E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 4

Empat



Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, sampai-sampai sudah genap 100 hari Bobby menuntut ilmu di desa Pamannya. Kini pemuda itu sudah bisa menerima kepergian Nina, dan dengan perasaan lapang dia sudah bisa sedikit melupakannya. Semua itu bisa dia lakukan berkat ilmu agama yang dipelajarinya, yang mana selama ini telah membuka pintu hatinya untuk selalu menerima segala bentuk kebenaran. Juga berkat kebaikan dan ketulusan Dewi—gadis yang pernah ditolongnya dulu. Maklumlah, selama ini gadis itu sering memberinya perhatian dan selalu membantunya dalam membuka tabir kebenaran. Keduanya pun sering berdikusi membicarakan nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci dan mengungkapkannya dalam sudut pandang berbeda. Bobby yang dilahirkan sebagai seorang lelaki akhirnya bisa memahami kalau wanita bukanlah sekedar perhiasan, namun lebih dari itu. Wanita adalah pelengkap yang melengkapi segala kekurangan laki-laki. Baginya kehadiran wanita merupakan hal penting yang membuatnya bisa lebih memahami arti kehidupan. Begitupun dengan Dewi, kini gadis itu sudah bisa memahami kenapa dia diciptakan. Perannya di dunia ini adalah sebagai pelengkap yang mana seharusnya bisa membuat kaum lelaki menjadi lebih dekat kepada Tuhan, bukannya membuat mereka justru berani melanggar perintah Tuhan. Seperti yang dikisahkan oleh kitab suci mengenai Adam dan Hawa yang mana seharusnya menjadi pelajaran berharga buat anak cucunya. Karena itulah, Bobby yang memang sudah tertarik dengan Dewi sejak pandangan pertama, mencoba untuk menjadikannya sebagai istri. Dengan harapan, dia bisa menjalani kehidupannya bersama Dewi—seorang gadis yang diyakininya bisa membantunya dalam menyempurnakan akidah. Selama ini kedua muda-mudi itu sudah sering bertemu dan sudah semakin akrab.
Setelah menunaikan sholat Isya di Surau, Bobby tidak langsung pulang, dia justru berniat ke rumah Dewi untuk mencurahkan isi hatinya. Sementara itu di tempat lain, di sebuah ruang tamu yang cukup nyaman, seorang gadis terlihat sedang duduk sendiri. Rupanya gadis itu masih saja memikirkan almarhum kekasihnya—seorang pemuda yang di masa hidupnya sangat perhatian dan begitu menyayanginya, sehingga gadis itu merasa tidak ada sosok pemuda lain yang bisa menggantikannya. Dialah Dewi yang hingga kini belum juga bisa melupakan mendiang kekasihnya, bahkan kenangan indah ketika bersamanya selalu saja terbayang. Mendadak lamunan Dewi buyar lantaran keterkejutannya akan ketukan pintu yang begitu tiba-tiba, lalu dengan segera gadis itu beranjak membukakan pintu.
"Oh kau, Kak. Ayo, silakan masuk!" kata gadis itu ramah.
Bobby tidak segera masuk, saat itu dia tetap bertahan di muka pintu. "O ya, Wi... apa orang tuamu ada?"  tanya pemuda itu canggung.
"O... mereka sedang mengunjungi kakek dan nenekku. Eng… memangnya kau ada perlu dengan mereka?" tanya Dewi menyelidik.
"Tidak, Wi. Aku justru ada perlu denganmu."
"O… kalau begitu, kenapa masih berdiri saja di situ? Ayo silakan masuk!"
"Iya, Wi," ucap Bobby seraya melangkah masuk.
Setelah dipersilakan duduk, pemuda itu tampak melihat ke sekeliling ruangan, di perhatikannya berbagai hiasan indah yang ada di ruangan itu. Tak lama kemudian, pandangan pemuda itu sudah beralih kepada Dewi. Saat itu dilihatnya wanita itu tampak begitu cantik, pesonanya pun membuatnya begitu kagum kepada Sang Pencipta, apalagi ditambah dengan kebaikan hatinya yang membuatnya begitu tergila-gila. Sungguh kecantikan luar dalam yang tak pernah membuatnya bosan. Saat itu raut wajah Dewi tampak tersipu, sungguh dia merasa malu dipandang seperti itu, "Tunggu ya,  Kak! Aku akan buatkan minum dulu," katanya seraya tersenyum.
