuduh Lara kesal. “Eng.. Menurutku jika seorang pria memang tidak yakin akan cintanya, sebaiknya jangan langsung diutarakan. Aku sangat sependapat dengan ucapan Kak Bobby tadi, dan menurutku keputusannya itu memang sangat tepat,” lanjutnya kemudian.
“Hmm... begitu ya? Sekarang coba kau renungkan. Andai Bobby sudah yakin kalau dia memang mencintai Nina, lantas mereka jadian. Namun pada suatu ketika, ternyata Nina tidak mencintainya dan langsung memutuskannya. Sedangkan pada saat itu, Bobby sudah sangat mencintainya. Nah, apa kau pikir dia akan baik-baik saja setelah diputuskan Nina? Jika saat itu dia punya iman, mungkin akan baik-baik saja. Namun kalau tidak, dia bisa bunuh diri, tahu.“
“Eng, kalau begitu. Seharusnya sebelum jadian, Nina pun harus yakin dulukalau dia itu memang mencintai Bobby.”
“Hmm... apa iya keduanya bisa saling mengetahui kalau mereka sudah sama-sama yakin?”
Saat itu Lara terdiam, tampaknya dia  sulit untuk bisa menjawab pertanyaan itu.
“Tidak, Bisa...” jawab Bobby tiba-tiba. Seketika pemuda itu tampak menarik nafas panjang dan kembali bicara, “Mmm... menurutku, jalan satu-satunya untuk bisa mengetahui itu, ya memang harus pacaran. Namun, aku tetap pada pendirianku semula, yaitu aku harus yakin dulu. Andai dia memang tidak mencintaiku, aku siap menanggung risikonya. Hati nuraniku mengatakan, biarlah dia yang memutuskanku, ketimbang aku yang harus memutuskannya.”
“Kau jangan naif begitu, Bob. Memangnya patah hati itu enak,” kata Randy mengingatkan.
“Tentu saja tidak, Ran. Namun, aku mempunyai keyakinan. Sedalam-dalamnya pria mencintai wanita, masih lebih dalam wanita yang mencintai pria,” jelas Bobby seolah-olah dia mengerti betul akan perasaan wanita.
“Dari mana kau bisa mengetahui itu, Bob?” tanya Randy heran.
“Dari pernyataan Lara tadi. Dan menurut analisaku, apa yang dikatakannya itu keluar dari lubuk hatinya terdalam.”
“Hebat... hebat... sejak kapan kau mendalami ilmu psikologis, Bob. Hahaha...! Terserah kaulah. Namun aku berpesan, sebaiknya kau lebih berhati-hati! Janganlah kau mudah percaya dengan perkataan wanita. Sebab wanita itu...” Randy tidak melanjutkan kata-katanya, dia malah tampak senyam-senyum sambil memperhatikan Lara yang kini menatapnya dengan kening berkerut.
“Wanita itu apa, Kak?” tanya Lara mendesak.
“Sudahlah, lupakan saja!” Randy menolak.
“Tidak bisa, Kak. Kau harus menjawab pertanyaanku tadi!” Desak Lara dengan raut wajah yang semakin membuat Randy merasa tidak nyaman.
Mengetahui itu, Randy seakan tak punya pilihan. “Baiklah, tapi kau jangan marah ya!” pintanya kepada Lara.
“Iya, aku janji,” ucap Lara dengan raut wajah yang kini sudah kembali seperti semula.
“Eng, baiklah... Sebetulnya wanita itu seperti ubur-ubur, indah namun sangat berbahaya.”
Mendengar itu, Bobby pun langsung tertawa. “Hahaha...! Kau ini ada-ada saja, Ran. Tapi, aku sependapat dengan perumpamaan itu.”
“Kak, Bobby! Jadi, kau juga sependapat?” tanya Lara seperti kecewa.
“Betul, Ra. Tapi aku melihatnya melalui sudut pandang yang berbeda. Wanita itu memang seperti ubur-ubur, indah dan lembut, namun sama sekali tidak berbahayatentunya jika ia diperlakukan dengan cara yang benar.“
Bobby, Randy, dan Lara terus berbincang-bincang, hingga akhirnya jam menunjukkan pukul sembilan malam. Pada saat itu, Bobby masih mengharapkan kehadiran Nina, padahal sinetron yang ditontonnya diperkirakan sudah selesai sejak tadi. Dalam hati, Bobby jadi bertanya-tanya, entah kenapa gadis itu belum juga keluar memenuhi janjinya.
Sementara itu di dalam kamar, Nina tampak sedang tiduran sambil memikirkan Bobby. “Kak, Bobby… Maafkan aku yang tidak bisa memenuhi janji! Sebenarnya saat ini aku ingin sekali ngobrol bersamamu. Tapi, entah kenapa aku merasa tidak enak, sepertinya hati kecilku ini melarangku untuk menemuimu,” kata gadis itu membatin.
Nina terus membatinmemikirkan pemuda yang diduga telah memberi tanda padanya, hingga akhirnya Lara datang menemuinya. “Kau kenapa, Nin? Bukankah kau sudah berjanji pada Bobby mau ikutan ngobrol. Tapi, kenapa kau malah tidur-tiduran di sini.”
“Eng... a-aku...” Nina tampak kesulitan mengungkapkan isi hatinya.
“Kau menyukai Bobby kan? Dan karenanya kau merasa kurang percaya diri,” kata Lara menduga.
“Ti-tidak, Ra. Bukan karena itu. Se-sebenarnya tadi aku cuma lupa.”
“Lupa...?” Lara mengerutkan keningnya. “Mmm... lupa apa lupa?” tanyanya kemudian.
“Sungguh, Ra. Aku cuma lupa. Kalau begitu, ayo kita ngobrol sama mereka!”
“Terlambat, Nin. Kini mereka sudah pulang,” jelas Lara seraya naik ke tempat tidurnya.
“Pulang?” Nina tampak heran.
“Tentu saja, ini kan sudah hampir tengah malam.”
“Apa!” Nina terkejut seraya melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 11.30 WIB. “Hah, sudah jam segitu. Perasaan baru sebentar aku rebahan di sini,” katanya kemudian.
“Ya, begitulah jika sedang memikirkan orang yang spesial. Waktu pun berlalu dengan begitu cepat.”
Pada saat itu, Nina tampak membatin, ”Ra, kenapa kau bicara seperti itu? Apakah kau cemburu karena Bobby mengharapkan kehadiranku?”
“Heh! Kenapa Malah bengong?” tanya Lara tiba-tiba. “Sudah nanti saja memikirkannya. Sebaiknya sekarang kau bersih-bersih dulu, setelah itu kita tidur! Memangnya jam berapa kau mau tidur, bukankah besok ada ujian?” katanya lagi.
Mendengar itu, Nina pun segera beranjak ke kamar mandi. Dan tak lama kemudian, dia sudah kembali dan langsung merebahkan diri di sebelah Lara. Saat itu, Nina masih memikirkan Bobby. Pemuda yang diduganya sedang diincar Lara.


 

