E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Topeng Kuning - Bagian 3

 TIGA
MESIN TRANSPORTASI DAN MESIN WAKTU



Setibanya di anjungan, Bobby segera berkomunikasi dengan Gita. Dia menanyakan perihal mesin transportasi yang berada di belakang tiga buah kursi kendali. Gita menyebutnya Mestrans I (Mesin Transportasi Satu), kegunaan mesin itu sama saja dengan mesin transportasi yang ada di ruang Kargo, hanya saja kapasitasnya jauh lebih kecil. Mestrans I berbeda dengan Kaptrans, mesin itu tidak menggunakan kapsul untuk mengendalikannya, tapi menggunakan seorang operator di pesawat yang bertugas menentukan lokasi pendaratan maupun lokasi peluncuran.
Setelah memahami Mestrans I, Bobby juga menanyakan perihal mesin waktu yang berada di ruang anjungan. Lokasinya persis di atas mesin Kaptrans. Untuk menuju ke mesin itu bisa melalui dua buah anak tangga yang melingkari mesin Kaptrans. Bentuk mesin itu mirip sekali dengan mesin Kaptrans, hanya saja bagian kapsulnya yang bernama Kapwak telah hilang setelah dulu dipakai melakukan evakuasi darurat. Kapwak terakhir yang seharusnya berada di mesin itu, kini sedang teronggok di ruang kargo lantaran Android yang waktu itu ditugaskan membawanya mengalami kerusakan. Saat itu Gita menjelaskan bagaimana kondisi mesin waktu itu. Sementara itu, Bobby, Haris, dan Sinta tampak mendengarkannya dengan penuh seksama, bahkan mata ketiganya hampir tak berkedip memperhatikan layar monitor yang sedang menampilkan cetak birunya. Sesekali, Haris dan Sinta juga ikut bertanya. Rupanya kakak beradik itu begitu penasaran ingin mengetahuinya lebih jauh, yaitu apakah mesin waktu itu masih bisa difungsikan atau tidak. Setelah mengetahui jawaban Gita, akhirnya mereka mulai membahasnya bersama.
"Sepertinya kita tidak dapat menggunakan mesin waktu itu," kata Haris membuka pembicaraan.
"Ya sepertinya memang begitu," kata Bobby menimpali.
"Kalian salah. Aku rasa kita bisa menggunakan mesin itu," kata Sinta serius.
"Apa maksudmu, Sin?" tanya Bobby penasaran.
"Iya, Sin? Bukankah Gita telah memberitahu, bahwa orang yang pergi dengan mesin itu tidak akan bisa kembali ke pesawat karena mesin itu merupakan mesin waktu satu arah. Bukankah mesin itu dirancang cuma untuk evakuasi darurat, sedangkan yang bisa menjelajah waktu dua arah hanyalah pesawat ini," jelas Haris panjang lebar.
"Kau benar, Kak. Tapi jangan lupa! Sebetulnya kita pun bisa menggunakan mesin itu secara dua arah asalkan kita bisa membuat sebuah Kapwak yang mempunyai tenaga cukup besar, dan dengan tenaga yang cukup besar itulah, Kapwak bisa kembali pulang dengan mengandalkan tenaganya sendiri, yaitu dengan cara diperasikan oleh penumpangnya,” kata Sinta menjelaskan kemungkinannya.
 "Tapi, bagaimana mungkin Kapwak bisa dikirim ke lokasi yang diinginkan, sedangkan gelombang radio jelas tidak mungkin bisa menembus dimensi waktu?” tanya Haris tiba-tiba, “Ketahuilah, Sin. Seperti halnya Kaptrans yang ketika menentukan koordinat pendaratan jelas sangat membutuhkan peran pesawat guna bisa mendapat sinyal lokasi yang berasal dari satelit galileo," lanjutnya kemudian.
"Haris benar, Sin. Masih ingatkah dengan cerita Gita? Waktu itu para awak pesawat ini saja harus meluncurkan satelit dulu sebelum mereka bisa menggunakan Kaptrans. Jadi, bagaimana mungkin Kapwak bisa menentukan koordinat lokasi tanpa mengandalkan satelit? Bisa-bisa, Kapwak malah akan di kirim di tengah laut," timpal Bobby.
"Jangan khawatir! Mengenai koordinat pendaratan itu sebetulnya mudah. Ketahuilah! Sebelum berangkat, Kapwak akan mencatat koordinat keberangkatan yang didapat dari satelit Galileo pada masa ini dan menyimpannya ke dalam memori data. Lalu setelah berada di tahun yang dituju, Kapwak akan menentukan koordinatnya berdasarkan hasil rekaman tadi. Dengan demikian, Kapwak bisa mendarat sesuai dengan lokasi yang kita inginkan. Aku rasa, Kapwak memang sudah dirancang seperti itu. Masih ingatkah kalian ketika para awak pesawat ini dievakuasi, bukahkah itu suatu bukti kalau Kapwak sudah dilengkapi dengan alat seperti itu. Nah, yang harus kita pikirkan sekarang adalah, bagaimana caranya agar Kapwak bisa mempunyai tenaga yang cukup besar," jelas Sinta panjang lebar.
"Benar juga, Sin. Tapi, apa mungkin kita bisa membuat Kapwak yang seperti itu?" tanya Haris ragu.
"Ya, para ilmuwan saja belum berhasil membuat Kapwak yang seperti itu," timpal Bobby meragukan.
"Kita pasti bisa, soalnya waktu itu aku sempat menangkap penjelasan Gita yang memang mengarah ke hal itu. Tapi sayangnya, saat ini aku benar-benar lupa," jelas Sinta seraya menatap ke arah monitor raksasa, "O ya,  Gita? Apakah kau mempunyai informasi yang kumaksudkan?" tanyanya kemudian.
