Topeng Kuning
==================================================
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.
==================================================
Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336
Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336
==================================================
SATU
PENEMUAN YANG TAK DIDUGA-DUGA
Jakarta, 10 tahun dari sekarang. Pada sore yang cerah, di sebuah pemukiman mewah, tampak berjajar rumah-rumah besar yang tak berpagar. Namun begitu, semua halamannya tampak begitu indah dan tertata rapi. Pada sebuah rumah, tepatnya di dalam sebuah ruangan berukuran 4x5 meter, terlihat benda-benda berserakan. Ada robot-robotan setengah badan yang dipadukan dengan tank mainan, motor-motoran yang menggunakan baling-baling, sebuah antena para bola mini yang terus berputar, dan masih banyak lagi.
Di depan sebuah meja panjang yang berketinggian 30 cm, dan di atas sebuah permadani yang empuk, seorang gadis manis berjilbab tampak sedang melakukan percobaan. Gadis itu bernama Sinta, dia sedang melakukan percobaan. Sebuah mobil mainan yang sudah dilepas keempat rodanya tampak dimodifikasi sedemikian rupa. Pada bagian belakangnya terpasang sebuah baling-baling yang digerakkan oleh sebuah motor listrik, sedangkan pada bagian atasnya terpasang sebuah balon gas yang tak begitu besar.
Rupanya Sinta bercita-cita menciptakan sebuah mobil tanpa roda yang bisa melayang dengan ketinggian setengah meter dan bisa melaju di atas permukaan apa saja. Melaju di atas di atas air misalnya. Ide itu bermula setelah dia melihat sebuah hopper craft yang bisa melaju tanpa menggunakan roda, melainkan dengan menggunakan bilik udara pada bagian bawahnya. Hopper craft digerakkan dengan sebuah baling-baling besar yang dipasang pada bagian belakangnya, dengan demikian kendaraan itu bisa melaju di atas air maupun di rawa-rawa yang berumput. Kelemahan hopper craft adalah masih bersentuhannya antara bagian bawah kendaraan dengan permukaan bumi, sehingga bilik udara yang rentan terhadap gesekan membuatnya tidak memungkinkan berjalan di atas permukaan yang keras secara terus-menerus. Selain itu, perbedaan tekanan udara juga mempengaruhi daya angkatnya. Karena itulah, hopper craft tidak layak digunakan di atas permukaan yang keras seperti jalan raya dan permukaan tanah misalnya.
Saat ini Sinta masih menemui beberapa kendala, dia belum bisa membuat mobil itu mengambang di atas permukaan. Saat dia mencoba menggunakan sebuah balon gas, ternyata balon itu tak mampu mengangkat beban yang terlalu berat. Kemudian Sinta pun mengambil balon gas yang lebih besar, lantas dengan balon itulah mobil itu berhasil terangkat.
"Duh… ini sih sama saja dengan pesawat zeppelin! …memangnya ada mobil pakai balon sebesar itu? Hihihi… Bodohnya aku." Sinta merasa lucu sendiri, kemudian dia kembali berpikir, "Hmm… Jika menggunakan baling-baling pada bagian atas maupun bagian bawah, rasanya tidak mungkin. Seberapa besar baling-baling yang harus aku gunakan? Aku kan ingin membuat mobil, bukannya mau membuat helikopter!" Sinta meragukan apa yang baru saja dipikirkannya. “Eng… tunggu dulu, jika aku menggunakan empat buah baling-baling kecil tentu hal itu sangat memungkinkan. Tapi, seberapa besar tenaga yang harus aku gunakan? Wah, rasanya tidak mungkin. Ya, tidak mungkin aku membuat mobil yang boros bahan bakar seperti itu,“ Sinta kembali meragukan kemungkinan itu.
Setelah lama berpikir, akhirnya gadis itu menemukan sebuah cara agar mobil itu dapat mengambang. "Ya, aku akan menggunakan cara seperti semula saja. Pertama-tama, mobil itu harus dibuat dari bahan yang ringan. Pada bagian atas mobil akan kubuat sebuah lambung yang berguna untuk menampung gas. Hmm… tapi gas apa ya yang mampu mengangkat beban cukup berat?" Sinta tampak kembali berpikir. "Hmm… Gas ini… tidak mungkin. Kalau gas itu… juga tidak mungkin."
