E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Duka Lara - Bagian 5

Lima



Setelah sekian lama membina hubungan, tampaknya Lara kian mencintai Randy. Bagaimana tidak, ternyata pemuda itu memang sangat perhatian dan begitu menyayanginya. Kini gadis itu tengah duduk bersama kekasihnya di teras villa sambil memandang keindahan bukit yang dipenuhi perkebunan teh. Saat itu di benaknya terlintas kembali peristiwa yang telah lewat, ketika waktu itu Bobby pernah memberinya pengertian mengenai tabiat Randy yang perlu dipahami. Dan karena itulah, hingga akhirnya gadis itu kini bisa memahami Randy dan mencoba untuk senantiasa menyelaraskannya. Begitupun dengan Randy, selama ini pemuda itu senantiasa berusaha untuk menyelaraskan tabiat Lara yang sensitif.
“Lara!” tegur Randy ketika mengetahui gadis itu tampak melamun.
“Randy! Kau mengagetkanku saja,”
“Apa yang kau pikirkan, Sayang...?”
"Ah, tidak. Bukan sesuatu hal yang penting.”
“Emm... bukan sesuatu hal penting... ngomong-ngomong, apa aku boleh tahu hal tidak penting itu?”
“Kau itu, dari dulu tidak pernah berubah, Sayang.... Kau selalu mau tahu saja urusan orang, bahkan hal yang tidak penting sekalipun.”
“Mungkin bagimu tidak penting. Tapi, mungkin saja buatku sangat penting.”
“Baiklah, kalau kau memang mau tahu. Sebenarnya hal itu menyangkut dirimu.”
"Benarkah? Kalau begitu katakanlah!”
“Begini, Sayang... aku heran, kenapa kau mau tahu saja urusan orang?”
Mendengar itu Randy langsung terdiam, kemudian keduanya matanya tampak memandang Lara dengan dalam.
Karena dipandang seperti itu, Lara menjadi heran dibuatnya. “Sayang... kenapa kau memandangku seperti itu?” tanyanya kemudian.
“Katakanlah padaku, Ra...! Apakah keingintahuanku itu telah membuatmu merasa tidak nyaman?”
Lara mengangguk. “Kau senantiasa membuatku terpaksa berdusta, Sayang....” katanya kemudian.
Randy mengerutkan keningnya, saat itu dia betul-betul sedang memikirkan perkataan kekasihnya yang baginya mengandung makna yang sangat dalam. ”Emm... kini aku mengerti. Rupanya kau sudah begitu khawatir dikarenakan kodratmu yang selalu menggunakan perasaan, yang mana tidak semua hal bisa kau kemukakan dengan gamblang. Kalau begitu, maafkanlah aku yang tidak mengerti karena ketidakterusteranganmu! Mulai hari ini aku akan berusaha untuk tidak seperti itu lagi.”
“Oh, Sayang... aku benar-benar bahagia karena kau mau mengerti aku.”
Lantas kedua muda-mudi itu saling berpandangan dan berpegangan tangan, kedua pasang mata itu saling menatap hangatmengungkapkan isi hati dengan tanpa kata-kata.
“Randy... aku menyayangimu,” ungkap Lara seraya memeluknya dan menyandarkan kepalanya di bahu pemuda itu.
“Lara... kau sungguh telah mengajarkan aku akan makna cinta yang sesungguhnya,” ungkap Randy sambil terus mendekap Lara dan membelai dengan penuh kasih sayang.
“Aku pun begitu, Kak. Maaf kalau selama ini aku sudah menganggapmu sebagai pemuda yang tidak mau mengerti akan perasaan wanita. Tapi sekarang aku mengerti, semua itu karena aku yang masih belum pandai memilah perasaan, yaitu mengenai mana yang patut kuungkapkan dan yang tidak,” ungkap Lara seraya kembali memandang pemuda itu.
Kemudian mereka tampak berciuman dengan begitu mesra dan kembali berpelukan erat. Kesucian cinta dan kerendahan hati yang tulus terus berpadu dengan hasrat primitif yang menghilangkan derajat kemanusiaan keduanya, laksana sepasang merpati yang berbagi kasih dengan tanpa ikatan suci yang semestinya. Pada saat yang sama, di negeri nan jauh di sana. Seorang pemuda tampak sedang memperhatikan seorang gadis yang selama ini sudah membuatnya jatuh hati. Siapa lagi kalau bukan cucu gurunya sendiri, yang mana selama ini sering bersamanya berburu di tengah hutan.
