E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Misteri Kehadiran Arwah - Bagian 8

Delapan



Esok paginya mentari bercahaya dengan cerahnya, sinarnya yang hangat tampak membias menerangi seantero kota. Sementara itu di sepanjang jalan raya tampak lalu-lalang kendaraan yang merambat pelan, terjebak dalam kemacetan yang memang sudah menjadi rutinitas Ibu Kota. Pada saat yang sama, di sebuah perempatan lampu merah, para pedagang asongan tampak ramai menjajakan dagangannya. Beberapa orang polantas tampak sibuk mengatur lalu lintas di tempat itu.
Lampu lalu lintas silih berganti berubah warna, namun lampu itu tidak berguna sama sekali karena petugas polantaslah yang menggantikannya. Petugas polantas itu lebih mengutamakan antrian kendaraan dari jalur yang lebih padat untuk jalan lebih dulu, sedangkan dari jalur yang tampak sepi dibiarkan menunggu agak lama.
Yuli yang sedang duduk di depan kemudi tampak kesal, sebab gilirannya melaju terasa begitu lama. Suara bising terus terdengar dari mesin-mesin kendaraan yang meraung-raung menunggu giliran, sekaligus membuang energinya dengan percuma.
Yuli masih terus menunggu. Sesaat dia memperhatikan seorang gadis kecil yang berdiri di samping mobilnya, pakaian tampak kumal dan begitu lusuh. Rambutnya pun tampak kotor dan begitu kusut, menutupi sebagian wajahnya yang masih tampak polos.
Kini gadis kecil itu tampak membunyikan kecrekannya yang terbuat dari tutup minuman, kemudian disusul dengan suaranya yang terdengar sumbang. Melihat itu, Yuli merasa iba, lalu dengan segera dia membuka kaca mobil dan menyodorkan selembar uang lima ribuan. Seketika nyanyian gadis kecil itu terhenti, bersamaan dengan jemari mungil yang bimbang meraih uang itu. Si Gadis kecil tampak ragu, baru kali ini dia disodorkan uang sebesar itu. "Maaf Kak! Saya tidak punya uang kembaliannya," katanya polos.
"Terimalah! Semuanya untukmu," kata Yuli meyakinkan.
Gadis kecil itu tampak begitu senang, kemudian dia segera mengambil uang itu dan memasukkannya ke dalam saku roknya yang lusuh. "Terima kasih, Kak!" ucapnya pelan.
Kini gadis kecil itu tampak tersenyum kepada Yuli yang dianggapnya sebagai bidadari cantik yang baik hati. Yuli pun membalas senyuman itu, kedua matanya tak berpaling—terus memperhatikan si gadis kecil yang kini sudah melangkah ke mobil yang ada di belakangnya. Dalam hati Yuli membatin, "Aku tidak habis pikir, kenapa anak sekecil itu bergelut dengan kerasnya Ibu Kota, seharusnya kan gadis sekecil itu sedang menikmati masa kecilnya—bermain dan belajar."
Kini Yuli kembali memperhatikan petugas polantas yang masih juga belum mengizinkannya melaju. Ketika menengok ke samping, dilihatnya seorang pedagang asongan tampak sedang berdiri menjajakan dagangannya, "Permen, Non?" tawarnya sambil menyodorkan sebungkus permen ukuran sedang.
Yuli segera mengambil permen itu dan membayarnya dengan uang sepuluh ribuan. Ketika si pedagang sedang menyiapkan uang kembaliannya, tiba-tiba Pak Polantas sudah mengizinkannya untuk melaju. Melihat itu, Yuli segera menurunkan rem tangan dan mulai melaju bersama mobilnya.
"Tunggu, Non! Ini kembaliannya," tahan si pedagang tiba-tiba.
"Ambil saja untukmu!" teriak Yuli seraya mempercepat laju mobilnya.
Yuli terus melaju. Hari ini dia berniat mengunjungi kakek dan neneknya yang berada di luar kota, tepatnya di daerah Sukabumi. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya dia tiba di pekarangan rumah neneknya yang tampak begitu asri.
Sejenak Yuli memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu, dipandangnya rumah mungil yang sudah berumur puluhan tahun. Walau begitu, rumah itu tetap terawat dengan baik. Kemudian dilihatnya sang nenek yang lagi sibuk merajut di teras depan rumahnya. Lantas dengan segera Yuli keluar mobil dan menghampiri sang Nenek.
Sang nenek yang mengetahui kedatangannya tampak begitu senang, dia segera berdiri dan memeluknya dengan penuh kerinduan. "Aduh, cucu nenek semakin cantik saja," pujinya seraya mengecup kening Yuli dengan penuh kasih sayang. "Ayo... masuk, Cu!" ajaknya kemudian.
Yuli menuruti ajakan neneknya, dia melangkah masuk mengikuti sang Nenek yang masuk lebih dulu. Kini Yuli  sudah berada di ruang tamu sambil menatap ke sekeliling ruangan dengan penuh rasa kagum, matanya hampir tak berkedip memperhatikan setiap bagian yang menjadi ornamen di rumah itu. Walaupun sudah kelihatan tua, namun masih terlihat menarik, semuanya begitu unik dan antik.
"Semuanya tidak berubah ya, Nek. Semuanya Masih seperti dulu," kata Yuli mengomentari.
"Iya, Cu. Kakek dan nenek memang tidak mau merubahnya, sebab semua ini merupakan sejarah yang penuh dengan kenangan yang tiada ternilai harganya," jelas sang Nenek. "O ya, Cu. Silakan duduk! Nenek mau membuatkan minum dulu," lanjutnya kemudian.