Sinta masih saja berpikir sambil terus membaca sifat-sifat gas dalam buku catatannya. Sementara itu di sebuah padepokan, murid-murid Perguruan Silat Naga Putih tampak duduk bersila—mengamati kedua rekan mereka yang sedang berlatih tanding. Saat itu, semuanya tampak begitu antusias—memperhatikan keduanya yang tampak begitu lihai, berlaga di tengah arena—memainkan jurus-jurusnya dengan penuh cekatan. Salah satu dari mereka bernama Bobby, pria berkulit sawo matang yang juga dikenal sebagai seorang pengusaha muda berusia 25 tahun. Saat itu, tubuhnya yang atletis tampak lincah menghindari serangan-serangan lawan, sedangkan rambutnya yang lurus tampak terumbai-umbai mengikuti irama ayunan kepalanya.
Pada suatu kesempatan, Bobby berhasil menangkap lengan lawannya, kemudian dengan sebuah teknik bantingan yang cukup baik, pemuda itu berhasil menghempaskannya ke lantai. Tak ayal, lawannya pun langsung meringis kesakitan—merasakan cidera pada tubuhnya yang lumayan parah. Namun lawannya tak mau menyerah, dengan sekuat tenaga dia berusaha bangkit kembali. Kini dia sudah berdiri dan langsung memasang kuda-kuda. Mengetahui itu, Bobby pun segera memasang kuda-kudanya. Tak lama kemudian, keduanya sudah kembali memainkan kembangan, mereka tampak berputar-putar mencari kelemahan lawan. Tanpa diduga, sang Lawan sudah menyerang, saat itu dia memukul lurus ke depan. Mengetahui itu, dengan segera Bobby berkelit ke samping, kemudian dengan perhitungan yang cermat, akhirnya pemuda itu berhasil menyusupkan sebuah pukulan keras dan telak mengenai rahang lawannya. Tak ayal, lawannya pun langsung terhuyung dan jatuh terlentang. Namun, kali ini dia tidak mampu bangkit kembali.
"Cukup!" suara wasit terdengar menyudahi pertarungan itu.
"Horeee… hebat, Bob!" puji salah satu temannya.
"Fantastis… luar biasa!" sorak-sorai teman sepadepokannya terdengar riuh menyambut kemenangan Bobby.
Sementara itu, lawan tanding Bobby yang bernama Rino tampak berusaha berdiri. Melihat itu, Bobby pun segera menghampiri. "Kau tidak apa-apa, Rin?" tanyanya khawatir seraya membantunya berdiri.
"Tidak apa-apa kok, cuma sakit sedikit," jawab Rino terus terang. "Kau hebat sekali, Bob," pujinya kemudian..
"Kau juga hebat, Rin," balas Bobby seraya tersenyum.
Setelah saling memberi hormat, keduanya lantas kembali ke tempat duduk masing-masing. Saat itu Bobby terlihat duduk di sebelah guru silatnya.
"Wah, kau benar-benar makin lihai saja, Bob!" puji sang Guru.
"Terima kasih, Guru. Lagi pula, semua itu kan berkat ketekunan Guru melatih saya," ujar Bobby merendah.
"O ya, Bob. Jangan lupa! Besok kau harus giat berlatih di rumah! Sebab, lusa aku sendiri yang akan menjadi lawan tandingmu."
"Tentu saja, Guru! Saya akan berusaha," kata Bobby bersemangat.
Kini sang Guru mengarahkan pandangannya ke yang lain. "Darma? Hengky? Sekarang giliran kalian!" serunya lantang.
Mendengar itu, keduanya segera menuju ke tengah arena. Setelah saling memberi hormat, keduanya tampak mulai memainkan kembangan. Kini pandangan Bobby terpaku menyaksikan pertarungan itu.
Di tempat terpisah, Sinta masih saja bergelut dengan buku catatannya. Hingga akhirnya, "Aha! Bagaimana kalau aku menggunakan magnet yang saling berlawanan? Caranya dengan menciptakan medan magnet di bawah mobil itu. Tapi… bagaimana caranya ya? Aduh, pusiiing." Sinta tampak menarik nafas panjang, kemudian dengan segera dia memandang ke langit-langit guna sejenak menikmati keindahan beberapa pesawat model yang dirakitnya sendiri.
Setelah pikirannya segar kembali, gadis itu mulai mencatat segala kemungkinan yang sekiranya bisa diterapkan pada penelitiannya kali ini. Saat itu, jarinya yang lentik tampak lincah menuliskan kata-kata yang berbau ilmu pengetahuan, dan dengan tulisan yang bak tulisan dokter, gadis itu terus membangun kalimat demi kalimat.