"Ya, Sinta. Saya mempunyai informasi yang berhubungan dengan hal itu. Pada tahun 2025, para ilmuwan pernah melakukan percobaan untuk membuat Kapwak yang bisa pulang-pergi. Namun ketika melakukan percobaan, ternyata Kapwak tidak kembali lagi ke mesin induknya. Selidik punya selidik, ternyata hal itu disebabkan oleh kurangnya tenaga pada Kapwak. Itulah kendala yang mereka dialami, yaitu mengenai sumber tenaga yang belum bisa terpecahkan. Karenanyalah, pada masa itu Kapwak hanya bisa diluncurkan dari pesawat yang memang mempunyai tenaga cukup besar, namun jika diluncurkan dengan mengandalkan tenaganya sendiri sama sekali tidak dimungkinkan. Jika saja pada saat itu mereka masih mempunyai kristal inti pusat bumi, tentu masalah itu bisa dipecahkan dengan mudah," cerita Gita panjang lebar.
Sinta tampak berpangku tangan dengan alis yang kian merapat, rupanya dia sedang berpikir keras mengenai hal yang baru diceritakan Gita. Setelah agak lama berpikir, tiba-tiba gadis itu berdiri dari duduknya, kemudian memandang Haris dengan pandangan yang berbinar-binar.
"Aku ingat sekarang. Kristal itu! Ya… kristal itu, Kak," kata Sinta bersemangat.
"Kristal…? Kristal yang mana ?" tanya Haris dengan wajah sedikit bingung.
"Ingat tidak, Kak. Dengan kristal yang ada di ruang mesin? Ya, kita bisa menggunakan kristal itu untuk meningkatkan tenaga pada kapsul waktu," jelas Sinta bersemangat.
"Hebat… kau memang brilliant, Sin," puji Haris.
Saat itu Bobby tampak diam, dia betul-betul tidak mengerti akan maksud Sinta.
Sinta kembali duduk, kemudian dia melanjutkan kata-katanya, "Ya, bukankah pesawat ini sudah ada sebelum para ahli memikirkan pemecahan masalah tenaga untuk kapsul waktu. Aku yakin, sebenarnya pada waktu itu mereka juga berpikiran untuk menggunakan kristal itu. Namun karena kristal itu jumlahnya terbatas dan yang terkecil digunakan untuk pesawat ini, maka para ilmuwan lebih mementingkan kristal itu untuk pesawat dari pada untuk Kapwak. Nah, sekarang kan kristal itu sudah pecah, jadi kita bisa memanfaatkan sisa pecahannya untuk Kapwak," jelas Sinta dengan mata berbinar-binar.
Mengetahui itu, akhirnya Bobby baru mengerti, ternyata Sinta ingin menggunakan kristal yang ada di ruang mesin guna meningkatkan tenaga Kapwak. Sementara itu, Haris sedang memikirkan penjelasan Sinta barusan. "Ya, sebaiknya kita coba saja. Aku yakin Rolab bisa membentuk kembali kristal itu seperti yang ada di ruang mesin, walaupun ukurannya akan menjadi lebih kecil," kata Haris mengusulkan.
"Kenapa tidak dilebur saja seperti yang pernah aku lihat di TV?" tanya Bobby.
"Tidak bisa, Kak. Itu bukan kristal biasa. Kalaupun bisa, pasti akan merubah struktur molekulnya—bisa-bisa malah menjadi kristal biasa, " jelas Sinta.
"Benar, Sin. Jika kristal itu bisa dilebur, tentu pesawat ini sudah terbang dari dulu-dulu," timpal Haris.
"Mmm… kalau begitu, ayo kita segera menuju ke ruang mesin!" ajak Bobby bersemangat.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah melangkah menuju ke ruang mesin. Setelah mengambil kristal itu, mereka segera membawanya ke ruang laboratorium. Kini mereka sedang berembuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya, yaitu rencana membuat alat peningkat tenaga. Saat itu, Haris dan Sinta tampak begitu serius memikirkannya, sedangkan Bobby hanya menjadi pendengar saja. Ketika Haris dan Sinta masih serius dengan segala pemikirannya, tiba-tiba Bobby sudah bangkit dari duduknya. "Wah, sudah pukul tiga sore nih. Maaf ya, teman-teman! Aku tidak bisa menemani kalian. Soalnya, aku harus segera pulang untuk latihan silat," kata Bobby dengan sangat menyesal.
"Tidak apa-apa, Bob," kata Haris memaklumi.
"Ya, Kak. Kami mengerti kok," timpal Sinta.
Akhirnya Bobby segera meninggalkan kedua sahabatnya, saat itu dia tampak melangkah ke anjungan untuk menggunakan Kaptrans. Tak lama kemudian, alat transportasi itu sudah membawanya menuju gudang dengan begitu cepat. Kini Bobby sudah keluar dari benda itu dan segera menutupinya dengan sebuah terpal, kemudian dia segera melangkah ke kamar untuk berkemas-kemas.
Sementara itu di pesawat, Haris dan Sinta masih berada di ruang kerja laboratorium. Mereka sedang mempersiapkan perencanaan untuk membuat Alpenten (Alat peningkat tenaga, sebuah alat yang nantinya akan digunakan untuk meningkatkan tenaga pada Kapwak). Mereka cukup beruntung karena tidak perlu mendesain sirkuit utamanya. Sebab, sirkuit utama alat itu sudah ada cetak birunya. Saat ini, mereka tinggal membuat komponen pendukungnya saja. Selain itu, mereka juga akan membuat perencanaan untuk memodifikasi Kapwak agar bisa menggunakan alat baru yang sedang mereka rancang.
Kini Sinta tampak sibuk menggambar desain casing dan sistem mekaniknya. Sedangkan Haris tampak sibuk mendesain skema sirkuit pendukungnya. Keduanya tampak begitu giat bekerja di depan komputer masing-masing. Pada saat yang sama, Gita dan Rolab diminta untuk memberikan semua data yang diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan itu.