"Terima kasih, Wi...! Kau tidak perlu repot-repot!"
"Tidak kok, Kak. Tunggu ya!" pinta Dewi seraya melangkah ke dapur.
Tak lama kemudian Dewi sudah kembali, saat itu dia membawa segelas minuman dan makanan kecil. Setelah meletakkannya di atas meja, gadis itu kembali duduk di hadapan Bobby. "Silakan diminum, Kak!" tawarnya dengan senyuman yang begitu manis.
"Makasih, Wi," ucap Bobby seraya meneguk minuman yang masih hangat itu.
"O ya, Kak? Ngomong-ngomong, sebenarnya ada keperluan apa? Kok tumben Kakak mampir malam-malam begini?"
"Mmm... Begini, Wi. Se-sebenarnya..." Seketika Bobby terdiam, saat itu kepalanya tampak tertunduk gelisah.
"Eng, sebenarnya ada apa, Kak? Kenapa kau tampak gelisah seperti itu?" 
 "Wi... se-sesungguhnya... a-aku mencintaimu, Wi…" ucap Bobby seraya menatap mata Dewi dalam-dalam.
Tak ayal, saat itu Dewi langsung tersentak.  Sungguh dia tidak menyangka kalau Bobby telah menyatakan cintanya, sebuah ungkapan yang terdengar begitu tulus namun sangat membebaninya. Karenanyalah, gadis itu pun tak kuasa memberi jawaban, saat itu dia hanya bisa tertunduk dengan segala perasaan gundah.
“Kenapa, Wi? Apa kau tidak mencintaiku?” tanya Bobby resah.
Lantas dengan berat hati, Dewi pun terpaksa mengatakannya, "Kak... berdosakah jika aku menolak ketulusan cintamu, yang dari lubuk hatiku juga mulai mencintaimu. Dan berdosakah aku jika menghianati janji setiaku, yang mana telah kuikrarkan pada mendiang kekasihku—kalau kami akan selalu saling mencintai hingga kehidupan nanti. Haruskah aku menjadi pengkhianat demi cintaku padamu, dan bisakah aku mencintaimu sepenuh hatiku sedangkan aku masih mencintai mendiang kekasihku. Karena itulah,  aku mohon pengertianmu agar tak mencintaiku lagi, sebab aku memang sudah berjanji pada diriku untuk tidak mencintai orang lain."
Mendengar itu, Bobby tampak sedih. Harapannya pun pupus sudah, bersamaan dengan pernyataan Dewi yang kini sudah semakin meresap di lubuk hatinya. Sungguh suatu perasaan yang sangat menyakitkan. Bahkan saat itu dia sudah tidak mampu berkata-kata, dia hanya terdiam dengan segala perasaan yang bagaikan tersayat sembilu.
Bobby dan Dewi masih saja duduk saling berhadapan, namun saat itu tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka—keduanya terus membisu seribu bahasa. Setelah sekian lama terdiam, akhirnya Bobby kembali bicara, "Kenapa kau masih mencintai orang yang sudah menjadi bangkai, Wi? Bukankah itu berarti menyia-nyiakan kehidupanmu."
Mendengar itu, seketika Dewi tersentak. Sungguh dia tidak menyangka kalau Bobby akan berkata sekasar itu, hingga mampu melukai hatinya. Kemudian dengan alis mata merapat, dan juga sorot mata yang berapi-api, gadis itu langsung memandang Bobby geram. Sungguh kecantikan Dewi yang semula begitu mempesona kini telah berubah menjadi sangat menakutkan. Melihat itu, Bobby pun tidak mampu berkata-kata, saat itu mulutnya seakan terkunci oleh sebab perubahan paras Dewi yang demikian.