Usai menulis, pikiran gadis itu kembali menerawang—memikirkan berbagai kemungkinan yang baru saja terlintas. Saat itu, alisnya tampak kian merapat. Bersamaan dengan itu, tanpa sadar gigi putihnya mulai menggigit-gigit pena yang dipegangnya, dan dengan pena itu pula, sesekali dia tampak memukul-mukul pelan kepalanya yang kini mulai terasa pening.
Lama gadis itu berpikir, namun ketika dia baru mendapat ide yang cukup meyakinkan, tiba-tiba AC yang memberikan kesejukan mati dengan sendirinya. Seketika gadis itu menoleh, memperhatikan AC yang telah membuatnya begitu kecewa, "Aduh, kenapa lagi dengan AC itu? Padahal baru kemarin diperbaiki oleh Kak Haris. Huh! Dasar AC gak berkualitas," makinya agak kesal.
Kini kerongkongan Sinta mulai terasa kering, dan dengan segelas air dingin tentu dapat menyegarkannya kembali. Setelah meletakkan pena hitamnya, gadis itu segera melangkah ke dapur. Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan wajah yang tampak lebih segar. Namun baru saja dia hendak bersila, tiba-tiba "TING TONG. Assalam…!" terdengar suara bel rumah yang disusul dengan ucapan salam.
“Wa’alaikum…!” balas Sinta seraya buru-buru mengenakan cadarnya dan bergegas membukakan pintu.
“O… Kak Bobby. Kok tumben datang sendirian?”
“Iya Sin, aku baru pulang latihan. ”
“O ya, Kak. Maaf ya, kalau kali ini aku tidak mempersilakanmu masuk. Maklumlah, kakakku Haris lagi sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, kali ini dia tidak mungkin bisa menemaniku.
“Tidak apa-apa, Sin! Lagi pula, aku cuma sebentar kok. Seharusnya aku yang minta maaf karena sudah mengganggumu."
"Tidak kok! Eng… kalau boleh kutahu, sebenarnya ada keperluan apa, Kak?"
"Begini, Sin. Bukankah seminggu yang lalu kau pernah bilang, kalau kau ingin mencoba teknologi kolam air mengalir?"
"Itu memang betul, Kak! Namun, aku kesulitan untuk mencobanya. Aku kan tidak punya lahan untuk melakukan percobaan itu."
"Karena itulah aku datang kemari, aku mau memberitahumu sebuah kabar gembira."
"Kabar apa itu, Kak?" tanya Sinta penasaran.
"Aku bersedia jika halaman belakang rumahku dijadikan tempat uji cobamu,” jelas Bobby.
"Apa! Benarkah yang Kakak katakan itu?" tanya Sinta seakan tidak percaya.
Bobby mengangguk, senyumnya pun langsung mengembang lebar.
"Wah! Terima kasih, Kak! Kakak itu memang temanku yang paling baik," puji Sinta gembira.
"Kalau begitu, kau mau kan ke rumahku besok?"
"Besok…? Mengerjakan kolam itu?" tanya Sinta menggebu-gebu.
"Ya," jawab Bobby singkat.
"Wah, tentu saja aku mau. Tapi… aku tidak tahu, apakah besok kakakku Haris mau menemaniku."
"Eng… kalau begitu, biar aku saja yang bicara padanya!"
"Aku setuju, Kak! Kalau begitu, mari kuantar ke kamarnya. O ya, setelah itu tidak apa-apa kan jika aku langsung kembali ke ruang riset untuk melanjutkan pekerjaanku.”
Bobby tersenyum setuju.
“Eng, Kalau begitu. Yuk, Kak!" ajak Sinta seraya melangkah ke kamar kakaknya lebih dulu.
Sementara itu di kamar, sang Kakak yang bernama Haris tampak sedang duduk di sebuah kursi yang menghadap ke sebuah meja kecil. Saat itu dia sedang sibuk memperbaiki sebuah motherboard komputer yang rusak. Kedua tangannya tampak begitu trampil menyolder kabel-kabel yang digunakan sebagai jumper untuk menggantikan alur yang terputus.
Kini pemuda tampan yang berkacamata bulat itu tampak begitu serius mengamati rangkaian elektronika yang baru disoldernya. Ketika sedang serius-seriusnya mengamati, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketukan di pintu kamar. Seketika pemuda itu menoleh ke arah pintu. “Masuk saja, tidak dikunci!" serunya kepada orang yang mengetuk pintu.