   

Hari demi hari terus berlalu, Haris dan Sinta masih sibuk mendesain kompenen pendukung untuk Alpenten dan pemodifikasian Kapwak. Sedangkan Bobby masih giat berlatih silat di padepokannya, selain itu dia juga sibuk berlatih menggunakan kostum bertopeng kuning di dalam ruang latihan—di pesawat. Semua fasilitas yang ada pada kostum tersebut dicobanya satu per satu. Sistem pertahanan, sistem penyerangan dan lain-lain. Semua gerakannya direkam oleh mesin pemantau untuk dianalisa. Kini dia sudah hampir mengusai semua kemampuan kostum itu.   
 
Seminggu kemudian, Haris dan Sinta telah menyelesaikan cetak biru komponen pendukung. Kini Bobby, Haris, dan Sinta mulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk merangkai Alpenten. Dengan bantuan Rolab dan informasi dari Gita, akhirnya mereka berhasil mengumpulkan segala yang diperlukan untuk membuat alat itu.
 "Kak? Sekarang aku dan Kak Bobby akan membuat casing untuk alat itu," pamit Sinta.
"Oke, Sin. Aku dan Rolab akan segera merangkai sirkuit utamanya," jelas Haris.
Bobby dan Sinta segera menuju ke mesin pemotong, sedangkan Haris mulai merangkai sirkuit utama Alpenten. Haris bekerja dengan penuh semangat, dia merangkai komponen demi komponen pada sebuah papan sirkuit utama yang sudah dipersiapkan. Di dekat mesin pemotong, Bobby dan Sinta sedang menggambar pola casing pada sebuah pelat besi. Setelah gambar itu selesai dibuat, Bobby segera memotongnya mengikuti pola tersebut, kemudian dengan sebuah mesin press dia mulai membuat lekukan-lekukan yang sesuai dengan desain casing-nya. Sinta tampak mengawasi pekerjaan yang dilakukan Bobby. Sesekali dia memberikan petunjuk kepada Bobby yang mengalami kesulitan.
Sementara itu, Haris masih sibuk dengan pekerjaannya. Setelah selesai mengerjakan perakitan sebuah blok sirkuit, Haris segera mengujinya dengan sebuah alat khusus. Bila blok yang baru dirakit berfungsi dengan baik, dia segera melanjutkan ke blok berikutnya. Sesekali Sinta menemui Haris untuk melihat perkembangan perakitan sirkuit utama. Beberapa jam kemudian, Bobby dan Sinta tampak menghampiri Haris yang masih sibuk merakit. Saat itu Bobby berpamitan untuk latihan silat ke padepokan, sedangkan Sinta duduk di sebelah Haris.
"Bagaimana, Kak? Apakah masalah pada blok penguat sudah terpecahkan?" tanya Sinta.
"Belum, Sin. Aku masih bingung. Transistor-4 dan kapasitor-6 yang dipasang selalu terbakar," jelas Haris.
"Hmm… Apakah tidak ada cara lain untuk mengatasinya?" tanya Sinta.
"Aku juga belum tahu, Sin. Sekarang pun aku masih memikirkannya," jawab Haris.
Sinta hanya terdiam memperhatikan Haris yang saat itu sedang pusing memikirkan masalah pada blok penguat. Haris tidak habis pikir, kenapa transistor dan kapasitor itu selalu terbakar. Padahal Semua hitungan sudah benar, bahkan dalam perakitannya tidak ada kesalahan sedikit pun.
"O ya, bagaimana kalau kita meminta bantuan Rolab? Bukankah dia bisa menunjukkan cetak birunya dalam bentuk tampilan 3D," saran Sinta.
Haris pun setuju dengan saran Sinta, lalu dengan segera dia meminta bantuan Rolab untuk menampilkan kembali skema sirkuit Alpenten. Tak lama kemudian, tampilan skema 3D hologram tampak keluar dari dahi Rolab. Saat itu Haris tampak memperhatikannya dengan penuh seksama. Bahkan dia meminta Rolab untuk memutar skema dan memperbesarnya di bagian tertentu. Hampir setengah jam Haris mempelajari kembali skema itu, hingga akhirnya dia menemukan kesalahannya.
"Aha! Kini aku mengerti," kata Haris lega.
"Benarkah?" tanya Sinta ragu.
"Benar, Sin. Para ilmuwan itu memang pintar. Mereka mencoba memproteksi sirkuit ini dengan menghilangkan sebuah alur yang penting. Bila arus dari gerbang C1 mengalir menuju transistor-4, seharusnya gerbang C2 yang menuju ke kaki basis transistor-1 dalam keadaan low bukannya high. Arus dari kapasitor-2 yang seharusnya belum dikeluarkan sudah dikeluarkan. Akibatnya transistor-4 kelebihan beban. Karena transistor-4 terbakar, maka kapasitor-6 yang menampung arus akan kelebihan beban, hingga akhirnya akan terbakar pula. Untuk mengatasi masalah itu, jelas aku harus membuat gerbang C2 dalam keadaan low dengan cara mengaktifkan gerbang C4, caranya dengan membuat sebuah jumper dari kaki emitor transistor-3 ke gerbang C4 pada Chip yang ini," jelas Haris sambil menunjukkan sebuah chip pada tampilan skema.
"O… begitu?" Sinta tampak mengangguk-anggukkan kepala. "Wah, aku betul-betul tidak mengerti dengan apa yang dikatakan kakakku barusan," katanya dalam hati.
"Terima kasih, Rolab," kata Haris seraya melanjutkan pekerjaannya.
Kini Haris sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya, sementara itu Sinta masih terus menemaninya, sesekali dia mengambilkan minum untuk kakaknya yang kehausan.

