E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Sayap Bidadari Bagian 3 [ Dering Kegelisahan ]

TIGA
Dering Kegelisahan

KRIIING…! KRIIING...! KRIIING...! terdengar dering telepon yang begitu menyebalkan. Sungguh bunyi itu telah mengganggu kenyamanan Bobby yang saat itu sedang serius menyimak perbincangan di televisi. KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! Telepon kembali berdering, namun tak ada seorang pun yang mau mengangkatnya. Mengetahui itu, akhirnya Bobby terpaksa mengangkatnya sendiri. "Ya, hallo!" sapanya kepada orang di seberang sana.
"Eng, bisa bicara dengan Pak Dullah!" pinta orang di seberang sana.
"O, tunggu sebentar!" Pinta Bobby seraya mengecek keberadaan ayahnya, dan tak lama kemudian dia sudah kembali. "Hallo!" sapanya kemudian.
"Ya, Hallo."
"Maaf, Pak. Pak Dullahnya baru saja pergi."
"Eng... Kalau begitu bisa titip pesan!"
"Ya, silakan!"
"Eng... Tolong bilang sama Pak Dullah, agar segera menghubungi Pak Saman, Penting!"
"Iya, Pak. Akan saya sampaikan."
"Kalau begitu, terima kasih ya... Permisi..."
TUT... TUT... TUT...
"Aduh, pesan lagi," keluh Bobby karena terpaksa dia harus terus mengingat amanat itu. Sebab jika tidak, dia pasti lupa. Maklumlah, Bobby itu memang pelupa, dan dia benar-benar merasa terbebani oleh berbagai hal yang berhubungan dengan ingat-mengingat. Tadinya sih dia mau mencatat pesan itu, namun karena ballpoint yang biasanya ada di dekat telepon menghilang lagi, terpaksa Bobby jadi harus terus mengingat.
Kini Bobby sudah kembali duduk di depan TV. Namun baru saja dia duduk sebentar, tiba-tiba KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! lagi-lagi telepon berdering dan membuat tensi Bobby menjadi naik. Kali ini Bobby tidak mempedulikannya, hingga akhirnya ibunya yang baru saja selesai sholat buru-buru mengangkatnya.
Begitulah keadaan setiap harinya, betul-betul membuat Bobby merasa jengkel. Maklumlah, ayah Bobby adalah seorang pejabat daerah tingkat rendah, dan ayahnya itu juga berkecimpung di dalam jaringan perdagangan benda antik maupun benda gaib, yang relasinya adalah para kolektor dan juga para mafia benda antik. Setiap harinya, ada saja orang mencari ayahnya dan menitipkan pesan macam-macam, sehingga membuat Bobby terpaksa sering menjadi sekretaris dadakan ayahnya.
 