Mendengar itu, orang yang mengetuk pintu segera memasuki ruangan. Sesosok tubuh tegap yang mengenakan T-shirt putih berstel jeans biru muda tampak berdiri di muka pintu, wajahnya yang tampan menyungging senyuman tipis.
"Hey, ternyata kamu Bob! Maaf ya! Tadi kupikir yang datang itu Sinta. Ayo, Bob! Silakan masuk! Emm… Tumben sore-sore begini kau datang kemari, pasti ada sesuatu yang penting," duga Haris seraya melanjutkan pekerjaannya.
Mendengar itu, Bobby segera mendekat. "Sorry ya, Har! Kalau aku mengganggumu. Eng… tampaknya kau masih sibuk sekali ya?” tanyanya kemudian.
"Tidak kok, kebetulan tinggal sedikit lagi," ujar Haris yang masih saja terlihat sibuk. "Emm… Memangnya ada perlu apa?" tanyanya kemudian.
"Aku mau minta bantuanmu, Har," kata Bobby seraya memperhatikan ujung solder yang dipegang Haris.
"Bantuan apa, Bob?" tanya Haris lagi sambil terus sibuk menyolder.
"Besok pagi, kau mau ya menemani Sinta ke rumahku!" pinta Bobby.
"Ke rumahmu… ngapain?" tanyanya dengan nada heran.
"Besok, aku dan Sinta mau membuat kolam ikan teknologi air mengalir. Kau mau kan, sekalian juga ikut membantu kami?"
"Kolam ikan teknologi air mengalir...? Apa itu, Bob?" tanya Haris bingung.
"Ya... kolam ikan yang airnya selalu mengalir."
"O, jadi air yang disirkulasikan menggunakan pompa air listrik. Begitu?"
"Tidak Har, buka begitu. Menurut Sinta, teknologi itu sama sekali tidak menggunakan pompa listrik, tapi menggunakan cara alami."
"Dengan teknik menimba menggunakan kincir angin maksudmu?" tanya Haris lagi.
"Bukan Har. Tapi dengan cara memompa air dengan menggunakan teknik Vacuum," jelas Bobby.
"O, jadi pompa air yang menggunakan kincir angin ya?."
"Bukan juga, Har."
"Lantas apa dong?"
"Gaya grafitasi, Har. Sinta mau menggunakan gaya grafitasi untuk mem-vacuum-nya"
"Apa, menggunakan gaya grafitasi? Eng… kalau boleh kutahu, teknisnya bagaimana, Bob?" tanya Haris penasaran.
"Wah, kalau ditanya teknisnya. Aku juga tidak tahu, soalnya aku benar-benar buta dengan ilmu fisika tingkat tinggi. Hmm… bagaimana kalau hal itu kau tanyakan langsung pada adikmu!"
"Oke deh, nanti akan kutanyakan.”
“O ya, Har? Ngomong-ngomong, bagaimana dengan permintaanku tadi?” tanya Bobby mengingatkan.
“Bob, demi kemajuan adikku, aku pasti mau menemaninya. Lagi pula, sebetulnya aku penasaran ingin mengetahui soal teknologi itu lebih jauh.”
"Benarkah? Kalau begitu, terima kasih, Har. Kau itu memang seorang Kakak yang pengertian.”
“Sudahlah, Bob! Bukankah hal itu memang sudah menjadi kewajibanku, yang mana kepercayaan kita tidak membenarkan jika seorang gadis pergi sendiri ke rumah pria yang bukan muhrimnya.
"Kau benar, Har. Oke deh… Kalau begitu, aku pulang sekarang saja," pamit Bobby.
"Oke, Bob. Sampai bertemu besok!"
"Yup, sampai bertemu besok! Assalam…"
“Waalaikum…” Balas Haris seraya mengantarkan Bobby hingga ke muka rumah.
Setibanya di tempat itu, Bobby langsung menunggangi sepeda motor dua silindernya dan segera memacunya pulang. Saat itu, suara mesinnya terdengar keras—menderu memecah keheningan senja.
Malam harinya, Sinta tampak sedang bersantai di sofa yang empuk sambil menonton acara Tafakur Channel—sebuah acara ilmu pengetahuan yang mengajak pemirsanya untuk lebih mengenal Tuhan. Ketika sedang asyik-asyiknya menyaksikan acara itu, tiba-tiba Haris sudah duduk di sebelahnya. Saat itu, Sinta tak terlalu menghiraukannya—dia masih saja asyik memperhatikan topik yang disuguhkan pada acara Tafakur Channel kali ini.