   

Esok harinya, di halaman belakang sebuah rumah megah, terlihat kolam ikan yang airnya terus mengalir. Di dalamnya tampak beberapa ikan koi dan ikan mas koki yang tampak begitu sehat, berenang hilir mudik—memamerkan keindahan warnanya yang begitu cerah. Itulah kolam ikan milik Bobby yang menggunakan teknologi air mengalir temuan Sinta. Tak jauh dari kolam itu, Bobby tampak sedang giat berlatih silat—mengulang kembali berbagai jurus yang pernah dipelajarinya. Kini pemuda itu siap melatih kekuatan tendangan dan pukulannya mautnya, saat itu dia tampak berkonsentrasi penuh guna menghancurkan kendi-kendi yang tergantung berjajar pada sebatang bambu. Tak lama kemudian, dia sudah melompat dan langsung menendang sebuah kendi hingga hancur berkeping-keping. Setelah itu, dia pun memukul sebuah kendi yang berada di sebelahnya. Tak ayal, kendi itu pun langsung hancur berkeping-keping. Sampai akhirnya, semua kendi yang berjumlah 10 buah hancur tak berbentuk.
Kini pemuda itu tampak melangkah menghampiri dua tumpuk ubin pualam. Setelah berkonsentrasi penuh, lantas dengan segera dia memukulnya hingga terbelah dua, kemudian disusul dengan menendang ubin pualam yang berada di sebelahnya. Tak ayal, ubin pualam itu pun terbelah dua. Saat itu Bobby cukup puas dengan hasil latihannya, kemudian dengan segera dia melangkah ke beranda untuk bermeditasi. Sementara itu di dalam pesawat, Haris dan Sinta masih mengerjakan perakitan sirkuit penambah tenaga. Kini tahap pengerjaan sudah sampai di bagian blok out-put.
"Nah… tinggal satu komponen lagi," kata Haris seraya menyolder sebuah komponen. "Selesai sudah!" katanya lagi dengan wajah yang begitu senang.
"Coba diuji, Kak!" pinta Sinta
Haris pun segera menguji sirkuit penambah tenaga dengan menggunakan sebuah alat khusus. Tak lama kemudian, "Oke, Sin. Hasilnya bagus," kata Haris seraya mematikan alat pengujinya.
"Kalau begitu, ayo kita segera merakitnya pada casing yang telah kubuat itu, Kak!" ajak Sinta.
"Sebaiknya jangan sekarang, Sin. Bagaimana kalau nanti malam saja? Lebih baik sekarang kita istirahat dulu! Lagi pula, kau itu kan harus segera pulang. Kalau tidak, ayah dan ibu pasti akan mencari. O ya, malam ini kan aku akan menginap di pesawat ini. Jangan lupa, bilang pada ayah dan ibu kalau hari ini aku akan menginap bersama Bobby."
"Baiklah, Kak. Kalau begitu, ayo kita segera hubungi Bobby agar segera menjemputku dengan Kaptrans!” ajak Sinta seraya bangkit dari duduknya.
"Kali ini kita tidak akan menggunakan Kaptrans, Sin,” jelas Haris seraya ikut bangkit dari tempat duduknya. "Nah, sekarang ikut aku ke Mestrans I agar aku bisa langsung mengirimmu pulang," sambungnya kemudian.
"Tapi, Kak. Aku masih ragu menggunakan mesin itu. Selama ini kan kita biasa menggunakan Kaptrans," kata Sinta khawatir.
"Tenang, Sin. Alat itu aman kok, soalnya aku sudah sempat mengujinya bersama Rolab," jelas Haris.
"Terus... bagaimana kalau Kakak salah menentukan koordinat. Bisa-bisa aku malah dikirim ke tengah laut."
"Tenang saja, Sin. Kebetulan kemarin aku sudah merekam koordinat kamarmu. Itu loh, ketika kau menghubungiku dengan Alkom saat di kamar."
"Benarkah! Aku tidak menyangka, sempat-sempatnya Kakak merekam koordinat kamarku," kata Sinta seakan tidak percaya.
"Tentu saja. Aku pikir, mau tidak mau kita harus menggunakan mesin itu. Bukankah merepotkan sekali kalau setiap mau pulang harus menunggu Bobby dulu. Apalagi jika Bobby sedang tidak di rumah, bisa lama sekali kita menunggu dia. Karena itulah, aku segera merekam koordinat kamarmu agar kau bisa pulang langsung ke kamar tanpa sepengetahuan ayah dan ibu," jelas Haris panjang lebar.     
"Wah, kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga, Kak! Kita memang tidak mungkin mengandalkan Kaptrans saja. Kalau begitu, ayo kita coba!" ajak Sinta bersemangat.
Lantas, mereka pun segera melangkah menuju ke anjungan. Setibanya di tempat itu, Sinta segera berdiri di tengah-tengah Mestrans I. Sementara itu, Haris tampak mengoperasikannya dengan hati-hati, dan setelah dia menekan tombol eksekusinya, tiba-tiba Sinta sudah lenyap dari pandangan.
Dalam hitungan detik, Sinta sudah berada di kamarnya sendiri. Saat itu dia benar-benar takjub dibuatnya, "Luar biasa… aku bisa pulang ke rumah secepat ini," katanya dalam hati.
Sementara itu di pesawat, Haris tampak melangkah menuju kamar mandi yang ada di ruang kehidupan. Rupanya pemuda itu sudah begitu lelah dan ingin berendam di air hangat guna mengendurkan otot-ototnya yang terasa kaku. Sambil memikirkan pekerjaannya yang belum selesai, Haris terus berendam dengan berbalut basahan, sesekali dia tampak memijat bagian tubuhnya yang terasa pegal. Saat yang sama di anjungan, Bobby baru saja tiba dengan menggunakan Kaptrans. Setelah tahu Haris sedang mandi, akhirnya dia duduk menunggu dia ruang santai sambil menonton TV. Rupanya malam ini pun dia berniat menginap di pesawat bersama Haris.
Sekitar pukul tujuh malam, Alkom Haris berbunyi, rupanya saat itu Sinta meminta segera dijemput. Mengetahui itu, Haris pun segera melangkah menuju anjungan. Tak lama kemudian, pemuda itu sudah berada di anjungan dan langsung mengoperasikan Mestrans I. Saat itu kedua tangannya tampak lincah menekan tombol-tombol yang ada. Setelah tombol eksekusi ditekan, tiba-tiba Sinta sudah berada di tengah Mestrans I. Saat itu di tangan kanannya terlihat rantang yang berisi makanan, dan di tangan kirinya terlihat kantung plastik yang berisi beberapa keperluan untuk bersih-bersih. Setelah meletakkan barang-barang itu pada tempatnya, akhirnya Sinta segera bergabung dengan kedua pemuda yang sudah menunggunya di ruang makan. Kini ketiganya sedang menikmati santap malam sambil berbincang-bincang mengenai Alpenten. "Kak? Kapan kira-kira alat itu selesai?" tanya Sinta.
"Mmm… kalau tidak ada hambatan mungkin akan selesai tengah malam nanti," jelas Haris.
"Kau ikut menginap saja, Sin!" saran Bobby.
"Tidak, ah! Soalnya aku yakin kalau ayah dan ibu pasti tidak akan mengizinkan," tolak Sinta.
"Jangan khawatir! Nanti aku akan menelepon mereka untuk memberikan alasan. Aku jamin deh, mereka akan mengijinkanmu menginap malam ini. Bukankah ada Kakakmu yang menemani," kata Bobby sungguh-sungguh.
"Jangan, Bob!” Larang Haris tiba-tiba. ”Ketahuilah! Ayah dan ibuku pasti akan curiga kalau Sinta ikut menginap. Sinta itu kan perempuan, tentu orang tua kami akan bertanya-tanya jika Sinta sampai ikut menginap. Lain halnya dengan aku yang laki-laki, yang selama ini memang bebas untuk bisa menginap di mana saja," jelas pemuda itu merasa khawatir.
"Betul juga, Har. Jika mereka sampai menanyakannya, bisa-bisa rahasia kita terbongkar lantaran Sinta takut berbohong,“ kata Bobby membenarkan.
Tak lama kemudian, mereka sudah selesai menikmati santap malam, saat itu mereka masih berbincang-bincang sambil menurunkan makanan yang baru saja masuk ke perut. Beberapa menit kemudian, ketiganya tampak sibuk membereskan meja makan. Setelah itu, mereka segera menuju ke ruang kerja di laboratorium. Di tempat itu, Haris tampak mulai melanjutkan pekerjaannya dengan ditemani oleh Bobby dan Sinta. Saat itu dia tampak begitu berhati-hati dalam merakit Alpenten, sebab jika salah sedikit saja tentu bisa menyebabkannya terbakar.  
Menjelang pukul sembilan malam, Sinta pamit pulang. Pada saat itu, Bobby langsung mengantarkannya dengan Mestrans I. Kini pemuda itu sudah kembali ke ruang kerja untuk menemani Haris. "Kenapa, Har?" tanyanya ketika melihat Haris tampak termenung sambil memandangi sirkuit yang ada dihadapannya.
"Entahlah… sebuah port yang menghubungkannya dengan perangkat lunak tidak berfungsi," jawab Haris yang lagi-lagi mengalami kesulitan, kemudian dia segera meminta bantuan Rolab untuk memperlihatkan skema sirkuit utama.
Tak lama kemudian, Rolab pun sudah menampilkannya dengan 3D visual hologram. Setelah itu Haris tampak mempelajarinya dengan seksama. Setelah lama berpikir, akhirnya Haris menemukan kesalahannya. "Mmm… lagi-lagi mereka telah mengecohku, namun kali dengan cara menukar alur yang penting. Sebab tidak mungkin pin-4 pada port ini dihubungkan dengan gerbang C-8 pada chip yang ini, begitu pun dengan pin-6 pada port ini, tidak mungkin dihubungkan dengan gerbang C-2 pada chip yang ini," kata Haris sambil menunjukkannya kepada Bobby.
Saat itu Bobby sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Haris, namun karena merasa tidak enak, dia pun berusaha untuk mengangguk-angguk sambil terus mendengarkan penjelasan Haris.
 Setelah memperbaiki kesalahan itu, Haris pun segera melanjutkan pekerjaannya. Sementara itu, Bobby masih terus setia menemaninya, bahkan dia selalu siap menyediakan apapun yang Haris butuhkan. Menjelang pukul 2 pagi pekerjaan perakitan Alpenten telah selesai. Kini mereka sedang berkemas-kemas untuk beristirahat di kamar yang berada di ruang kehidupan.