Seminggu kemudian, ketika hari sudah menjelang senja. Sebuah sedan biru tampak melaju perlahan melintasi jalan yang ada di tengah kompleks permukiman. Pada saat itu, pengemudinya yang tampan dan berambut sebahu tampak resah, memikirkan apa yang akan terjadi. “Hmm... bagaimana ya, jika Lara belum pulang dari rumah neneknya?” tanya Bobby mengenai gadis yang akan ditemuinya. “Huh, andai saja Lara bisa dihubungi tentu tidak akan serepot ini,” keluh Bobby akan gangguan teknis yang dialaminya.
Sungguh pemuda itu merasa jengkel dengan Lara yang selama ini sedang menginap di rumah temannya. Padahal, hari ini dia harus mengembalikan DVD yang dipinjamnya. Kini pemuda itu sudah tiba di rumah Lara dan sedang berdiri di depan pintu sambil berharap hari ini Lara ada di rumah. Dan setelah menunggu agak lama, akhirnya seorang gadis terlihat datang membukakan pintu. “Cari Kak Lara ya?” tanyanya kepada Bobby.
“Iya.. Nin. Apa dia ada?”
“Lara belum pulang tuh. Dia masih di rumah temannya.”
“Kalau begitu, boleh aku tahu nomor telepon temannya?”
"Wah, sayang sekali, Kak! Aku juga tidak tahu. O ya, memangnya HP Lara belum juga diaktifkan?”
Bobby mengangguk. “Eng… kalau begitu, bisakah aku minta tolong padamu untuk mengambilkan DVD yang dipinjam Lara. Soalnya hari ini aku harus mengembalikannya ke rental. Sebab kalau tidak, aku akan dikeluarkan dari keanggotaan rental DVD yang terbaik di kampungku. Maklumlah, aku sudah diperingatkan jika sekali lagi melanggar aturan maka aku tidak akan diampuni lagi.”
“Eng... Kalau begitu, cari sendiri saja ya! Soalnya DVD di rak itu banyak sekali, dan aku tidak tahu yang mana.”
“Itu loh, film The X Mind“
"Wah, aku tidak tahu film itu. Sebaiknya kakak saja yang mencarinya! Bukankah kakak tahu cover-nya, dengan begitu tentu lebih mudah mencarinya.”
“Tapi, Nin. Apa pantas aku mencarinya sendiri.”
“Tidak apa-apa, Kak. Kan ada aku.”
“Eng... Baiklah,” kata Bobby seraya melangkah masuk. Dan setibanya di ruang tengah dia langsung mencari DVD yang dimaksud. Sedangkan Nina tampak duduk di sofa sambil terus menemaninya.
“Bagaimana, Kak? Sulit ya menemukannya?” tanya Nina kepada pemuda yang kini tampak begitu sibuk mengamati cover film satu per satu.
"Iya, Nin. Soalnya DVD ini banyak sekali. Aku heran, besar sekali minatnya hingga bisa mengoleksi DVD sebanyak ini, sampai film yang tidak bermutu pun dia beli.  Hmm... di mana ya dia meletakkannya?” Jawab Bobby seraya menoleh ke arah gadis itu. "O ya, Nin... ngomong-ngomong, kenapa kau belum punya pacar?” tanyanya kemudian.
"Ah, Kakak. Kenapa sih menanyakan hal itu?“
“Tidak... aku cuma heran saja. Kau itu kan cantik, masa iya tidak ada pria yang suka.”
"Ah, Kakak. Aku jadi malu. Baru kali ini ada yang bilang aku cantik,” kata Nina merendah.
“Benar kok. Kau itu memang cantik. Masa sih tidak ada yang bilang kau cantik, berarti selama ini mereka pada merem dong,” kata Bobby seraya membawa tumpukan DVD dan duduk di samping Nina. "O ya, Nin. Tolong jawab pertanyaanku tadi! Memangnya kenapa kau belum punya pacar?”
“Belum ada yang menarik hatiku, Kak,” jawab Nina tidak terus terang.
"Eng, menurutmu. Aku menarik tidak?”
“Mmm...” Nina benar-benar merasa malu menjawab pertanyaan itu.
“Tidak apa-apa, Nin. Kalau aku ini memang tidak menarik bagimu, katakan saja terus terang! Percayalah…! Aku tidak akan marah,” kata Bobby sungguh-sungguh.
“Ka-kau menarik kok, Kak,” ucap Nina dengan wajah bersemu merah.
Mengetahui itu, Bobby pun langsung menatap mata gadis itu dalam-dalam. “Sungguh?” tanyanya kemudian.
“Iya, Kak. Bagiku kau itu sangat menarik. Dan aku yakin, pasti banyak gadis yang menyukaimu,” jawab Nina berusaha meyakinkan.
“Mmm... apakah kau juga menyukaiku?” tanya Bobby lagi.
Nina tidak segera menjawab, sungguh saat itu dia merasa berat untuk mengatakannya. “Hmm... ternyata benar dugaanku, kalau dia memang menyukaiku. Dan setelah aku menjawab pertanyaan yang sangat memojokkanku itu, dia pasti akan mengajakku kencan. Jika sampai itu terjadi, apa kata Lara nanti?”
“Nin, kalau kau tidak menyukaiku bilang saja! Aku tidak akan marah,” kata Bobby tiba-tiba.
“Eng… a-aku menyukaimu, Kak.” kata Nina dengan wajah yang lagi-lagi bersemu merah.
“Mmm... benarkah? Kalau begitu, bagaimana kalau lusa kita makan malam?”
Mengetahui itu, Nina langsung membatin, “Hmm... benar saja dugaanku, ternyata dia memang mengajakku kencan. Hmm... jika aku sampai menuruti ajakannya, apa kata Lara nanti...?”
“Nin, jika kau memang tidak bisa, tidak apa-apa kok,” kata Bobby tiba-tiba membuyarkan pikiran Nina.
“Eng, maafkan aku, Kak! Sepertinya aku memang tidak bisa. O ya, Kak. Ngomong-ngomong, boleh aku membantumu mencari DVD itu. Judulnya The X Mind kan,” kata Nina mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Tentu saja, Nin. Terima kasih.”
Mendengar itu, lantas Nina segera mengambil setumpuk DVD dan mencari film yang dimaksud. "O ya, Kak. Ngomong-ngomong Kakak kenal Lara di mana?”
“Hmm… Sebenarnya Lara itu kenalan Randy, dan Randylah yang memperkenalkan Lara padaku.”
“O…. jadi begitu. O ya, Kak. Menurutmu… Lara itu bagaimana?”
“Maksudmu?”
“Maksudku… menurut kakak, Lara itu seperti apa?”
“Mmm... Lara itu gadis yang cantik dan baik hati, walau terkadang suka membuatku jengkel. Sikapnya yang kekanak-kanakan itu terkadang suka membuatku naik darah. Pernah waktu itu, dengan tanpa sebab yang jelas tiba-tiba dia mengambil sebungkus rokokku dan mematahkan semua isinya sambil mengatakan kalau merokok itu tidak baik untuk kesehatan. Saat itu, dalam hati aku ingin marah sekali padanya, namun akhirnya aku bisa menahan diri karena mengingat dia itu wanita. Apa lagi dia itu wanita yang dicintai oleh sahabatku Randy.”
“O, jadi... selama ini Randy yang lagi pendekatan dengan Lara. Tapi, jika kuperhatikan sepertinya Lara tidak mencintainya. Sepertinya dia itu justru mencintaimu, Kak.”
“Apa! Lara mencintaiku? Hahaha...! Kau ini ada-ada saja, Nin. O ya, ngomong-ngomong… kenapa  kau bisa menduga seperti itu?”
“Eng, soalnya waktu itu dia pernah mengigau dengan menyebut namamu.”
“Apa! Lara mengigau menyebut namaku? Emm... kalau boleh kutahu, seperti apa dia menyebutnya, Nin?”
“Eng, ya se-seperti seorang kekasih yang baru berjumpa dengan kekasihnya.“
Bobby terdiam, saat itu dia seperti berusaha menerka apa yang sedang dialami Lara dalam mimpinya.
“Kak!” panggil Nina membuyarkan pikiran Bobby.
“Iya, Nin. Ada apa?”
“Bagaimana jika Lara memang mencintaimu, apakah kau akan menerimanya?”
“Tidak, Nin. Aku tidak mungkin melukai perasaan Randy. Lagi pula, aku rasa Lara sudah mengetahui kalau aku tidak mungkin menjadi pacarnya. Karena selama ini aku sudah begitu  gigih memberinya pengertian agar bisa mencintai Randy.”
“Sungguh?” tanya Nina hampir tak mempercayainya.
Bobby mengangguk. "O ya, ngomong-ngomong apa karena dugaanmu itu sehingga kau menolak ajakanku?” tanya pemuda itu kemudian.
"Kau betul, Kak. Karenanyalah aku merasa tidak enak dan khawatir kalau Lara akan membenciku lantaran jalan bersamamu.”
“Nin, percayalah. Kalau aku tidak mungkin pacaran dengan gadis yang begitu dicintai oleh sahabatku sendiri.” 
Mengetahui itu, raut wajah Nina pun tampak begitu berseri-seri. “Hmm... jika benar demikian, tidak sepatutnya aku menolak ajakanmu, Kak.”
"Be-benarkah yang kau katakan itu, Nin?” tanya Bobby hampir tak mempercayainya
Nina mengangguk.
“Eng... kalau begitu, lusa aku akan menjemputmu.”
Nina tersenyum, saat itu dia benar-benar bahagia karena bisa berkencan dengan Bobby. "O ya, Kak. Apakah ini film yang kakak cari,” katanya kemudian seraya menyerahkan film itu kepada Bobby.
“Betul, Nin. Ini dia film-nya. Terima kasih ya kau sudah menemukannya. Kalau begitu, aku harus segera pamit agar bisa mengembalikan film ini tepat waktu.”
Tak lama kemudian, Nina sudah mengantar Bobby hingga ke pintu gerbang. Sepeninggal Bobby, gadis itu segera merebahkan diri di tempat tidur dan memikirkan pemuda yang ternyata sudah mencuri hatinya. “Oh, Kak Bobby. Apakah kau benar-benar mencintaiku. Jika melihat dari perlakuanmu padaku, aku rasa memang demikian. Tapi... apakah gadis sepertiku pantas menjadi kekasihmu. Andai saja kau tahu siapa sebenarnya aku, apakah kau tetap akan mencintaiku?”
Gadis itu terus memikirkan Bobby, bahkan segala hal yang berkenaan dengan rencana makan mereka sudah terbayang jelas di benaknya. Dimana saat makan itu menjadi sangat spesial dan merupakan kenangan yang tak mungkin terlupakan. Gadis itu terus terlena dengan lamunannya, hingga akhirnya dia tidur lebih larut dari biasanya.