"Sin…” sapa Haris pada adiknya.
"Nanti saja ya, Kak. Aku lagi asyik menonton nih," kata Sinta kepada sang Kakak.
“Ya, sudah kalau begitu. Padahal aku mau membicarakan soal mau tidaknya aku menemanimu besok," kata Haris seraya beranjak bangun.
“Tunggu, Kak!” tahan Sinta tiba-tiba. “Maaf kan aku, Kak. Aku betul-betul tidak tahu. Eng… Ngomong-ngomong, apa benar Kakak mau menemaniku besok?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja. Kalau bukan aku, memangnya siapa lagi yang mau menemanimu.”
“Benarkah?” tanya Sinta seakan tak percaya, padahal dia tahu betul kalau kakaknya itu belakangan ini sedang sibuk sekali.
Mengetahui itu, Haris langsung mengangguk.
“Makasih ya, Kak. Kakak itu memang orang yang paling baik sedunia.”
“Kok cuma bilang terima kasih saja sih? Eng… bagaimana kalau sekarang kau buatkan aku segelas teh manis.”
“Huh, dasar... teh manis lagi... teh manis lagi...” kata Sinta terpaksa melangkahkan kakinya ke dapur guna menuruti permintaan sang Kakak. Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan membawa segelas teh untuk kakaknya. “Ini, Kak...” katanya seraya kembali duduk di tempatnya semula.
Kini kakak berandik itu tampak asyik menyaksikan acara Tafakur Chanel bersama. Keduanya tampak begitu antusias menyaksikan perihal sistem koloni lebah madu yang mengagumkan itu, yang mana memang sudah menjadi ketetapan Allah.
Sementara itu di tempat lain, di sebuah lokasi permukiman yang agak sepi, sebuah rumah besar tampak berdiri dengan megahnya. Halaman depannya tampak luas dan dipagari dengan tembok setinggi 2 meter. Gerbangnya terbuat dari jeruji besi berukir dengan ornamen dua buah relief mawar. Sedangkan halaman samping kiri, kanan, dan halaman belakangnya dibatasi dengan pagar tembok setinggi 3 meter.
Halaman depan merupakan taman yang cukup cantik dengan hamparan rumput jepang yang menghijau. Jika malam tiba, taman itu diterangi oleh empat buah lampu taman berwarna kuning dan biru. Pada bagian taman yang berdekatan dengan pagar depan dihiasi dengan pohon-pohon cemara, sedangkan pada bagian lain terdapat pohon-pohon hias yang tampak terawat dengan baik. Di bagian tengah taman itu terdapat tiga buah bola batu yang berhiaskan kaligrafi, dan ketiganya mempunyai ketinggian yang berbeda-beda.
Halaman samping kiri tampak ditanami beberapa pohon palem merah dan beberapa pohon cemara, sedangkan halaman samping kanannya hanya ditanami rumput dan bunga-bungaan, halaman itu dipakai sebagai jalan samping yang langsung menuju ke halaman belakang. Halaman belakang juga merupakan taman yang cukup luas, di situ ditanami beberapa pohon buah-buahan, dan juga bunga-bungaan. Sedang pada sudut kirinya berdiri sebuah gudang yang cukup besar.
Kini dari gudang itu, seorang pemuda tampan terlihat keluar dan langsung melangkah menuju beranda belakang. Beranda itu tampak nyaman, lantainya terbuat dari batu pualam yang tersusun rapi, sedangkan di sekelilingnya tampak berjajar bunga-bunga yang begitu indah. Kini pemuda itu sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu, kedua matanya tampak memperhatikan benda kenangan yang diambilnya dari dalam gudang—sebuah piala yang didapatkan saat mengikuti lomba ketangkasan ayah dan anak. Pemuda itu terus memperhatikan benda itu walaupun hanya dibantu cahaya lampu remang-remang. Kini keduanya matanya tampak mulai berkaca-kaca. Dialah Bobby yang sedang mengenang kembali akan masa lalunya, sebuah masa yang penuh cobaan dan akhirnya membawa dia ke rumah itu.