 
Sekitar pukul sembilan pagi terdengar panggilan dari Sinta yang minta dijemput, dia akan datang membawakan sarapan untuk Bobby dan kakaknya. Haris yang menerima panggilan itu segera menuju ke anjungan.
Sementara itu, Bobby yang baru saja mandi sedang sibuk membongkar Rolab di ruang pemantau. Saat itu Pemuda itu tampak sudah melepas semua bagian yang menjadi penutup sistem hidrolik dan langsung mengamatinya dengan penuh seksama.
Di ruang makan pada ruang kehidupan, Haris dan Sinta baru saja tiba.
"Kak Bobby mana, Kak?" tanya Sinta seraya meletakkan makanan di atas meja.
"Mmm… mungkin di ruang pemantau. Semalam dia bilang mau membongkar Rolab," jawab Haris seraya mengaktifkan pemasak air otomatis.
"Untuk apa sih dia pakai bongkar-bongkar Rolab segala? Kayak orang yang mengerti saja," kata Sinta mengejek.
"Biarkan saja, Sin! Mungkin dia mau tahu tentang teknologi robot," ujar Haris seraya tersenyum.
"Hmm... kalau begitu, aku ke sana dulu ya, Kak."  
"Oke, Sin? Setelah mandi aku menyusul!" kata Haris seraya melangkah pergi. Pada saat yang sama, Sinta tampak melangkah ke ruang pemantau. Setibanya di tempat itu, dia langsung menyapa Bobby yang masih saja sibuk mengamati Rolab. Sementara itu, Bobby hanya tersenyum menyambut kedatangannya, kemudian dia kembali sibuk mengamati Rolab dengan sangat serius. Bobby yang sok mengerti mengenai teknologi robot tampak garuk-garuk kepala.
"Bagaimana, Kak? Sudah tahu apa kerusakannya?" tanya Sinta.
"Boro-boro tahu kerusakannya. Setelah sekian lama mengamati kabel-kabel dan selang-selang yang semerawut ini, kini kepalaku malah menjadi pusing," jawab Bobby.
"Hihihi… makanya, kalau tidak mengerti jangan sok mengerti! Mana penutupnya dibongkar semua lagi… Kak, kamu itu kan tahunya cuma pertanian dan peternakan. Lebih baik kamu menanam bunga di pot untuk keindahan pesawat ini," canda Sinta mengejek.
"Grrr… kau tuh, ya! Memangnya tidak boleh apa kalau aku tahu sedikit soal robot," kata Bobby geram sambil melotot pada Sinta.
"Boleh, boleh… begitu saja kok diambil hati," kata Sinta yang melihat wajah Bobby tampak kesal.
"Kau sih, mentang-mentang pintar mekanik dan kelistrikan, merendahkan aku yang cuma tahu soal pertanian dan peternakan," kata Bobby seraya meredupkan pandangannya.
"Maaf deh kalau kamu merasa direndahkan," kata Sinta seraya menatap Bobby dengan tatapan menyesal.
"Kau saja, kalau disuruh menanam pohon bunga, mati melulu," ejek Bobby.
"Iya, iya… aku kan sudah mengaku salah! Kenapa sih kamu masih memperpanjangnya?" keluh Sinta seakan mau menangis.
"Dasar cengeng. Baru dibilang begitu saja sudah mau menangis," canda Bobby
"Bobby! Kamu tuh ya…" kata Sinta seraya mencubit lengan Bobby.
"Aduh… aduh…! Sudah, Sin! Sakit tahu." Bobby tampak meringis seraya mengusap-usap lengannya yang terasa sakit, kemudian dia segera membalas cubitan itu.
Sinta pun meringis kesakitan, "Jahat kamu, Kak. Sakit, nih!" keluhnya dengan mata melotot.
Haris yang kebetulan melihat mereka langsung berkomentar, "Waduh… waduh…! Baru ditinggal berduaan sebentar, eh sudah berani cubit-cubitan. Bagaimana kalau aku tinggal lama, bisa-bisa…" Haris tidak melanjutkan kata-katanya.
"Bisa-bisa apa, Kak? Huh, kamu kan tidak tahu permasalahannya," kata Sinta dengan mata sedikit melotot.
"Iya, Dik Sinta yang maniiiis. Jangan galak gitu, dong! Aku kan memang tidak tahu permasalahannya.“
"Maaf ya, Har. Kalau aku sudah berbuat lancang pada adikmu. Sungguh apa yang kau lihat itu tidak seperti kelihatannya," jelas Bobby.
“Sudahlah, Bob! Lupakan saja. Aku percaya kok. O ya, kalau begitu… ayo kita sarapan sekarang!" ajak Haris seraya tersenyum, .
"Ayo, Har. Aku juga sudah lapar sekali nih," kata Bobby bersemangat.
Lantas, dengan segera mereka bergerak ke ruang makan. Setibanya di ruangan itu, mereka langsung duduk bersama. Saat itu Sinta duduk di sebelah Bobby, sedangkan Haris duduk di seberang meja.
"Ayo dimakan dong, Sin!" kata Bobby yang melihat Sinta tidak ikut makan.
"Aku sudah sarapan di rumah," kata gadis itu menolak.
"Ayolah, Sin! Makan lagi saja, biar tambah gemuk," sindir Haris yang belakangan ini melihat pipi Sinta sedikit tembam.
"Kak Haris memperhatikan, saja! Memangnya aku agak gemuk ya?" tanya Sinta tidak percaya diri.
"Tidak gemuk kok. Cuma sedikit mekar," kata Haris memberi tahu.
"O, jadi sekarang Sinta tambah gemuk ya,” komentar Bobby yang selama ini memang tidak bisa melihat tubuh Sinta lantaran tertutup gaun kurung bercadar. “Eh, Sin. Aku yakin, kau pasti tetap gemuk walaupun cantik. Eh, kau pasti tetap cantik walaupun gemuk. Tapi ngomong-ngomong, apa yang dikatakan Haris tadi ada betulnya juga. Mulanya sih memang sedikit mekar, lantas setelah itu pasti akan seperti…” Bobby tidak melanjutkan kata-katanya.
“Seperti apa? Ayo coba bilang!” desak Sinta dengan mata melotot.
“Tidak ah, aku tidak mau bilang.”
“Baiklah, kalau begitu rasakan ini,” kata Sinta seraya mencubit lengan Bobby.
"Aduh, sakit tahu. Lihatlah, Har! Beginilah adikmu itu," kata Bobby seraya mengusap-usap lengannya yang terasa panas.  
"Hihihi, sukurin! Habis kamu tidak mau bilang," tawa Sinta puas.
Sementara itu, Haris cuma bisa geleng-geleng kepala. Sungguh saat itu dia bisa merasakan sesuatu yang spesial di antara keduanya. Selesai sarapan, mereka segera kembali ke ruang pemantau. Di ruangan itu Haris dan Sinta mulai menganalisa kerusakan Rolab, sedangkan Bobby hanya memperhatikan saja. Saat itu Haris tampak begitu serius memeriksa sistem elektroniknya, sedangkan Sinta tampak begitu serius menganalisa sistem mekaniknya.
Hingga akhirnya, Sinta menemukan kerusakan pada unit master minyak hidrolik, sedangkan Haris menemukan kerusakan pada sirkuit penggerak pompa hidrolik. Setelah kerusakan berhasil diketahui, mereka pun mulai melakukan perbaikan di ruang kerja Laboratorium. Saat itu Haris memperbaiki sirkuit yang mengalami kerusakan dengan mengganti beberapa komponen yang terbakar, sedangkan Bobby tampak membantu Sinta yang sedang kesulitan guna memperbaiki unit master minyak hidrolik.
Setelah melakukan perbaikan, akhirnya Rolab diminta untuk bersandar pada mesin penunjang kehidupannya. Saat itu semua sistem mekaniknya segera diperiksa, bersamaan dengan itu di layar monitor terpampang status kedua lengan Rolab yang sudah berfungsi sebagaimanamestinya. Setelah pemeriksaan selesai, Rolab diminta untuk membentuk kristal sesuai dengan bentuk semula.
Kini Rolab mulai membentuk ulang kristal itu. Rolab membentuknya dengan cara menggrinda kristal dengan menggunakan grinda serbuk intan yang berputar dengan kecepatan tinggi hingga berbentuk persegi enam. Setelah kristal terbentuk, Rolab segera mengamplasnya dengan menggunakan amplas serbuk intan yang juga berputar dengan kecepatan tinggi.
Kini kristal itu tampak sudah mulai mengkilat. Selanjutnya kristal itu diamplas dengan amplas intan hingga akhirnya betul-betul mengkilat. Tak lama kemudian, kristal yang baru dibentuk itu pun siap digunakan. Sementara itu Sinta sedang sibuk membuat pola komponen sesuai dengan cetak biru yang sudah dibuatnya. Sedangkan Bobby dan Haris tampak sibuk mempersiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan.

