E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 8

Delapan



Menjelang siang, Bobby dan Dewi sampai di sebuah lembah yang begitu indah. Langit di atas kepala mereka terlihat agak mendung, awan hitam yang berarak tampak mulai menyelimuti angkasa. Di kejauhan terlihat bukit dimana Desa Mahoni berada, di bawahnya tampak terhampar pohon padi yang menghijau. Kini kedua muda-mudi itu terlihat sedang berdiri di persimpangan jalan.
"Wi, kalau ini jalan ke mana ya?" tanya Bobby tiba-tiba.
"Kalau tidak salah, jalan ini menuju ke Desa Jati, Kak," jelas Dewi.
Bobby kembali memandang ke langit, kini dia melihat awan hitam tampak semakin menebal. Kemudian matanya memandang ke sebuah saung yang berada di tengah-tengah sawah, jaraknya kira-kira lima ratus meter dari tempatnya berdiri.
"Wi? Sepertinya hujan akan segera turun, ayo kita berteduh di saung itu!" ajak Bobby seraya menggandeng lengan kekasihnya.
Kini kedua muda-mudi itu tengah melangkah menyusuri pematang sawah, pada saat itu hujan rintik-rintik mulai turun menyiram keduanya. Menyadari itu, keduanya lantas segera berlari menuju saung yang sudah tak begitu jauh. Namun belum sempat mereka tiba di sana, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Siraman air hujan itu sempat membuat sebagian pakaian mereka menjadi basah kuyup. Dan setibanya di saung, mereka langsung duduk bersila di tengah balai yang terbuat dari bambu.
Kini mata keduanya tampak memandang ke arah bukit, sejauh mata memandang hanya terlihat pemandangan yang tertutup kabut. Sementara itu, angin dingin tampak bertiup kencang, membuat butiran hujan sesekali tampyas—menyiram kedua tubuh yang kini sedang kedinginan. Dewi menggigil, hawa dingin yang dirasakannya terasa menyeruak hingga ke dalam tulang. Giginya yang putih bersih bergemeretak menahan dinginnya hembusan angin, sedang bibirnya yang mungil terlihat agak pucat—bergetar bersamaan dengan gemeretak suara giginya. Bobby pun mengalami hal serupa, kemudian dia mendekap kekasihnya dengan erat. Pipinya tampak menempel di wajah kekasihnya, dengan maksud saling memberi kehangatan.
Gemuruh hujan terus terdengar hingga tengah hari. Dan lambat-laun mulai mereda, bersamaan dengan suara guntur yang terdengar semakin jauh, hingga akhirnya hujan berhenti dengan diiringi suara katak yang saling bersahutan. Namun begitu. kedua muda-mudi itu masih saja saling berdekapan.
"Kak... ayo kita pergi dari sini!" Ajak Dewi dengan bibir bergetar.
"Sabar, Sayang... kita tunggu hingga matahari kembali bersinar," kata Bobby seraya memandang mata kekasihnya dan menyiap rambut kekasihnya hingga ke belakang telinga.
"Tidak Kak... kita harus segera meninggalkan tempat ini," kata Dewi dengan tatapan penuh harap.
"Baiklah, Sayang... kalau begitu ayo kita pergi dari sini!" ajak Bobby seraya berkemas-kemas.
Tak lama kemudian, keduanya sudah melanjutkan perjalanan, melangkah bersama sambil bergandengan tangan. Kini mereka sedang berjalan menyusuri pematang, di kanan-kiri mereka terhampar padi yang baru berusia satu minggu. Sementara itu di atas kepala mereka, matahari sudah kembali bersinar, cahayanya yang hangat menembus melalui pakaian mereka yang basah. Bobby dan Dewi terus melangkah, sesekali mereka tampak berlari kecil. Hingga akhirnya mereka tiba di kaki bukit.