Pada masa yang telah lewat, ketika rumah itu baru selesai dibangun—ayahnya dilanda cobaan, perusahaannya mengalami kebangkrutan karena krisis. Hingga akhirnya, rumah mereka yang berlokasi di bilangan Menteng disita untuk melunasi hutang-hutang perusahaan. Pada saat itulah mereka pindah ke rumah baru itu. Namun baru satu minggu kepindahan mereka, ayahnya meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Waktu itu, sang Ayah cukup terpukul dengan peristiwa yang menimpanya, hingga akhirnya penyakit kencing manis dan darah tinggi yang sudah lama dideritanya menjadi semakin parah. Ibunya yang saat itu cuma sebagai ibu rumah tangga tidak bisa berbuat banyak, dia hanya pasrah menerima kenyataan itu. Jangankan untuk biaya pengobatan, untuk makan sehari-hari saja sudah semakin sulit.
Semenjak ayahnya meninggal, sang Ibu yang cuma lulusan S1 itu mulai berusaha mencari pekerjaan ke sana-ke mari. Dia terus berusaha dengan gigih agar bisa membesarkan Bobby yang saat itu masih berusia 12 tahun. Hingga pada akhirnya, dia diterima di salah satu perusahaan sebagai staff administrasi, dan itu semua berkat usaha dan doa-doanya yang tiada henti.
Ketika Bobby duduk di kelas III SMA, sang Ibu berjumpa dengan seorang teman lamanya. Teman lama ibunya itu menawarkan untuk bekerja di Malaysia. Setelah memikirkan dengan matang, akhirnya sang Ibu menerima tawaran itu. Bobby yang mengetahui rencana itu merasa berat, namun sebagai anak yang mengerti akan kondisi keluarga, akhirnya dia merelakannya juga.
Selama sang Ibu berada di Malaysia, Bobby menempati rumah itu bersama seorang pembantu yang sudah mengabdi sejak Bobby masih kecil. Semua kebutuhan Bobby saat itu, baik kuliah, makan, dan lain-lain diatur sebisanya. Dengan kata lain, Bobby harus bisa hidup mandiri. Bagi Bobby, semua itu tidaklah terlalu sulit. Karena selama kuliah, Ibunya sering mengirimkan uang dan terkadang juga datang untuk menemuinya.
Setelah lulus kuliah, Bobby mulai membuka usaha dengan modal yang dikumpulkan dari uang pemberian Ibunya. Hingga akhirnya, usahanya itu bisa berkembang dengan pesat dan menjadikannya seorang pengusaha yang sukses. Semua itu tak lepas dari kerja kerasnya dan juga doa yang selalu dipanjatkan. Kini Bobby sudah mempunyai beberapa orang anak buah yang ditugaskan untuk mengurusi perusahaannya itu.
Keesokan paginya, Bobby tampak sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk membuat kolam ikan. Kini dia sedang mengeluarkan peralatan yang akan digunakan untuk keperluan itu. Sambil menunggu Haris dan Sinta, Bobby mulai menandai lokasi yang akan digunakan. Saat itu dia menentukan lokasinya tepat di tengah-tengah halaman.
Baru saja dia selesai menandai, tiba-tiba terdengar bel rumah berbunyi. "Nah, itu pasti mereka!" duga Bobby seraya berlari ke muka rumah. Tak lama kemudian, dia sudah tiba di tempat itu. "Hai, Kalian!" sapanya kepada Haris dan Sinta yang dilihatnya sedang berdiri di depan pintu gerbang. "Bagaimana, apakah kalian sudah siap?" tanyanya seraya membuka pintu.
"Tentu saja," jawab Sinta bersemangat.
"Apa semua peralatannya sudah disiapkan?" tanya Haris menambahkan.
"Sudah kok," jawab Bobby singkat. "Eng… Kalau begitu, Yuk! Kita langsung ke belakang!" ajaknya kemudian.
Kini ketiganya tampak melangkah melewati jalan setapak di samping rumah. Setibanya di beranda belakang, Haris dan Sinta langsung terpaku memperhatikan sebuah seni kaligrafi ayat Al-Quran yang membentuk sebuah pohon. Entah kenapa, setiap kali melihat kaligrafi itu, mereka masih saja terkagum-kagum. Padahal, selama ini mereka sudah sering kali melihatnya.
"Silakan duduk Har!" tawar Bobby ramah. "Yuk Sin, ikut aku ke dapur!" ajaknya kemudian.
Mendengar itu, Sinta langsung mengikuti Bobby yang sudah melangkah lebih dulu. Sementara itu, Haris langsung duduk di kursi beranda seraya memperhatikan kembali kaligrafi yang masih membuatnya kagum. Tak lama kemudian, Bobby dan Sinta sudah tiba di dapur. Saat itu Bobby langsung membuka laci dan mengeluarkan beberapa makanan, selain itu dia juga mengeluarkan sebotol sirup rasa jeruk yang masih tampak penuh. Semuanya diletakkan di atas meja kecil. Pada saat itu, Sinta cuma terpaku memperhatikannya.