“Kena!” teriak gadis itu ketika anak panahnya tepat mengenai sasaran.
Bobby yang sejak tadi memperhatikan gadis yang semula begitu berkonsentrasi membidik sasaran,  tiba-tiba tersentak dan langsung memandang ke arah bidikan. Saat itu dilihatnya seekor rusa tampak sudah menggelepar sekarat. Mengetahui itu, Bobby buru-buru menghampiri rusa itu dan menyembelihnya dengan menyebut nama Tuhan. Hingga akhirnya rusa itu mati dengan darah yang terus mengalir dari pembuluh darah besarnya.
“Kak, Bobby. Aku betul-betul heran... kenapa selama ini kau selalu menyembelih rusa yang kupanah,” tanya Li Qin terus terang.
“Aku melakukan ini agar rusa itu cepat mati sehingga dia tidak terlalu lama merasakan sakit. Lagi pula, aku melakukan itu agar dagingnya halal kumakan.”
“Halal? Apa maksud perkataanmu itu?”
“Halal itu berarti Tuhan sudah meridhai aku untuk memakan daging hewan yang sudah kusembelih dengan menyebut nama-Nya, karena di dalam ajaran agamaku tidak diperbolehkan memakan daging hewan yang dibunuh dengan tidak menyebut nama-Nya. Kau kan tidak seiman denganku, dan secara otomatis ketika memanah tadi kau tidak mungkin menyebut nama Tuhan-ku. Karenanyalah aku harus menyembelih hewan itu agar dagingnya menjadi halal kumakan, sebab jika tidak hewan itu tidak layak aku makan karena dianggap bangkai. Lagi pula, bukankah keyakinanmu tidak mempersoalkan hal itu, dan dengan demikian kau pun masih tetap bisa memakannya.”
"O, jadi begitu. Kini aku mengerti, Kak.”
Bobby tersenyum melihat Li Qin yang katanya mengerti, namun ekspresinya tubuhnya sama sekali tidak menunjukkan hal itudahinya tampak masih berkerut dengan sebelah tangan yang mengusap-usap kepalanya. Tak lama kemudian, Bobby sudah memanggul hewan buruan itu dan melangkah bersama menuju ke pondok yang mereka tinggali. Suasana hutan yang mulai gelap membuat keduanya semakin mempercepat langkah hingga akhirnya mereka tiba di pondok dengan selamat.


 
 
Malam harinya, Bobby, Li Qin dan gurunya tampak menikmati hasil buruan yang didapat petang tadi. Daging rusa panggang yang gurih terus mengisi perut dengan perlahan, hingga akhirnya ketiganya merasa kenyang. Seusai makan mereka tampak berbincang-bincang dengan akrabnya, hingga akhirnya. “Huaaahhh...!” sang kakek menguap. “Nak Bobby, Li Qin cucuku, rasanya aku sudah mengantuk sekali, dan sepertinya aku sudah tidak kuat untuk berlama-lama di tempat ini. Teruskan saja perbincangan kalian, aku mau pergi istirahat.”
Setelah berkata begitu, sang kakek tampak melangkah pergi. Sepeninggal orang tua itu, Bobby dan Li Qin kembali berbincang-bincang. Namun kali ini perbincangan mereka tampak menjurus ke hal-hal yang sifatnya sangat pribadi.
“Li… apakah kau merasakan perasaan yang seperti aku rasakan?”
Li Qin tampak mengerutkan keningnya, “perasan seperti apa yang kakak maksudkan?” tanya gadis itu tidak mengerti.
“Perasan ingin selalu berdua seperti ini. Apakah kau merasakannya juga?”
Li Qin mengangguk.
“Li... terus terang, setelah sekian lama bersamamu aku merasa betul-betul bahagia. Sepertinya...  A-aku mencintaimu, Li...”
Mendengar itu Li Qin tersentak gembira, setelah sekian lama menunggu pernyataan itu akhirnya dia mendengarnya juga.
“Li, kenapa kau diam? Apakah kau tidak mencintaiku?”
“Kak...” Li Qin menatap mata Bobby dalam-dalam “A-aku juga mencintaimu, Kak.” Ungkapnya kemudian.