Kini mereka mulai menyusuri jalan setapak yang mendaki. Sementara itu di saung tempat mereka berteduh, terlihat sebuah sapu tangan putih yang di sudutnya bertuliskan nama Dewi. Dan tak jauh dari saung itu, terlihat dua orang penunggang kuda yang sedang mendekati tempat itu. Kini kedua penunggang kuda itu sudah berhenti persis di depan saung. Salah satunya terlihat turun dan mengambil sapu tangan yang tergeletak itu.
"Tidak salah lagi, mereka memang melintasi tempat ini," kata Pak Gahar dengan sinar mata yang berbinar-binar. "Ayo Mir kita lanjutkan perjalanan!" ajak Pak Gahar seraya kembali naik ke atas kudanya.
Kemudian kedua lelaki itu segera memacu kudanya masing-masing menyusuri pematang sawah yang sempit.  Sementara itu, Bobby dan Dewi masih terus melangkah. Kini mereka telah tiba di lereng bukit. Di kanan mereka tampak tebing terjal yang berdiri kokoh, dan di kiri mereka terlihat pemandangan lembah yang begitu indah.
"Lihat, Kak! Di depan ada jalan bercabang," seru Dewi tiba-tiba.
"Benar, Wi. Ayo, kita segera ke sana!" ajak Bobby seraya mempercepat langkah kakinya. Kini mereka sudah berdiri di persimpangan itu, keduanya tampak sedang bingung memilih jalan. Jalan yang satu tampak landai mengitari lereng bukit, sedang yang satunya lagi berupa undakan yang mendaki tebing terjal.
"Kita lewat jalan yang landai saja, Wi. Tampaknya jalan yang mendaki ini cukup sulit dilalui." 
"Jangan, Kak! Sebaiknya kita lewati jalan yang mendaki ini, hanya ini jalan yang aman untuk kita tempuh. Aku yakin mereka tidak akan melalui jalan ini."
"Tapi, Wi. Jalan ini tampaknya cukup berbahaya. Aku mengkuatirkanmu, Wi?"
"Tidak apa-apa, Kak. Selain itu, tampaknya jalan ini lebih dekat ke desa yang berada di atas  bukit."
"Baiklah kalau begitu, kita akan melewati jalan mendaki ini."
Belum sempat mereka melangkah, tiba-tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda mendekat.
"Kak! Jangan-jangan... itu Pak Gahar," ucap Dewi resah.
Bobby memandang kekasihnya yang tampak ketakutan, "Kalau begitu... ayo, Wi! Lekas kita sembunyi!" ajaknya kemudian.
Lalu dengan segera, kedua muda-mudi itu bersembunyi di balik semak yang berada di bawah jalan setapak. Dan tak lama kemudian, kedua ekor kuda yang ditunggangi Pak Gahar dan Pak Amir tampak mulai melintas. Bobby dan Dewi tampak menahan nafas. Lalu dengan perasaan berdebar, keduanya terus mengamati kedua penunggang kuda itu, hingga akhirnya mereka bisa bernafas lega karena kedua penunggang kuda itu telah pergi jauh melintasi jalan yang landai.
"Ayo, Wi! Mereka sudah pergi jauh!" ajak Bobby seraya menggandeng lengan kekasihnya melewati jalan yang mendaki, kemudian dengan sangat berhati-hati keduanya berusaha menyusuri undakan yang menanjak.
"Pengang erat-erat tanganku, Wi!"
"Iya, Kak," ucap Dewi menurut.
Keduanya terus mendaki, menyusuri tebing terjal yang licin dan tampak tidak bersahabat. Ketika hampir melewati undakan terakhir, tiba-tiba Dewi tergelincir. Gadis itu terpekik sambil terus berpegangan pada tangan kekasihnya. Pada saat itu, Bobby tampak berusaha keras menahan kekasihnya agar tidak meluncur ke bawah. "Ayo Wi, pegang tanganku yang satu lagi!" pinta pemuda itu seraya meraih tangan Dewi yang satunya.
Sambil terus memegang kedua tangan Bobby, Dewi tampak berusaha bangkit, hingga akhirnya gadis itu bisa berdiri kembali di salah satu undakan. Saat itu, wajah Dewi tampak sedikit pucat lantaran keterkejutannya yang tak terkira. Tak lama kemudian, kedua muda-mudi itu sudah kembali mendaki, mereka terus mendaki dengan susah payah, hingga akhirnya mereka sampai di tanah yang agak landai.