 
Dua hari kemudian, tepat di akhir pekan, Bobby datang memenuhi janjinya. Kini pemuda itu sedang duduk di ruang tamu, menunggu Nina yang masih berdandan di kamarnya. Tak lama kemudian, Nina sudah keluar dengan mengenakan gaun cokelat panjang yang dipadukan dengan beberapa aksesoris yang terlihat trendy. Sebuah ikat pinggang perak tampak melingkar di pinggangnya yang ramping, scarf yang berwarna senada tampak cantik melingkar di lehernya yang jenjang. Saat itu, rambutnya yang lurus sebahu dibiarkan terurai, menghiasi wajahnya yang berbentuk oval. Sungguh tampak begitu manis dengan bagian pipinya yang disapu warna merah merona. Alis matanya pun tampak tipis dan hitam pekat, sedang di bawahnya tampak bulu mata yang begitu lentik. Eye shadow-nya yang berwarna ungu tampak serasi dengan warna bibirnya yang dipoles lipstick berwarna senada. Selain itu, pernak-pernik etnik terlihat menghiasi tangan dan kakinya yang putih mulus. Bahkan sepatu warna putihnya yang berhak tingginya membuatnya kian tampak semampai.
“Kau cantik sekali, Nin,” puji Bobby terpana melihat penampilan Nina yang lain dari biasanya.
“Terima kasih, Kak! Kau juga tampak lebih tampan,” balas Nina seraya tersenyum..
“Terima kasih, Nin. Kalau begitu, ayo kita berangkat!” ajak Bobby seraya menggandeng Nina dan mengajaknya menuju mobil.
Tak lama kemudian, kedua muda-mudi itu sudah melaju menuju ke pusat kota, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah restoran yang sangat mewah. Kini keduanya sudah duduk dekat jendela yang menghadap ke jalan. Dari tempat itu terlihat pemandangan kota yang dipenuhi warna-warni lampu yang begitu indah, terkadang dari tempat itu terlihat kereta listrik yang melintas di atas rel layangnya, sungguh tampak menarik bagaikan mainan di dalam sebuah diorama. Ruangan di tempat itu pun terasa sangat nyaman, interiornya yang bergaya klasik betul-betul begitu berkelas. Lampu gantung, furniture, serta benda seni lain yang berasal dari zaman renaissance menciptakan suasana yang sangat romantis.
“Nin, apa kau senang makan di sini?” tanya Bobby seraya memasukkan makanannya ke dalam mulut.
“Senang sekali, Kak. Terus terang, baru kali ini aku makan di restoran semewah ini.”
“Aku juga baru pertama kali ini. Biasanya aku hanya makan di restoran cepat saji.”
“Suasana di tempat ini sungguh sangat romantis, Kak.”
“Betul, Nin. Seolah kita ini berada di masa lampau yang dikelilingi oleh benda seni bercita-rasa tinggi yang berasal dari masa kebangkitan.”
"O ya, Kak. Setelah ini kita akan ke mana?”
“Emm... bagaimana kalau kita menikmati air mancur menari?”
“Benarkah? Aku senang sekali mendengarnya, Kak.”
"O ya, Nin. Ngomong-ngomong, sebenarnya seperti apa pemuda yang kau dambakan?”
“Yang jelas, dia itu bukan kriminal, Kak. Tapi, dia itu haruslah Pemuda yang baik dan mau mengerti aku. Selain itu, dia juga pria yang romantis dan bercita-rasa seni tinggi.”
“Eng... menurutmu apa aku sudah masuk pada kriteria itu?”
“Entahlah, Kak... Aku belum begitu mengenalmu, karenanya bagaimana mungkin aku bisa menjawab pertanyaanmu.”
“Hmm... jika demikian, bagaimana kalau kita saling mengenal lebih jauh! Terus terang, aku telah jatuh cinta padamu, Nin.”
Saat itu Nina tak mampu berkata-kata, sungguh dia tidak menyangka kalau pernyataan itu akan keluar dengan begitu cepat.
“Bagaimana, Nin. Apakah kau juga mencintaiku?” tanya Bobby penuh kecemasan.
Lantas dengan wajah yang bersemu merah, Nina pun berani mengungkapkan isi hatinya, “A-aku juga mencintaimu, Kak.” jawabnya pelan.
“Sungguh!” tanya Bobby seraya menatap mata gadis itu dalam-dalam.
Nina pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis.
“Oh, Nin. Aku sungguh bahagia sekali mengetahuinya,” ungkap Booby kemudian.
Kini kedua muda-mudi itu tampak berpegangan tangan, merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Sementara itu di tempat lain, Lara yang baru pulang dari rumah temannya tampak sedang berbicara dengan pembantunya. “Mbok! Nina pergi ke mana?”
“Non Nina pergi sama Den Bobby, Non.”
“Apa! Nina pergi sama Bobby?” tanya gadis itu hampir tak mempercayainya.
“Betul, Non. Katanya mereka mau makan malam.”
Mengetahui itu, hati Lara pun jadi tidak karuan, terbayang sudah bagaimana orang yang dicintainya itu kini sedang berduaan dengan sepupunya. “Mbok, tolong buatkan aku minum!” pinta Lara seraya melangkah ke kamarnya.
Kini gadis itu tampak merebahkan diri di tempat tidur, pikirannya melayang jauh, membuat alur cerita mengenai Bobby dan sepupunya. Di benaknya tergambar suasana mengenai Bobby dan Nina yang sedang berduaan, duduk di restoran saling berhadapan. Pada saat itu, keduanya tampak menikmati makanan lezat sambil memperbincangkan berbagai hal yang menyenangkan. Setelah itu, keduanya berjalan-jalan di taman dan duduk di sebuah bangku, membicarakan berbagai hal yang indah. Lantas keduanya semakin hanyut di dalam kebersamaan itu, hingga akhirnya mereka pun berciuman.
“Tidak!” ucap Lara seraya menarik nafas panjang dan bergegas duduk di tepian tempat tidur. Sungguh alur cerita yang dikarangnya itu sudah membuatnya benar-benar merasa tidak nyaman. Bagaimana mungkin dia bisa merelakan kalau orang yang begitu dicintainya bermesraan dengan gadis lain.
“Non, ini minumannya!” seru pembantunya tiba-tiba dari balik pintu kamar.
“Masuk saja, Mbok!”
Mendengar itu, pembantunya segera masuk dan meletakkan minuman yang dibawanya di atas meja rias. Setelah itu, dia pun segera meninggalkan ruangan. Pada saat yang sama, Lara masih duduk di tepian tempat tidur. Kini di dalam kepalanya sudah tercipta alur baru yang lebih seru dari sebelumnya. Dimana di benaknya terbayang peristiwa yang semakin memanas. Sepulang dari taman, Bobby dan Nina tidak langsung pulang, namun mereka mampir dulu ke sebuah hotel, hingga akhirnya mereka melakukan perbuatan layaknya suami istri.
“Tidak!” lagi-lagi Lara menarik nafas panjang, kemudian beranjak mengambil minuman dan meneguknya sampai habis. Setelah itu, dia segera kembali ke tempat tidur dan langsung merebahkan diri.
Pada saat yang sama, Bobby dan Nina tampak sedang melangkah ke mobil. Kini sepasang muda-mudi itu sedang melaju menuju ke sebuah hotel bintang lima. Di dalam perjalanan, keduanya tampak sudah semakin akrab, membicarakan berbagai hal yang mereka minati. “Hmm… Jika demikian, berarti aku memang harus memakainya,” kata  Bobby sambil terus memperhatikan jalan.
“Betul, Kak. Kau memang harus memakai pelindung itu demi untuk keamanan.”
“Baiklah kalau begitu, agar kau tidak khawatir lagi aku pasti akan memakainya.”
Sepasang muda-mudi itu terus membicarakan perihal yang cukup menarik itu, hingga akhirnya mereka tiba di hotel. Sementara itu di sebuah jalan utama, Randy terlihat sedang mengendarai mobilnya. Saat itu di wajahnya terlihat sebuah ekspresi kebahagiaan. Maklumlah, pemuda itu baru saja berhasil melobi rekan bisnisnya, dan sekarang mau menindaklanjutinya demi untuk mematangkan perkara itu.
Kini pemuda itu tampak sedang menerima telepon, membicarakan perihal yang penting. “Iya.. iya... lima belas menit lagi aku sampai di tempat tujuan. Sudah ya, sampai bertemu nanti!” ucap pemuda itu mengakhiri pembicaraan.
Sedan mewah yang ditumpangi Randy terus melaju semakin cepat, mendahului mobil-mobil yang ada di depannya. Pada saat itu, wajahnya tampak begitu berseri-seri. Begitulah Randy, pemuda yang enerjik dan sedang dalam masa produktif. Jika dia sudah mengurusi soal bisnis dia memang sangat bergairah, bahkan hari-hari spesialnya sering dikorbankan demi urusan bisnis. Buktinya di akhir pekan ini, dimana seharusnya dia berlibur untuk penyegaran tapi malah digunakan untuk mengurusi bisnisnya. Sedan mewah yang ditumpangi Randy terus melaju, hingga akhirnya dia tiba di tempat tujuan.


 

Esok paginya seusai sarapan, Nina tampak sedang berbincang-bincang dengan Lara di ruang tengah. Mereka sedang membicarakan perihal Bobby yang kini sudah menjadi kekasih Nina. Saat itu, Nina tampak bersemangat menceritakan bagaimana dia diajak makan hingga akhirnya Bobby menyatakan cintanya di dalam suasana yang begitu romantis.
“Terus...?” tanya Lara penasaran, sebab peristiwa yang dialami oleh sepupunya itu sesuai sekali dengan alur cerita yang pernah dikarangnya.
Nina pun kembali melanjutkan ceritanya. “Setelah itu kami berjalan-jalan di taman dan duduk di suatu tempat sambil menikmati air mancur menari. Sungguh semuanya itu sangat romantis dan membuatku benar-benar bahagia,” ungkap Nina dengan wajah berbinar.
“Terus setelah itu...?” tanya Lara lagi semakin penasaran, karena yang diceritakan Nina lagi-lagi sangat sesuai dengan fantasinya.
“Eng... Setelah itu… setelah itu tidak ada lagi istimewa, Ra. Hanya perbincangan biasa yang sedikit menarik.”
“Benarkah tidak ada lagi kejadian yang istimewa?” tanya Lara mendesak.
“Betul, Ra. Memang sudah tidak ada lagi,” jawab Nina sambil mengacungkan dua jarinya. “Swear,” ucapnya kemudian.
Mengetahui itu, Lara menyesal juga karena telah berburuk sangka pada sepupunya, sampai-sampai di benaknya tercipta alur cerita yang tak sepatutnya itu. 




Duka Lara - Bagian 2

Dua



Tiga bulan kemudian, di sebuah villa mewah milik Randy. Seorang gadis tampak iri memperhatikan sepasang sejoli yang kini sedang asyik bermesraan di taman. Gadis itu memperhatikannya dari balik gorden yang dibukanya sedikit.
“Hmm... Mereka tampak begitu serasi. Andai yang di posisi Nina itu adalah aku, betapa bahagianya hati ini....” Lara terus memperhatikan sepasang sejoli itu. Sementara itu tanpa sepengetahuannya, sepasang mata tampak mengawasi gerak-geriknya. Dia tampak bersembunyi di balik patung yang ada di ruangan itu. Setelah lama mengawasi, akhirnya orang itu keluar dari persembunyiannya dan melangkah mendekati Lara.
“Hmm... Rupanya kau pun mencintainya,” kata orang itu kepada Lara.
Mendengar itu, seketika Lara terkejut, kemudian segera berpaling memperhatikan wajah tampan yang kini menatapnya dengan dingin. “Ra-Randy... a-apa yang kau lakukan di situ?” tanya Lara terbata.
“Mengamati gadis yang sedang jatuh cinta,” jawab Randy.
“Si-siapa gadis yang kau maksud?”
“Tentu saja kau, Lara... Memangnya ada gadis lain di ruangan ini?”
“Ke-kenapa bisa kau menduga begitu?”
“Sudahlah, Ra! Bahasa tubuhmu tidak bisa membohongiku.”
Lara terdiam, dia memang tidak mungkin bisa menyembunyikan gelagat jatuh cintanya. “Kak, sepertinya hari sudah larut. Sebaiknya aku pergi,” ucap gadis itu seraya berlari ke kamarnya.
Sementara itu, Randy cuma bisa memperhatikan kepergiannya dengan rasa menyesal. Tidak seharusnya dia membuat Lara malu dan membuatnya terpaksa berlari meninggalkannya. Pada saat yang sama, di atas kursi ayun yang ada di taman, Bobby terlihat sedang memperhatikan wajah Nina yang manis. Diperhatikannya setiap lekuk wajah yang tak membuatnya jemu itu, dari alis hingga ke bibirnya yang merah merekah, yang jika tersenyum maka akan tampaklah deretan giginya yang putih laksana mutiara. 
“Aku bahagia sekali malam ini, Sayang...,” ungkap Bobby seraya mencium kening gadis itu.
“Aku juga, Kak.” Ungkap Nina seraya memalingkan wajahnya, sedang dari matanya tiba-tiba mengalir air mata kesedihan.
“Ada apa, Sayang...? Kenapa kau menangis?” tanya Bobby heran.
“Kak, andai kau mengetahui diriku yang sebenarnya. Apakah kau tetap akan mencintaiku?” tanya Nina seraya menatap mata kekasihnya dalam-dalam.
Saat itu Bobby terdiam, sungguh dia tidak tahu harus menjawab apa. “Eng... kenapa kau bertanya seperti itu, Sayang?” tanyanya kemudian.
“Kak, tolonglah jawab pertanyaanku tadi!”
Lagi-lagi Bobby terdiam, “Hmm… apakah dia mengidap suatu penyakit berbahaya?” tanya pemuda itu dalam hati. Lantas di benak pemuda itu terjadi pertarungan hebat antara egonya yang menginginkan kesempurnaan melawan hati nuraninya yang begitu mencintainya. Hingga akhirnya pemuda itu bisa juga menjawab pertanyaan tersebut, “Tentu saja, Nin. Bagaimanapun keadaan dirimu, aku tetap akan mencintaimu.”
“Se-sekalipun aku mengidap HIV?” tanya Nina memastikan.
“A-apa???” Bobby terkejut bukan kepalang. “Me-memangnya...”
Belum sempat pemuda itu menuntaskan kata-katanya, Nina pun langsung memotong, “Tidak, Kak. Aku tidak mengidap HIV...” kata Nina seraya tersenyum, kemudian mencoba menghapus air matanya.
“Sungguh?” tanya Bobby memastikan.
“Iya, Kak. Tadi aku cuma mau mengujimu, apakah kau tulus mencintaiku.”
“Syukurlah kalau begitu… O ya, ngomong-nomong apa sebenarnya yang membuatmu menangis?”
“Eng, begini Kak... Se-sebenarnya, a-aku bukanlah gadis baik-baik seperti yang kau duga selama ini.”
“Ma-maksudmu?” tanya Bobby setengah terkejut.
“A-aku ini...” Nina terdiam, sungguh saat itu dia tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Lagi-lagi Nina hanya bisa menangis.
“Ayolah, Sayang...! Katakanlah padaku! Apapun itu, aku akan tetap mencintaimu.”
“Tidak, Kak. Aku tidak sanggup untuk mengatakannya. Kau itu pemuda yang baik, sungguh aku tidak pantas menjadi kekasihmu.”
“Sayang… Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya Bobby tak mengerti.
“Sebab, a-aku...” Lagi-lagi Nina terdiam.
“Ayo, Sayang...! Katakanlah!” desak Bobby kian penasaran.
Tiba-tiba saja Nina beranjak dari duduknya, kemudian berlari meninggalkan pemuda itu.
“Nina!!! Tunggu, Nin!” Teriak Bobby seraya mengejar gadis itu.
Tak lama kemudian, Bobby sudah menghentikan larinya. Kini dia tampak berdiri di muka pintu kamar mandi sambil mengetuknya pelan, “Nin, buka pintunya, Nin! Aku minta maaf jika ada perlakuanku yang membuatmu jadi begini! Nin, tolong buka pintunya. Aku mau bicara!” pinta Bobby penuh harap.
Lama juga Bobby memohon, namun gadis itu tetap tak mau membukakannya. Saat itu dari dalam  kamar hanya terdengar isak tangis yang membuat perasaan Bobby semakin tidak karuan, hingga akhirnya pemuda itu memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Kini pemuda itu sedang melangkah ke kamar tidur dengan membawa seribu tanda tanya. Sementara itu di dalam kamar mandi, Nina tampak sedang mengikat lengannya dengan seutas tali. Saat itu tubuhnya terlihat bergetar, dan tak lama kemudian tubuh itu tampak terkulai di sudut ruangan. 