Yuli segera duduk, sedangkan sang Nenek tampak melangkah ke dapur hendak membuatkan secangkir teh. Tak lama kemudian, Yuli beranjak menyusul neneknya ke dapur. Kini gadis itu sedang berada di samping neneknya yang tampak sibuk membuatkan minum, "Kakek ke mana, Nek?" tanyanya kepada sang Nenek.
"Kakekmu lagi pergi. Nenek juga tidak tahu ke mana perginya," jawab sang Nenek sambil terus mengaduk gula yang baru dimasukkannya. "O ya, Cu. Ngomong-ngomong... kenapa kau tidak kasih kabar dulu kalau mau datang kemari?" tanya sang Nenek kemudian.
"Yuli sengaja, Nek. Soalnya, Yuli mau memberi kejutan. O ya, Nek…" Yuli tampak berpikir, kemudian dia mulai melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Kau mau ke mana, Cu?" tanya neneknya tiba-tiba.
"Sebentar, Nek…! Aku akan kembali," jawab Yuli seraya mempercepat langkah kakinya.
Sang Nenek tampak mengerutkan keningnya, kemudian dia segera melangkah meninggalkan dapur. Di tangannya terlihat secangkir teh yang dialasi piring kecil bermotifkan bunga. Tak lama kemudian, sang Nenek sudah tiba di ruangan tamu dan langsung meletakkan teh yang dibawanya ke atas meja. Sementara itu, Yuli sedang mengambil dua buah bungkusan dari dalam mobilnya, kemudian dengan segera dia membawanya masuk.
"Ini, Nek…! Yuli bawakan buat Nenek, dan yang ini untuk Kakek," ucap Yuli seraya menyerahkan kedua bungkusan yang dibawanya.
Sang Nenek tampak mengambil bungkusan itu dari tangan Yuli. "Apa ini, Cu?" tanya sang Nenek sambil mengamati kedua bungkusan yang ada di tangannya.
"Itu oleh-oleh dari Ibu Kota, Nek. Yuli yakin, Nenek dan Kakek pasti suka," jawab Yuli seraya duduk di kursi yang ada di ruangan itu.
Sang Nenek tampak tersenyum, kemudian ikut duduk seraya meletakkan bungkusan yang ada di tangannya. Setelah itu dia mengambil cangkir minuman dan menyodorkannya kepada Yuli, "Ini diminum tehnya, nanti keburu dingin!" kata sang Nenek ramah.
Yuli segera menyambut minuman itu dan meminumnya sedikit. "Enak sekali teh ini, Nek!" puji Yuli seraya kembali menghirup teh itu sekali lagi.
"Itu teh spesial, Cu. Nenek sendiri yang meraciknya. Di dalamnya bukan hanya pucuk teh, tapi juga ada bunga-bungaan dan beberapa daun obat-obatan," jelas sang Nenek.
"Pantas rasa teh ini lain sekali, dan yang pasti betul-betul enak, Nek," puji Yuli sekali lagi seraya meletakkan cangkir tehnya.
Sang Nenek tampak tersenyum mengetahui cucunya suka dengan teh racikannya. Sementara itu tak jauh dari rumah, sang Kakek terlihat sedang mengendarai sepeda tuanya—menyusuri jalan tanah yang menuju ke rumah. Walaupun sudah tua, sang Kakek mampu mengayuhnya dengan begitu cekatan. Tak lama kemudian, dia sampai di tempat tujuan.
Kini sang Kakek sedang memperhatikan sedan mewah yang diparkir di pekarangannya, "Wah, itu pasti mobil menantuku. Dia pasti datang bersama anak dan cucuku," duganya dengan raut wajah yang begitu gembira.
Lalu tanpa buang waktu, sang Kakek segera memarkir sepedanya dan melangkah masuk. "Assalamu’alaikum…!" ucapnya seraya mengamati  orang-orang yang duduk di ruang tamu.
"Waaahhh… Yuliii...!" seru sang Kakek seraya menghampiri cucunya tersayang.
Bersamaan dengan itu, Yuli segera berdiri dan langsung memeluknya erat. Setelah itu sang Kekek tampak memandangnya dengan penuh suka cita, "Waduh-waduuuh... cucu kakek sudah jadi gadis dewasa rupanya, tambah cantik lagi… you are so beautiful and montok, you look pretty with this baju to," puji sang Kakek sambil terus memandangi wajah cucunya.
Yuli hanya tersipu mendengarnya, apalagi sang Kakek memujinya dengan bahasa Inggris yang dicampur aduk. Sang Nenek cuma tersenyum saja mendengar Kakek berbicara begitu, dan tak lama kemudian Yuli sudah duduk kembali di kursinya. Bersamaan dengan itu, sang Kakek ikut duduk di sebelahnya.
Sementara itu, sang Nenek justru beranjak dari tempat duduknya. "Kalian ngobrol saja dulu! Sekarang Nenek mau menyiapkan makan siang," ucapnya seraya melangkah pergi.
"Masak yang enak ya, Nek!" teriak sang Kakek, kemudian dia mulai bicara kepada cucunya tersayang, "Kau datang sendiri, Cu?" tanyanya agak kecewa.
"Iya, Kek," jawab Yuli singkat.
"Kenapa kedua orang tuamu tidak ikut ke mari?" tanya sang Kakek lagi.
"Mereka sibuk, Kek," jawab Yuli singkat.
"Huh, dari dulu mereka selalu begitu—terlalu sibuk dengan urusan dunia. Mereka sama sekali tidak peduli, kalau selama ini Kakek dan nenek sudah sangat merindukan mereka."