   

Dua hari kemudian, mereka mulai mengerjakan pemodifikasian Kapwak. Rolab diminta untuk mengambil Kapwak di ruang kargo. Lalu dengan segera android itu bergerak untuk mengangkat dan membawanya ke ruang kerja di laboratorium. Setelah itu, dia diminta untuk melakukan pekerjaan pengelasan dan penambahan pada bagian tertentu guna memodifikasi Kapwak. Setelah pemodifikasian selesai, Haris dan Bobby mulai memasang alat peningkat tenaga yang telah mereka buat. Alpenten itu dihubungkan dengan sumber tenaga utamanya dan juga dihubungkan dengan komputer utama yang ada di Kapwak. Setelah Alpenten terpasang, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan kristal yang sudah terbentuk tadi di antara Alpenten dan sumber tenaga utamanya. Setelah semuanya terpasang sempurna, Rolab diminta untuk membawanya ke mesin induk dan meletakkannya di tempat itu.
Kini tahap awal pengujian mesin waktu. Kapwak yang baru dimodifikasi merupakan alat transportasi dua arah yang berguna untuk melewati lorong waktu di lubang hitam. Karena bersifat dua arah, Kapwak diharapkan bisa pulang-pergi ke pesawat sesuai rencana.
Hari sudah menjelang sore. Pada saat yang sama, Bobby tampak pamit untuk pergi ke padepokannya. Sementara itu, Haris dan Sinta masih tetap di dalam pesawat, mereka ingin menguji kelayakan Kapwak, yaitu dengan melakukan pengujian tanpa penumpang.

 

Sore harinya, di sebuah kamar mandi yang bersih dan bagus, terlihat seorang gadis tampak mengenakan basahan sambil berendam menikmati aroma terapi. Dialah Sinta yang baru saja kembali dari pesawat guna melepas lelah. Saat itu dia tampak begitu santai, menikmati kenyamanan air hangat yang berbuih. Selain itu, suasana kamar mandi itu pun terasa begitu nyaman. Dinding dan lantainya tampak dihiasi dengan keramik Italia berkualitas tinggi, sedangkan warnanya yang lembut semakin menambah keindahan ruangan itu. Pada saat yang sama, di dalam pesawat, tepatnya di ruang kerja pada Laboratorium, Haris terlihat sibuk memperbaiki sebuah sirkuit yang diambilnya dari Kapwak.
Menjelang sore tadi, Kapwak telah diuji coba untuk dipindahkan lima menit ke masa depan, tepatnya di belakang rumah Bobby, dan ternyata benda itu berhasil muncul di lokasi yang ditentukan lima menit setelah peluncuran. Haris dan Sinta sangat senang dengan prestasi itu. Hingga akhirnya Haris semakin bersemangat untuk melakukan pengujian tahap selanjutnya. Saat itu dia langsung mengoperasikan Kapwak untuk kembali ke pesawat lima menit ke masa depan, dan ternyata benda itu berhasil kembali bersandar di pesawat lima menit kemudian. Lagi-lagi Haris dan Sinta begitu senang dengan prestasi itu, namun kesenangan mereka mendadak lenyap ketika mengetahui Kapwak mengalami kerusakan, saat itu pintunya tidak bisa terbuka secara otomatis. Begitu diselidiki, ternyata kerusakan hanya pada sirkuit sistem mekaniknya. Mengetahui itu, keduanya pun merasa lega kembali.
Kini Haris tampak membolak-balik sirkuit yang baru saja disoldernya, dia mengamatinya dengan begitu teliti. Tanpa sengaja, tiba-tiba tangannya terkena ujung solder yang panas, saat itu kulitnya yang hitam manis langsung melepuh dibuatnya. Lalu dengan segera pemuda itu berlari ke ruang medis. Sesampainya di ruangan itu, dia kebingungan mencari kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan). Karena tidak menemukannya, dia pun segera memanggil Rolab yang berada di ruang pemantau dan menanyakan perihal kotak tersebut. Rolab memberitahukan bahwa di pesawat itu tidak ada kotak P3K, yang ada adalah APCR (Alat Penyembuh Cidera Ringan). APCR adalah sebuah alat penyembuh yang bentuknya seperti telepon genggam, namun sayangnya pada saat ini semua alat itu dalam keadaan tidak aktif lantaran tenaganya tidak pernah diisi ulang.  
Mengetahui itu Haris tampak panik, sedangkan rasa sakit akibat luka bakar terus berdenyut-denyut. Untunglah saat itu dia tidak kehabisan akal. Lantas dengan segera pemuda itu pergi ke kamar mandi dan mengambil sebuah pasta gigi, kemudian dengan perlahan langsung mengoleskannya ke bagian kulit yang terbakar seraya meniup-niupnya perlahan. Kini Haris merasakan rasa dingin di bagian kulitnya yang terbakar, kemudian dengan serta-merta rasa sakit yang dirasakannya pun mulai berkurang. Sekarang dia sudah benar-benar lega, lantas dengan penuh semangat dia segera kembali ke ruang kerja untuk melanjutkan pekerjaannya.

   