"Wi,  sebaiknya kita beristirahat di tempat ini. Lihatlah... sebentar lagi malam akan tiba. O ya, bisakah kau membantuku mencarikan ranting dan rumput kering. Aku sendiri akan mencari pohon yang sesuai untuk tempat kita beristirahat."
Setelah berkata begitu, Bobby segera mencari pohon yang dimaksud. Dan tak lama kemudian dia sudah menemukannya. Kini dia sedang membuat alas tidur dengan ranting beserta rumput-rumput kering yang dicarinya bersama Dewi. Dia membuatnya di atas pohon yang memang tidak terlalu tinggi. Hingga akhirnya keduanya tampak menaiki pohon itu dan beristirahat hingga pagi hari.

 

Pagi harinya, Dewi sudah terbangun. Betapa terkejutnya dia ketika melihat seekor ular tengah bergelantungan tak jauh dari tempatnya duduk. " Kak! Ba-bangun, Kak. A-ada ular!" serunya panik.
Bobby pun segera bangun dan melihat apa yang terjadi. Saat itu, seekor ular besar tengah merayap di dahan tempat mereka beristirahat. "O... ular sanca. Biarkan saja, Wi! Paling dia hanya mau lewat," katanya ringan.
Kini ular itu merayap begitu dekat dengan Dewi. " Kak, tolong jauhkan ular itu, aku takut sekali," katanya seraya memeluk pemuda itu.
"Tenang saja, Wi! Ular itu tidak akan memangsamu, sepertinya dia sedang kenyang. Kalau kau banyak bergerak seperti ini justru akan menarik perhatiannya."
Dewi pun menurut, dia mencoba untuk tenang dan tidak bergerak sama sekali. Sedangkan Bobby tampak tenang-tenang saja, dia melihat ular itu memang sedang kenyang dan tidak berbahaya. Setelah ular itu menjauh, Dewi kembali melepaskan pelukannya sambil terus memperhatikan ular yang kian jauh merayap.
"Ayo, Wi! Kita sarapan! Setelah itu kita lanjutkan perjalanan."
“Iya, Kak. Aku pun sudah lapar sekali,” kata Dewi seraya mengeluarkan perbekalan yang mereka bawa. Tak lama kemudian, keduanya tampak menikmati sarapan dengan lahapnya. Setelah kenyang, mereka terlihat duduk sambil berbincang-bincang.
"Kak, ngomong-ngomong… apa mereka sudah sampai di Desa Mahoni?" tanya Dewi.
"Tentu saja, Wi. Mungkin saat ini mereka sudah memasuki gerbang desa."
"Sayang sekali ya, Kak. Seharusnya kan mereka pergi ke Desa Jati."
"Benar, Wi. Kita memang telah salah duga. Tapi..."
"Tapi apa, Kak?"
"Kita masih mempunyai satu peluang, Wi. Jika mereka tidak menemukan kita di Desa Mahoni, mungkin mereka akan menyadari kekeliruannya, hingga akhirnya mereka akan termakan tipuan kita."
Mereka terus berbincang-bincang, sampai akhirnya mereka turun dari atas pohon dan melanjutkan perjalanan. Sementara itu di Desa Mahoni, Pak Gahar dan Pak Amir baru saja selesai sarapan. Kini mereka sedang berbincang-bincang di sebuah warung kecil tempat mereka sarapan. Pak Gahar tampak begitu kesal karena orang yang mereka cari tidak ada di desa itu. "Masa tidak ada seorang pun yang melihat, seharusnya kan mereka sudah tiba di desa ini," keluh Pak Gahar.
"Mungkin mereka memang belum sampai," duga Pak Amir.
"Tidak mungkin, Mir. Menurut perhitunganku, jika mereka berjalan kaki dari Desa Sengon ke desa ini, seharusnya mereka itu memang sudah sampai. Jangan-jangan..." Pak Gahar tampak berpikir.
