E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 9

 Sembilan




Esok malamnya, di sebuah penginapan yang berada di Bandung. Dua orang lelaki tampak sedang berbincang-bincang, mereka adalah Pak Gahar dan Pak Amir yang baru saja selesai menikmati santap malam.
"Mir, sekarang aku mau istirahat sebentar. Sebaiknya sekarang kau pergi untuk mengetahui laporan anak buahku yang ada di kota ini! Bukankah tadi siang kita sudah menyebarkan foto Dewi pada mereka." perintah Pak Gahar.
"Baik, Har. Sekarang juga aku berangkat," pamit Pak Amir seraya bergegas pergi.
Kini lelaki itu sedang melangkah menuju ke tempat anak buah Pak Gahar biasa berkumpul. Betapa terkejutnya dia ketika melihat Bobby dan Dewi tampak sedang makan di sebuah warung pinggir jalan. Saat itu juga, Pak Amir langsung bergegas menghampiri mereka dan menceritakan perihal Pak Gahar yang juga berada di kota itu. "A-apa??? Ja-jadi Pak Gahar berada di kota ini." Bobby tampak terkejut.
"Benar, anak muda. Sebaiknya sekarang juga kalian pergi dari kota ini!"
"Tapi, Pak... sekarang kan sudah malam. Lagi pula, kami terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan."
"Ya sudah kalau begitu, untuk sementara kalian boleh istirahat malam ini. Tapi ingat, besok pagi kalian harus cepat-cepat pergi."
"Baik, Pak. Kami akan secepatnya meninggalkan kota ini."
"Nah, kalau begitu aku pergi dulu. O ya, aku sarankan kalian berhati-hati, sebab anak buah Pak Gahar banyak berkeliaran di kota ini."
"Baik, Pak. Terima kasih!"
Pak Amir segera melanjutkan niatnya, sedangkan Bobby dan Dewi segera bersiap-siap mencari menginapan. Ketika mereka sedang memesan sebuah kamar, sepasang mata tampak mengawasi. Rupanya seorang anak buah Pak Gahar yang mengenal Dewi sedang menginap di tempat itu. Bobby dan Dewi yang tidak menyadari akan hal itu tampak tenang-tenang saja, mereka beristirahat di sebuah kamar yang tidak terlalu besar sambil berbincang-bincang dengan santainya.
"Kak! Besok kita pergi ke mana?"
"Bagaimana kalau besok kita pergi ke Jakarta, kau bisa tinggal di rumahku."
"Tapi, bagaimana jika mereka mencari kita ke sana?"
"Kita tinggal di sana untuk sementara saja. Setelah aku menambah perbekalan uang dan keperluan lainnya, kita bisa pergi ke rumah temanku di Palembang."
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang mengenai rencana pelarian mereka. Dan ketika hari sudah semakin larut, mereka lantas bergegas tidur. Malam itu, Dewi tidur di atas tempat tidur, sedang kan Bobby di lantai dengan beralaskan tikar lipat miliknya.


 
Esok paginya, Bobby dan Dewi sudah bersiap-siap meninggalkan penginapan. Namun belum sempat mereka keluar penginapan, tiba-tiba mereka sudah dihadang oleh beberapa orang yang berperawakan kekar.
"Ha ha ha...! Sekarang kalian sudah tidak bisa ke mana-mana lagi. Lebih baik menyerah saja!" kata Pak gahar yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka.
Mengetahui itu, Bobby dan Dewi tak punya pilihan lain, mereka terpaksa menyerahkan diri. Kini mereka tengah digelandang ke rumah orang tua Dewi yang berada di Desa Sengon. Setibanya di sana, Bobby langsung diperlakukan dengan tidak manusiawi. Tubuhnya yang sudah tak berdaya karena perlakuan kasar selama perjalanan, tampak terikat erat pada tiang bambu yang berdiri kokoh. Sekujur tubuhnya terus dihajar habis-habisan, bahkan telapak tangannya sempat disiksa dengan disundut cerutu sampai beberapa kali.