"Kakek benar, Yuli juga kurang setuju dengan sikap mereka. Selama ini, Yuli pun kurang diperhatikan. Selama ini mereka cuma memanjakan Yuli dengan materi, padahal bukan itu saja yang Yuli butuhkan. Yuli kan juga butuh perhatian dan kasih sayang, Kek."
"Sudahlah, Cu...! Sebenarnya mereka melakukan itu dengan maksud ingin membahagiakanmu, namun mereka tidak menyadari kalau hal itu justru membuatmu kesepian. Sebagai anak, kau harus terus berbakti kepada mereka, walaupun selama ini mereka kurang memperhatikanmu. O ya, ngomong-ngomong bagaimana kabar mereka?"
 "Baik, Kek—mereka sehat-sehat saja."
"Baguslah kalau begitu, terus... bagaimana dengan keadaan di sana?" tanya sang Kakek yang ingin mengetahui perkembangan Jakarta.
"Yaaa... kehidupannya tambah keras saja, Kek. Tidak seperti di sini, semua terasa sejuk dan damai, sedangkan di sana... semakin panas, penuh polusi, dan kejahatan pun semakin merajalela," jawab Yuli.
"O ya, masa sih," kata sang Kakek seakan tidak percaya. "O ya, Cu. Ngomong-ngomong bagaimana dengan kuliahmu?" tanyanya kemudian.
"Lancar, Kek," jawab Yuli singkat. "    O ya, Kek. Ngomong-ngomong, Kakek dari mana?" tanyanya kemudian.
"Yes yes yes... Kakek is baru jalan-jalan and looking-looking," jawab sang Kakek yang lagi-lagi sok berbicara dengan bahasa Inggris.
"Ah kakek bercanda saja," ucap Yuli dengan wajah cemberut.
"Aduh, Cu. Kau jangan ngambek seperti itu dong, nanti kau bisa cepat keriput kayak nenekmu. Masa masih mudah sudah keriput, nanti tidak ada yang mau loh."
"Habis... Kakek kalau ditanya serius selalu menjawab asal. Bagaimana Yuli tidak kesal."
"Iya, Iya... sekarang akan kakek jawab dengan serius. Begini, Cu... sebenarnya kakek baru pulang dari pasar. Tadinya sih kakek mau beli burung, tapi karena harganya terlalu mahal, kakek tidak jadi membelinya. Karenanyalah Kakek terpaksa pulang dengan tangan hampa," jawab sang Kakek polos.
"Memangnya Kakek ingin memelihara burung, ya?" tanya Yuli.
"Tidak, kakek cuma mau memelihara monyet."
"Tuh kan, mulai lagi deh," keluh Yuli.
"Iya, anak Manis... tentu saja kakekmu ini mau memelihara burung. Kan sebelumnya Kakek sudah bilang mau beli burung, bukannya mau beli monyet. Sebenarnya sih sudah lama Kakek ingin memelihara burung. Tapi karena nenekmu pelit, terpaksa kakek  harus mencari uang sendiri untuk membelinya."
"Jadi, uang yang diberikan oleh ayah selama ini, nenek yang pegang?"
Sang Kakek mengangguk, "Benar, Cu. Kata nenekmu, uang itu cuma untuk keperluan sehari-hari. Tapi Kakek tahu, bukan hal itu yang membuat nenekmu jadi pelit, namun karena beliau tidak mau aku memelihara burung. Kakek menduga, beliau takut kalau Kakek akan kembali lagi dengan perbuatan Kakek yang sudah lampau,"
"Memangnya perbuatan apa itu, Kek?’ tanya Yuli penasaran.
"Begini, Cu... pada masa muda dulu, kakekmu ini adalah seorang yang gemar mencari ilmu kebatinan. Sampai pada suatu ketika, Kakek mendapat wangsit yang mengharuskan memelihara burung tertentu. Menurut wangsit, Kakek harus memelihara burung itu hingga bersuara merdu, dan setelah burung itu bersuara merdu, Kakek diharuskan menelan hatinya mentah-mentah. Dengan demikian, Kakek akan mempunyai suara yang merdu, semerdu suara burung itu. Bukan cuma itu saja, Cu. Kakek pun akan mempunyai lidah yang setajam pedang, maksudnya setiap yang berbicara dengan Kakek akan menjadi luluh hatinya."
"Terus... apa yang terjadi kemudian? Kenapa Nenek sampai tidak menyukainya?"
"Itulah, Cu. Karena ilmu tersebut, kakekmu ini banyak yang menyukai. Terutama gadis-gadis cantik, dan hal itu membuat nenekmu cemburu buta—beliau mengancam akan meninggalkan Kakek, seandainya Kakek masih memiliki ilmu tersebut. Karena Kakek sangat mencintai nenekmu, makanya Kakek lebih mengutamakan beliau dari pada ilmu tersebut, dan akhirnya Kakek mencari orang pintar yang mampu menghilangkan ilmu itu sampai tidak tersisa lagi."
"Kakek sih, bukannya mempelajari ilmu yang bermanfaat untuk kepentingan orang banyak, tapi justru memperlajari ilmu yang seperti itu."
"Iya, Cu. Kakek memang telah menyesali perbuatan itu, dan setelah mendapat bimbingan dari orang pintar yang menolong Kakek itu, akhirnya Kakek sadar, dan mulai sejak itu Kakek cuma mencari ilmu yang berguna untuk kepentingan orang banyak. Sekarang Kakek mau memelihara burung cuma untuk mengisi waktu luang, sebagai hobi saja, Cu."