"Jangan-jangan apa, Har?" tanya Pak Amir penasaran.
"Jangan-jangan mereka menipu kita, Mir."
"Mereka siapa, Har?"
"Ya... kedua orang yang sedang kita cari itu."
"Bobby dan Dewi menipu kita, maksudmu?" Pak Amir tampak bingung.
"Ya mereka pasti mencoba menipu kita. Kau masih ingat kan, dengan sapu tangan yang kita temukan di saung."
"Ya, aku ingat."
"Nah... sepertinya tidak mungkin sapu tangan itu terjatuh begitu saja. Mereka pasti sengaja meletakkannya. Bukan begitu, Mir?"
"Iya ya... terus..."
"Mereka ingin mengakali kita agar seakan-akan memang pergi ke desa ini, yaitu dengan meninggalkan jejak sedemikian rupa. Ya... seperti tertinggal saja..."
"Terus... terus."
"Aku rasa mereka tidak menuju ke desa ini maupun ke Desa Cendana, tapi menuju ke Desa Jati. Bukankah saung tempat kita menemukan sapu tangan itu hanya lima ratus meter dari persimpangan ke Desa Jati. Mungkin saja mereka sengaja meletakkan sapu tangan itu dan kembali lagi ke persimpangan, kemudian langsung menuju ke Desa Jati."
"Tapi kata Pak Kepala Desa Sengon mereka pergi ke sini."
"Amir... Amir. Kau percaya? Mana mungkin orang yang menjadi buronan memberitahu arah larinya kepada orang lain."
"Iya juga ya, Har."
 "Ha ha ha...! Mereka memang cerdik, tapi mereka tidak bisa mengakali aku yang sudah malang-melintang di dunia tipu-menipu," kata Pak Gahar sombong.
"Kau memang pinta, Har," kata Pak Amir memuji.
Pak Gahar semakin tinggi hati dipuji seperti itu, dia terus saja membangga-banggakan dirinya.
"Ayo, Mir! Kita berangkat sekarang!"
"Mari, Har!"
Keduanya lantas bergegas menuju ke kuda masing-masing, dan tak lama kemudian mereka sudah memacunya menuju ke Desa Jati. Sementara itu, Bobby dan Dewi masih dalam perjalanan ke Desa Mahoni. Mereka berjalan sambil berbincang-bincang.
"Kak, tipuan kita kemarin dengan sapu tangan itu kan tidak berhasil. Ternyata Pak Gahar memang menyangka kita pergi ke Desa Mahoni. Bagaimana jika peluang yang kau katakan tidak terbukti?"
"Kita berdoa saja, Wi. Semoga Pak Gahar termakan tipuan kita. Semula aku memang telah salah duga. Kupikir dia itu pintar, tapi ternyata sangat bodoh, dia percaya saja dengan sapu tangan itu. Seharusnya jika dia pintar, dia pasti akan langsung menuju ke Desa Jati setelah menemukan sapu tangan yang sengaja kita letakkan di Saung. Semoga kali ini dia pintar. Jika dia tidak menemukan kita di desa itu, dia akan menyadarinya dan langsung menuju ke Desa Jati."
Mereka terus melangkah sambil berbincang-bincang. Menjelang tengah hari, akhirnya mereka tiba di gerbang desa. Kini mereka sedang melangkah menuju warung tempat Pak Gahar dan Pak Amir sarapan.
"Permisi, Pak! Apa Bapak melihat dua orang penunggang kuda datang ke desa ini?" tanya Bobby kepada si pemilik warung,
"O... iya, Den. Tadi pagi, mereka sarapan di warung ini. Mereka sedang mencari sepasang muda-mudi. Apakah yang mereka cari itu kalian?"
"Benar, Pak. Mereka memang mencari kami. O ya, kalau boleh kutahu, ke mana arah mereka, Pak?"
"Kalau tidak salah dengar, tadi mereka menyebut-nyebut Desa Jati, dan kalau dilihat dari arah perginya sepertinya mereka memang pergi ke sana, Den."
