E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Duka Lara - Bagian 1



Duka Lara

 ==================================================
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.
==================================================

Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336 
==================================================
 
Satu


Di sebuah jalan tol dalam kota, sebuah sedan mewah melaju dengan cepat menembus gelapnya malam. Kedua penumpangnya yang masih muda tampak begitu bersemangat, berkendara bersama menuju ke rumah seorang gadis yang baru mereka kenal beberapa bulan yang lalu. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan menyita waktu, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Kini keduanya tampak asyik berbincang-bincang dengan seorang gadis yang begitu cantik.
“Orang tuamu belum pulang, Ra?” tanya Randy perihal orang tua Lara yang diketahuinya pergi ke Amerika.
“Belum, malah mereka mau terbang ke Eropa,” jawab Lara seraya merubah posisi duduknya.
“Asyik dong, dengan begitu kau bisa lebih lama menghirup udara kebebasan.”
“Apanya yang asyik, aku justru merasa kesepian karena ditinggal mereka terlalu lama. Untung saja ada sepupuku yang menemaniku selama mereka di luar negeri.”
"O ya, Ra. Ngomong-ngomong, Nina ke mana?” tanya Bobby mengenai sepupu Lara yang menginap di rumah itu.
“Ada, di dalam,” jawab Lara singkat.
“Ajak keluar dong! Biar kita ngobrol sama-sama!” pinta Bobby seraya tersenyum.
“Maaf, Kak! Hari ini dia sibuk belajar, katanya besok ada ujian.”
“Rajin juga ya dia. Dulu, ketika aku masih kuliah. Aku paling malas dengan yang namanya belajar. Kalau lagi ujian, aku biasa mencontek menggunakan secarik kertas kecil yang kusembunyikan di bawah lembaran soal. Dan kalau lagi ada pemeriksaan, contekan itu buru-buru kusembunyikan di celah lipatan bajuku.”
“Aku juga, Bob,” timpal Randy.
“Itu namanya kalian curang. Masih kuliah saja sudah berani tidak jujur, apalagi kalau jadi pejabat. Bisa-bisa kalian jadi koruptor kelas kakap.”
“Ya, untung saja aku tidak jadi pejabat,” kata Randy ringan.
“Tapi, kontraktor curang kelas kakap,” timpal Bobby.
“Huss! Jangan buka kartu dong! Lagi pula, aku melakukan itu karena terpaksa, dan itu pun sudah lama sekali. Sekarang ini aku sudah insyaf dan tidak mau mengulanginya lagi.”
“Maaf, Ran. Ini kulakukan demi kebaikanmu. Terus terang, aku peduli padamu. Jika kau memang sudah insyaf, lalu kenapa belum lama ini kau bisa dapat tender itu. Padahal, jika kulihat perusahaanmu sama sekali tidak memenuhi syarat.”
“Waktu itu lagi-lagi aku terpaksa, Bob. Sebab sainganku juga menggunakan cara curang. Kalau aku tidak melakukan hal yang sama, bagaimana mungkin aku bisa dapat tender. Kalau kerap kali seperti itu, kapan perusahaanku bisa maju.”
Lara yang sejak tadi diam, tiba-tiba ikut bicara. “Kak Randy! Setiap orang kan sudah ada rezekinya masing-masing, jadi kau tidak perlu curang untuk mendapatkannya.”
“Kau betul, Ra. Namun, aku terpaksa berbuat begitu karena sistem yang tidak mendukung. Terus terang saja, jaman sekarang jika ingin bersaing secara jujur diperlukan mental yang kuat dan waktu yang relatif lebih lama,” kata Randy memberi alasan.
“Tapi biar bagaimanapun, cara curang itu tidak sepatutnya dilakukan, Kak. Sekalipun kau mempunyai alasan yang paling masuk akal. Sesungguhnya cara curang itu bisa merugikan orang-orang yang jujur,” jelas Lara memberi pengertian.
“Betul itu, Ra. Sungguh kasihan orang-orang yang jujur, mereka harus berusaha lebih keras agar bisa menjadi orang yang sukses,” Bobby menimpali.
“Baiklah… Mulai hari ini aku berjanji untuk tidak mengulanginya. Terus terang, aku merasa berdosa karena telah menghilangkan kesempatan buat orang-orang yang jujur,” kata Randy menyesal.
“Syukurlah kalau begitu,” kata Bobby seraya berpaling memandang Lara. “O ya, Ra. Ngomong-ngomong, boleh aku menumpang ke belakang?” tanya pemuda itu kemudian.
"O, silakan saja, Kak! Pergi sendiri, ya! Kau kan sudah tahu kamar mandinya,” kata Lara seraya merubah posisi duduknya lagi.
“Tapi, Ra. Aku... ”
“Sudahlah, tidak apa-apa! Anggap saja seperti rumah sendiri!”