Kini Bobby tampak memalingkan wajahnya ke arah lukisan yang terpampang di ruangan itu. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba Dewi bangkit dari duduknya dan langsung berkata lantang, "Kak! Sebaiknya sekarang juga kau pergi! Dan jangan pernah engkau menemuiku lagi! Sungguh kau tidak akan mengerti dan tidak akan bisa memahami apa yang ada dihatiku," pinta Dewi dengan amarah yang tampaknya sulit untuk dipadamkan.
Mengetahui itu, Bobby pun segera bangkit dan melangkah pergi. Sungguh pemuda itu benar-benar menyesal karena telah membuat hati Dewi terluka, dan itu semua karena rasa cemburunya kepada mantan kekasih Dewi yang telah meninggal dunia. Pada saat yang sama, Dewi tampak sedang duduk termenung di kamarnya. Bahkan hingga hampir tengah malam, gadis itu masih saja duduk termenung. Saat itu dia terus memikirkan kata-kata Bobby yang baginya sangat menyakitkan, namun entah kenapa dari lubuk hatinya yang terdalam, dia merasa apa yang dikatakan Bobby itu adalah sebuah kebenaran.
"Kau benar Kak. Seharusnya aku tidak boleh menyia-nyiakan kehidupan ini. Seharusnya aku menjalani kehidupan ini dengan penuh makna dan kebahagiaan. Namun, apakah demi semua itu aku harus menjadi pengkhianat. Sungguh kini aku bingung akan makna kebenaran, yang mana selama ini biasa dibisikkan oleh hati nuraniku. Entah kenapa selama ini aku selalu mengingkari nuraniku yang memang mencintaimu, apakah itu semua karena aku lebih mendengarkan bisikan setan ketimbang nuraniku sendiri?"
Dewi terus merenung dan merenung, hingga akhirnya malam pun semakin larut. Sementara itu di tempat lain, Bobby tampak gelisah di dalam kamarnya, dia benar-benar menyesal karena telah berkata dengan kata-kata yang menyinggung perasaan Dewi. Andai saja dia bisa mengendalikan diri tentu Dewi tidak akan marah terhadapnya. Saat itu, Bobby tampak berguling ke kiri dan ke kanan, sungguh pikirannya sudah membuatnya begitu kalut. Lama pemuda merenung hingga akhirnya dia bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah menuju ke arah jendela, kemudian dengan serta-merta dia membuka gorden dan menatap ke luar jendela. Betapa terkejutnya dia ketika melihat seorang gadis tengah berdiri muka jendela dengan mata yang berkaca-kaca.
"De-Dewi... kaukah itu?" Bobby mengucek kedua matanya.
"Benar, Kak! Ini aku, Dewi."
"Sedang apa kau di sini?" tanya pemuda itu berbisik.
"A-aku... aku... entahlah, aku juga tidak mengerti kenapa tiba-tiba aku ingin menemuimu. Tapi yang jelas, aku ingin minta maaf. Sebab, semua kata-katamu yang menyakitkan itu memang benar adanya. Dan yang terpenting adalah... aku ingin mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Kalau a-aku... aku juga mencintaimu, Kak."
"Be-benarkah yang kau katakan itu, Wi?"