"Hmm... kalau begitu sih tidak apa-apa, Kek. O ya, bagaimana kalau sekarang kita ke pasar untuk membeli burung yang kakek inginkan itu!" Ajak Yuli berniat membelikan burung yang diinginkan kakeknya.
"Terima kasih, Cu! Saat ini Kakek sudah terlalu lelah, sekarang Kakek mau bersantai di rumah," jawab sang Kakek menolak.
"Baiklah, Kek!" ucap Yuli seraya mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dari dalam dompetnya, kemudian uang itu segera diletakkan di genggaman kakeknya. "Ini buat Kakek, dengan uang ini Kakek bisa membeli burung yang Kakek inginkan itu, dan Kakek bisa membelinya kapan saja Kakek mau," jelasnya kemudian.
"Aduuuh, Cu. Ini kan banyak sekali," ucap sang Kakek enggan.
"Terima saja, Kek! Terus terang, Yuli ingin sekali Kakek memiliki burung itu, dan Yuli akan merasa senang kalau Kakek bisa mewujudkan keinginan itu," desak Yuli.
"Baiklah, Kakek akan menerimanya. Terus terang, Kakek sangat bahagia dan sangat berterima kasih karena kau sudah begitu peduli dengan kakekmu ini," kata sang Kakek merasa haru akan perhatian yang telah diberikan oleh cucunya.
Pada saat itu, Yuli tampak tersenyum puas. Dia benar-benar senang karena bisa membahagiakan kakeknya yang sudah begitu banyak berjasa. Sejenak Yuli memperhatikan kakeknya dengan penuh cinta, kemudian di benaknya terbayang akan masa lalu yang begitu penuh dengan asam garam kehidupan. Masa itu adalah masa-masa kedua orang tua Yuli sedang mengalami kesulitan, masa-masa dimana mereka masih hidup miskin dan serba kekurangan. Pada saat itu, kedua orang tua Yuli masih menumpang di rumah orang tua mereka, yaitu kakek dan neneknya Yuli. Waktu itu, usia Yuli masih lima tahun jalan.
Pada masa susah itu, sang Ayah berusaha keras dengan berjualan hasil kebun di pasar tradisional, namun hasil yang didapatnya sama sekali tidak mencukupi. Hingga pada suatu ketika, disaat Yuli berusia 8 tahun. Sang Ayah memberanikan diri untuk mengadu nasib ke Ibu Kota Jakarta, sedangkan sang Ibu menggantikan pekerjaan suaminya sebagai penjual hasil kebun di pasar tradisional. Selama sang Ibu pergi ke pasar, Yuli terpaksa ditinggal di rumah bersama kakek dan neneknya. Selama ditinggal, kakek dan neneknya-lah yang selalu mengasuh dan merawat Yuli dengan penuh kasih sayang. Sang Kakek sering sekali mengajaknya pergi berburu ke hutan maupun menjala ikan di sungai.
Kini semua itu telah menjadi kenangan Yuli yang tak mungkin dilupakan, dan karena kenangan itu pula Yuli menjadi lebih peduli kepada orang-orang yang hidup serba kekurangan dan membuatnya ingin selalu menolong mereka. Sebab, sekarang ini Yuli hidup di lingkungan keluarga yang serba berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang membuka bisnis besar-besaran di luar negeri, sedangkan ibunya mempunyai sebuah perusahaan kue dengan omset yang cukup besar. Selama ini mereka berdua memang sangat tekun dalam menjalankan usahanya masing-masing, dan karena ketekunan yang luar biasa itu, mereka berhasil mencapai taraf kehidupan yang bisa dibilang sangat mapan—pengusaha sukses yang kaya raya. Mereka dapat menyekolahkan Yuli dan memenuhi segala kebutuhannya dengan berlebihan. Selama ini mereka selalu memanjakan Yuli dengan materi yang Yuli sendiri kurang suka, sebab Yuli harus menukarnya dengan tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya.
Tiba-tiba Yuli tersadar, kemudian dia segera memeluk kakeknya yang sangat disayangi. "Kek, kita ngobrol-ngobrol di luar yuk!" ajaknya kemudian.
"Iya, Cu. Tapi... Kakek mau menyimpan uang ini dulu."
"Iya, Kek. Kalau begitu Yuli tunggu di teras ya," kata Yuli seraya melangkah ke luar, sedangkan sang Kakek terlihat melangkah ke kamarnya.
Di teras, Yuli terlihat duduk sendirian. Suasana saat itu terasa sepi sekali. Kini Yuli beranjak dari duduknya, kemudian melangkah ke pekarangan untuk melihat-lihat bunga-bunga yang tumbuh di tempat itu. Tak lama kemudian Sang kakek sudah keluar, dia tampak berdiri di teras sambil memperhatikan cucunya.
"Cu! Kau sedang apa di situ? Ayo lekas kemari!" serunya kemudian.
"Iya, Kek," sahut Yuli seraya menghampiri sang Kakek.
Kini Yuli dan kakeknya sudah duduk di kursi teras, kemudian keduanya tampak berbincang-bincang dengan akrabnya. Tak lama kemudian, sang Nenek datang dan menghampiri mereka. "Kek, Cu! Masakannya sudah siap. Ayo kita makan sama-sama!" ajaknya kemudian.
Yuli dan kakeknya segera beranjak bangun dan melangkah bersama ke meja makan. Setelah makan, Yuli dan neneknya terlihat sibuk berbenah. Setelah semuanya beres, Yuli segera menemui kakeknya yang sedang asyik bersantai di ruang tamu.