Kini kedua muda-mudi itu sudah saling berpelukan, kemudian dilanjutkan dengan saling berciuman. Prilaku yang selama ini mereka jaga karena saling menghormati, namun sekarang sudah mereka langgar atas nama cinta. Cinta suci yang kini sudah dinodai oleh hasrat primitif yang tak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh makhluk tak berakal.


 

 
Esok harinya, di sebuah tanah lapang. Bobby dan gurunya berlatih silat seperti biasa. Kini keduanya sudah berdiri saling berhadapan untuk berlatih tanding. Setelah saling membungkuk, sang guru lantas menyuruhnya bersiap-siap. 
“Baik guru,” ucap Bobby seraya memasang kuda-kudanya.
“Terimalah seranganku ini, anak muda!” kata sang guru dengan serta-merta menyerang.
Bobby tersentak dengan serangan yang begitu tiba-tiba. Namun karena refleksnya sudah terlatih, dia pun bisa menghindarinya dengan mudah. Kini dia balik menyerang, sebuah pukulan dasyat tampak diarahkan pada wajah gurunya. Sayangnya serangan itu luput dikarenakan sang guru yang berkelit ke samping. Pada saat bersamaan, sebuah pukulan siku sang guru telak mengenai rahang Bobby, kemudian disusul dengan lutut sang guru yang bersarang di ulu hatinya. Tak ayal, pemuda itu pun tersungkur sambil meringis kesakitan. Belum sempat Bobby bangkit, tiba-tiba sebuah tendangan sudah mengarah ke pinggangnya. Mengetahui itu, serta-merta Bobby berguling berapa meter, kemudian segera bangkit dan memasang kuda-kudanya. Tak lama kemudian, pertarungan kembali berlanjut. Keduanya saling serang dan menangkis dengan jurus-jurus mematikan, hingga akhirnya Bobby berhasil menyusupkan pukulan dan telak mengenai dada gurunya. Pada saat itu, sang guru terlihat mundur beberapa langkah. Mengetahui itu, Bobby tidak menyiakan kesempatan. Namun ketika Bobby hendak melancarkan serangan, tiba-tiba “Cukup, Nak!” teriak sang guru yang tak menghendaki Bobby celaka, sebab saat itu sang guru sudah memproteksi diri dengan tenaga dalamnya. Mendengar itu, serta-merta Bobby membatalkan serangannya. Kemudian dia segera melangkah dan menghormat pada sang guru.
“Perkembanganmu sungguh pesat, Nak. Terus-terang aku bangga sekali,” komentar sang guru bangga.
“Terima kasih, guru. Ini semua berkat tempaan guru yang begitu keras padaku.”
“Hehehe...! Akhirnya kau mau mengakui juga kalau perlakuanku yang keras itu telah membuatmu berhasil mengusai jurus-jurus yang kuajarkan.”
Tak lama kemudian, sang guru sudah memberikan jurus baru padanya. Pada saat itu Bobby tampak serius memperhatikan gerakan-gerakan yang indah namun sangat mematikan. Dan tak lama kemudian, dia sudah mulai mengikuti gerakan gurunya hingga akhirnya dia hafal dan bisa melakukan gerakan itu sendiri. Sementara itu di tempat berbeda, Randy dan Lara tampak sedang membicarakan rencana Randy untuk pergi keluar negeri. Saat itu mereka duduk berdampingan di atas sofa empuk yang ada di ruang tengah rumah Lara.
“Tapi, Kak. Bagaimana mungkin kau bisa meninggalkan perusahaanmu?”
“Mungkin saja. Perusahaanku itu kan sudah bersistem, jadi bisa tetap operasional walaupun tanpa kehadiranku. Karenanyalah aku memutuskan untuk pergi keluar negeri, sebab usaha baruku di sana justru tidak mungkin berjalan tanpa kehadiranku.”
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, berapa lama kau akan berada di sana?”
“Ya, sampai usahaku di sana juga sudah bersistem. Namun, kau jangan khawatir! Sewaktu-waktu aku pasti pulang untuk menemuimu? Lagi pula, sekali-sekali aku perlu juga memantau langsung perusahaanku di sini.”
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang, hingga akhirnya Lara bangkit dari duduknya dan melangkah ke dapur. Tak beberapa lama kemudian, dia sudah kembali dengan segelas kopi di tangannya.