"Sin… ini makanan dan sirup untuk kita nanti. Kalau kau perlu apa-apa, ambil saja di laci ini!" jelas Bobby.
"Baik, Kak!" kata Sinta mengerti.
"Oke Sin, kalau begitu aku dan Haris akan melakukan penggalian sekarang, kuharap kau lekas menemui kami."
Sinta mengangguk, kemudian dengan segera dia bergerak—menyiapkan makanan dan minuman. Pada saat yang sama, Bobby tampak sudah kembali ke beranda. Setelah mengambil meteran yang tergeletak di atas meja, pemuda itu segera mengajak Haris menuju ke lokasi penggalian. Kini mereka sedang mengukur lokasi yang akan digali dan menandainya sesuai dengan desain kolam yang dibuat Sinta. Setelah pengukuran selesai, keduanya segera mengambil cangkul masing-masing. Bersamaan dengan itu, Sinta sudah selesai dengan tugasnya. Kini dia sedang menghampiri Bobby dan Haris yang dilihatnya sudah siap menggali. “Ini Kak, makanan dan minumannya,” katanya gadis itu seraya duduk di atas rumput dan meletakkan baki yang dibawanya ke atas rumput.
“Terima kasih, Sin,” ucap Bobby seraya mulai melakukan penggalian.
Haris yang saat itu sedang berdiri santai sambil bertopang tangan di gagang cangkul segera mengikutinya. "O ya, Bob. Ngomong-ngomong, berapa dalam kita akan menggali?" tanyanya kemudian.
"Sesuai dengan desainnya, kurang lebih setengah meter, Har," jawab Bobby.
Saat itu keduanya tampak terus menggali dengan penuh semangat. Sementara itu, Sinta tampak terus memandorinya sambil sesekali mengisi gelas yang mulai kosong. Semenjak awal penggalian, Bobby dan Haris sudah minum sampai empat kali. Maklumlah, cuaca pagi ini memang terasa cukup panas.
Bobby dan Haris masih terus menggali. Ketika kedalamannya sudah mencapai 45 cm, tiba-tiba KLONTANG! terdengar bunyi benturan dua buah benda logam yang cukup keras.
"Wah, sepertinya cangkulku mengenai sesuatu, Bob!" Seru Haris.
"Ya, suaranya seperti mengenai sebuah benda logam, jangan-jangan… itu harta karun peninggalan Jepang," kata Bobby seraya mendekati Haris yang sedang berusaha memperjelas benda yang mengenai cangkulnya.
"Ah, masa sih?" komentar Sinta seraya ikut mendekat.
"Kira-kira benda apa ya, Bob? Sepertinya cukup besar," tanya Haris penasaran.
"Kalau begitu. Ayo, kita gali lebih dalam!" ajak Bobby tak kalah penasaran.
"Benar, Kak! Dengan begitu kita bisa mengetahui, benda apa itu sebenarnya," timpal Sinta yang juga ikut penasaran.
Kini mereka mulai menggali lebih dalam, hingga akhirnya benda itu tampak benar-benar jelas terlihat. Benda itu terbuat dari logam anti karat. Bentuknya seperti kapsul dengan diameter kurang lebih 1.5m, dan tingginya mencapai 2.5m. Pada bagian bawahnya tampak seperti kaki penopang yang bisa membuat kapsul itu berdiri tegak.
"Wah, benda apa itu ya, Kak Bobby?" tanya Sinta heran.
"Entah... Aku juga tidak tahu," jawab Bobby bingung.
"Bob? Bagaimana jika benda ini kita bawa ke gudang! Dengan demikian, kita bisa menyelidikinya lebih seksama," saran Haris.
"Kalau begitu, mari kita kerjakan!" ajak Bobby bersemangat.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Setelah semuanya siap, mereka mulai mengerjakan pekerjaan yang tampaknya begitu menguras tenaga. Kini mereka sedang mengangkat benda itu dengan menggunakan katrol. Setelah berusaha keras, akhirnya mereka berhasil mengeluarkan benda itu dari lubang galian dan segera membawanya ke gudang dengan menggunakan lori.