"Kek, Yuli mau menanyakan sesuatu sama Kakek," kata Yuli seraya duduk di samping kakeknya.
"Apa itu, Cu?" tanya sang Kakek penasaran.
"Begini, Kek. Waktu itu, Yuli menemukan uang logam emas."
"Uang logam emas?" sang Kakek tampak mengerutkan keningnya.
"Ini, Kek. Uangnya," kata Yuli seraya menyerahkan uang itu kepada kakeknya.
"Di mana kau menemukannya?" tanya sang Kakek seraya mulai mengamati uang itu.
"Di pelataran parkir, Kek," jawab Yuli.
Sang kakek masih mengamati uang logam itu dengan seksama, kemudian membaca tulisan kuno yang tertera di atasnya dengan begitu serius, "Lho ini kan uang peninggalan zaman Kerajaan Majapahit," jelas kakeknya.
Tiba-tiba sang kakek merasakan getaran aneh dari koin tersebut, dia merasakan energi yang begitu besar mengalir melalui telapak tangannya.
"Kenapa, Kek?" tanya Yuli heran melihat kakeknya tiba-tiba terlihat begitu tegang.
"Tidak, Cu. Tidak apa-apa," jawab sang Kakek tidak berterus terang.
"Tapi, kenapa tadi Kakek begitu tegang?" tanya Yuli lagi.
"Sudahlah…! Sebaiknya uang logam ini kausimpan baik-baik, bawalah ke mana saja kaupergi!" pesan sang Kakek seraya menyerahkan koin itu kepada Yuli.  
Yuli menuruti pesan kakeknya, dia segera menyimpan koin itu baik-baik. Setelah itu dia tampak bertanya-tanya dalam hati, "Hmm... apa ya keistimewaan lain koin emas itu? Menurutku keistimewaannya cuma pada kemilau dan bentuknya saja. Selebihnya, tidak ada lagi yang istimewa. Tapi... kenapa beliau berpesan demikian? Sepertinya koin itu memang benar-benar istimewa. Tadi beliau tampak begitu tegang ketika memegangnya, sepertinya memang ada sesuatu yang beliau rasakan, namun sayangnya beliau tidak mau mengatakan hal itu."
"Ehem...!" Tiba-tiba sang Kakek membuyarkan lamunannya. "O ya, Cu. Sekarang Kakek mau istirahat. Kalau kau mau istirahat, kau bisa tidur di kamar sebelah. Nenekmu pasti sudah menyiapkannya."
"Iya, Kek. Selamat beristirahat!" ucap Yuli seraya tersenyum
Sang Kakek pun tersenyum, kemudian dia mulai melangkah menuju ke kamarnya. Sementara itu, Yuli masih duduk di ruangan itu, dia masih saja memikirkan perihal uang logam emas yang diduganya mempunyai keistimewaan lebih. Ketika sedang serius memikirkan uang itu, tiba-tiba nada HP yang menandakan telepon dari Jodi berbunyi.
"Hallo, Jo!" sapa Yuli.
"Hallo, Yul! Apa kabar?" tanya Jodi.
"Aku baik-baik saja, Jo" jawab Yuli. "Kau lagi di mana?" tanyanya kemudian.
"Aku lagi di kantor ayahku," jawab Jodi. "Nanti malam kau ke rumahku ya!" lanjutnya kemudian.
"Memangnya ada apa, Jo?" tanya Yuli.
"Pokoknya ada deh…" jawab Jodi merahasiakan.
"Aduh, Jo... maaf ya! Sepertinya aku tidak bisa."
"Memangnya kau sudah tidak peduli dengan aku lagi ya?"
"Bukan begitu, Jo! Malam ini aku mau menginap di rumah kakek dan nenekku."
"Iya iya... kakekmu memang lebih penting. Baiklah... kalau kau memang tidak bisa datang, aku pun tidak akan memaksa," ucap Jodi dengan nada kecewa.
"Jo.. kau marah ya?"
"Tidak, aku bisa mengerti kok."
"Baiklah, Jo… Nanti malam aku akan ke rumahmu," janji Yuli.
"Sungguh! Kalau begitu, aku tunggu ya. Sampai jumpa nanti malam, bye…" ucap Jodi dengan nada yang terdengar begitu gembira.
"Bye…" balas Yuli seraya memutuskan sambungan dan menyimpan HP-nya kembali. Kini dia sudah melangkah ke kamar yang memang sudah dipersiapkan untuknya, kemudian dia segera beristirahat di tempat itu



Sore harinya Yuli sudah terbangun. Setelah mencuci muka, dia langsung menemui kakeknya yang sedang asyik bersantai di ruang tamu. Kini dia sudah duduk di sebelah kakeknya dan langsung mengajak beliau berbincang-bincang. Tak lama kemudian, neneknya datang dengan membawa makanan kecil untuk mereka.
Kini ketiganya tampak asyik bersenda-gurau sambil menikmati makanan kecil yang telah dibawa oleh sang Nenek. Mereka terus bersenda-gurau hingga akhirnya Yuli berpamitan untuk pulang ke Jakarta.
"Kok tidak menginap saja, Cu?" tanya neneknya.
"Sebenarnya aku ingin menginap, Nek. Tapi karena ada keperluan mendadak, aku harus segera pulang," jelas Yuli menyesal.
"Ya sudah… hati-hati di jalan ya, Cu!" pesan kakeknya.
"Iya, Cu… jangan ngebut!" timpal neneknya.