“Ini Cappuccino-nya, Kak,” kata Lara seraya memberikan kopi itu kepada kekasihnya.
Pada saat itu Randy langsung menanggapi kopi itu dan memperhatikannya sejenak. “Kok pakai es, Ra? Apa kau tidak tahu kalau aku lagi batuk?” tanyanya kemudian.
“Maaf, Kak. Aku pikir biarpun lagi batuk, kau mau tetap pakai es. Kau sih tadi tidak bilang kalau tidak mau pakai es.” 
“Uhuk Uhuk! Aduh, Lara. Mana perhatianmu padaku, masa aku lagi batuk malah diberi es. Kau ini seharusnya tahu kalau orang yang lagi batuk itu tidak boleh minum es.”
Saat itu Lara sedikit jengkel dengan sikap Randy yang seperti itu. Dalam hati dia pun jadi menggerutu sendiri, ”Dasar pria tidak tahu terima kasih. Sudah untung aku mau membuatkannya kopi. Eh, dia malah protes. Malah akulah disangka tidak perhatian. Mana aku tahu kalau dia peduli dengan sakitnya, bukankah banyak orang yang memang tidak peduli dengan sakitnya. Biarpun lagi batuk tetap saja mau minum es.“
“Ra, kenapa diam? Apa kau tidak mendengar pertanyaanku tadi?”
“Baiklah, sini kopinya. Biar aku ganti dengan yang tidak pakai es.”
“Maaf ya, Ra! Aku tadi tidak bilang karena kupikir kau itu wanita yang penuh perhatian, tapi ternyata memang belum sepenuhnya. Aku janji, lain kali aku pasti akan bilang.”
“Iya aku mengerti. Soalnya tadi aku menduga kau tidak mungkin bisa menghilangkan kebiasaanmu minum cappuccino pakai es. Dan aku takut jika aku membuatkanmu kopi tanpa es, nanti kau bilang aku ini tidak pengertian,” jelas Lara seraya melangkah ke dapur.
Pada saat yang sama, Randy tampak merenungkan perkataan Lara barusan. Keinginannya untuk selalu diperhatikan ternyata tidak pada tempatnya, sehingga terjadilah ketidakselarasan antara perhatian dan pengertian. Tak lama kemudian Lara sudah kembali dengan membawa cappuccino tanpa es. Saat itu Randy langsung menjelaskan perihal renungannya tadi, hingga akhirnya Lara pun mengerti dan menganggap hal itu hanyalah sebagai miss communication. Kini kedua muda-mudi itu sudah kembali berbincang-bincang dengan penuh keceriaan. Saat ini mereka sudah lebih mengerti kalau berbagai hal sepele juga bisa menjadi besar jika keduanya tidak mau saling terbuka. Dan karenanyalah, setiap saat mereka selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas keterbukaan itu agar segala bentuk miss communication bisa dieliminasi hingga sekecil mungkin. Dan karenanyalah, Lara pun berniat untuk mengungkapkan isi hati yang sebenarnya.
“Kak, sesungguhnya aku...” Lara tidak melanjutkan kata-katanya
“Sesungguhnya apa, Sayang... Ayolah, katakan saja jangan sungkan-sungkan!”
“Kak, sebetulnya a-aku tidak mau kau pergi ke luar negeri. Sesungguhnya aku ini wanita yang egois dan sama sekali tidak peduli dengan karirmu.”
“Aku bisa mengerti, Sayang... Sebetulnya keegoisanmu itu sangat manusiawi. Kalau kau mau tahu, sebetulnya aku pun sangat berat meninggalkanmu, namun karena semua sangat penting, aku terpaksa harus melakukannya. Karenanyalah, aku meminta kepadamu untuk bisa mengorbankan keinginanmu itu demi untuk masa depan kita, dan masa depan anak-anak kita kelak.”
“Tapi, Kak. Apakah dengan perusahaan yang sekarang tidak cukup?”
“Sayang... ketahuilah. Aku tidak bisa menjamin kalau perusahaanku itu tidak akan collapse. Karenanyalah aku perlu membangun usaha lain yang jika perusahaanku itu collapse aku masih mempunyai perusahaan lain sebagai cadangannya. Bukankah mempunyai dua keranjang telur lebih baik ketimbang hanya mempunyai satu keranjang. Dan andai satu keranjang telur itu jatuh, kita masih mempunyai keranjang yang lain.”