Menjelang malam, Bobby datang menemui Haris. Dia memberitahu bahwa malam ini dia tidak mungkin bisa menginap. Sebab, anak buahnya yang dipercaya mengelola usaha tanaman dan ikan hiasnya akan datang ke rumah guna melaporkan perkembangan hasil usaha. "Begitulah, Har… Sepertinya sepanjang malam ini aku akan disibukkan dengan hasil laporan yang akan diberikan nanti. Maaf ya, Har. Kalau malam ini aku tidak bisa membantumu," kata Bobby dengan sangat menyesal.
"Sudahlah, Bob! Aku mengerti kok," kata Haris memaklumi kesibukan Bobby.
"Oke deh. Kalau begitu sudah dulu ya," pamit Bobby seraya mematikan Alkom-nya.
Haris segera menyimpan Alkom-nya dan langsung melangkah menuju ke ruang dapur. Rupanya dia mau memasak mi instan untuk mengganjal perutnya yang lapar. Kebetulan, kemarin Bobby dan Sinta telah membeli beberapa persediaan makanan dan minuman seperti : Mi instan, bubur instan, susu kaleng, kopi, teh celup, gula pasir, dan roti sobek rasa cokelat. Kini Haris tidak harus menunggu Sinta jika merasa lapar, dia bisa memasak sendiri dengan menggunakan kompor listrik yang ada di pesawat.
Sambil menunggu mi-nya matang, Haris tampak membuat segelas teh manis dan meletakkannya di meja makan. Beberapa saat kemudian, mi instan yang sedang dimasaknya pun matang. Mengetahui itu, Haris segera mengangkat dan menuangnya ke dalam sebuah mangkuk yang sudah ditaburi bumbu. Sejenak diaduk-aduknya mi itu hingga bumbunya bercampur rata. Setelah itu Haris membawanya ke meja makan. Karena lapar, pemuda itu langsung menyantapnya dengan begitu lahap. Sesekali dia terlihat mengelap kaca matanya yang terkena uap panas dari mi instan yang masih mengepul.
Di atas sebuah kursi, di depan sebuah meja belajar yang diterangi lampu hemat energi 15 watt. Seorang gadis terlihat sedang sibuk mengerjakan tugas-tugas kampusnya. Rupanya Sinta sedang sibuk menyelesaikan tugas inofasi yang diberikan oleh Dosennya. Walaupun terlihat sibuk, sesekali dia pergi ke dapur untuk mengisi gelas minumannya yang sudah kosong atau mengambil cemilan yang bisa menemaninya menyelesaikan tugas.  
"Nah, akhirnya makalah inofasi teknologi air mengalir-ku bisa selesai dengan sempurna, aku harap Dosen akan memberikan nilai A atas temuanku itu,” katanya dalam hati. Saat itu Sinta begitu senang dengan sistem pendidikan di kampusnya yang selalu memberi tantangan kepada setiap anak didiknya, yaitu dengan memberikan tugas guna membuat alat keperluan sehari-hari, atau keperluan pertanian misalnya. Tugas itu sebetulnya tidak wajib, namun bagi mahasiswa yang mau melakukannya tentu akan diberikan tambahan nilai sebagai imbalan atas jerih payahnya. Selain itu, setiap hasil inofasi yang memenuhi kelayakan tentu akan dipatenkan atas namanya. Selama ini, Sinta selalu mempraktekkan teori yang didapatnya dari kampus guna menyelesaikan tugas yang menantang itu. Pada setiap riset, biayanya selalu ia minta dari orang tuanya. Maklumlah, dia itu termasuk orang yang berada. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang cukup sukses.
Di tempat berbeda, di sebuah ruang tamu yang tampak mewah terlihat dua orang sedang membahas sesuatu. Mereka adalah Bobby dan anak buahnya yang sedang melakukan pertemuan rutin guna membahas perkembangan usaha. Tak lama kemudian, anak buah Bobby tampak membereskan berkas-berkas yang tergeletak di atas meja, kemudian segera pamit pulang. Setelah mengantarkan anak buahnya sampai ke pintu gerbang, Bobby kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa. Kini dia tampak memegang sebuah map yang ditinggalkan oleh anak buahnya, saat itu dia sedang mempelajari isi map dengan seksama. Sesekali Bobby tampak sibuk menulis sesuatu ke dalam buku catatannya yang berwarna biru, rupanya dia sedang mencatat beberapa hasil laporan yang perlu ditindak lanjuti. Ketika sedang serius-seriusnya mengamati laporan yang baru saja diberikan, tiba-tiba terdengar bel rumahnya berbunyi. Saat itu Bobby langsung keluar melihat siapa yang datang, dan begitu mengetahuinya, wajahnya pun langsung berseri gembira. Ternyata yang datang itu Mang Udin, pembantunya yang baru saja datang dari kampung. Saat itu Mang Udin tampak berdiri di muka gerbang sambil tersenyum ramah, dia datang dengan membawa oleh-oleh hasil kebunnya yang berada di Garut. Sementara itu di belakangnya tampak seorang wanita bercadar yang berdiri mematung.
"Den Bobby, kenalkan ini istri Mamang ‘Teh Nuning’," kata Mang Udin memperkenalkan istrinya.
Saat itu istri Mang Udin tampak membuka cadarnya, "Kenalkan Den nama saya Nuning. Duh, Den Bobby. Teteh mah tidak nyangka, kalau juragan teh kasep pisan," puji teh Nuning dengan dialek Sundanya yang kental.
"Makasih, Teh. Senang berkenalan dengan Teteh," kata Bobby seraya tersenyum sambil memperhatikan wanita itu mengenakan cadarnya kembali.
"Ayo Mang, silakan masuk!" ajak Bobby kepada pembantunya.
"Iya Den," sahut Mang Udin seraya mengajak wanita yang sejak tadi terdiam di belakangnya untuk mengikutinya masuk.
Mang Udin adalah seorang pembantu yang setia. Dia sudah mengabdi pada keluarga Bobby sejak Bobby masih kecil, namun ketika ayah Bobby meninggal, Mang Udin kembali ke kampungnya. Waktu itu, Ibu Bobby memang sedang dilanda masalah keuangan, sehingga beliau pun tidak mampu untuk menggajinya. Sebenarnya Mang Udin bersedia untuk tidak digaji, tetapi ibu Bobby merasa tidak tega dan menasihati untuk mencari pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang. Namun setelah ibu Bobby bekerja di luar negeri—di tanah kelahirannya Malaysia, Mang Udin dipanggil kembali. Ibu Bobby memintanya untuk menjaga rumah dan menemani putranya di rumah itu. Sebulan yang lalu, Mang Udin pulang ke kampungnya untuk menikah, namun hari ini dia datang bersama istrinya untuk tinggal dan bekerja kembali di rumah Bobby. Kini Bobby, Mang Udin, dan istri Mang Udin sudah duduk di kursi tamu.
"O ya, Mang. Saya ingin berbicara dengan Mamang. Sebaiknya sekarang Mang Udin antar teh Nuning dulu ke kamar!" Pinta Bobby ramah.
"I ya, Den. Ayo, Ning!" ajak Mang Udin kepada istrinya.
"Iya, A…" balas Nuning. "Permisi… atuh Den Bobby. Teteh ke kamar dulu nyak," kata Teh Nuning seraya bangun dari tempat duduknya.
"Mangga, Teh..." balas Bobby.
Mang Udin segera mengantarkan istrinya ke kamar, sementara itu Bobby masih duduk di ruang tamu guna melihat-lihat isi laporan sambil menunggu Mang Udin. Tak lama kemudian Mang Udin sudah kembali, kemudian segera duduk di hadapan Bobby.
"Den, sebenarnya apa yang Aden ingin bicarakan?" tanya Mang Udin penasaran.
"Mmm, begini Mang. Saya ingin menyampaikan sebuah rahasia kepada Mamang," jawab  Bobby.
"Ra-rahasia… Rahasia apa itu, Den?" tanya Mang Udin semakin penasaran.
"Mang... dengar baik-baik. Di gudang ada sebuah mesin yang sudah saya tutup dengan terpal. Mesin itu sangat penting. Saya harap, Mamang bisa menjaganya selagi saya tidak di rumah, dan saya harap Mamang tidak sampai menyentuhnya!" pinta Bobby.
"Baik, Den! Saya akan melaksanakan amanat Aden," janji Mang Udin.
Setelah mempersilakan Mang Udin pergi, Bobby tampak mempelajari kembali isi laporan yang diberikan  anak buahnya.

 