 
Esok paginya, Bobby dikejutkan oleh suara ketukan pintu yang cukup keras. “Siapa?” tanya Bobby kepada orang yang mengetuk pintu.
“Ini aku, Kak...” sahut orang itu.
“Ni-Nina!” Seru Bobby seraya bergegas bangun dan membukakannya pintu.
Kini pemuda itu sedang memandang Nina dengan penuh perasaan heran, sungguh dia tidak menyangka kalau pagi ini dia melihat gadis itu tampak begitu ceria, bahkan sebuah senyuman tampak tersungging di bibirnya.
“Ayo, Kak! Kita sarapan sama-sama!” ajak Nina kepadanya.
Semula Bobby ingin mengajukan banyak pertanyaan, namun akhirnya dia urungkan lantaran takut menghilangkan keceriaan Nina. “Iya, tunggu sebentar! Aku mau cuci muka dulu,” katanya seraya melangkah menuju wastafel.
Sementara itu, Randy dan Lara yang sedang menunggu di meja makan tampak sedang berbincang-bincang.
“Ra, aku betul-betul tidak mengerti akan sikapmu. Dulu kau bilang tidak menyukai Bobby, lalu kenapa belakangan ini justru malah sebaliknya?” tanya Randy penuh keingintahuan.
“Sudahlah, Kak! Terus terang, aku tidak mau membicarakan masalah itu.”
“Maafkan aku, Ra! Aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Namun, aku perlu menyampaikan kalau kau tidak seharusnya memikirkan Bobby yang kini sudah menjadi pacar sepupumu. Ra… kau kan tahu kalau aku sangat mencintaimu. Eng… Bukankah lebih baik kalau kau mencintaiku?”
“Itu tidak mungkin, Kak. Aku tidak mungkin bisa mencintaimu karena sejak awal aku memang sudah mencintai Bobby. Lagi pula, aku sudah menegaskan padamu kalau hubungan kita hanyalah sebatas sahabat, tidak lebih dari itu.”
“Ra… ngomong-ngomong, apa kau merasa kecewa dengan keputusan Bobby yang demikian?”
“Tidak, aku sama sekali tidak kecewa. Bobby dan Nina memang pasangan yang serasi, dan mereka memang layak untuk saling mencintai.”
“Kau jangan bohong, Ra! Semalam aku lihat kau tampak begitu kecewa.”
“Kak, jika aku memang betul-betul kecewa, lantas kenapa?”
“Ra, aku mencintaimu. Aku tidak mau jika kau terus-menerus memendam perasaan itu. Kau berhak mendapat kebahagiaan seperti mereka, dan mungkin saja jika kau mau bersamaku, kau pun bisa mendapatkan kebahagiaan itu.”
“Kak, terus terang aku ragu akan bahagia jika bersamamu.”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Bukankah kita selalu berbeda pendapat.? Dan kau pun selalu mau menang sendiri lantaran kau itu orang yang keras kepala. Tidak seperti Kak Bobby. Biarpun dia sering kubuat jengkel, namun dia tidak pernah mengungkapkan kejengkelannya itu. Sepertinya, dia itu memang pria yang mengerti betul akan hati wanita, dan dia berusaha untuk menjaga perasaannya yang rapuh. Tidak sepertimu yang selalu ceplas-ceplos dan tidak mau mengerti perasaan wanita yang memang mendambakan kelembutan.”
“Hmm... aku betul-betul tidak menyangka kalau perlakuanku padamu selama ini justru telah membuatmu antipati. Kalau kau mau tahu, sesungguhnya aku bersikap demikian karena aku mencintaimu, Ra.”
“Tapi, Kak. Caramu itu sama sekali tidak mencerminkan hal itu.”
“Benarkah?” tanya Randy heran.
Lara mengangguk. Bersamaan dengan itu, Bobby dan Nina tampak sudah tiba di ruang makan. Kini keduanya tampak sudah duduk berhadapan dengan Randy dan Lara.
“Maaf ya, kalian telah lama menunggu!” ucap Bobby menyesal karena sudah bangun kesiangan sehingga membuat mereka terpaksa menunggu. “Ayo, sebaiknya kita sarapan sekarang!” ajaknya kemudian.
Saat itu Lara tampak memperhatikan Bobby yang mengambilkan nasi goreng untuk Nina, sedangkan Nina membalasnya dengan mengambilkan lauk untuk pemuda itu. Sungguh pemandangan yang membuat Lara menjadi iri karenanya. Mengetahui itu, Randy pun melakukan hal yang dilakukan Bobby, dia segera mengambilkan nasi goreng untuk Lara, malah sekaligus dengan lauk-pauknya.
“Randy! Kenapa kau menaruh ini di piringku?” tanya Lara seraya mengambil telur di piringnya dan mengembalikannya ke tempat semula.
“Maafkan aku, Ra! Tapi… Bukankah kau itu menyukai telur?” tanya Randy dengan raut wajah bingung.
“Betul, tapi tidak untuk saat ini. Karena...”
“Cukup, Ra!” Randy memotong, “Kau itu sungguh keterlaluan. Jika kau tidak suka kuambilkan, bilang saja! Tidak usah pakai alasan macam-macam!” katanya kemudian.
“Iya, aku memang tidak suka kau ambilkan. Sekarang apa kau puas?” tanya Lara seraya bangkit dari duduknya.
“Kau mau ke mana, Ra?” tanya Bobby tiba-tiba.
“Kalian lanjutkan saja sarapannya, aku sudah tidak berselera,” kata gadis itu seraya melangkah pergi.
“Dia betul, Bob. Kita lanjutkan sarapan kita. Kau jangan pedulikan ambekannya yang seperti anak kecil itu!”
Bobby tidak menuruti kata-kata Randy, dia malah beranjak menghampiri Lara.
“Ra, Tunggu!” tahan pemuda itu seraya memegang bahu Lara. “Ayolah, Ra! Jika tidak sarapan, nanti kau sakit,” katanya kemudian.
“Tidak, Kak. Aku sudah tidak selera makan, apa lagi jika harus bersama orang yang menyebalkan itu.”
Mendengar itu, Randy langsung bangkit dari duduknya. “Baiklah... jika memang itu yang kau inginkan, aku bisa kok makan sendirian. Silakan kau makan di sini bersama Bobby dan Nina! Biarlah aku makan sendirian di teras,” kata Randy seraya mengambil piringnya dan melangkah pergi.
“Ran, tunggu!” teriak Bobby.
“Sudahlah, Bob! Apa kau tidak mendengar keinginan anak kecil itu,” tolak Randy sambil terus berlalu.
Mendengar itu, Bobby tidak berusaha mencegah, sebab dia tahu betul akan tabiat sahabatnya itu.
“Ra, ayo kita kembali ke meja makan!” ajak Bobby kemudian.
“Tidak, Kak. Kini aku semakin tidak berselera.”
“Ra, jika kau tidak sarapan. Aku juga tidak akan sarapan,” ancam Bobby tidak main-main.
Mendengar itu, hati Lara pun jadi luluh. Sungguh dia tidak mau jika orang yang dicintainya itu sampai tidak sarapan karena ulahnya. Lantas dengan agak terpaksa, akhirnya dia bersedia kembali ke meja makan. Sementara itu di teras, Randy tampak sedang menikmati sarapan paginya. Sekalipun saat itu hatinya sedang dongkol, namun dia tetap berusaha menghabiskan makanannya. Dalam hati dia benar-benar merasa kecewa dengan sikap Lara yang demikian. “Ra, kenapa kau membalas kebaikanku dengan cara seperti itu? Apa kau tidak tahu kalau aku melakukan itu lantaran ingin membahagiakanmu, yang mana pada saat itu kulihat kau begitu ingin diperlakukan seperti halnya yang dilakukan Bobby kepada Nina.”
Pemuda itu terus menikmati sarapannya sambil memikirkan Lara yang begitu dicintainya. Sungguh dia tidak mengerti, kenapa segala niat baiknya selalu saja menjadi bumerang yang justru membuat gadis pujaannya bertambah tidak simpati.


 