“Baiklah kalau begitu,” kata Bobby seraya beranjak ke dalam. Ketika dia melewati ruang tengah dilihatnya Nina sedang menari mengikuti gerakan penari di layar kaca. Saat itu gerakan Nina tampak begitu indah, lenggak-lenggok tubuhnya yang ramping serta gemulai tangannya menahan pemuda itu untuk terus memperhatikannya.
“Tarian yang indah!” ucap Bobby tiba-tiba.
Mendengar itu, Nina pun seketika berpaling. “Ka-Kak Bobby...!” ucap gadis itu  tergagap sambil terus memperhatikan wajah tampan yang kini tersenyum padanya. “Se-sejak kapan kau berdiri di situ?“ tanya gadis itu kemudian.
“Kau tidak perlu malu, Nin! Terus terang, gerakanmu tadi indah sekali, dan aku sangat menyukainya. Kupikir cuma Lara saja yang pandai menari, ternyata kau juga begitu pandai,” kata Bobby terus terang.
"Hmm… sebenarnya apa keperluanmu masuk kemari, Kak?” tanya Nina heran.
"Eng... sebenarnya aku mau menumpang ke belakang. Tapi ketika melihatmu tadi, aku sempat terpana. Eng... kalau begitu, sebaiknya aku segera ke belakang. O ya, maaf kalau aku sudah mengganggumu!” Lantas dengan segera pemuda itu melangkah pergi.
Sementara itu, Nina tampak memperhatikan kepergiannya. “Hmm... dia terpana? Benarkah yang dikatakannya itu?” tanya Nina dalam hati seraya duduk di sofa dan kembali memandang ke layar kaca.
Tak lama kemudian, Bobby sudah kembali. Kemudian dia segera mendekati Nina yang dilihatnya asyik menonton sinetron. “Nin, kau sudah selesai belajar kan?” tanyanya kepada gadis itu.
Mendengar itu, seketika Nina menoleh, memperhatikan wajah tampan yang lagi-lagi tersenyum padanya. "Iya, Kak. Sudah...” jawabnya kemudian.
“Kalau begitu, kita ngobrol di luar yuk!” ajak Bobby kepadanya.
“Maaf, Kak! Aku tidak punya waktu. Tadi saja aku belajar terburu-buru karena mau nonton sinetron ini,” tolak Nina memberi alasan.
“Eng, baiklah... Kalau begitu silakan diteruskan menontonnya. O ya, maaf kalau aku sudah mengganggumu!” ucap Bobby seraya melangkah pergi.
"Tunggu, Kak!” tahan Nina tiba-tiba.
“Iya, Nin. Ada apa?” tanya Bobby seraya kembali memandang ke arah gadis itu. 
“Eng, nanti seusai sinetron ini aku akan menyusul,” Nina berjanji.
Mengetahui itu, Bobby langsung menganggukkan kepalanya. “Aku tunggu ya,” katanya seraya tersenyum dan langsung melangkah pergi.
Pada saat itu, Nina tampak memperhatikan kepergiannya dengan berbagai perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan, di antaranya adalah perasaan bahagia yang bercampur dengan kekhawatiran yang amat sangat. Kini mata gadis itu sudah kembali memperhatikan layar kaca. Sementara itu, Bobby sudah bergabung kembali dengan Randy dan Lara.
"O, jadi rumah Nina berada di daerah itu. Berarti dekat dong,” kata Bobby perihal keberadaan rumah Nina yang ternyata berjarak hanya dua kilo meter dari kediamannya.
“O ya, Kak. Ngomong-ngomong, kenapa sih dari tadi kau menanyakan perihal Nina terus, jangan-jangan... kau naksir dia ya?” tanya Lara menyelidik.
“Eng... ti-tidak. A-aku cuma mau tahu saja,” jawab Bobby tergagap.
“Sudahlah, Kak! Ayo mengaku, kau memang naksir dia kan?” tanya Lara mendesak.
“Iya, Bob. Mengaku saja, dan aku akan sangat mendukung,” timpal Randy seraya tersenyum.
“Eng... baiklah. Aku akan mengaku. Se-sepertinya aku memang menyukai Nina. Tapi, kalian jangan bilang padanya ya! Terus terang, aku sendiri masih belum yakin.”
“Memangnya kenapa, Kak?” tanya Lara penasaran.
“Entahlah, aku juga tidak tahu,” jawab Bobby ringan.
“Bob, kau itu dari dulu selalu begituselalu banyak pertimbangan, nanti kalau sudah keduluan orang baru kau menyesal.”
“Bukan apa-apa, Ran. Kalau ternyata aku tidak mencintainya, kasihan si Nina kan.”
“Eh, Bob. Memangnya dia itu mau kau nikahi, dia itu kan baru mau kau jadikan pacar. Karenanyalah, kau tidak perlu banyak pertimbangan! Pacari saja dulu! Soal cinta atau tidak, itu sih perkara nanti. Dan jika kau memang tidak mencintainya, ya tinggal diputuskan saja. Mudah kan?”