"Benar, Kak. Sebenarnya aku sudah menyukaimu semenjak pertemuan kita pertama kali. Selama ini aku memang belum bisa melupakan segala kenangan indah yang kualami bersama almarhum kekasihku, namun sebenarnya bukan itu yang membebani hatiku, melainkan janji setiaku padanya. Itulah yang selalu menutup hati nuraniku untuk menerimamu sebagai orang yang aku cinta. Namun, ketika kau berkata begitu, aku merasakan sesuatu yang lain, dan hatiku pun mulai terbuka. Walau semula kurasa sangat menyakitkan. Ketahuilah, Kak… Setelah aku menyadari kalau yang kau katakan itu adalah kebenaran, aku pun merasa bersalah karena telah menolakmu, dan karena itulah aku memberanikan diri untuk menemuimu di sini. Kak… Kini aku sudah menyadari kalau kehidupan itu dibagi menjadi tiga episode, yaitu episode sebelum dunia, episode dunia, dan episode setelah dunia. Karena itulah, sesungguhnya setiap jiwa tidak selayaknya menuruti ego, namun yang terbaik adalah mengikuti nurani. Sungguh sumpah setiaku dulu adalah bentuk kesombongan akan kekuasaan Tuhan,  yang mana telah meyakini akan bertemu kembali dengan mantan kekasihku kelak, dan karenanyalah tidak sepatutnya aku mempertahankannya. Biarlah Tuhan yang menentukan yang terbaik atas setiap keinginanku, dan aku tak berhak menentukannya atas dasar kesombonganku. Aku yakin, Tuhan itu Maha Bijaksana, yang mana keputusannya tidak akan merugikan jiwa yang dicintai-Nya."
Usai mendengar penuturan Dewi, mata Bobby langsung berkaca-kaca, sungguh dia tidak menyangka kalau Dewi mampu mengurai semua itu. "Wi, Kalau begitu, sebaiknya sekarang kau pulang! Sebab, tidak baik seorang gadis keluar rumah malam-malam begini," kata pemuda itu lembut.
Seketika itu juga, Bobby langsung melompat keluar jendela dan menatap kedua mata Dewi yang masih basah, "Wi… aku akan selalu menyayangimu," ucapnya seraya menggenggam kedua tangan Dewi.
Saat itu Dewi tersenyum. "Kak, aku bahagia sekali," katanya kemudian.
"Aku juga, Wi. Eng… bagaimana kalau sekarang aku mengantarmu pulang."
Saat itu Dewi mengangguk. Dan tak lama kemudian, keduanya sudah melangkah ke rumah Dewi sambil bergandengan tangan. Dalam perjalanan, hati Bobby benar-benar bahagia, karena kini Dewi telah menjadi kekasihnya. Begitu pun dengan Dewi, perasaan bahagia pada kedua anak manusia itu terpancar di wajah masing-masing, wajah keduanya tampak begitu berseri-seri.
"Kak? Apakah kau akan selalu setia padaku?" tanya Dewi tiba-tiba.
"Tentu saja, Wi. Aku akan selalu setia padamu."
"Kak? Aku mencintaimu, dan aku sayang padamu."
"Aku juga demikian, Wi."
Seketika keduanya menghentikan langkah kaki, kemudian saling berpandangan, lantas dengan serta-merta Bobby mengecup kening Dewi. Pada saat itu Dewi tampak terpejam, perasaan bahagia di hatinya telah menghilangkan segala kesedihannya selama ini. Sungguh kedua muda-muda mudi itu kini sudah dibutakan oleh api cinta yang membara, sehingga mereka lupa akan larangan Tuhan dan tidak menyadari kalau perbuatan mereka itu adalah awal dari sebuah bencana.
Kini mereka kembali melanjutkan perjalanan sambil terus bergandengan tangan. Begitu tiba di pekarangan rumah Dewi, mereka dikejutkan oleh sosok lelaki sedang berdiri di muka rumah. "Dewi!!! Apa yang kau lakukan bersama seorang pria malam-malam begini, hah?” tanya lelaki itu dengan wajah yang begitu geram. Kemudian lelaki itu kembali melanjutkan kata-katanya, “Sungguh Ayah benar-benar kecewa. Baru juga ditinggal sebentar, kau sudah berani kelayapan. Dasar anak tidak berbakti."
Melihat raut wajah sang Ayah yang sedemikian marah, akhirnya Bobby berusaha angkat bicara. "Eng… Be-begini, Pak. Ka-kami..."
Belum sempat Bobby menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipi pemuda itu, dan sebuah tamparan lagi mendarat di pipi Dewi. Saat itu Bobby benar-benar geram, namun setelah menyadari siapa yang dihadapinya, akhirnya dia mencoba untuk tidak emosi.