Kini benda itu sudah diletakkan di tengah-tengah ruangan dan sedang diamati oleh ketiganya. Di bagian atas benda itu terdapat lempengan berupa sel solar yang dilindungi oleh kubah transparan, sedangkan di bagian sisinya terdapat bagian yang menyerupai pintu, dan di dekat bagian yang menyerupai pintu itu terdapat sebuah panel dengan dua buah tombol. "Mmm… tidak salah lagi, bagian yang ini jelas sebuah pintu. Lihatlah! Tombol di panel ini, ada tulisan OPEN. Kalau begitu, aku akan mencoba membukanya," kata Bobby.
"Jangan, Kak! Mungkin benda itu berbahaya. Sebaiknya kita laporkan saja kepada pihak berwajib," saran Sinta khawatir.
"Benar, Bob. Kita tidak perlu menanggung risiko dengan menyelidikinya lebih jauh. Biar aparat berwenang saja yang melakukannya," Haris sependapat.
"Kalian ini bagaimana, sih? Apakah kalian tidak penasaran untuk mengetahui isi benda ini?" tanya Bobby tak sependapat.
"Memang sih... aku juga penasaran, tapi aku tidak berani menanggung risikonya," jawab Haris.
"Baiklah… Bagaimana kalau besok saja kita putuskan? Kita selidiki lebih jauh, atau kita serahkan kepada pihak berwenang. Aku beri kesempatan kepada kalian untuk berpikir, apakah keputusan kalian itu memang sudah tepat?" saran Bobby.
"Oke, aku akan mempertimbangkan saranmu itu, Kak," kata Sinta setuju.
"Bagaimana denganmu, Har?" tanya Bobby.
"Baiklah... aku juga akan mempertimbangkannya," jawab Haris setuju.
"Nah... bagaimana kalau sekarang kita selesaikan pekerjaan yang tertunda tadi, setuju...!" ajak Bobby bersemangat.
"Setuju…" jawab Sinta dan Haris serempak.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah kembali ke tempat penggalian guna melanjutkan pembuatan kolam.
Malam harinya, selesai makan, Bobby tak henti-hentinya memikirkan benda yang ditemukannya siang tadi. Sungguh saat itu dia begitu penasaran ingin mengetahui isi benda misterius itu, bahkan di benaknya timbul berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Karena rasa penasaran yang amat sangat itulah, akhirnya Bobby pergi ke gudang untuk menyelidikinya lebih lanjut.
Setibanya di dalam gudang, Bobby langsung mengamati benda itu hampir ke setiap sisinya. Benda itu tampak begitu kotor, sisa tanah yang menempel membuatnya sulit mengamati. Menyadari itu, Bobby berupaya membersihkannya dengan menggunakan kain lap dan air sabun, hingga akhirnya benda itu benar-benar bersih dan bisa diamati dengan jelas. Pada sisi belakang, tepatnya di bagian bawah benda itu terdapat 3 baris tulisan yang berbunyi, "Cakra International Company, Transport Manufacturing, Teleporter Capsule Model No. TC001409."
"Hmm… apakah ini sebuah alat transportasi?" tanya Bobby seraya kembali melanjutkan penyelidikannya.
Kini pemuda itu sedang memperhatikan bagian atas benda itu dengan penuh seksama. “Hmm… tidak salah lagi, bagian atas benda ini memang pembangkit listrik tenaga surya. Jika begitu, berarti benda ini menggunakan sinar matahari sebagai sumber tenaganya," duga Bobby dalam hati.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya pemuda itu mengalihkan perhatiannya ke arah panel yang terdapat di pintu kapsul. Kini dia sedang mengamati lampu indikator yang dilihatnya masih dalam keadaan mati. "Hmm... apa mungkin jika kutekan tombol ‘Open’ ini akan membuatnya menyala?" tanya Bobby dalam hati.
Karena penasaran, Bobby pun segera menekan tombol itu. Setelah tombol itu ditekan, ternyata tidak terjadi apa-apa. Lantas Bobby pun mengulanginya sampai beberapa kali, dan ternyata masih juga tidak terjadi apa-apa. "Hmm… mungkin benda ini sudah rusak sehingga tidak bisa dioperasikan lagi," pikirnya.
Bobby terus melakukan penyelidikannya, sementara itu malam sudah tampak semakin larut. "Aaahhh...." Bobby menguap, rupanya dia sudah begitu lelah dan mulai mengantuk. "Hmm... sebaiknya penyelidikan ini aku lanjutkan besok pagi saja," gumam pemuda itu seraya menguap sekali lagi. Tak lama kemudian, dia sudah kembali ke rumah untuk beristirahat.