Mendengar itu, Lara langsung ikut bicara. “Eh, Kak Randy. Kau bicara apa? Kau itu memang tidak punya perasaan, kau pikir wanita mudah di putuskan begitu saja. Kalau kau mau tahu, wanita yang sudah dalam cintanya lebih memilih mati daripada diputuskan. Menurutku, lebih baik wanita yang memutuskan ketimbang pria yang memutuskannya.”
“Eh, Ra. Kau jangan mengada-ada! Memangnya cuma wanita yang seperti itu, pria pun bisa seperti itu. Kau itu memang egois. Dengar ya! Kalau sepasang kekasih putus, itu memang sudah risiko orang pacaran. Kalau memang tidak bisa berlanjut, ya memang harus putus. Jangankan yang masih pacaran, yang sudah menikah saja bisa cerai,” kata Randy agak sewot.
 “Kau memang tidak punya perasaan, Kak,” tuduh Lara kesal. “Eng.. Menurutku jika seorang pria memang tidak yakin akan cintanya, sebaiknya jangan langsung diutarakan. Aku sangat sependapat dengan ucapan Kak Bobby tadi, dan menurutku keputusannya itu memang sangat tepat,” lanjutnya kemudian.
“Hmm... begitu ya? Sekarang coba kau renungkan. Andai Bobby sudah yakin kalau dia memang mencintai Nina, lantas mereka jadian. Namun pada suatu ketika, ternyata Nina tidak mencintainya dan langsung memutuskannya. Sedangkan pada saat itu, Bobby sudah sangat mencintainya. Nah, apa kau pikir dia akan baik-baik saja setelah diputuskan Nina? Jika saat itu dia punya iman, mungkin akan baik-baik saja. Namun kalau tidak, dia bisa bunuh diri, tahu.“
“Eng, kalau begitu. Seharusnya sebelum jadian, Nina pun harus yakin dulukalau dia itu memang mencintai Bobby.”
“Hmm... apa iya keduanya bisa saling mengetahui kalau mereka sudah sama-sama yakin?”
Saat itu Lara terdiam, tampaknya dia  sulit untuk bisa menjawab pertanyaan itu.
“Tidak, Bisa...” jawab Bobby tiba-tiba. Seketika pemuda itu tampak menarik nafas panjang dan kembali bicara, “Mmm... menurutku, jalan satu-satunya untuk bisa mengetahui itu, ya memang harus pacaran. Namun, aku tetap pada pendirianku semula, yaitu aku harus yakin dulu. Andai dia memang tidak mencintaiku, aku siap menanggung risikonya. Hati nuraniku mengatakan, biarlah dia yang memutuskanku, ketimbang aku yang harus memutuskannya.”
“Kau jangan naif begitu, Bob. Memangnya patah hati itu enak,” kata Randy mengingatkan.
“Tentu saja tidak, Ran. Namun, aku mempunyai keyakinan. Sedalam-dalamnya pria mencintai wanita, masih lebih dalam wanita yang mencintai pria,” jelas Bobby seolah-olah dia mengerti betul akan perasaan wanita.
“Dari mana kau bisa mengetahui itu, Bob?” tanya Randy heran.
“Dari pernyataan Lara tadi. Dan menurut analisaku, apa yang dikatakannya itu keluar dari lubuk hatinya terdalam.”
“Hebat... hebat... sejak kapan kau mendalami ilmu psikologis, Bob. Hahaha...! Terserah kaulah. Namun aku berpesan, sebaiknya kau lebih berhati-hati! Janganlah kau mudah percaya dengan perkataan wanita. Sebab wanita itu...” Randy tidak melanjutkan kata-katanya, dia malah tampak senyam-senyum sambil memperhatikan Lara yang kini menatapnya dengan kening berkerut.
“Wanita itu apa, Kak?” tanya Lara mendesak.
“Sudahlah, lupakan saja!” Randy menolak.
“Tidak bisa, Kak. Kau harus menjawab pertanyaanku tadi!” Desak Lara dengan raut wajah yang semakin membuat Randy merasa tidak nyaman.
Mengetahui itu, Randy seakan tak punya pilihan. “Baiklah, tapi kau jangan marah ya!” pintanya kepada Lara.
“Iya, aku janji,” ucap Lara dengan raut wajah yang kini sudah kembali seperti semula.
“Eng, baiklah... Sebetulnya wanita itu seperti ubur-ubur, indah namun sangat berbahaya.”
Mendengar itu, Bobby pun langsung tertawa. “Hahaha...! Kau ini ada-ada saja, Ran. Tapi, aku sependapat dengan perumpamaan itu.”
“Kak, Bobby! Jadi, kau juga sependapat?” tanya Lara seperti kecewa.
“Betul, Ra. Tapi aku melihatnya melalui sudut pandang yang berbeda. Wanita itu memang seperti ubur-ubur, indah dan lembut, namun sama sekali tidak berbahayatentunya jika ia diperlakukan dengan cara yang benar.“
Bobby, Randy, dan Lara terus berbincang-bincang, hingga akhirnya jam menunjukkan pukul sembilan malam. Pada saat itu, Bobby masih mengharapkan kehadiran Nina, padahal sinetron yang ditontonnya diperkirakan sudah selesai sejak tadi. Dalam hati, Bobby jadi bertanya-tanya, entah kenapa gadis itu belum juga keluar memenuhi janjinya.