Malam harinya, mereka berempat berjalan-jalan menikmati suasana puncak yang temaram. Beberapa menit kemudian, mereka tampak memasuki sebuah kedai untuk sekedar merasakan lezatnya jagung bakar dan hangatnya sekuteng. Setelah itu, mereka kembali berjalan-jalan menikmati suasana malam yang begitu menyenangkan. Ketika melewati sebuah galeri seni, tiba-tiba Bobby menghentikan langkahnya. Rupanya pemuda itu baru saja mendapat sebuah SMS yang membuatnya merasa perlu  untuk segera membalas.
“Wah... ternyata pulsaku sudah habis. Kalau begitu, kalian tunggu di sini ya, aku akan mengisi pulsa dulu,” kata pemuda itu memberitahu.
“Ini pakai HP-ku saja,” tawar Randy.
“Terima kasih, Ran. Aku memang harus mengisinya, sebab masa tenggangnya juga sudah hampir habis.”
“Emm... kalau begitu baiklah. Tapi, jangan terlalu lama ya!” pesan Randy.
“OK, Ran… Ayo, Nin!” ajak Bobby minta ditemani.
Sepeninggal Bobby dan Nina, pemuda yang bernama Randy itu tampak melihat-lihat benda seni yang dipajang di etalase. “Lara, kemarilah!” panggil pemuda itu ketika dia melihat sesuatu yang pantas ditunjukkan pada Lara.
“Ada apa, Kak?”
“Lihat itu! Bukan itu sangat indah,” unjuk Randy mengenai sebuah benda seni yang menurutnya indah.
“Yang mana, Kak?” tanya Lara belum menemukan benda yang dimaksud.
“Itu, yang ada di sebelah sana,” tunjuk Randy berusaha memberitahu benda yang dimaksudnya.
"O, yang di sana itu?” tanya Lara seraya ikut menunjuk ke arah benda yang dimaksud.
“Betul, Ra.”
"O, kalau itu sih biasa saja. Aku sudah sering melihat yang seperti itu.”
Dalam hati Randy merasa jengkel dengan ucapan Lara barusan, sepertinya gadis itu sama sekali tidak menghargai upayanya yang dengan tulus dilakukan demi membuatnya senang. 
“Lihat itu, Kak! Indah sekali,” unjuk Lara bersemangat.
“Yang mana?” tanya Randy penasaran.
“Yang itu,” unjuk Lara lagi berusaha mengarahkan telunjuknya agar tepat mengarah ke benda seni yang dimaksud.
"Ah, itu sih biasa saja. Aku sudah sering melihat yang seperti itu,” balas Randy meniru ucapan Lara sebelumnya, walaupun sebenarnya saat itu hatinya mengakui kalau yang diberitahukan Lara itu betul-betul indah.”
“Dasar manusia tidak punya jiwa seni. Kau sama sekali tidak bisa membedakan yang mana yang indah dan yang tidak,” kata Lara jengkel.
“Kau yang tidak mempunyai jiwa seni. Padahal yang tadi kutunjukkan padamu begitu indah, namun kau malah bilang biasa saja.”
Dalam hati, sebetulnya Lara mengakui kalau yang ditunjukkan Randy tadi memang indah, namun karena dia tidak mau Randy menjadi penting lantaran telah memberitahu sesuatu yang menyenangkan hatinya maka dia pun menampikkan hal itu.
“Kau marah ya, Ra?” tanya Randy.
“Tidak... kenapa aku harus marah?”
“Lalu, kenapa tadi kau diam?”
“Memangnya kalau diam itu berarti marah?”
“Bukankah biasanya memang begitu.”
“Kau itu memang sok tahu.”
“Ketahuilah, Ra! Aku menjadi seperti itu karena kau tidak pernah mau berterus terang padaku.”
“Kak, aku benar-benar bingung. Jika aku berterus terus terang, kau selalu marah. Namun jika tidak, hasilnya akan sama juga.”
“Kapan kau pernah berterus terang padaku? Selama ini kau cuma berterus terang jika hal itu menyangkut kepentinganmu, namun jika itu menyangkut kepentinganku kau sama sekali tidak mau berterus terang? Ketahuilah, Ra! Biarpun aku ini hanya sebagai sahabat, sebetulnya aku sangat memerlukan perhatian darimu.”
“Kak, aku jadi demikian karena sebab kau mencintaiku. Aku khawatir keterusteranganku yang sesungguhnya bisa membuatmu salah tanggap.”
“Apa kau pikir selama ini aku tidak salah tanggap lantaran kau tidak pernah berterus terang padaku?”
“Hmm... ini memang sulit. Andai kau tidak mencintaiku tentu tidak akan sesulit ini jadinya.”
“Kalau begitu, kenapa kau tidak mencintaiku saja?”
“Apa kau bilang? Enak saja kau bicara begitu, kenapa bukan kau saja yang tidak usah mencintaiku?”
“Itu tidak mungkin, Ra. Bagaimana mungkin aku bisa membohongi perasaanku sendiri.”
“Begitu juga aku, Kak.”
“Tidak... itu berbeda, Ra. Kau tidak mencintaiku karena kau belum mengenal aku dengan baik, sedangkan aku mencintaimu karena aku sudah menerimamu apa adanya. Tindakanmu karena ego sedangkan aku karena kata hati.”
“Kenapa kau bisa menyimpulkan demikian?”
“Pikir saja sendiri, kau itu kan manusia yang sudah dikaruniakan akal yang bisa kau gunakan untuk menemukan jawaban.”
“Hmm... aku rasa itu bukan lantaran kata hati, namun karena egomu yang begitu terobsesi denganku sehingga kau menjadi tidak peduli dengan perasaanku.”
Mendengar itu, Randy langsung menarik nafas panjang. “Baiklah... terserah bagaimana kau mau menilai.”
Setelah Randy bicara begitu, keduanya tampak diam. Entah apa yang ada di benak kedua anak manusia itu sehingga mereka tidak mampu lagi berkata-kata, hanya bola mata keduanya yang tampak saling mengamati satu sama lain. Keadaan itu terus berlanjut hingga akhirnya Bobby dan Nina kembali ke tempat itu.
“Eh, ada apa ini? Kenapa dengan kalian?” tanya Bobby ketika melihat wajah Randy dan Lara tampak berubah.
“Bob! Sebaiknya sekarang aku kembali ke villa saja.”
“Lho... bukankah kita tadi mau naik ke puncak pas.”
“Maaf, Bob. Kini aku sudah tidak bersemangat lagi, kalian bertiga saja yang naik.”
“Hmm... jadi benar dugaanku, kalau saat ini sudah terjadi sesuatu di antara kalian. Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kita sama-sama kembali ke villa.”
“Sudahlah, Bob! Kalian pergi saja, aku tidak apa-apa kok.”
“Tidak, Ran. Aku bukan orang yang seperti itu. Bagaimana mungkin aku bisa bersenang-senang tanpa kehadiranmu.”
“Hmm... baiklah kalau begitu, sebaiknya aku memang tidak usah kembali ke villa. Ayo teman-teman, mari kita nikmati malam ini dengan penuh suka cita.”
“Nah, begitu dong,” ucap Bobby senang.
Lantas keempat muda mudi itu segera masuk ke mobil dan melaju menuju puncak pas. Namun belum sempat mereka sampai ke tempat tujuan, tiba-tiba mobil yang mereka tumpangi disalip oleh beberapa mobil polisi dan dipaksa untuk menepi.
“Angkat tangan dan jangan coba-coba melawan!” kata seorang polisi tegas.
Ke empat muda-mudi itu segera menurut, kemudian mereka diminta keluar dan segera berdiri menghadap ke mobil. Pada saat itu Bobby dan Randy langsung diborgol dan dimasukkan ke mobil polisi. Sementara itu, Lara dan Nina tampak ditanyai oleh salah seorang polisi.
“Kalian berdua ini siapa?” tanya polisi itu.
“Ka-kami ini teman mereka, Pak. Na-namun kami ini tidak tahu apa-apa,” jawab Lara ketakutan.
“Sudah saya duga, kalian memang tidak tahu apa-apa.”
“Eng, maaf Pak! Kalau boleh saya tahu apa kesalahan mereka?” tanya Lara memberanikan diri.
“Mereka diduga terlibat dalam usaha penipuan yang sangat serius. Dan karenanyalah kami harus membawa mereka untuk diperiksa secara intensif.”
“Eng... apakah kami juga akan dibawa, Pak?” tanya Lara lagi.
“Tentu saja, kami kan perlu mendata kalian. Setelah itu kalian boleh pergi kapan saja kalian mau.”
“Lapor Pak! Mobil itu bersih, tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan,” lapor seorang polisi tiba-tiba kepada polisi yang ternyata atasannya itu.
Setelah atasan polisi itu memberikan instruksi kepada bawahannya, dia pun mengajak Lara dan Nina untuk ikut bersamanya. Tak lama kemudian, mereka berangkat bersama-sama menuju kantor polisi. Setelah dilakukan pendataan, akhirnya keduanya dipersilakan pergi.
Dalam perjalanan pulang, Lara dan Nina terus memikirkan kejadian yang baru mereka alami. Sungguh keduanya tampak begitu terpukul dan sulit untuk bisa mempercayainyabagaimana mungkin kedua pemuda sebaik mereka telah melakukan tindak kejahatan.


 
 
Seminggu kemudian, Lara mendapat telepon dari seorang pemuda yang sudah sangat dikenalnya. Pemuda itu ternyata si Randy yang mengabarkan kalau dia dan Bobby sudah dibebaskan karena terbukti tidak bersalah. “Begitulah, Ra. Aku betul-betul bersyukur karena bisa dibebaskan.“
“Kak, sebetulnya apa yang telah terjadi?”
“Kami ini cuma diperalat orang, Ra. Aku sungguh tidak menduga kalau ternyata rekan bisnisku itu seorang penipu. Ups! Maaf, Ra! Sudah dulu ya, aku harus segera pergi. Lain waktu akan kuhubungi lagi. O ya,  Nina juga kenal dengan penipu itu. Bilang saja pemuda yang dia kenal di hotel saat malam pertama dia jadian dengan Bobby. Sudah ya, bye...!”
Setelah menutup telepon, pikiran Lara langsung tertuju kepada peristiwa yang telah lewat, yaitu di malam ketika Bobby dan Nina jadian. “Mmm... jadi, malam itu mereka ke hotel. Tapi, kenapa Nina tidak cerita? Kenapa waktu itu dia bilang setelah pulang jalan-jalan di taman tidak ada lagi kejadian yang istimewa. Ja-jangan-jangan...”
Saat itu juga Lara langsung teringat dengan alur cerita yang pernah dibuatnya. "Huh, sudahlah... aku tidak mau ambil pusing. Saat itu kan mereka sudah jadian, dan jika mereka memang melakukannya, itu bukan urusanku. Tapi, bukankah malam itu mereka baru jadian. Sungguh sepupuku itu memang gadis yang gampangan, baru kenal mau saja diajak begituan.”
Perasaan sedih, prihatin, cemburu, dan sakit hati, semua jadi satu dalam benak gadis itu. Sungguh dia tidak tahu harus bersikap bagaimana kepada sepupunya itu, haruskah ia mengasihaninya atau malah membencinya. Setelah merenung agak lama, akhirnya gadis itu bisa mengambil sikap. Ketidakpedulian, itulah sikap yang dipilihnya karena diyakini bisa meredam gejolak batinnya saat itu. Sementara itu di tempat lain, Bobby tampak sedang melamunkan sang Pujaan hati. Saat itu dia sedang mengingat kembali kenangan indah ketika bersamanya di villa. Selama berada di tempat itu mereka sering berduaan, berbagi kasih dan bermanja-manja. Dan karena itulah, cintanya kepada Nina semakin lekat di hati. Walaupun terkadang sikap Nina sering membuatnya bingung, namun pemuda itu tidak mempersoalkannya. Baginya gadis itu tetaplah gadis yang baik dan sangat pengertian, dan yang terpenting baginya adalah mereka bisa terus bersama untuk saling mencintai.