“Benarkah itu keinginanmu yang sesungguhnya, yaitu untuk masa depan kita dan bukan karena demi karirmu semata.”
Randy mengangguk.
“Maafkan aku, Kak. Semula aku sudah berburuk sangka kalau keinginanmu itu hanyalah karena keegoisanmu yang lebih mementingkan karir ketimbang diriku.”
“Sudahlah, Sayang... aku bisa mengerti kenapa kau bisa berpikiran seperti itu.”
Lantas kedua muda-mudi itu saling berpandangan dengan sangat dalam, kemudian mereka pun saling berciuman dengan mesranya. Sungguh indah dan membahagiakan sekali andai hal itu mereka lakukan di dalam sebuah ikatan yang sakral.


 

Keesokan harinya, di negeri yang ada di sebelah Barat sana. Mentari tampak bersinar dengan teriknya. Pada saat itu, di atas hamparan hutan pinus yang lebat, seekor elang tampak berputar-putar mencari mangsa. Ketika melihat seekor kelinci, tiba-tiba si penakluk angkasa itu menukik tajam dengan sangat cepatnya menuju mangsa yang sama-sekali tak menyadari kalau bahaya sedang mengancam. Sementara itu, tak jauh dari pondok kayu yang ada di tengah hutan yang sama. Seorang pemuda tampak sibuk membelah kayu bakar di bawah rindangnya sebuah pohon besar. Dan setelah di rasa cukup, pemuda itu tampak beristirahat di beranda kayu sambil mengelap peluh di tubuhnya.
“Ini minumannya, Kak,” kata Li Qin memberikan segelas air putih yang langsung ditenggak Bobby sampai habis.
“Eng, mau kuambilkan lagi, Kak?”
“Terima kasih, Li. Sudah cukup.”
"O ya, Kak. Kata kakek, belum lama ini beliau melihat beberapa polisi menyisir wilayah ini dengan membawa anjing pelacak. Mereka itu sedang mencari seseorang yang diduga selamat dari ledakan, sebab mereka menemukan jejak darah yang mengarah ke hutan ini.”
“Jejak darah? Aneh... bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan jejak darah, sedang saat ditemukan aku tengah mengapung di aliran sungai. Hmm... apa mungkin ada orang lain yang selamat?”
“Mungkin saja, Kak. Sebab kau saja bisa selamat kenapa yang lain tidak.”
Bobby dan Li Qin terus berbincang-bincang mengenai orang yang sedang dicari itu. Sementara itu di tempat berbeda, Lara tampak sedang menangis. Rupanya gadis itu masih merasa berat untuk melepaskan kepergian Randy keluar negeri. Ingin rasanya dia menahan pemuda itu untuk tidak meninggalkannya, namun di sisi lain dia tidak mau menghambat karir orang yang begitu dicintainya, yang katanya demi untuk masa depan mereka dan anak-anak mereka kelak.
“Sudahlah, Ra. Kau jangan sedih begitu, nanti bisa-bisa aku tidak jadi berangkat.”
Mendengar itu, Lara langsung menghapus air matanya. Kemudian dia menatap kekasihnya itu sambil mencoba tersenyum. “Kau harus berangkat, Kak! Lihatlah, kini aku sudah tidak sedih lagi!”
“Nah, begitu dong. Sekarang kan aku jadi lega untuk berangkat. Sudah ya, Sayang... Jika ada umur, suatu hari nanti kita pasti akan bertemu.”
Setelah saling berciuman dan berpelukan mesra, Lara tampak memperhatikan Randy yang kini melangkah menuju ruang tunggu. Pada saat itu Lara benar-benar sedih, di hatinya ada kekhawatiran yang amat sangat. Seketika itu juga di benaknya terbayang perasaan pilu, dimana pada saat itu dia tak bisa bertemu lagi dengan sang kekasih tercinta. Kini gadis itu tampak duduk termenung memikirkan berbagai hal yang sangat mengkhawatirkan dirinya. Saat itu dia sempat membayangkan kalau pesawat yang ditumpangi suaminya terjatuh di tengah lautan dan tak ada seorang pun penumpangnya bisa selamat, namun pada akhirnya kekhawatirannya itu pun lenyap karena dia kembali teringat akan doa yang akan dikabulkan Tuhan. Saat itu juga dia pun langsung berdoa memohon keselamatan atas kekasihnya tercinta.