Sementara itu di dalam kamar, Nina tampak sedang tiduran sambil memikirkan Bobby. “Kak, Bobby… Maafkan aku yang tidak bisa memenuhi janji! Sebenarnya saat ini aku ingin sekali ngobrol bersamamu. Tapi, entah kenapa aku merasa tidak enak, sepertinya hati kecilku ini melarangku untuk menemuimu,” kata gadis itu membatin.
Nina terus membatinmemikirkan pemuda yang diduga telah memberi tanda padanya, hingga akhirnya Lara datang menemuinya. “Kau kenapa, Nin? Bukankah kau sudah berjanji pada Bobby mau ikutan ngobrol. Tapi, kenapa kau malah tidur-tiduran di sini.”
“Eng... a-aku...” Nina tampak kesulitan mengungkapkan isi hatinya.
“Kau menyukai Bobby kan? Dan karenanya kau merasa kurang percaya diri,” kata Lara menduga.
“Ti-tidak, Ra. Bukan karena itu. Se-sebenarnya tadi aku cuma lupa.”
“Lupa...?” Lara mengerutkan keningnya. “Mmm... lupa apa lupa?” tanyanya kemudian.
“Sungguh, Ra. Aku cuma lupa. Kalau begitu, ayo kita ngobrol sama mereka!”
“Terlambat, Nin. Kini mereka sudah pulang,” jelas Lara seraya naik ke tempat tidurnya.
“Pulang?” Nina tampak heran.
“Tentu saja, ini kan sudah hampir tengah malam.”
“Apa!” Nina terkejut seraya melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 11.30 WIB. “Hah, sudah jam segitu. Perasaan baru sebentar aku rebahan di sini,” katanya kemudian.
“Ya, begitulah jika sedang memikirkan orang yang spesial. Waktu pun berlalu dengan begitu cepat.”
Pada saat itu, Nina tampak membatin, ”Ra, kenapa kau bicara seperti itu? Apakah kau cemburu karena Bobby mengharapkan kehadiranku?”
“Heh! Kenapa Malah bengong?” tanya Lara tiba-tiba. “Sudah nanti saja memikirkannya. Sebaiknya sekarang kau bersih-bersih dulu, setelah itu kita tidur! Memangnya jam berapa kau mau tidur, bukankah besok ada ujian?” katanya lagi.
Mendengar itu, Nina pun segera beranjak ke kamar mandi. Dan tak lama kemudian, dia sudah kembali dan langsung merebahkan diri di sebelah Lara. Saat itu, Nina masih memikirkan Bobby. Pemuda yang diduganya sedang diincar Lara.


 

Seminggu kemudian, ketika hari sudah menjelang senja. Sebuah sedan biru tampak melaju perlahan melintasi jalan yang ada di tengah kompleks permukiman. Pada saat itu, pengemudinya yang tampan dan berambut sebahu tampak resah, memikirkan apa yang akan terjadi. “Hmm... bagaimana ya, jika Lara belum pulang dari rumah neneknya?” tanya Bobby mengenai gadis yang akan ditemuinya. “Huh, andai saja Lara bisa dihubungi tentu tidak akan serepot ini,” keluh Bobby akan gangguan teknis yang dialaminya.
Sungguh pemuda itu merasa jengkel dengan Lara yang selama ini sedang menginap di rumah temannya. Padahal, hari ini dia harus mengembalikan DVD yang dipinjamnya. Kini pemuda itu sudah tiba di rumah Lara dan sedang berdiri di depan pintu sambil berharap hari ini Lara ada di rumah. Dan setelah menunggu agak lama, akhirnya seorang gadis terlihat datang membukakan pintu. “Cari Kak Lara ya?” tanyanya kepada Bobby.
“Iya.. Nin. Apa dia ada?”
“Lara belum pulang tuh. Dia masih di rumah temannya.”
“Kalau begitu, boleh aku tahu nomor telepon temannya?”
"Wah, sayang sekali, Kak! Aku juga tidak tahu. O ya, memangnya HP Lara belum juga diaktifkan?”
Bobby mengangguk. “Eng… kalau begitu, bisakah aku minta tolong padamu untuk mengambilkan DVD yang dipinjam Lara. Soalnya hari ini aku harus mengembalikannya ke rental. Sebab kalau tidak, aku akan dikeluarkan dari keanggotaan rental DVD yang terbaik di kampungku. Maklumlah, aku sudah diperingatkan jika sekali lagi melanggar aturan maka aku tidak akan diampuni lagi.”
“Eng... Kalau begitu, cari sendiri saja ya! Soalnya DVD di rak itu banyak sekali, dan aku tidak tahu yang mana.”