Dengan perasaan berat, akhirnya Yuli berangkat meninggalkan keduanya. Dia tampak mengemudikan mobilnya keluar dari pekarangan dengan sangat perlahan. Sejenak dia melirik ke kaca spion untuk melihat kakek dan neneknya yang masih saja melambaikan tangan. Tak lama kemudian, dia sudah berada di tengah jalan dan langsung memacu mobilnya menuju ke Jakarta. Sementara itu di tempat lain, seorang kakek terlihat sedang memanjatkan doa di depan sebuah makam, di sisinya tampak sebuah botol mawar yang sudah kosong.
Dialah sang Kakek yang waktu itu berpapasan dengan Branden dan Rani ketika sedang berziarah ke makam Yana. Kini kakek itu tampak menadahkan tangannya untuk berdoa. Dia tampak berdoa dengan begitu khusuk, kedua matanya tampak berkaca-kaca.
Selesai sang Kakek berdoa, tiba-tiba angin sepoi-sepoi tampak bertiup di tempat itu. Pada saat yang sama, sebuah bunga kamboja bermahkota lima tiba-tiba jatuh dihadapannya. Sang kakek segera memungut bunga itu dan menciumnya dengan penuh perasaan, kemudian segera menyimpannya di saku baju.
Kini sang Kakek tampak melangkah menuju ke makam orang tua Yana yang letaknya tidak begitu jauh. Di tempat itu sang Kakek juga berdoa, dia mendoakan kedua orang tua Yana agar senantiasa diberikan kelapangan kubur. Selama ini dia memang sering berdoa untuk mereka. Sebab semasa hidup, Yana selalu berbuat baik kepada kakek itu, bahkan dia sudah menganggapnya seperti orang tuanya sendiri. Setiap kali berkunjung ke makam orang tuanya, Yana selalu melihat makam itu dalam keadaan bersih dan rapi. Itu semua karena sang Kakek yang selalu merawat makam orang tua Yana dengan baik. Karenanyalah, setiap hendak pulang Yana selalu memberikan uang sekedarnya kepada kakek itu sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, dan hal itu terus berlanjut, sampai akhirnya mereka akrab seperti anak dan ayah.



Malam harinya, seorang pria tampak sibuk mempersiapkan sebuah pesta kecil di rumahnya. Dialah Jodi yang akan memberikan pesta kejutan buat Yuli, sebuah pesta kecil untuk merayakan keberhasilan Yuli yang telah terpilih sebagai pemain piano terbaik tingkat Nasional. Jodi berniat merayakannya semata-mata hanya untuk menarik simpati Yuli. Selama ini Jodi memang menyukai Yuli, dan Yuli sendiri diam-diam sudah mencintai pemuda itu. Perhatian Jodi selama ini telah membuatnya begitu tersanjung, bahkan dia merasa Jodilah orang yang pantas menjadi kekasihnya.
Jodi tampak masih mengatur persiapan pesta, kini dia sedang memberikan sentuhan terakhirnya. Serangkai mawar yang begitu manis tampak diletakkannya di atas meja, kemudian disusul dengan sebotol sampanye yang juga diletakkan di atas meja. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba istri Jodi yang bernama Maemi datang ke rumah itu. Dia sengaja datang untuk mengabarkan sebuah kabar gembira kepada suaminya, sekaligus ingin menghadiri resepsi pernikahan temannya yang ada di Jakarta.
"Wah! Mau ada pesta rupanya," kata Maemi kepada suaminya yang saat itu tidak menyadari kedatangannya.
"Eh... kau, Sayang… Kok tidak bilang-bilang kalau mau datang?" tanya Jodi yang sedikit terkejut akan kehadiran istrinya yang begitu tiba-tiba.
"Aku mau memberi kejutan untukmu, Sayang…" jawab Maemi.
"Kejutan... apa itu?" tanya Jodi penasaran.
"Ini…" kata Maemi seraya menyodorkan selembar surat.
Jodi segera mengambil surat itu dan mulai membacanya, "Apa! Kau hamil…" katanya terkejut.
"Benar, Sayang… Kau senang kan mendengar kabar ini?" tanya Maemi sambil tersenyum dan memegang tangan suaminya dengan lembut.
"Tidak!!! Aku belum siap untuk menjadi seorang ayah. Kenapa kau tidak memberitahuku kalau ingin mempunyai bayi? Pantas akhir-akhir ini kau sering pergi ke dokter, rupanya ini… Huh! Menyebalkan," kata Jodi dengan nada marah. 
"Maaf, Sayang...! Selama ini aku memang sudah mendambakan seorang bayi. Begitu ada dokter yang sanggup menyuburkan kandunganku, aku pun tidak mau menyia-nyikannya. Semula kupikir kau pun akan senang, tapi ternyata aku keliru. Kenapa kau tidak mau mengerti perasaanku, Jo...? Kenapa?" tanya Maemi dengan nada memelas.
"Pokoknya aku tidak mau punya bayi, titik... dan kau harus menggugurkan kandunganmu itu secepatnya!"
"Tidak, Jo! Aku tetap akan memelihara bayi di kandunganku ini," kata Maemi seraya menitikkan air matanya.
"Maemi, Dengar!! Kalau kau tetap mau menjadi istriku, kau harus mau menggugurkan kandunganmu itu!"
"Kenapa kau berkata semudah itu, Jo. Kenapa??" tanya Maemi dengan nada yang meninggi. "Apakah kau memang sudah mempunyai yang lain?" tanyanya lagi.
"Apa maksudmu?" tanya Jodi.