Keesokan paginya, Haris menghubungi Bobby dengan Alkom. Dia memberitahukan bahwa kerusakan sirkuit pada sistem mekanik Kapwak sudah selesai diperbaiki. Kini saat pengujian selanjutnya, yaitu dengan menggunakan mahluk hidup sebagai penumpangnya. Dia meminta Bobby untuk membeli seekor kera sebagai hewan percobaan. Setelah menerima pesan itu, Bobby pun segera berangkat ke pasar Pramuka untuk membeli seekor kera.
Di anjungan, Haris dan Sinta sedang mempersiapkan segala sesuatunya untuk melakukan pengujian, saat itu mereka sedang menguji ulang semua kelengkapan Kapwak. Dua jam kemudian, Bobby datang ke anjungan dengan membawa seekor kera yang ditempatkan di dalam kurungan.
"Aduh, lucunya kera itu," kata Sinta ceria.
"Iya, Sin. Dia itu memang lucu sepertimu," canda Bobby.
"Dia itu seperti kamu, Kak. Lihatlah! Kalau lagi garuk-garuk kepala seperti itu, persis sekali seperti kamu," balas Sinta tidak mau kalah.
"Mulai lagi, deh. Kalian tidak bosan-bosannya, ya. Selalu saja seperti itu," kata Haris mengomentari.
"Kak Bobby sih yang mulai duluan," kata Sinta.
"Aku kan cuma bercanda," bela Bobby.
"O ya, ngomong-ngomong… Kasihan sekali ya bila kera itu dijadikan hewan percobaan," ujar Sinta.
"Iya, sih. Tapi, mau bagaimana lagi?" komentar Haris.
"Benar, Har. Organ tubuhnya kan seperti manusia, mau tidak mau kita memang harus menggunakannya," timpal Bobby seraya memasukkan kera itu ke dalam Kapwak sebagai penumpangnya.
Tak lama kemudian, uji coba pun dimulai. Haris mengirimnya lima menit ke masa depan dengan lokasi yang sama seperti pada pengujian pertama, yaitu di belakang rumah Bobby. Ketika terdengar pesan ‘Pemindahan selesai’, Haris pun segera mengoperasikan Mestrans I untuk memindahkan Bobby ke halaman belakang rumahnya, dan dalam sekejap Bobby sudah berada di tempat itu.
Kini Bobby tampak menanti kemunculan Kapwak dengan hati berdebar. Setelah lima menit menunggu, akhirnya kapsul waktu muncul dengan diawali oleh sinar putih yang menyilaukan. Kini Bobby sedang membuka pintunya dan memeriksa kera yang berada di dalamnya. Sungguh betapa senangnya dia saat itu, dilihatnya kera yang menjadi penumpangnya dalam keadaan baik-baik saja. Tak lama kemudian, pemuda itu segera mengoperasikan Kapwak agar bisa kembali ke pesawat. Setelah itu, dia segera keluar dan menyaksikan benda itu lenyap dari pandangan.
Kini Bobby sedang menghubungi Haris agar segera memindahkannya ke pesawat. Dalam sekejap, pemuda itu sudah kembali ke anjungan. Kini Bobby, Haris, dan Sinta tampak menunggu kemunculan Kapwak di pesawat. Setelah lima menit menunggu, akhirnya kapsul waktu itu muncul dan segera membuka pintunya secara otomatis. Saat itu ketiganya sangat senang lantaran melihat kera yang berada di dalamnya masih tampak sehat, kemudian mereka pun langsung bersalaman merayakan keberhasilan itu. Kini alat penguat tenaga telah bekerja sesuai rencana. Buktinya, kera yang telah dijadikan uji coba itu masih tampak segar-bugar. Namun mereka tidak mau gegabah, untuk lebih meyakinkan, mereka pun segera membawa kera itu ke ruang medis untuk diperiksa. Setelah melakukan pemeriksaan, yakinlah mereka kalau kera itu masih dalam keadaan sehat. Kini kera itu sudah dimasukkan kembali ke dalam kurungan dan langsung ditempatkan di ruangan pemeliharaan, setelah itu ketiganya segera kembali ke anjungan dengan riang-gembira.
Kini pengujian tahap selanjutnya, yaitu pengoperasian Kapwak ke masa lalu. Dalam uji coba ini, Rolab diminta menjadi sukarelawan untuk mengambil beberapa spesimen pada tahun yang dituju. Bobby, Haris, dan Sinta sebenarnya berat untuk menggunakan Rolab, tapi karena itu jalan satunya-satunya terpaksa mereka melakukannya. Saat itu Rolab akan dikirim ke masa lalu, yaitu di daerah Judith River Amerika Utara pada periode Late Cretaceous (masa ketika dinosaurus ukuran raksasa masih bertahan hidup). Kini Rolab tampak memasuki Kapwak. Tak lama kemudian, kapsul waktu itu pun menghilang dari pandangan.
Sambil menunggu Rolab kembali, mereka tampak berbincang-bincang. "Kak Bobby? Apakah kita tidak salah bertindak, menggunakan Rolab sebagai sukarelawan?" tanya Sinta.
"Lho, bukankah tadi aku sudah menjelaskan, hanya Rolab-lah yang memang bisa melakukan percobaan itu. Kita kan tidak mungkin menggunakan kera, sebab hewan itu sama sekali tidak bisa mengoperasikan Kapwak. Lagi pula, bukankah Rolab lebih bisa diandalkan untuk mengambil spesimen," jelas Bobby.
"Bukankah tadi kau juga setuju bila kita menggunakan Rolab sebagai sukarelawan," timpal Haris.
"Iya sih… tapi setelah kupikir-pikir… kenapa kita tidak membayar orang saja untuk melakukannya," kata Sinta.
"Membayar orang? Kau tahu, berapa rupiah yang kita mesti kita keluarkan untuk membayar orang? Lagi pula, itu sama saja dengan mencari masalah dan tidak berprikemanusiaan, masa kita membayar orang untuk melakukan sesuatu yang belum jelas bahayanya," komentar Bobby.
"Iya, Sin. Kalau orang itu kembali dalam keadaan selamat mungkin tidak ada masalah. Tapi kalau orang itu mati, kita juga kan yang susah. Bukan begitu, Bob?" timpal Haris.
"Yup, kau benar, Har," Bobby sependapat.
Mereka terus berbincang-bincang sambil menunggu Rolab kembali. Namun setelah lama menunggu, ternyata Rolab belum juga kembali. Mengetahui itu, mereka pun langsung Khawatir, sebab sudah satu jam lebih Android itu belum juga kembali. Ketika mereka sedang berpikir, tiba-tiba terdengar sebuah pesan yang menyatakan kalau Kapwak akan segera kembali. Benar saja. Tak lama kemudian, Kapwak sudah kembali. Setelah pintunya terbuka secara otomatis, Rolab pun langsung keluar dengan membawa beberapa spesimen. Saat itu, Bobby, Haris, dan Sinta sangat terkejut sekaligus gembira menyambut kedatangan Rolab yang kembali dengan membawa beberapa buah telur dinosaurus dan beberapa tumbuhan pada zaman itu. Kini mereka sedang membawa spesimen itu ke ruang Biologi di Laboratorium dan meletakkannya pada sebuah tempat penyimpanan.
Melihat kesuksesan mesin waktu itu, mereka nekad melakukan uji coba yang ketiga, yaitu dengan menggunakan manusia. Mula-mula Haris dan Sinta agak ragu akan keberhasilan uji coba itu. Namun setelah Bobby meyakinkan kalau mesin itu bisa berhasil, bahkan dia sendiri yang akan menjadi sukarelawannya, akhirnya uji coba pun siap dilakukan. Setelah Bobby mengemukakan alasannya, kenapa dia begitu nekad mau menjadi sukarelawan, akhirnya Sinta pun ingin ikut bersamanya. Semula Haris keberatan jika adiknya ikut bersama Bobby, sebab Sinta itu seorang wanita yang memang tidak diperkenankan untuk bepergian bersama lelaki yang bukan muhrimnya. Namun karena Bobby bisa meyakinkan, kalau dia akan menjaga kehormatan Sinta, bahkan dia akan berusaha melindunginya dari segala bahaya, akhirnya Haris mengizinkan juga. Begitulah jika setan berhasil memperdaya manusia, dengan alasan darurat dan karena kepercayaannya kepada Bobby, akhirnya Haris mau mengizinkan perkara yang jelas telah dilarang agama. Padahal, jika lelaki dan perempuan yang bukan muhrim pergi berduaan, lantas keduanya berhasil diperdaya oleh setan, maka hal yang tidak diinginkan pun bisa saja terjadi. Beruntung jika salah satu atau kedua masih kuat iman, namun kalau tidak tentu apa yang dikhawatirkan itu bisa benar-benar terjadi. Sesungguhnya karena itulah agama melarang perkara seperti guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Kini persiapan keberangkatan mulai direncanakan dengan matang. Bobby, Haris, dan Sinta mengatur semuanya bersama-sama. Bahkan agar tidak terjadi perubahan sejarah dan tidak menarik perhatian, Sinta menyarankan menggunakan pakaian dan perlengkapan yang sesuai dengan abad yang dituju. Bobby menyanggupi penyediaan pakaian, dia akan memesannya pada seorang desainer kenalan Ibunya yang tinggal di Jakarta. Sedangkan Haris dan Sinta bersedia mencarikan beberapa perlengkapan yang diperlukan dengan mencarinya di toko barang-barang antik.  Ketiganya terus membahas masalah itu hingga sore hari.