“Itu loh, film The X Mind“
"Wah, aku tidak tahu film itu. Sebaiknya kakak saja yang mencarinya! Bukankah kakak tahu cover-nya, dengan begitu tentu lebih mudah mencarinya.”
“Tapi, Nin. Apa pantas aku mencarinya sendiri.”
“Tidak apa-apa, Kak. Kan ada aku.”
“Eng... Baiklah,” kata Bobby seraya melangkah masuk. Dan setibanya di ruang tengah dia langsung mencari DVD yang dimaksud. Sedangkan Nina tampak duduk di sofa sambil terus menemaninya.
“Bagaimana, Kak? Sulit ya menemukannya?” tanya Nina kepada pemuda yang kini tampak begitu sibuk mengamati cover film satu per satu.
"Iya, Nin. Soalnya DVD ini banyak sekali. Aku heran, besar sekali minatnya hingga bisa mengoleksi DVD sebanyak ini, sampai film yang tidak bermutu pun dia beli.  Hmm... di mana ya dia meletakkannya?” Jawab Bobby seraya menoleh ke arah gadis itu. "O ya, Nin... ngomong-ngomong, kenapa kau belum punya pacar?” tanyanya kemudian.
"Ah, Kakak. Kenapa sih menanyakan hal itu?“
“Tidak... aku cuma heran saja. Kau itu kan cantik, masa iya tidak ada pria yang suka.”
"Ah, Kakak. Aku jadi malu. Baru kali ini ada yang bilang aku cantik,” kata Nina merendah.
“Benar kok. Kau itu memang cantik. Masa sih tidak ada yang bilang kau cantik, berarti selama ini mereka pada merem dong,” kata Bobby seraya membawa tumpukan DVD dan duduk di samping Nina. "O ya, Nin. Tolong jawab pertanyaanku tadi! Memangnya kenapa kau belum punya pacar?”
“Belum ada yang menarik hatiku, Kak,” jawab Nina tidak terus terang.
"Eng, menurutmu. Aku menarik tidak?”
“Mmm...” Nina benar-benar merasa malu menjawab pertanyaan itu.
“Tidak apa-apa, Nin. Kalau aku ini memang tidak menarik bagimu, katakan saja terus terang! Percayalah…! Aku tidak akan marah,” kata Bobby sungguh-sungguh.
“Ka-kau menarik kok, Kak,” ucap Nina dengan wajah bersemu merah.
Mengetahui itu, Bobby pun langsung menatap mata gadis itu dalam-dalam. “Sungguh?” tanyanya kemudian.
“Iya, Kak. Bagiku kau itu sangat menarik. Dan aku yakin, pasti banyak gadis yang menyukaimu,” jawab Nina berusaha meyakinkan.
“Mmm... apakah kau juga menyukaiku?” tanya Bobby lagi.
Nina tidak segera menjawab, sungguh saat itu dia merasa berat untuk mengatakannya. “Hmm... ternyata benar dugaanku, kalau dia memang menyukaiku. Dan setelah aku menjawab pertanyaan yang sangat memojokkanku itu, dia pasti akan mengajakku kencan. Jika sampai itu terjadi, apa kata Lara nanti?”
“Nin, kalau kau tidak menyukaiku bilang saja! Aku tidak akan marah,” kata Bobby tiba-tiba.
“Eng… a-aku menyukaimu, Kak.” kata Nina dengan wajah yang lagi-lagi bersemu merah.
“Mmm... benarkah? Kalau begitu, bagaimana kalau lusa kita makan malam?”
Mengetahui itu, Nina langsung membatin, “Hmm... benar saja dugaanku, ternyata dia memang mengajakku kencan. Hmm... jika aku sampai menuruti ajakannya, apa kata Lara nanti...?”
“Nin, jika kau memang tidak bisa, tidak apa-apa kok,” kata Bobby tiba-tiba membuyarkan pikiran Nina.
“Eng, maafkan aku, Kak! Sepertinya aku memang tidak bisa. O ya, Kak. Ngomong-ngomong, boleh aku membantumu mencari DVD itu. Judulnya The X Mind kan,” kata Nina mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Tentu saja, Nin. Terima kasih.”
Mendengar itu, lantas Nina segera mengambil setumpuk DVD dan mencari film yang dimaksud. "O ya, Kak. Ngomong-ngomong Kakak kenal Lara di mana?”
“Hmm… Sebenarnya Lara itu kenalan Randy, dan Randylah yang memperkenalkan Lara padaku.”
“O…. jadi begitu. O ya, Kak. Menurutmu… Lara itu bagaimana?”
“Maksudmu?”
“Maksudku… menurut kakak, Lara itu seperti apa?”