Kini pemuda itu tampak memandang kekasihnya yang sedang menangis, saat itu dilihatnya darah segar tampak keluar dari celah bibirnya yang tipis, lalu dengan segera pemuda itu membersihkannya. Belum usai darah dibersihkan, tiba-tiba sang Ayah sudah menarik lengan Dewi dan membuat gadis itu terpelanting. Seketika Dewi terkejut seraya menjerit histeris, tubuhnya yang limbung langsung jatuh tersungkur. Belum hilang rasa terkejutnya, mendadak sebuah tamparan kembali mendarat di pipinya.
"Dasar anak tidak tahu diri! Apa kau mau mencoreng  muka orang tuamu, hah? Cepat katakan! Apa yang sudah kau lakukan di luar sana?" tanya Sang Ayah geram.
"Tidak, Ayah! Dewi tindak melakukan apa-apa," bela Dewi sambil terus menangis.
 "Jangan bohong! Ayo mengaku! Apa saja yang sudah kau lakukan bersamanya?" tanya Sang Ayah lagi seraya menjambak rambut putrinya.
Melihat itu, Bobby berusaha menolong. "Sabarlah, Pak…! Se-sebenarnya kami memang tidak melakukan apa-apa," katanya memohon.
 "Diam kau!!! Sekarang juga tinggalkan tempat ini!" seru Sang Ayah murka.
"Tapi, Pak..."
Tiba-tiba sebuah tamparan keras kembali mendarat di pipi Bobby, dan ketika lelaki separuh baya itu ingin menghajarnya, Dewi pun langsung menahan, "Sudahlah, Ayah! Dia tidak bersalah, yang salah itu aku," ratap Dewi seraya menarik lengan Ayahnya.
"Diam kau!!!" bentak Sang Ayah seraya menghentakkan tangannya dengan keras. Tak ayal, saat itu Dewi langsung terpelanting dibuatnya, kemudian jatuh terduduk tak berdaya.
Sementara itu, Sang Ayah langsung menghajar Bobby dengan pukulan yang cukup keras. Saat itu Bobby tidak melawan, dia hanya pasrah menerima perlakuan itu, hingga akhirnya dia pun jatuh terduduk. Kini pemuda itu tampak merintih sambil berusaha mengelap bibirnya yang berdarah dan terasa sakit, saat itu dia sama-sekali tidak berusaha untuk bangkit.
"Awas! Kalau kau masih berani datang ke mari," ancam lelaki paruh baya itu seraya menghampiri Dewi yang saat itu masih terduduk menangis, "Ayo, Wi! Sekarang juga kau masuk!" seru Sang Ayah seraya menarik lengan Dewi dengan paksa.
Saat itu, Bobby hanya duduk terpaku melihat perlakuan kasar Sang Ayah, yang begitu tega—terus menyeret putrinya masuk ke rumah. Sungguh hati pemuda itu begitu pilu kala mendengarkan suara Dewi yang saat itu terus meratap—memohon ampun. Lalu dengan perasaan sedih, pemuda itu perlahan bangkit dan bergegas pergi. Dalam hati, pemuda itu benar-benar menyesal lantaran tidak bisa melindungi kekasihnya.
Sepulangnya dari Rumah Dewi, Bobby terus memikirkan kekasihnya. Sungguh dia benar-benar sedih saat kembali mengingat orang yang dicintainya diperlakukan kasar oleh ayahnya sendiri. "Dewi... maafkan aku, sungguh aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungimu. Sebab, biar bagaimanapun, beliau adalah Ayahmu, dan beliau berhak untuk mendidikmu sesuai dengan caranya, walau aku sendiri tidak setuju cara yang dilakukannya itu. Sebab, masih banyak cara yang tak memerlukan kekerasan. Kini aku hanya bisa berdoa dan mempasrahkan semua ini pada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, semoga Ayahmu bisa segera menyadari kekeliruannya. Wi... aku sangat mencintaimu, dan aku berharap semoga kita bisa bertemu lagi. Aku percaya, jika kita memang berjodoh tentu Tuhan akan mempersatukan kita."