Bobby memandang Dewi dengan mata yang berbinar, kemudian dia tersenyum kepada kekasihnya. Dewi pun tampak tersenyum, dia begitu senang mengetahui kalau tipuan mereka telah termakan. Kini Bobby kembali bertanya kepada Penjual tadi, "O ya, Pak. Aku mau ke rumah Kakek Yuda, bisakah Bapak menunjukkan di mana rumah beliau."
"O, tentu saja, Den. Ngomong-ngomong Aden ini siapanya Kakek Yuda?"
"Bukan siapa-siapanya, Pak. Aku hanya diminta mengantarkan amanat dari Kakek Brata."
"Kakek Brata!" kata pemilik warung agak terkejut.
"Benar, Pak."
"Tapi... kenapa tidak beliau sendiri yang kemari, bukankah beliau yang akan memimpin upacara ritual di desa ini?"
Bobby pun segera menceritakan perihal Kakek Brata. Pada saat itu pemilik warung tampak sedih begitu mendengar cerita itu. "Kasihan Kekek Brata," katanya dengan wajah yang terlihat berduka. "Kalau begitu, aku akan mengantarkan Aden sampai ke rumah kakek Yuda," katanya kemudian. "Mbok! Aku pergi dulu ke rumah kakek Yuda!" teriaknya berpamitan kepada istrinya yang sedang menggoreng singkong.
"Iya Pak!" teriak si Istri.
"Mari, Den, Non!" ajak si Pemilik Warung kepada Bobby dan Dewi.
Kini ketiganya mulai melangkah menuju ke rumah kakek Yuda. Di tengah perjalanan, Bobby tampak berbincang-bincang dengan si Pemilik warung. "Pak? Tadi Bapak mengatakan akan ada upacara di desa ini. Memangnya upacara ritual apa?" tanyanya penuh keingintahuan.
"O, itu upacara pengusiran bala, Den. Di desa ini setiap musim hujan selalu saja tertimpa bencana longsor, untuk itulah diadakan upacara untuk menolak bala."
"Kenapa orang-orang di desa ini masih percaya dengan upacara seperti itu, Pak? Bukankah hal seperti itu seharusnya sudah ditinggalkan?"
"Memang, Den. Sebenarnya banyak desa-desa tetangga yang sudah meninggalkan upacara itu. Tapi karena di desa ini sering terjadi longsor, mau tidak mau upacara itu harus dilaksanakan."
"Memangnya hal seperti itu dibenarkan menurut ajaran agama?"
"Wah, kalau soal itu. Aku juga tidak tahu, Den. Aku sendiri juga bingung, soalnya ada banyak pendapat mengenai hal itu."
Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh, akhirnya mereka tiba di rumah kakek Yuda. Kini mereka tengah duduk bersama si kakek di sebuah teras yang begitu teduh. Saat itu Bobby langsung menceritakan perihal kakek Brata yang telah meninggal dunia, kemudian langsung memberikan amanat yang dibawanya.

 

Malam harinya, upacara pengusiran bala pun dimulai. Bobby dan Dewi menyaksikan ritual itu dengan antusias. Di atas sebuah altar kayu, kakek Yuda terlihat menggenggam keris berlekuk tujuh. Sementara itu di atas altar tergeletak seekor domba yang siap dikorbankan. Setelah membaca mantra-mantra, kakek Yuda segera menghujamkan kerisnya pada domba yang terikat erat. Kemudian darah yang mengalir dari domba itu segera ditampung ke dalam sebuah bejana perunggu yang memang sudah dipersiapkan. Setelah mengucapkan mantra-mantra, sang Kakek terlihat membawa bejana itu keliling desa dengan diiringi beberapa orang pembawa obor, kemudian beliau tampak menumpahkan darah itu ke setiap sudut desa.
Kini sang Kakek sudah kembali ke depan altar dan kembali membaca mantra-mantra, dan tak lama kemudian beliau memerintahkan kepada beberapa orang untuk mengangkat domba yang baru dikorbankan itu untuk dikubur di sebuah lubang yang sudah digali di tengah desa. Setelah upacara selesai, mereka segera kembali ke rumah masing-masing.