"Tolong hentikan, Ayah! Biarkan dia hidup... biarkan dia hidup...!" ratap Dewi meminta kepada Ayahnya.
"Terus... hajar dia! Biar dia tahu rasa!" seru sang Ayah.
"Jangan ayah! Dewi mohon, hentikanlah!" Dewi kembali meratap sambil berlutut dan memegang tangan Ayahnya.
"Ayah... Dewi mohon, lepaskanlah dia! Dia tidak bersalah Ayah, Dewilah yang telah memintanya untuk membawa pergi dari desa ini. Ayah... lepaskanlah dia! Dewi berjanji untuk menuruti semua keinginan Ayah. Sekali lagi Dewi memohon, tolong hentikan...! Bobby memang tidak bersalah..." Dewi terus memohon dengan air mata yang terus berderai.
Mendengar ratapan Dewi yang begitu lirih, akhirnya hati Sang Ayah tersentuh juga, "Baiklah... ayah akan lepaskan dia. Tapi ingat, kau harus menuruti kata-kata Ayah."
"Terima kasih,  Ayah!" ucap Dewi dengan air matanya yang masih saja berderai.
"Hei, hentikan! Biarkan dia pergi dari sini!" seru ayah Dewi lantang.
"Tapi, Pak..."
"Sudahlah...! Biarkan saja dia hidup!"
Tak lama kemudian, Bobby sudah dibiarkan pergi dengan tubuh penuh luka. Saat itu, kedua matanya tak bisa melihat jelas, semua itu akibat darah yang menghalangi pandangan. Sambil menahan rasa sakit, Bobby terus melangkah, berusaha keras mencapai rumah Pamannya.
Setibanya di rumah sang Paman, Bobby tampak terkejut. Dilihatnya semua perabotan yang ada di rumah itu tampak hancur berantakan, suasana pun tampak hening tak ada aktifitas. Belum hilang rasa bingungnya, tiba-tiba seseorang datang menghampiri.
"Bobby... apa yang terjadi padamu, Nak?" tanya orang itu prihatin melihat keadaan Bobby yang babak belur.
Bobby tidak menjawab, dia menatap orang itu dengan pandangan sedih. "Apa yang telah terjadi dengan Paman dan Bibiku, Pak?" tanyanya kemudian.
"Tabahkan hatimu, Nak...!" kata orang itu seraya membantunya duduk di sebuah gelondong kayu. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya, "Mereka telah tiada, Nak. Beberapa hari yang lalu mereka telah ditemukan dengan kondisi yang begitu memprihatinkan."
 "Siapa yang telah melakukan semua itu, Pak?"
"Aku sendiri tidak begitu tahu, tapi... menurut kabar angin mereka dibunuh oleh anak buah Wangsa."
Mengetahui itu, Bobby sudah tidak bertanya-tanya lagi. Kini airmatanya tampak berderai bersama darah yang keluar dari kelopak matanya. Sungguh dia tidak menduga, akibat melarikan anak gadis orang, semuanya harus dibayar dengan kehilangan orang-orang yang selama ini dicintainya.

 

Esok malamnya, di langit tampak awan hitam yang bergulung-gulung. Sekilas kilat membias dengan diiringi bunyi halilintar yang menggelegar keras. Tak lama setelah itu, hujan pun turun dengan disertai angin kencang yang berhembus menerpa dedaunan basah. Beberapa kali kilat kembali membias dengan iringan guntur yang menggelegar keras. Saat itu, udara terasa semakin dingin, terus menyebar menyelimuti malam yang kelam.
Di dalam kamar, seorang gadis sedang memandang ke luar jendela, kedua matanya yang basah oleh air mata tampak menatap kosong ke lebatnya hujan. Kini dia menggigit bibirnya, bersamaan dengan itu, air matanya kembali mengalir. "Oh, Kak Bobby... inikah takdir yang harus aku jalani. Besok aku akan menjadi istri Wangsa dan..." Dewi meneteskan airmatanya lagi, dia begitu sedih membayangkan apa yang akan terjadi setelah menjadi istri Wangsa. Sesekali kilat membias menerangi wajahnya yang murung. " Kak Bobby... aku akan selalu mencintaimu, cintaku hanya untukmu. Wangsa hanya bisa memiliki tubuhku, tapi tidak hatiku. Oh, Kak Bobby... Aku menyayangimu."