"Kau mempunyai wanita simpanan kan? Lihat ini!" kata Maemi seraya menunjukkan rangkaian buka mawar dan mengambilnya. "Kenapa kau membuat ruangan ini begitu romantis? Kau hendak mengundang seorang wanita kan?" kata Maemi lagi seraya mencampakkan rangkaian mawar yang ada di genggamannya, kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Maemi tungguuu…" Jodi berusaha mencegah, namun Maemi tidak peduli, dia terus melangkah menjauhi suaminya.
Jodi yang tidak bisa mencegah kepergian istrinya hanya bisa mematung sambil menatap kepergiannya, kemudian dia terduduk di sofa dengan segala kegundahan di hatinya. Sementara itu, Maemi yang baru saja keluar dari pintu depan tiba-tiba menghentikan langkahnya, sedangkan kedua matanya tampak memperhatikan Yuli yang sedang melangkah ke arahnya. "Hmm ini rupanya wanita itu…" duga Maemi dalam hati.
"Selamat malam," sapa Yuli kepada Maemi.
"Malam," balas Maemi ketus. "Heh, dengar ya wanita jalang! Kau tidak akan bisa hidup bahagia bersama Jodi, suatu saat kau pun akan bernasib sama seperti aku—dicampakkannya seperti sampah. Kalau kau mau tahu, aku ini istrinya Jodi yang sengaja datang dari Tokyo untuk memberitahukan tentang bayi di kandunganku ini. Dan demi kau dia malah menyuruhku untuk menggugurkannya."
"Maaf! Sebenarnya apa maksud semua perkataanmu itu?" tanya Yuli bingung.
"Heh! Kau masih juga belum mengerti. Bukankah kau wanita simpanan Jodi? Sudahlah… kau tidak perlu mungkir! Kau memang lebih cantik dari aku, pantas kalau dia lebih menginginkanmu ketimbang aku," jelas Maemi seraya berpaling dari pandangan Yuli dan bergegas pergi.
"Hai… tunggu! Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa kau menuduhku sebagai wanita simpanan?" tanya Yuli agak kesal.
Maemi tidak mempedulikannya, dia terus saja melangkah pergi. Sementara itu, Yuli cuma terpaku menatap kepergiannya, kemudian dia melangkah menuju ke pintu depan. Jodi yang mengetahui kedatangannya segera keluar dan mempersilakannya masuk. Kini keduanya sudah melangkah menuju ke ruang  tengah. 
"Jo, siapa wanita tadi?" tanya Yuli tiba-tiba.
"O… dia itu rekan bisnisku," jawab Jodi berbohong.
"Benarkah?" tanya Yuli ragu.
"Benar, Yul. Sebenarnya tadi dia sengaja datang untuk mengajakku makan, dan ketika aku menolak karena sudah ada janji denganmu, mendadak raut wajahnya berubah. Aku pun tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti itu, sepertinya dia tidak senang dengan keputusanku."
"Apakah kau ada hubungan khusus dengannya?" tanya Yuli menyelidik.
"Maksudmu?"
"Apakah kau dan dia menjalin hubungan selain urusan bisnis."
"Tidak, selama ini aku dan dia murni hanya sebagai rekan bisnis saja."
"Mungkinkah dia mencintaimu?"
"Entahlah... aku juga tidak tahu. Kalau memang benar begitu, aku bisa mengerti jika dia tiba-tiba menjadi seperti itu. Sudahlah Yul, kita lupakan saja perihal dia! Nanti aku akan bicara padanya dan menjernihkan semuanya."  
Tak lama kemudian, keduanya sudah tiba di ruang tengah. "Silakan duduk Yul!" pinta Jodi ramah.
"Ngomong-ngomong, sebenarnya ada apa sih?" tanya Yuli semakin penasaran begitu melihat ruangan itu tampak begitu romantis.
"Selamat ya, atas keberhasilanmu sebagai pemain piano terbaik tingkat Nasional," ucap Jodi seraya mencium pipi kiri dan kanan Yuli.
Setelah itu, Yuli tampak menatap Jodi dengan mata yang berkaca-kaca. "Terima kasih, Jo... kau sungguh perhatian dan begitu baik padaku. Orang tuaku saja tidak peduli dengan semua itu," ucapnya haru.
"Sudahlah...! Bukankah kau sahabatku," kata Jodi seraya membuka sebotol sampanye dan menuangkannya pada dua buah gelas yang sudah dipersiapkan, kemudian mereka bersulang merayakan kesuksesan itu. Raut wajah Yuli tampak begitu ceria, dan dia sangat bersyukur  karena mempunyai sahabat sebaik Jodi.
"Tunggu ya, Yul! Aku  mau ke kamar sebentar," pamit Jodi tiba-tiba.
Yuli mengangguk, sejenak dia memperhatikan kepergian Jodi yang sudah melangkah ke kamarnya. Sambil menunggu, Yuli tampak merenungi kejadian ketika bersama Maemi tadi. Dia benar-benar masih saja bingung dengan perihal itu, "Hmm... sebenarnya siapa wanita tadi, kenapa dia mengaku sebagai istri Jodi dan menuduhku sebagai wanita simpanan? Mungkinkah dia memang mencintai Jodi? Dan dia berkata demikian lantaran cemburu karena Jodi lebih mementingkan kehadiranku. Jika memang demikian, aku bisa memakluminya. Tapi kalau Jodi berbohong, berarti wanita itu memang benar-benar istrinya? Ah, sudahlah... aku percaya kalau Jodi telah berkata jujur, selama ini kan dia telah begitu baik padaku."