Saat itu, Bobby dan Dewi menginap di rumah Kakek Yuda. Dewi yang sudah begitu mengantuk langsung pergi tidur bersama cucu perempuan sang Kekek di sebuah kamar yang cukup nyaman. Sedangkan Bobby yang belum mengantuk tampak masih bercakap-cakap dengan sang Kakek di ruang tamu.
"Kek, kenapa ritual seperti itu masih dilaksanakan?’ tanya Bobby penasaran.
"Ini adalah sebuah usaha, Nak."
"Maksud Kakek?"
"Ya selain berdoa kepada Tuhan, kita juga harus berusaha. Untuk itulah upacara tadi dilaksanakan?"
"Memangnya hal itu dibenarkan menurut ajaran agama Islam."
"Itu tergantung kepada penafsiran masing-masing, Nak."
"Aku masih belum mengerti maksud, Kakek?"
"Begini, Nak. Untuk mempermudah pemahamanmu, kakek akan mengumpamakannya dengan sebuah jimat yang sering dipergunakan sebagai penangkal bahaya. Biasanya jimat itu digunakan dengan mengandalkan bantuan roh para leluhur, seperti juga ritual tadi. Dengan bantuan roh para leluhur hal-hal yang bisa membahayakan manusia bisa dihindari."
Bobby tampak mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Kekek Yuda. Kini dia bisa memahami kenapa hal itu boleh dilakukan. Hingga akhirnya, dia pun merasa tidak perlu bertanya lagi. Dan setelah Kekek Yuda pamit tidur, pemuda itu segera berbaring di atas tikar pandan yang sengaja digelar untuknya. Kini pemuda itu tengah termenung—memikirkan semua perkataan Kakek Yuda, "Apa benar manusia boleh meminta bantuan kepada roh? Lagi pula, apa iya roh itu benar-benar bisa berinteraksi dengan manusia, padahal mereka sudah berada di alam kubur? Setahuku yang bisa begitu hanyalah Jin fasik, sebab orang yang sudah meninggal jelas sudah terputus amalnya, jadi tidak mungkin diizinkan untuk tolong menolong."
Bobby terus merenungi masalah itu, hingga akhirnya dia terlelap karena kantuk yang tak tertahankan. Malam itu terasa begitu dingin, karena hujan baru saja turun dengan lebatnya. Suara guntur terdengar berkali-kali memecah keheningan.

 

Keesokan paginya, Bobby dan Dewi sangat terkejut begitu mengetahui kalau semalam telah terjadi longsor, dan anehnya longsor itu sama sekali tidak mengarah ke desa, longsoran itu berubah arah menjauhi desa. Bobby dan Dewi cuma terpana melihat keanehan itu, ternyata upacara yang telah dilakukan kemarin telah membuahkan hasil. Memang begitulah tipu daya setan dalam membodohi manusia, membuat seolah Tuhan telah menolong mereka dengan perantara arwah para leluhur. Dengan demikian maka akan semakin yakinlah mereka, kalau arwah leluhur itu memang benar-benar ada. Padahal Islam sudah menegaskan kalau arwah orang yang sudah meninggal tempatnya adalah di alam Barzah.
Sesungguhnya bencana itu sendiri adalah perbuatan para Jin fasik, sebab jika manusia semakin sesat maka energi mereka akan terserap oleh para Jin fasik itu, hingga akhirnya membuat power mereka kian bertambah kuat. Apalagi jika mereka dihormati, dipuja-puji, dan diberi berbagai persembahan maka kekuatan mereka pun akan semakin menjadi-jadi.