Dewi terus meratapi nasibnya, hingga akhirnya dia bisa pasrah menerima semua itu. Sementara itu di jalan tol, sebuah bis tampak melintas. Di dalam bis, terlihat seorang pemuda yang sedang duduk sambil memandang ke luar jendela, kedua matanya tampak berkaca-kaca. Rupanya pemuda itu sedang dalam perjalanan  ke Jakarta.
Pemuda bernama Bobby itu terus menatap ke lebatnya hujan yang senantiasa mengiringi perjalanannya. Luka memar yang dideritanya masih terlihat jelas, namun luka itu tidak sepedih apa yang dirasakan di hatinya. Ingin rasanya dia membalas semua itu, namun apa daya jika dia tak punya kuasa apa-apa. Tidak seperti Wangsa yang memang sangat berkuasa. Bahkan, hukum pun bisa dibeli dengan uangnya.
"Oh Dewi... aku sangat mencintaimu. Selama pelarian, banyak sudah kenangan indah yang kita alami bersama, dan aku tidak akan bisa melupakan semua itu. Wi... aku sangat sayang padamu, hatiku begitu pilu jika membayangkanmu menjadi istri Wangsa." Bobby meneteskan air matanya, dia benar-benar sedih membayangkan orang yang begitu dicintainya akan diperlakukan tidak manusiawi oleh Wangsa. "Oh Tuhan... apakah ini hukuman untukku yang telah banyak berbuat dosa? Sehingga aku harus merasakan penderitaan ini sebagai hukuman atas dosa-dosa yang telah kuperbuat."
Tiba-tiba renungan Bobby buyar seketika, di dalam bis berkumandang alunan tembang indah dari Raihan—sebuah grup nasyid yang cukup terkenal dari negeri Jiran Malaysia.
Wahai Tuhan... ku tak layak ke surga-Mu... namun tak pula aku sanggup ke neraka-Mu... ampunkan dosaku terimalah taubatku... sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar.
...Dosa-dosaku bagaikan pepasir di pantai... dengan rahmat-Mu ampunkan daku... oh Tuhan-ku...
Wahai Tuhan... selamatkan kami ini dari segala kejahatan dan kecelakaan... kami takut kami harap kepada-Mu... suburkanlah cinta kami kepada-Mu... kamilah hamba yang mengharap belas dari-Mu...
 Setelah mendengar tembang itu, Bobby langsung termenung. Lagi-lagi airmatanya tampak berderai, rupanya pemuda itu telah menyadari kalau selama ini dia telah berdosa besar. Dia masih mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil, larangan agama masih banyak yang dilanggar. Saat itu juga Bobby segera bertaubat, memohon ampun kepada Tuhannya, kemudian dia berharap untuk bisa menyuburkan rasa cintanya, juga berharap bisa mendapat belas kasih-Nya. Kini pemuda itu tampak menadahkan tangan, meminta petunjuk kepada Tuhan guna meraih cita-citanya.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, akhirnya Bobby tiba di Jakarta. Saat itu di terminal Kampung Rambutan terlihat ramai. Orang-orang terlihat naik-turun dari bis kota, dan para pedagang asongan tampak ramai menawarkan barang dagangannya. Kini Bobby menaiki sebuah angkot dan duduk di bagian belakang. Lama dia menunggu, hingga akhirnya angkot itu berangkat meninggalkan terminal Kampung Rambutan.
Setibanya di muka rumah, Bobby tampak terkejut. Saat itu dia melihat rumahnya sudah hangus terbakar, yang tertinggal hanyalah puing-puing yang menghitam. Kini pemuda itu menatap kosong ke puing bangunan yang menghitam itu, kesedihan yang mendalam seketika terpancar di wajahnya yang kusut.