“Mmm... Lara itu gadis yang cantik dan baik hati, walau terkadang suka membuatku jengkel. Sikapnya yang kekanak-kanakan itu terkadang suka membuatku naik darah. Pernah waktu itu, dengan tanpa sebab yang jelas tiba-tiba dia mengambil sebungkus rokokku dan mematahkan semua isinya sambil mengatakan kalau merokok itu tidak baik untuk kesehatan. Saat itu, dalam hati aku ingin marah sekali padanya, namun akhirnya aku bisa menahan diri karena mengingat dia itu wanita. Apa lagi dia itu wanita yang dicintai oleh sahabatku Randy.”
“O, jadi... selama ini Randy yang lagi pendekatan dengan Lara. Tapi, jika kuperhatikan sepertinya Lara tidak mencintainya. Sepertinya dia itu justru mencintaimu, Kak.”
“Apa! Lara mencintaiku? Hahaha...! Kau ini ada-ada saja, Nin. O ya, ngomong-ngomong… kenapa  kau bisa menduga seperti itu?”
“Eng, soalnya waktu itu dia pernah mengigau dengan menyebut namamu.”
“Apa! Lara mengigau menyebut namaku? Emm... kalau boleh kutahu, seperti apa dia menyebutnya, Nin?”
“Eng, ya se-seperti seorang kekasih yang baru berjumpa dengan kekasihnya.“
Bobby terdiam, saat itu dia seperti berusaha menerka apa yang sedang dialami Lara dalam mimpinya.
“Kak!” panggil Nina membuyarkan pikiran Bobby.
“Iya, Nin. Ada apa?”
“Bagaimana jika Lara memang mencintaimu, apakah kau akan menerimanya?”
“Tidak, Nin. Aku tidak mungkin melukai perasaan Randy. Lagi pula, aku rasa Lara sudah mengetahui kalau aku tidak mungkin menjadi pacarnya. Karena selama ini aku sudah begitu  gigih memberinya pengertian agar bisa mencintai Randy.”
“Sungguh?” tanya Nina hampir tak mempercayainya.
Bobby mengangguk. "O ya, ngomong-ngomong apa karena dugaanmu itu sehingga kau menolak ajakanku?” tanya pemuda itu kemudian.
"Kau betul, Kak. Karenanyalah aku merasa tidak enak dan khawatir kalau Lara akan membenciku lantaran jalan bersamamu.”
“Nin, percayalah. Kalau aku tidak mungkin pacaran dengan gadis yang begitu dicintai oleh sahabatku sendiri.” 
Mengetahui itu, raut wajah Nina pun tampak begitu berseri-seri. “Hmm... jika benar demikian, tidak sepatutnya aku menolak ajakanmu, Kak.”
"Be-benarkah yang kau katakan itu, Nin?” tanya Bobby hampir tak mempercayainya
Nina mengangguk.
“Eng... kalau begitu, lusa aku akan menjemputmu.”
Nina tersenyum, saat itu dia benar-benar bahagia karena bisa berkencan dengan Bobby. "O ya, Kak. Apakah ini film yang kakak cari,” katanya kemudian seraya menyerahkan film itu kepada Bobby.
“Betul, Nin. Ini dia film-nya. Terima kasih ya kau sudah menemukannya. Kalau begitu, aku harus segera pamit agar bisa mengembalikan film ini tepat waktu.”
Tak lama kemudian, Nina sudah mengantar Bobby hingga ke pintu gerbang. Sepeninggal Bobby, gadis itu segera merebahkan diri di tempat tidur dan memikirkan pemuda yang ternyata sudah mencuri hatinya. “Oh, Kak Bobby. Apakah kau benar-benar mencintaiku. Jika melihat dari perlakuanmu padaku, aku rasa memang demikian. Tapi... apakah gadis sepertiku pantas menjadi kekasihmu. Andai saja kau tahu siapa sebenarnya aku, apakah kau tetap akan mencintaiku?”
Gadis itu terus memikirkan Bobby, bahkan segala hal yang berkenaan dengan rencana makan mereka sudah terbayang jelas di benaknya. Dimana saat makan itu menjadi sangat spesial dan merupakan kenangan yang tak mungkin terlupakan. Gadis itu terus terlena dengan lamunannya, hingga akhirnya dia tidur lebih larut dari biasanya.



 
Dua hari kemudian, tepat di akhir pekan, Bobby datang memenuhi janjinya. Kini pemuda itu sedang duduk di ruang tamu, menunggu Nina yang masih berdandan di kamarnya. Tak lama kemudian, Nina sudah keluar dengan mengenakan gaun cokelat panjang yang dipadukan dengan beberapa aksesoris yang terlihat trendy. Sebuah ikat pinggang perak tampak melingkar di pinggangnya yang ramping, scarf yang berwarna senada tampak cantik melingkar di lehernya yang jenjang. Saat itu, rambutnya yang lurus sebahu dibiarkan terurai, menghiasi wajahnya yang berbentuk oval. Sungguh tampak begitu manis dengan bagian pipinya yang disapu warna merah merona. Alis matanya pun tampak tipis dan hitam pekat, sedang di bawahnya tampak bulu mata yang begitu lentik. Eye shadow-nya yang berwarna ungu tampak serasi dengan warna bibirnya yang dipoles lipstick berwarna senada. Selain itu, pernak-pernik etnik terlihat menghiasi tangan dan kakinya yang putih mulus. Bahkan sepatu warna putihnya yang berhak tingginya membuatnya kian tampak semampai.