 


Esok harinya, Bobby tampak sedang bersama sang kekasih di dalam mimpinya, sebuah mimpi yang tidak biasa dan membuatnya tiba-tiba saja terjaga dari tidurnya. “Ya Tuhan mimpi apa aku barusan?” tanya pemuda itu dalam hati. Lantas dengan segera dia duduk di tepian ranjang dan kembali mengingat mimpinya barusan. Mimpi itu betul-betul membuatnya tidak nyaman. “Tidak... aku tidak mau itu terjadi,” kata Bobby seraya beranjak bangun dan bergegas menuju ke rumah kekasihnya.
Setibanya di sana, pemuda itu terkejut bukan kepalang. Saat itu dia melihat kekasihnya sedang terbaring di tempat tidur dengan kondisi yang begitu memprihatinkan.
“Ka-Kak Bobby...!”  panggil Nina seraya menatap pemuda itu dengan sorot mata yang begitu pudar, bibirnya tampak bergetar seperti hendak mengatakan sesuatu.
Melihat itu, Bobby segera menghampiri dan berusaha mendengar apa yang hendak dia katakan.
“K-Kak... k-kau sudah bebas? A-aku bahagia sekali melihatmu, Kak,” kata Nina lagi dengan suara yang membuat pemuda itu serasa ingin menangis. “O-o ya, Kak. Bi-bisakah ka-kau menolongku?” lanjutnya kemudian.
“Apa yang harus aku lakukan, Sayang?” tanya Bobby tidak mengerti.
“To-tolong ca-carikan a-aku putaw, Kak!” pinta gadis itu terbata.
Betapa terkejutnya Bobby begitu mengetahui kalau kekasihnya ternyata sedang mengalami sakaw berat. “Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan. Haruskah aku mencarikannya benda laknat itu. Haruskah aku terlibat dan menuruti permintaannya?”  Ataukah kudiamkan saja kekasihku yang sedang menderita ini?” tanya pemuda itu dalam hati.
Batin pemuda itu terus bergejolak, di antara kesedihan akan kekasihnya yang begitu menderita dan keterlibatannya akan dosa. “Ti-tidak... aku tidak akan mencarikan benda sialan itu untuknya.”
Kini pemuda itu mendekap erat kekasihnya yang saat ini tengah kesakitan. Tubuhnya menggigil dengan mulut yang terus bergumam dengan terbata-bata. Entah apa yang dikatakannya barusan, sungguh sulit untuk dipahami. Kini Bobby memandang wajah kekasihnya yang tampak pucat, lalu menatap kedua matanya yang kosongseolah kedua matanya itu bicara kalau saat ini dia sedang tak berdaya dan sangat mengharapkan bantuannya. Untuk lebih meyakinkan, gadis itu pun mencoba tersenyum, sebuah senyuman yang tampak dingin, namun penuh dengan makna perharapan.
Bobby terus memandang wajah manis yang selama ini membuat hatinya begitu damai. Namun tidak untuk saat ini, karena wajah yang dilihatnya sekarang ini sungguh membuat hatinya benar-benar sedih. Seketika pemuda itu membatin, mempertanyakan semua itu, “Sayang... kenapa hal ini harus terjadi padamu. Kenapa kau sampai bisa terjerat benda haram itu?”
Mendadak air mata pemuda itu berlinang, saat itu dia melihat kekasihnya kembali merintihmerasakan penderitaannya yang amat sangat. Bibirnya bergetar dengan mata yang menatapnya begitu dalamseolah memohon belas kasihnya. Saat itu air mata Bobby langsung menetes, dan seketika itu pula dia langsung mengecup kening kekasihnya. “Bertahanlah, Sayang... aku akan selalu bersamamu di sini,” ucap pemuda itu seraya menatap kekasihnya lagi.
Nina kembali merintih, saat itu tubuhnya tampak semakin menggigil dengan kepala yang bergerak tidak karuan. Melihat itu, Bobby pun mencoba untuk menenangkannya. Namun semakin dia berusaha, semakin keras pula usaha Nina untuk berontak. Saat itu, erangan dan rintihan yang keluar dari mulut Nina sungguh membuat pemuda itu kian bertambah sedih. Dan karena tak tahan melihat kekasihnya itu terus menderita, akhirnya dia memutuskan untuk melibatkan diri dengan benda mematikan itu. “Sayang... bertahanlah, aku akan pergi mencarikannya untukmu,” ucapnya seraya menggenggam erat tangan kekasihnya dan menciumnya dengan penuh kasih sayang.
Saat itu Nina memandangnya dengan pandangan yang seolah mengiyakan, dan di bibirnya lagi-lagi tersungging sebuah senyuman dingin. Melihat itu, Bobby tak mau membuang waktu lagi, lalu dengan segera dia pergi menemui temannya yang juga seorang pemakai. Tak lama kemudian, Bobby sudah kembali dengan membawa barang haram itu. Kini pemuda itu sudah berada di sisi kekasihnya dan langsung memberikan benda berbahaya itu. “Ini Sayang... Inilah benda yang kau butuhkan saat ini,” ucap pemuda itu seraya menggenggam erat jemari kekasihnya dan mengecup keningnya mesra.
Setelah itu Bobby terdiam, dia menunggu apa yang hendak Nina lakukan. Tak lama kemudian dia melihat kekasihnya itu tampak mengambil sedikit serbuk putih dan mencairkannya, kemudian dengan perlahan dimasukkannya ke dalam alat suntik yang sudah tersedia. Dan setelah mengikat lengannya, juga sudah meyakini bahwa tidak ada udara pada tabung suntiknya, gadis itu pun segera menyuntikkan cairan laknat itu memasuki urat nadinya. Tidak sampai di situ saja, kini gadis itu terlihat sedang menyedot darahnya menggunakan alat suntik itu hingga penuh dan kemudian memasukkannya kembali ke urat nadinya. Hal itu terus dilakukannya sampai beberapa kali hingga membuat Bobby betul-betul merasa ngilu dibuatnya. Setelah berapa lama kemudian, Bobby melihat kekasihnya itu semakin tenang, hingga akhirnya gadis itu sudah kembali seperti sedia kala, yaitu kembali menjadi gadis yang selama ini dia kenal.
“Sayang...” ucap Bobby lembut kepada Nina yang baru saja menyimpan kelebihan benda yang sangat mematikan itu.
Saat itu Nina langsung tersenyum, sebuah senyuman manis yang selalu membuat Bobby bahagia. “Ada apa, Kak?” tanyanya kemudian.
“Kau sudah baikan, Sayang?” tanya Bobby memastikan.
Nina mengangguk, “Terima kasih ya, Kak! Kau sudah memberikan apa yang sudah menjadi kebutuhanku,” katanya seraya memeluk pemuda itu dengan pelukan yang begitu hangat.
“Ketahuilah, Sayang... aku melakukan itu karena terpaksa. Terus terang, aku tidak tahan melihatmu menderita. Aku rasa kini sudah saatnya kau meninggalkan benda haram itu dan kembali ke jalan yang lurus. Mmm… bagaimana kalau besok kita pergi ke dokter untuk mengobati kecanduanmu itu, terus terang kau perlu menjalani rehabilitasi, Sayang...”
“Tapi Kak...” Belum sempat Nina berkata lebih lanjut, Bobby sudah menutup bibir gadis itu dengan jari telunjuknya. “Sudahlah sayang...! Tidak ada kata ‘tapi’ untuk perkara ini. Demi kebaikanmu kau harus mau menuruti apa yang sudah kukatakan tadi. Nanti, jika orang tuamu pulang, biarlah aku yang bicara pada mereka. Aku yakin, mereka pun menghendaki agar kau sembuh dan kembali hidup normal. Karenanyalah kau jangan mengkhawatirkan macam-macam, sebab mereka tentu bisa mengerti kalau kau hanyalah korban.” Setelah mendengar penjelasan itu, akhirnya Nina mau juga menuruti keinginan Bobby. Saat itu Bobby betul-betul bahagia karena kekasihnya mau kembali ke jalan yang lurus, kemudian dengan penuh kasih sayang pemuda itu segera mengecup kening kekasihnya dan memeluknya erat memberi kedamaian.

 


Esok harinya menjelang senja, Bobby kembali menemui kekasihnya. Dan ketika tiba di sana, pemuda itu  tampak terkejut bukan kepalang. Saat itu dilihatnya orang-orang tampak ramai, berkumpul di halaman rumah Nina. Dan yang paling membuatnya terkejut adalah bendera kuning yang terpasang di muka rumah. Seketika itu juga hati Bobby jadi tidak karuan, sungguh saat itu dia benar-benar khawatir kalau sesuatu yang buruk telah menimpa kekasihnya. Karena penasaran, Bobby pun segera memasuki rumah dan memastikan apa yang tengah terjadi. Benar saja, ternyata kekasihnya memang telah tiada, gadis yang begitu dicintainya telah pergi untuk selama-lamanya. Kini Bobby sedang menangis di sisi jenazah kekasihnya, saat itu dia melihat wajah kekasihnya tampak pucat dan dengan tubuh yang terbujur kaku. “Ya Tuhan, kenapa kau panggil dia begitu cepat? Padahal dia sudah berjanji akan menjalani rehabilitasi dan akan kembali ke jalan yang lurus,”  kata pemuda itu membatin.
Air mata Bobby terus berderai, saat itu hatinya betul-betul sedih karena ditinggal oleh kekasihnya dengan cara yang mengenaskan seperti itu. “Ya Tuhan... Ampunkanlah aku. Semua ini karena salahku, akulah yang telah memberikan benda haram itu kemarin. Dan karenanyalah dia menjadi seperti ini. Seharusnya… seharusnya... Tidak! Semua sudah terlambat, kusesali bagaimanapun tak ada gunanya,” kata pemuda itu kembali membatin.
Kini Bobby kembali menatap jenazah kekasihnya yang tampak pucat, dan lagi-lagi air matanya kembali berderai. Padahal, kemarin wajah itu tampak begitu ceria, disaat barang haram itu mengalir di urat nadinya. Namun, saat ini wajah itu tampak begitu pucat, dimana darah sudah tak lagi mengalir. Dimana nyawa sudah lepas dari raganya. “Oh Tuhan, ampunilah dia dan terimalah dia di sisi-Mu. Dia memang telah berdosa, namun semua itu bukan semata-mata kesalahannya. Tapi... itu kesalahan orang-orang di sekitarnya, termasuk aku. Lingkunganlah yang telah membuatnya jadi demikian, dan ilmu yang tak sampai kepadanya,” ucap Bobby dalam hati.
Lalu dengan penuh kesedihan, pemuda itu akhirnya melangkah meninggalkan jasad kekasihnya. Menyendiri dan mengambil hikmah dari semua itu. Sungguh tindakan yang diambilnya waktu itu telah membuatnya betul-betul menyesal, dan sikap penyayang yang tidak pada tempatnya pun telah membuatnya benar-benar merasa sangat berdosa. Andai saat itu dia mau mendengarkan hati nuraninya, mungkin kekasihnya akan selamat. Namun sayangnya, saat itu setan berhasil memperdayanya dengan bisikan yang sepertinya benar tapi pada kenyataannya tidak.