"Nak Bobby. Kaukah itu?" sapa seseorang tiba-tiba.
Bobby pun segera menoleh, dilihatnya seorang lelaki tua tampak memandangnya dengan heran. Ternyata orang itu ketua RT di kampungnya. "Apa yang telah terjadi denganmu, Nak? Kenapa dengan wajahmu?" tanya Pak RT prihatin.
"Ceritanya panjang, Pak," jawab Bobby, "O ya, Pak. Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan rumahku? Apakah Ibuku baik-baik saja?" tanyanya kemudian.
"Nak... Tabahkan hatimu! Terimalah semua ini dengan penuh kesabaran. Karena Ibumu..." Pak RT tidak melanjutkan kata-katanya. Matanya memandang Bobby dengan penuh prihatin, kemudian kedua tangannya memegang pundak pemuda itu. "Ibumu sudah tiada, Nak?" katanya kemudian.
Mendengar itu, Bobby pun langsung mengeluarkan air matanya. Dia benar-benar tidak menyangka, ibu yang begitu dicintainya telah pergi untuk selama-lamanya. Kini dia tampak melangkah mendekati reruntuhan rumahnya, saat itu air matanya tampak mengalir deras. Wajahnya yang murung dengan duka mendalam, terus memandang ke arah rumah yang sudah habis terbakar.
Kini Bobby telah hidup sebatang-kara—dia sudah tidak punya siap-siapa lagi. "Ya Tuhan, kenapa hal buruk selalu menimpa diriku. Setelah kekasihku diambil orang, lalu paman dan bibiku terbunuh, dan kini Kau mengambil ibuku—orang yang paling aku cintai. Ya Tuhan, hukuman apa lagi yang akan Kau timpakan padaku kemudian? Berilah aku petunjuk-Mu, agar aku bisa tabah menghadapi segala cobaan ini," Bobby membatin.
"Sudahlah, Nak! Relakan saja kepergian ibumu! Kalau kau ingin ke makam Ibumu, Bapak bisa mengantarmu sekarang," kata Pak RT. Merasa iba seraya menepuk-nepuk bahu pemuda itu.
 Bobby tidak berkata-kata, dia terlihat cuma menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian, keduanya tampak sudah melangkah menuju ke tanah pemakaman yang letaknya lumayan jauh. Setelah lama berjalan, akhirnya mereka mulai memasuki area pemakaman. Pohon-pohon kamboja tampak tumbuh dengan suburnya. Terpaan angin yang lumayan besar sempat membuat bunga-bunga di pohon itu jatuh berguguran.
Bobby dan Pak RT terus melangkah melewati deretan makam yang tampak tak terawat, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah makam yang tanahnya masih terlihat kemerahan. Kemudian kedua orang itu segera berjongkok dengan kedua tangan menadah ke atas, mendoakan Ibu Bobby yang belum lama meninggal dunia. Setelah itu, Pak RT membiarkan Bobby seorang diri, dia sendiri segera melangkah ke sebuah makam yang tidak terlalu jauh.
Di depan makan Ibunya, Bobby kembali menangis. Dia benar-benar merasa kehilangan seorang Ibu yang begitu dicintainya, "Bu... Maafkan Bobby, Bu...! Bobby benar-benar menyesal karena telah meninggalkan Ibu hingga jadi begini. Bobby akan selalu berdoa agar Ibu tentram di alam sana, dan Bobby akan selalu berdoa untuk Ibu...."
Derai air mata pemuda itu terus bercucuran, lalu dengan lembut pemuda itu membelai pusara makam Ibunya, "Bu... Bobby akan selalu melaksanakan apa yang telah Ibu ajarkan selama ini, dan Bobby akan selalu ingat pesan-pesan Ibu itu."
Bobby terus berada di makam ibunya, hingga akhirnya Pak RT. Mengajaknya pulang untuk singgah dan beristirahat di rumahnya.