“Kau cantik sekali, Nin,” puji Bobby terpana melihat penampilan Nina yang lain dari biasanya.
“Terima kasih, Kak! Kau juga tampak lebih tampan,” balas Nina seraya tersenyum..
“Terima kasih, Nin. Kalau begitu, ayo kita berangkat!” ajak Bobby seraya menggandeng Nina dan mengajaknya menuju mobil.
Tak lama kemudian, kedua muda-mudi itu sudah melaju menuju ke pusat kota, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah restoran yang sangat mewah. Kini keduanya sudah duduk dekat jendela yang menghadap ke jalan. Dari tempat itu terlihat pemandangan kota yang dipenuhi warna-warni lampu yang begitu indah, terkadang dari tempat itu terlihat kereta listrik yang melintas di atas rel layangnya, sungguh tampak menarik bagaikan mainan di dalam sebuah diorama. Ruangan di tempat itu pun terasa sangat nyaman, interiornya yang bergaya klasik betul-betul begitu berkelas. Lampu gantung, furniture, serta benda seni lain yang berasal dari zaman renaissance menciptakan suasana yang sangat romantis.
“Nin, apa kau senang makan di sini?” tanya Bobby seraya memasukkan makanannya ke dalam mulut.
“Senang sekali, Kak. Terus terang, baru kali ini aku makan di restoran semewah ini.”
“Aku juga baru pertama kali ini. Biasanya aku hanya makan di restoran cepat saji.”
“Suasana di tempat ini sungguh sangat romantis, Kak.”
“Betul, Nin. Seolah kita ini berada di masa lampau yang dikelilingi oleh benda seni bercita-rasa tinggi yang berasal dari masa kebangkitan.”
"O ya, Kak. Setelah ini kita akan ke mana?”
“Emm... bagaimana kalau kita menikmati air mancur menari?”
“Benarkah? Aku senang sekali mendengarnya, Kak.”
"O ya, Nin. Ngomong-ngomong, sebenarnya seperti apa pemuda yang kau dambakan?”
“Yang jelas, dia itu bukan kriminal, Kak. Tapi, dia itu haruslah Pemuda yang baik dan mau mengerti aku. Selain itu, dia juga pria yang romantis dan bercita-rasa seni tinggi.”
“Eng... menurutmu apa aku sudah masuk pada kriteria itu?”
“Entahlah, Kak... Aku belum begitu mengenalmu, karenanya bagaimana mungkin aku bisa menjawab pertanyaanmu.”
“Hmm... jika demikian, bagaimana kalau kita saling mengenal lebih jauh! Terus terang, aku telah jatuh cinta padamu, Nin.”
Saat itu Nina tak mampu berkata-kata, sungguh dia tidak menyangka kalau pernyataan itu akan keluar dengan begitu cepat.
“Bagaimana, Nin. Apakah kau juga mencintaiku?” tanya Bobby penuh kecemasan.
Lantas dengan wajah yang bersemu merah, Nina pun berani mengungkapkan isi hatinya, “A-aku juga mencintaimu, Kak.” jawabnya pelan.
“Sungguh!” tanya Bobby seraya menatap mata gadis itu dalam-dalam.
Nina pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum manis.
“Oh, Nin. Aku sungguh bahagia sekali mengetahuinya,” ungkap Booby kemudian.
Kini kedua muda-mudi itu tampak berpegangan tangan, merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Sementara itu di tempat lain, Lara yang baru pulang dari rumah temannya tampak sedang berbicara dengan pembantunya. “Mbok! Nina pergi ke mana?”
“Non Nina pergi sama Den Bobby, Non.”
“Apa! Nina pergi sama Bobby?” tanya gadis itu hampir tak mempercayainya.
“Betul, Non. Katanya mereka mau makan malam.”
Mengetahui itu, hati Lara pun jadi tidak karuan, terbayang sudah bagaimana orang yang dicintainya itu kini sedang berduaan dengan sepupunya. “Mbok, tolong buatkan aku minum!” pinta Lara seraya melangkah ke kamarnya.
Kini gadis itu tampak merebahkan diri di tempat tidur, pikirannya melayang jauh, membuat alur cerita mengenai Bobby dan sepupunya. Di benaknya tergambar suasana mengenai Bobby dan Nina yang sedang berduaan, duduk di restoran saling berhadapan. Pada saat itu, keduanya tampak menikmati makanan lezat sambil memperbincangkan berbagai hal yang menyenangkan. Setelah itu, keduanya berjalan-jalan di taman dan duduk di sebuah bangku, membicarakan berbagai hal yang indah. Lantas keduanya semakin hanyut di dalam kebersamaan itu, hingga akhirnya mereka pun berciuman.