 

Esok harinya, Bobby terlihat berlutut di makam kekasihnya yang saat itu diteduhi oleh rindangnya pohon kamboja, saat itu air matanya tampak berderaimengalir hingga ke celah bibirnya. Sementara itu dari atas makam, bunga-bunga yang berwarna putih tampak berguguran di sekitar makamseolah ikut berduka, merasakan betapa pilunya telah ditinggal oleh sang kekasih untuk selama-lamanya. Bobby masih terus berlutut, hanyut di dalam penyesalan dan berharap Tuhan mau mengampuni gadis yang begitu dicintainya. Sementara itu, tak jauh dari tempat itu terlihat seorang gadis yang berdiri memperhatikannya. Dialah Lara yang belum lama tiba, di tangannya tampak tergenggam seikat bunga yang akan dipersembahkan untuk Nina. Pada saat itu, Lara pun ikut larut dalam kesedihan, merasakan apa yang dirasakan Bobby. Air matanya tampak berderai kala mengingat sepasang kekasih itu begitu serasiberbahagia dalam keintiman yang diduga akan terus berlanjut hingga masa tua dan akhir hayat mereka. Namun ternyata, takdir Tuhan memang harus demikian. Selama manusia tidak mau berusaha untuk memilih yang terbaik, maka keputusan-Nya yang bijaksana adalah membiarkan takdir itu sebagaimanamestinya, yaitu sesuai dengan apa yang sudah digariskan sejak awal penciptaannya agar menjadi pelajaran bagi siapa saja yang mau berpikir.
 Kini Gadis yang bernama Lara itu tampak melangkah menuju makam, lalu berlutut di samping Nisanberhadapan dengan Bobby yang masih saja bersedih. Setelah meletakkan bunga yang dibawanya, gadis itu tampak berdoa. Pada saat itu Bobby sempat memperhatikannya, dilihatnya wajah yang cantik itu larut dalam duka. Ketika Bobby masih memperhatikan wajah itu, tiba-tiba saja Lara memandangnya, saat itu kedua matanya yang basah tampak menatap dalam, dalam sekali. Seakan kedua mata itu bicaramengakui segala kesalahannya. “Kak Bobby... Ma-maafkan aku! Se-sebenarnya akulah yang telah menyebabkan semua ini,” ungkap gadis itu seraya menundukkan kepalanya.
“Bukan kau Lara, tapi aku. Akulah yang telah menyebabkan semua ini. Andai hari itu aku tidak menuruti keinginannya, dia mungkin akan selamat.”
Lara kembali memandang Bobby. “Apa maksud kata-katamu itu, Kak?” tanyanya kemudian.
“Ra, sesungguhnya ...” Bobby pun segera menceritakan peristiwa yang membuatnya terpaksa memberikan benda haram itu.
”Dengar, Kak! Kau sama-sekali tidak bersalah, andai aku berada di posisimu saat itu aku pun pasti akan melakukan hal serupa. Aku mengerti, kau melakukan itu karena kau menyayanginya, dan kau tidak tega karena melihatnya menderita. Sesungguhnya, akulah yang bersalah karena telah memperkenalkannya dengan Henky sehingga dia menjadi seperti ini.”
“Henky...? Siapa pemuda itu? Berani sekali dia mencekoki Nina dengan barang laknat itu. Jika nanti aku berjumpa, pasti akan kuberi pelajaran padanya.”
“Percuma, Kak. Dia pun sudah meninggal karena over dosis.”
"Benarkah?” tanya Bobby seakan tak mempercayainya. “O ya, Ra. Ngomong-ngomong, kenapa kalian sampai bergaul dengan orang seperti itu?” tanyanya kemudian.
“Ketahuilah, Kak! Sebenarnya Henky pun hanyalah korban. Selama ini aku tetap berteman dengannya karena aku peduli, aku menduga kalau aku memberikan perhatian padanya, suatu saat dia akan sadar dan meninggalkan semua itu. Tapi ternyata, semua usahaku sia-sia dan justru melibatkan Nina dengan benda biadab itu. Sungguh semua itu karena kesoktahuanku. Semula kupikir Nina gadis yang kuat dan tidak mungkin akan terpengaruh, tapi ternyata dia begitu mudahnya untuk terpengaruh.”
“Hmm... sudahlah, Ra! Kita jangan terlalu memikirkan hal itu! Kita ini hanyalah manusia yang memang sering keliru dalam menentukan sikap. Sehingga apa yang semula kita anggap baik, pada akhirnya justru menimbulkan petaka.”
“Kau benar, Kak. Sebaiknya kita jangan terus hanyut dalam penyesalan, namun yang lebih utama adalah mengambil hikmah dari peristiwa ini dan terus berusaha untuk tidak mengulanginya lagi.”
Setelah berkata begitu, Lara segera bangkit dan mengajak Bobby untuk meninggalkan tempat itu. Kini kedua muda-mudi itu terlihat sudah melangkah di sela-sela pemakaman hingga akhirnya menghilang di kejauhan.


 

Dua bulan kemudian, di sebuah kamar yang cukup besar. Lara terlihat sedang melamun di atas tempat tidurnya. Semenjak kematian Nina, gadis itu seolah mendapat kesempatan untuk bisa bersama Bobbypemuda tampan yang begitu dicintainya. Di dalam benaknya, gadis itu ingin sekali untuk segera mengungkapkan perasaannya yang selama ini terpendam. Bagaimana selama ini dia selalu mendambakan perhatian dan kasih sayang dari belahan jiwanya, seperti yang selama ini sering dilihatnya telah dilakukan Bobby kepada Nina. Namun karena sesuatu hal, akhirnya dia pun merasa ragu. “Ti-tidak! Aku tidak mau mempunyai suami seperti dia. Biarpun dia baik, tapi perbuatannya di hotel bersama Nina tidak mungkin bisa kumaafkan. Tapi...”
Saat itu Lara betul-betul sedang mengalami situasi yang sulit, di mana ego dan hati nuraninya terus bertarung dengan berbagai argumen yang membuat akalnya kian kewalahan. Saat itu, pikirannya sudah benar-benar buntu dan membuatnya tidak bisa mengambil putusan dengan baik. “Hmm, sudahlah.... sebaiknya sekarang aku sholat Ashar dulu,” pikir Lara seraya bergegas menunaikan sholat.
Usai sholat, gadis itu langsung merebahkan diri di tempat tidur. Namun belum sempat gadis itu memejamkan mata, tiba-tiba dia mendengar bel rumahnya berbunyi. Saat itu Lara tidak mempedulikannya, dia malah memejamkan mata dan menutup kepalanya dengan bantal.
“Non Lara! Di luar ada Den Bobby dan Den Randy... katanya mereka mau bertemu dengan Non,” seru pembantu Lara dari balik pintu.
Mengetahui itu, Lara buru-buru bangun dan beranjak menemui keduanya. Kemudian dengan penuh kehangatan, dia mempersilakan mereka memasuki ruang tamu yang nyaman. Di ruangan itulah mereka berbincang-bincang dengan penuh keakraban. Membicarakan berbagai hal yang menarik.
Mereka terus berbincang-bincang, hingga akhirnya perbincangan itu terhenti karena azan Magrib yang berkumandang. Saat itu Bobby langsung beranjak dari duduknya. “Ran! Yuk kita sholat dulu!” ajak Bobby kepada Randy.
“Males ah,” Randy menolak.
“Hmm, baiklah... kalau begitu aku ke masjid dulu ya.” Pamit Bobby kepada Randy dan Lara.
Pada saat itu, Lara benar-benar sudah dibuat bingung dengan segala kelakuan Bobby. Selama ini dia mengenal Bobby memang sebagai seorang yang taat beribadah, namun kenapa pemuda seperti itu bisa sampai melakukan perbuatan yang menurutnya sangat tidak patut.
Setelah Bobby melangkah pergi, Randy dan Lara kembali melanjutkan perbincangan. Kini mereka tampak membicarakan berbagai hal yang sekiranya menarik untuk dibicarakan. Pada saat itu, sebenarnya Lara sama sekali tidak mengharapkan kalau Randy masih berada di ruang tamunya. Dalam hati, gadis  itu merasa tidak pantas lantaran menemani seorang pria di saat dia harus menghadap Tuhan-nya. Sebenarnya bisa saja dia meninggalkan pemuda itu. Namun karena dia tidak mau menyakiti perasaannya, akhirnya dia pun memilih untuk  tetap bersamanya. Sungguh dia tidak mau hal yang pernah terjadi di villa terulang lagi, dimana kini dia mulai memahami watak pemuda itu. Betapa sifat kewanitaannya yang sangat berperasaan itu telah membuatnya sulit untuk mengambil sikap, sungguh dia itu memang gadis lemah yang tak berani menghadapi kebenaran yang terkadang memang harus menyakitkan.
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang, hingga akhirnya Bobby kembali dari Masjid dan langsung menyampaikan maksud hatinya. “Begitulah, Ra. Aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini,” jelas Bobby mengabarkan perihal SMS yang mengabarkan kalau teman lamanya mau datang berkunjung ke rumahnya.
Mengetahui itu, Lara pun bisa memaklumi. Sepeninggal orang yang dicintainya, Lara kembali berbincang-bincang dengan Randy. Hingga akhirnya waktu sholat magrib pun habis dan Lara sama sekali tidak sempat menunaikannya. Pada saat itu Lara sungguh heran dengan sikap Randy yang demikian, jika pemuda itu memang mencintainya kenapa dia tidak mau mengerti dan senantiasa menghormati gadis yang dicintainya. Dan karena ulahnya itu, Lara terpaksa menanggung dosa karena tidak menunaikan kewajibannya. Hingga akhirnya, Lara pun semakin tambah tidak simpati. Randy yang pada saat itu tidak peka mengenai perasaan Lara membuatnya justru merasa diizinkan untuk terus berlama-lama. Dalam hati, pemuda itu merasa kalau Lara adalah wanita yang mulai mengerti dirinya. Bahkan dia menduga kalau Lara pun seperti dirinya, yang terkadang malas menunaikan sholat lantaran belum bisa menikmatinya.
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang hingga akhirnya jam dinding berdentang sembilan kali menandakan kalau waktu sudah menunjukkan pukul 9.00 malam. "Wah, sudah jam sembilan. Kenapa waktu begitu cepat berlalu ya? Hmm... Apa mungkin lantaran aku sedang bersamamu, sehingga aku  merasa senang dan akhirnya waktu pun berlalu dengan  begitu cepat.”
Mendengar itu Lara sangat sependapat, memang hal itulah yang membuat pemuda itu merasa demikian. Tidak seperti yang sedang dirasakannya kini, perasaan jenuh yang membuatnya merasakan waktu justru menjadi sebaliknya.  
“Ra... Bolehkah aku terus bersamamu hingga jam sepuluh?” tanya Randy kemudian.
“Jangan kan jam sepuluh, Kak. Lebih dari itu pun aku tidak keberatan,” kata Lara berbasa-basi.
“Benarkah? Biarpun sampai jam dua belas malam.”
“Ya, sampai jam dua belas sekalipun.”
“Tidak, Ra. Aku tidak akan sampai jam dua belas, aku akan sampai jam sepuluh saja. Apa kata tetanggamu nanti kalau aku pulang selarut itu.”
Mendengar itu, Lara cuma bisa menarik nafas panjang. Kenapa pemuda itu masih juga tidak mengerti akan arti kata basa-basi yang telah dilontarkannya. Padahal saat itu dia ingin sekali agar pemuda itu cepat pulang sehingga penderitaannya cepat berlalu karena tidak harus terus menemaninya. Dan karena sudah terlanjur berbasa-basi, akhirnya dia pun terpaksa harus merasakan penderitaan itu hingga jam sepuluh nanti.