Kini Yuli tampak mengeluarkan koin emas yang selama ini masih menjadi misteri, kemudian mengamatinya dengan begitu seksama. Saat itu dia masih belum mengerti kenapa kakeknya berpesan untuk menjaga koin emas itu, "Sebenarnya... apa keistimewaan koin ini ya?" tanya Yuli membatin.
 Sementara itu di dalam kamar, Jodi tampak sedang membuka laci lemari. Rupanya dia sedang mengambil hadiah yang akan diberikan kepada Yuli. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara wanita memanggil,     "Jo… Jodiii...!" panggil wanita itu dengan suara yang terdengar parau.
"Siapa kau?" tanya Jodi seraya celingukan mencari asal suara itu, "Di-di mana kau?" tanyanya lagi.
"Aku di sini, Jo," jawab orang yang memanggil.
Jodi segera memalingkan wajahnya ke arah asal suara itu, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok Yana sedang berdiri di sudut ruangan sambil tersenyum dingin.
"Ka-kau! Kenapa kau ma-ma-masih menggangguku?" tanya Jodi ketakutan.
"Maafkan aku, Jo! Aku terpaksa datang menemuimu lagi. Sebenarnya kedatanganku hanya untuk menyampaikan sebuah permintaan, dan kau tidak perlu takut karenanya," ucap sosok wanita itu.
"Pe-pe-permintaan...? Permintaan apa itu?" tanya Jodi masih saja ketakutan.
Kemudian sosok wanita itu segera mengatakan permintaannya, dia menghendaki agar Jodi mau menjelaskan perihal jati dirinya kepada Rani, yaitu bahwa dia telah mempunyai istri dan selama ini cuma mempermainkan Rani saja.
"Ti-ti-tidak! Itu tidak mungkin," tolak Jodi.
"Kenapa, Jo???" tanya sosok wanita itu dengan kening berkerut.
"Pokoknya a-a-aku tidak mau. Aku tidak mungkin mengatakan hal itu."
"Kurang ajar!!! Dasar banci…!!!" teriak sosok wanita itu seraya melayangkan sebuah vas keramik dan menjatuhkannya tepat di depan kaki Jodi.
Sementara itu, Yuli yang sedang mengamati koin emasnya seketika terkejut—dia benar-benar sangat kaget mendengar suara pecahan itu. Kemudian sambil tetap memegang koinnya, Yuli segera naik ke lantai atas untuk memeriksa, dan tak lama kemudian dia sudah berada di kamar Jodi. "Ada apa, Jo?" tanya Yuli seraya melihat pecahan vas yang berserakan.
Jodi tidak bicara, dia masih terus menatap sosok Yana dengan penuh ketakutan. Melihat Jodi seperti itu, Yuli tampak semakin heran, kemudian dia segera memandang ke arah pemuda itu melihat. Betapa terkejutnya Yuli ketika melihat sosok Yana sedang menyeringai di sudut ruangan. Tak ayal, Yuli langsung tergeletak pingsan. Bersamaan dengan itu, koin emas yang ada di genggamannya tampak menggelinding ke arah sosok Yana dan berhenti persis di bawah kakinya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sosok Yana berteriak histeris, terkena sinar keemasan yang tiba-tiba saja terpancar mengenai tubuhnya. Karena merasakan hawa panas yang seakan membakar tubuh, akhirnya sosok Yana segera menjauhi koin tersebut. Mengetahui itu, Jodi segera memungut koin emas itu dan langsung mengarahkannya ke hadapan sosok Yana. Tak ayal, sosok Yana kembali berteriak histeris, tak kuasa menahan hawa panas yang semakin membakar tubuhnya. "Aaah… panaaasss…!" teriak sosok wanita itu seraya menghilang dari pandangan.
Melihat itu, Jodi tampak  senang sekali, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha! Dengan koin ini aku akan aman dari arwah sialan itu, dan dia tidak mungkin berani mendekatiku lagi. Ha ha ha...!" ucap Jodi sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah puas tertawa, Jodi segera membopong Yuli dan merebahkannya di atas tempat tidur, kemudian memandangnya dengan penuh gairah. "Tidak, ini bukan saat yang tepat. Aku tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini," katanya dalam hati, kemudian pandangannya segera beralih ke koin yang berada di genggamannya.
Jodi masih terus mengamati koin yang membuatnya begitu takjub. Pada saat itu, tiba-tiba Yuli tersadar dari pingsannya. Dia tampak duduk di atas tempat tidur sambil mengamati sekelilingnya, "Di-di-di mana arwah tadi?" tanyanya dengan raut wajah yang masih tampak ketakutan.
"Tenang Yul, arwah itu sudah pergi—dia tak kuasa menghadapi koin ini," jelas Jodi seraya menyerahkan koin itu kepadanya.
"Koin ini bisa mengusirnya?" tanya Yuli seakan tidak percaya, kemudian dia mengamati koin yang kini berada di telapak tangannya.
"Benar, Yul. Sepertinya arwah itu merasa kepanasan bila berdekatan dengan koin itu."
"Ngomong-ngomong... kenapa arwah itu mendatangimu, Jo?"
"Entahlah… aku juga tidak tahu, kenapa arwah itu selalu mendatangiku. Padahal, aku tidak pernah berbuat macam-macam," kata Jodi merahasiakan kejadian sesungguhnya.
"Kalau begitu, sebaiknya koin ini kau pegang saja! Dengan demikian arwah itu tidak akan mengganggumu lagi," kata Yuli sungguh-sungguh.
Sosok Yana yang mendengarkan percakapan mereka dari kejauhan tampak begitu geram—dia kesal sekali melihat Jodi yang sengaja membodohi Yuli agar bisa memiliki koin tersebut.