“Tidak!” ucap Lara seraya menarik nafas panjang dan bergegas duduk di tepian tempat tidur. Sungguh alur cerita yang dikarangnya itu sudah membuatnya benar-benar merasa tidak nyaman. Bagaimana mungkin dia bisa merelakan kalau orang yang begitu dicintainya bermesraan dengan gadis lain.
“Non, ini minumannya!” seru pembantunya tiba-tiba dari balik pintu kamar.
“Masuk saja, Mbok!”
Mendengar itu, pembantunya segera masuk dan meletakkan minuman yang dibawanya di atas meja rias. Setelah itu, dia pun segera meninggalkan ruangan. Pada saat yang sama, Lara masih duduk di tepian tempat tidur. Kini di dalam kepalanya sudah tercipta alur baru yang lebih seru dari sebelumnya. Dimana di benaknya terbayang peristiwa yang semakin memanas. Sepulang dari taman, Bobby dan Nina tidak langsung pulang, namun mereka mampir dulu ke sebuah hotel, hingga akhirnya mereka melakukan perbuatan layaknya suami istri.
“Tidak!” lagi-lagi Lara menarik nafas panjang, kemudian beranjak mengambil minuman dan meneguknya sampai habis. Setelah itu, dia segera kembali ke tempat tidur dan langsung merebahkan diri.
Pada saat yang sama, Bobby dan Nina tampak sedang melangkah ke mobil. Kini sepasang muda-mudi itu sedang melaju menuju ke sebuah hotel bintang lima. Di dalam perjalanan, keduanya tampak sudah semakin akrab, membicarakan berbagai hal yang mereka minati. “Hmm… Jika demikian, berarti aku memang harus memakainya,” kata  Bobby sambil terus memperhatikan jalan.
“Betul, Kak. Kau memang harus memakai pelindung itu demi untuk keamanan.”
“Baiklah kalau begitu, agar kau tidak khawatir lagi aku pasti akan memakainya.”
Sepasang muda-mudi itu terus membicarakan perihal yang cukup menarik itu, hingga akhirnya mereka tiba di hotel. Sementara itu di sebuah jalan utama, Randy terlihat sedang mengendarai mobilnya. Saat itu di wajahnya terlihat sebuah ekspresi kebahagiaan. Maklumlah, pemuda itu baru saja berhasil melobi rekan bisnisnya, dan sekarang mau menindaklanjutinya demi untuk mematangkan perkara itu.
Kini pemuda itu tampak sedang menerima telepon, membicarakan perihal yang penting. “Iya.. iya... lima belas menit lagi aku sampai di tempat tujuan. Sudah ya, sampai bertemu nanti!” ucap pemuda itu mengakhiri pembicaraan.
Sedan mewah yang ditumpangi Randy terus melaju semakin cepat, mendahului mobil-mobil yang ada di depannya. Pada saat itu, wajahnya tampak begitu berseri-seri. Begitulah Randy, pemuda yang enerjik dan sedang dalam masa produktif. Jika dia sudah mengurusi soal bisnis dia memang sangat bergairah, bahkan hari-hari spesialnya sering dikorbankan demi urusan bisnis. Buktinya di akhir pekan ini, dimana seharusnya dia berlibur untuk penyegaran tapi malah digunakan untuk mengurusi bisnisnya. Sedan mewah yang ditumpangi Randy terus melaju, hingga akhirnya dia tiba di tempat tujuan.


 

Esok paginya seusai sarapan, Nina tampak sedang berbincang-bincang dengan Lara di ruang tengah. Mereka sedang membicarakan perihal Bobby yang kini sudah menjadi kekasih Nina. Saat itu, Nina tampak bersemangat menceritakan bagaimana dia diajak makan hingga akhirnya Bobby menyatakan cintanya di dalam suasana yang begitu romantis.
“Terus...?” tanya Lara penasaran, sebab peristiwa yang dialami oleh sepupunya itu sesuai sekali dengan alur cerita yang pernah dikarangnya.
Nina pun kembali melanjutkan ceritanya. “Setelah itu kami berjalan-jalan di taman dan duduk di suatu tempat sambil menikmati air mancur menari. Sungguh semuanya itu sangat romantis dan membuatku benar-benar bahagia,” ungkap Nina dengan wajah berbinar.
“Terus setelah itu...?” tanya Lara lagi semakin penasaran, karena yang diceritakan Nina lagi-lagi sangat sesuai dengan fantasinya.
“Eng... Setelah itu… setelah itu tidak ada lagi istimewa, Ra. Hanya perbincangan biasa yang sedikit menarik.”
“Benarkah tidak ada lagi kejadian yang istimewa?” tanya Lara mendesak.
“Betul, Ra. Memang sudah tidak ada lagi,” jawab Nina sambil mengacungkan dua jarinya. “Swear,” ucapnya kemudian.
Mengetahui itu, Lara menyesal juga karena telah berburuk sangka pada sepupunya, sampai-sampai di benaknya tercipta alur cerita yang tak sepatutnya itu.