Di mata manusia yang tersesat, mereka itu di anggap roh leluhur yang baik hati, tidak pernah berdusta dan suka menolong. Padahal pada kenyataannya, mereka yang membuat bencana, mereka pula yang menanggulanginya, dengan maksud semakin menyesatkan manusia. Jika power mereka sudah semakin kuat dan iman manusia kian melemah, maka manusia akan semakin bergantung kepada mereka. Padahal, jika manusia mau menggantungkan diri hanya kepada Allah, maka para Jin fasik tak akan pernah mempunyai kekuatan apa-apa. Jangankan meruntuhkan gunung, menampakkan diri saja mereka tidak akan sanggup. karena itulah, orang yang tersesat akan lebih mudah melihat mereka (saat menjelma sebagai roh leluhur) dari pada orang yang tidak mempercayainya sama sekali.
Menjelang tengah hari, Bobby dan Dewi sudah siap berangkat menuju ke Desa Cendana. Kini keduanya sedang berpamitan dengan kakek Yuda.
"O ya, Nak Bobby... Ini ada kenang-kenangan dari kakek, jagalah benda ini baik-baik!" kata kakek Yuda seraya menyerahkan sebilah keris kecil berlekuk tujuh yang panjangnya hanya 6 cm.
"Tapi Kek..."
"Sudahlah terima saja!"
"Baiklah, Kek. Terima kasih!"
Setelah menerima keris itu, Bobby dan Dewi segera pamit meninggalkan desa. Kini kedua muda-mudi itu sedang dalam perjalanan, sinar mentari yang cerah telah membuat jalan setapak yang mereka lalui tampak mulai mengering. Sementara itu di Desa Jati, Pak Gahar dan Pak Amir sedang berbincang-bincang. Mereka sedang membicarakan buruan mereka yang ternyata tidak ada di desa itu. "Brengsek! Mereka memang licik," keluh Pak Gahar yang ternyata menyadari dirinya telah diakali oleh buruannya. "Mir, kau ada ide tidak?" tanyanya kemudian.
"Maaf, Har. Aku sama sekali tidak mempunyai ide."
"Eng… Kalau begitu, bagaimana kalau kita kembali ke Desa Mahoni?"
"Percuma saja, Har. Aku pikir mereka sudah pergi dari desa itu."
"Kau benar, Mir. Bagaimana kalau kita menuju ke Desa Cendana. Aku yakin mereka pasti pergi ke sana."
"Jangan, Har! Sebaiknya kita ke Bandung saja. Aku yakin, mereka pasti berniat pergi jauh, dan mereka pasti akan membeli perbekalan di Bandung," anjur Pak Amir berusaha meyakinkan Pak Gahar. Maklumlah, saat itu Pak Amir memang yakin sekali kalau Bobby dan Dewi pasti menuju ke Desa Cendana. Sebab di Desa Mahoni maupun di Desa Jati memang tidak dijumpai tanda-tanda keberadaan mereka. Dan karena hal itulah, Pak Amir yakin kalau mereka memang benar-benar pergi ke Desa Cendana.
"Kau benar, Har. Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang!" ajak pak Gahar seraya memacu kudanya. Saat itu, Pak Amir langsung mengikutinya di belakang.
Kedua penunggang kuda itu tampak bersemangat, terus memacu kuda tunggangan mereka menuju ke Bandung. Sementara itu, Bobby dan Dewi masih dalam perjalanan.
"Kak, bagaimana kalau kita istirahat dulu! Saat ini, aku sudah merasa lelah dan lapar."
"Iya ,Wi. Aku juga lapar sekali."
Kedua muda-mudi itu lantas mengeluarkan perbekalan yang mereka bawa, kemudian menikmatinya di bawah kerindangan sebuah pohon besar. Setelah makan dan melepas lelah sejenak, akhirnya kedua muda-mudi itu kembali melanjutkan perjalanan. "Kak! Bagaimana jika kita tidak usah pergi ke Desa Cendana.”
“Terus kita pergi ke mana, Wi?”
“Eng… Bagaimana kalau kita pergi ke Bandung saja. Bukankah dari kota itu kita bisa pergi jauh."
"Kau benar, Wi. Aku khawatir, setelah mereka mengetahui kita tidak berada di Desa Jati, mereka pasti akan menuju ke Desa Cendana."
Akhirnya, mereka pun mengubah arah tujuan. Kini mereka sedang melangkah menuju ke Bandung dengan penuh bersemangat.