 

Esok harinya, Lara tampak sedang merenung di balkon rumahnya. Setelah menimbang sekian lama, akhirnya Lara memutuskan untuk menyatakan cinta. Kini dia sudah tidak peduli lagi dengan peristiwa malam itu, yang terpenting dia bisa bahagia bersama orang yang dicintainya. Saat ini pun dia sedang mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. “Emm... kapan ya? O ya, hari Valentine kan tidak lama lagi. Kenapa tidak saat itu saja aku mengungkapkannya,” gumam Lara dengan mata berbinar, saat itu di benaknya terbayang sudah bagaimana Bobby menerima cintanya dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Mendadak wajah gadis itu berubah serius. “Tapi, bagaimana jika Bobby tak mencintaiku? Hmm... apakah waktu dua bulan itu tidak terlalu cepat baginya untuk melupakan Nina,” gumamnya seraya kembali berpikir. “Ah, aku rasa tidak. Biasanya kan lelaki memang seperti itu, begitu mudahnya melupakan seseorang yang semula dicintainya. Buktinya banyak kok laki-laki yang baru putus dan dalam tempo yang tidak terlalu lama sudah mendapat gantinya.” Gadis itu terus memikirkan Bobby, hingga akhirnya dia mendengar dering HP yang cukup keras. “Ya, siapa nih?” tanyanya kepada orang yang meneleponnya.
“Ini aku, Ra. Randy... “
"O, Kak Randy. Ada apa, Kak?” tanya Lara.
“Eng, begini Ra. Sebetulnya aku mau mengajakmu makan. Kau mau kan?”
“Kapan, Kak?” tanya Lara lagi.
“Besok malam,” jawab Randy.
“Aduh, maaf Kak! Kalau besok malam aku tidak bisa.”
“Kenapa?” tanya Randy dengan nada kecewa.
“Aku ada janji dengan seseorang,” jawab Lara.
“Siapa?”  tanya Randy lagi. “Teman dekatku,” jawab Lara singkat.
“Pria apa wanita?”
“Aduh, Kak. Kau ini seperti polisi saja, masa kau mau tahu sampai sedetail itu.”
“Sudahlah, Ra! Jawab saja, pria apa wanita?”
“Hmm... baiklah. Dia itu pria, namanya Hendry. Tinggal di Jl. Merpati putih. No.10  Golongan darah B. Status belum kawin. Sudah bekerja di sebuah perusahaan jasa. Bagaimana, apa masih ada yang kurang?”
“Sudah, Ra. Aku rasa cukup.”
"O ya, dia itu sudah punya pacar namanya Silvy. Pacarnya itu teman dekatku, dan dia tinggal di Jl. Melati putih No.12 Golongan darah A. Selama ini...”
“Sudah, sudah! Aku bilang cukup!” potong Randy yang tidak mau mendengar hal itu lebih lanjut.
“Kenapa, Kak? Bukankah dengan begitu kau akan lebih puas.”
“Sudahlah, Ra! Aku tidak mau membahas itu lagi. Baiklah kalau memang kau tidak bisa. Emm... bagaimana kalau lusa?”
“Lusa, aku juga tidak bisa, Kak.”
“Kenapa?” tanya Randy. “Aku juga sudah ada janji,” jawab Lara.
 “Dengan siapa?” tanya Randy lagi. “Teman dekat,” jawab Lara singkat.
“Laki-laki, apa... Ups! Sudahlah lupakan saja. Kalau kau memang tidak bisa bagaimana kalau minggu depan, saat hari Valentine?”
“Maaf, Kak. Sepertinya aku juga tidak bisa.”
“Jadi, kau juga sudah ada janji?”
Lara tidak segera menjawab. Saat itu dia betul-betul bingung harus menjawab apa,  sebab hari itu adalah saat dia akan mengungkapkan isi hatinya kepada Bobby. Dalam hati, gadis itu merasa benar-benar jengkel dengan sikap Randy yang seperti itu. “Huh, dari dulu pria itu selalu mau tahu saja urusan orang. Memangnya aku ini siapanya dia, aku ini kan cuma temannya. Aku heran, kenapa dia merasa begitu berhak mengetahui segalanya.”
“Hallo! Kok diam, Ra?”
“Sudahlah, Kak! Maaf kalau aku tidak bisa mengatakannya.”
“Ayolah, Ra! Katakan saja!”
“Baiklah, Kak. Agar kau puas, kini aku akan mengatakan hal yang sebenarnya,” kata Lara seraya mengatakan hal yang sebenarnya. Hingga akhirnya, “Nah... kuharap kini kau bisa mengerti, Kak!”
“Baiklah, Ra. Aku bisa mengerti kok. Kini aku sadar kalau aku memang tidak mungkin bisa menghalangi keinginanmu itu. Namun, ijinkan aku untuk mengutarakan satu permintaan padamu.”
“Baiklah, Kak. Katakanlah!”
Randy pun segera mengatakan permintaannya itu. “Nah, aku harap kau mau mengabulkannya, Ra.”
“Kak, aku mencintainya. Tanpa kau memintanya pun, aku pasti akan melakukan itu. Sudah ya, Kak. Aku sudah mengantuk sekali nih. Bye...” ucap Lara seraya memutuskan hubungan. Lantas gadis itu bergegas ke kamar mandi untuk berkemas-kemas. Setelah itu dia segera merebahkan diri dan memikirkan Bobby. Lama juga dia melamunkan pujaan hatinya itu hingga akhirnya dia terlelap bersama mimpi-mimpinya.


 

Malam Valentine yang ditunggu Lara akhirnya tiba. Kini dia dan pemuda yang dicintainya itu tampak duduk di sebuah bangku taman, bersama-sama menikmati malam yang indahmalam yang dipenuhi oleh berbagai hal romantis. Bulan yang bersinar cerah, bintang-bintang yang gemerlap, lampu-lampu taman yang temaram, dan juga tumbuhan yang menari-nari tertiup angin sepoi-sepoi. Segala hal romantis itu bisa terwujud karena usaha Lara yang gigih demi mengajak orang yang dicintainya agar mau memenuhi undangannya.
“Terima kasih karena  kau mau memenuhi undanganku, Kak!” ucap Lara.
Bobby tersenyum. "O ya, ini cokelat dan bunga untukmu,” kata Bobby seraya menyerahkan kedua benda yang ada di tangannya.
Saat itu Lara betul-betul terharu karena dia sama-sekali tidak menyangka kalau Bobby ternyata sangat perhatian padanya. Dan seketika itu juga air matanya berlinang, tak kuasa menahan keharuan yang amat sangat. “Terima kasih, Kak!” ucap gadis itu seraya mencoba tersenyum. "O ya, aku juga mau memberikan sesuatu untukmu,” kata gadis itu seraya mengambil sebuah bingkisan yang ada di dalam tasnya dan memberikannya kepada Bobby.
“Apa ini?”
“Bukalah, Kak...!”
Lantas Bobby segera membuka kotak yang dibungkus dengan warna merah muda itu. Dan ketika mengetahui isinya dia pun langsung terkejut, ternyata di dalamnya terdapat cokelat spesial yang berbentuk hati dan bertuliskan aku mencintaimu.
Belum sempat Bobby berkata-kata, Lara langsung membuka suara, “Kak, a-aku mencintaimu,” ungkap Lara dengan wajah yang merona merah.
Bobby semakin terkejut dengan perkataan Lara barusan. “Ta-tapi, Ra...” Bobby menggantung kalimatnya.
“Apa kau tak mencintaiku, Kak?” tanya Lara.
“Eng… Entahlah... Tapi, bagaimana mungkin aku bisa menjadi pacarmu. Sungguh aku tidak tahu bagaimana perasaan Randy jika sampai mengetahui hal ini. Ketahuilah, Ra! Randy itu sahabatku, dan aku betul-betul merasa tidak enak jika sampai melukai hatinya.”
“Randy sudah mengetahuinya, Kak. Dan dia tidak keberatan jika kita saling mencintai. Malah dia memintaku untuk senantiasa membahagiakanmu.”
“Benarkah?”
“Iya, Kak. Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja sendiri!”
“Eng... baiklah... Kalau begitu aku akan segera menghubunginya.”
Lantas dengan segera, Bobby mengambil HP dan menghubungi sahabatnya. “Hallo, Ran! Ini aku, Bobby.”
“Hi, Bob! Bagaimana kencanmu dengan Lara? Sukses?”
“Ka-kau ternyata memang sudah mengetahuinya, ya?”
“Tentu saja, Bob. Dan karenanyalah aku tidak keberatan ketika kau bilang tidak bisa  ikut denganku karena ada urusan penting.”
“Maaf, Ran. Aku terpaksa tidak berterus terang karena tidak mungkin menceritakan hal sebenarnya.”
“Aku mengerti, Bob. Dan karenanyalah saat itu aku tidak berusaha mencegahmu. O ya, Bob. Sebetulnya aku mengetahui kalau Lara itu mencintaimu, yaitu sejak kita menginap di villa dulu. Dan karenanyalah, ketika Lara berterus terang akan mengungkapkan isi hatinya, aku pun berusaha untuk bisa mengerti. Semula aku memang sempat kecewa, namun pada akhirnya aku bisa mengikhlaskannya, kalau dia itu memang patut menjadi milikmu. Karenanyalah, kau tidak sepatutnya menolak cinta gadis yang sudah betul-betul mencintaimu. Bahagiakanlah dia, sebagaimana aku juga meminta kepadanya untuk senantiasa membahagiakanmu.”
“Ran, benarkah semua kata-katamu itu?” tanya Bobby seakan tak percaya.
“Bob, ketahuilah! Aku ini bukan anak kecil lagi, dan aku sudah betul-betul menyadari kalau cinta memang tidak bisa dipaksakan. Lagi pula, dunia ini kan tidak selebar daun kelor. Masih banyak kok gadis lain yang bisa aku pacari.”
“Ran, kau ini tidak seperti Randy yang kukenal dulu. Apa mungkin kau bisa melupakan Lara begitu saja?”
“Sudahlah, Bob. Percayalah...! Aku pasti tidak akan apa-apa.”
“Hmm... baiklah kalau begitu. Kau memang sahabatku yang pengertian, Ran. Dan karenanyalah aku patut berterima kasih padamu. Eng, kalau begitu sudah dulu ya. Soalnya Lara seperti sudah tidak sabar menunggu jawabanku.”
Setelah menyimpan HP-nya, Bobby kembali bicara dengan Lara. “Kau benar, Ra. Sepertinya Randy memang sudah bisa menerimanya. Eng... kalau begitu, aku memang tidak sepatutnya menolak cintamu.”
“Benarkah yang kau katakan itu, Kak?”
“Betul, Ra. Sesungguhnya aku pun sangat mencintaimu... Semenjak kepergian Nina, hanya kaulah yang bisa meluluhkan hatiku untuk kembali mencintai gadis lain.”
Mendengar itu Lara tampak bahagia sekali, “Oh, Kak. Aku tidak tahu harus berkata apa, yang jelas saat ini hatiku bahagia sekali.”
“Aku pun bahagia sekali, Ra. Eng... bagaimana kalau sekarang kita cari tempat yang enak untuk berbincang-bincang sambil menikmati makan dan minum!”
Mengetahui ajakan itu, Lara langsung setuju. Lantas dengan segera keduanya melangkah menuju ke sebuah cafe yang tak begitu jauh. Dan di tempat itulah keduanya kembali berbincang-bincang dengan penuh keintiman.