Esok harinya. KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! lagi-lagi terdengar bunyi dering telepon yang begitu menyebalkan. Namun entah kenapa kali ini Bobby buru-buru mengangkatnya, padahal semula dia tampak begitu serius membaca buku. Sungguh sikap pemuda itu lain dari biasanya, dia tampak begitu bersemangat, bahkan rasa sakit akibat lututnya terkena tepi meja tak dipedulikannya lagi. "Ya, hallo!" sapanya dengan hati berdebar.
"Hallo! Bisa bicara dengan Pak Dullah!" pinta orang di seberang sana.
"Aduh, ternyata bukan dia," keluh Bobby dalam hati seraya merasakan sakit di lututnya. "Sebentar Pak!" Pinta Bobby seraya mengecek keberadaan ayahnya dengan agak terpincang-pincang. Tak lama kemudian, dia sudah kembali. "Hallo!" sapanya kepada si Penelpon.
"Ya, Hallo."
"Maaf, Pak. Pak Dullah tidak ada."
"Eng... Kalau begitu bisa titip pesan!"
"Ya, silakan!"
"Emm... Tolong bilang sama Pak Dullah agar segera menghubungi Pak Dudung, Penting."
"Iya, Pak. Insya Allah akan saya sampaikan."
"Kalau begitu, Terima kasih ya... Permisi..."
TUT... TUT... TUT...
"Pesan lagi, pesan lagi..." keluh Bobby karena terpaksa harus mengingat lagi. "Hmm... kenapa Angel belum juga menghubungiku?" tanya Bobby seraya kembali ke tempat duduknya. "Masa sih dia belum juga selesai. Aku saja membaca dua naskahku sendiri hanya membutuhkan waktu 6 jam, masa hingga kini dia belum juga selesai. Hmm... Apa dia sedang begitu sibuk sehingga tidak sempat membacanya? Hmm... Apa dia malas untuk membacanya? Tidak...! Dia itu gadis yang baik, dia pasti punya rasa tanggung jawab untuk segera membacanya. Seperti halnya diriku, yang mana setiap kali diminta seorang teman untuk membaca naskahnya pasti langsung segera kuselesaikan. Sebab, aku yakin temanku itu tentu resah jika menunggu terlalu lama, tentunya waktu begitu berharga buat dia, sehingga jika aku sampai menunda-nunda sama saja dengan menzoliminya. Aku yakin, Angel tidak akan mau menzolimiku, sebab dia itu gadis yang baik dan penuh tanggung jawab. Hatinya pun begitu lembut—selembut sutra, bahkan sangat penyayang dan begitu perhatian. Hmm... kira-kira kesibukan apa yang telah menghambatnya hingga dia tidak dapat menyelesaikan kewajibannya. Ah, sudahlah... Tentu kesibukannya itu lebih penting daripada harus membaca naskahku. Aku rela, jika kesibukan itu memang lebih penting. Biarlah naskahku itu agak terlambat dari jadwal yang sudah kutentukan, asalkan dia bisa senang dan bahagia dengan segala urusannya."
Kini Bobby sudah kembali membaca. Namun baru saja dia menyelesaikan satu halaman, tiba-tiba… KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! lagi-lagi terdengar dering telepon yang membuat pemuda itu buru-buru mengangkatnya. "Ya Hallo!" sapanya kemudian.
"Eng... Bisa bicara dengan Pak Dullah!"
"Aduh, ternyata bukan dia," keluh Bobby lagi-lagi kecewa. "Maaf, Pak. Pak Dullah tidak ada."
"Eng... Kalau begitu bisa titip pesan!"
"Ya, silakan!"
"Emm... Tolong bilang sama Pak Dullah, agar segera menghubungi Pak Manap, Penting."
"Iya, Pak. Insya Allah akan saya sampaikan."
"Kalau begitu, Terima kasih ya... Permisi..."
TUT... TUT... TUT...
"Pesan lagi, pesan lagi..." keluh Bobby karena terpaksa harus mengingat dua pesan yang menjengkelkan itu.
Kejadian serupa terus berlanjut, hingga akhirnya Bobby memutuskan untuk tidak mempedulikan dering telepon berikutnya. Ketika Bobby baru selesai menuntaskan bacaannya, tiba-tiba KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! lagi-lagi terdengar dering telepon yang begitu menyebalkan. "Ah, biar ibuku saja yang mengangkatnya. Sekarang lebih baik kau nonton TV saja. "
KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! telepon kembali berdering, namun ibu Bobby tak jua mengangkatnya. "Hmm... bagaimana kalau itu telepon dari Angel. Jika tidak ada yang mengangkatnya bisa-bisa dia menyangka di rumah tidak ada orang. Kalau begitu, aku harus segera mengangkatnya," pikir Bobby seraya mengangkat telepon yang terus berdering itu. "Ya, hallo!" sapanya kemudian.
"Eng... Bisa bicara dengan Bobby!"
"Aduh, ternyata bukan dia," keluh Bobby lagi-lagi kecewa karena yang bicara itu bukan seorang gadis. "Siapa, nih?" tanya Bobby kemudian.
"Ini aku, Bob. Parhan."
"O, kau Han. Ada apa?"
"Emm... Kau mau beli tinta printer?"
"Wah, tintaku masih banyak tuh."
"O, kalau begitu ya sudah. O ya, Bob. Kalau sudah habis telepon aku ya!"
"Insya Allah, Han..."
"Sudah ya, Bob. Bye..."
"Bye..."
TUT... TUT... TUT...
"Duhai Allah... Kenapa harus seperti ini? Kenapa dia belum juga meneleponku. Padahal, aku sudah begitu merindukannya."
Kini Bobby tampak terduduk lesu dengan kedua mata yang memandang ke layar kaca. Saat itu, film kartun Sponge Bob yang biasanya membuatnya terpingkal-pingkal kali ini tidak berpengaruh sama sekali.
 

Hari demi hari telah berlalu, dan setiap dering telepon yang didengar Bobby sungguh membuatnya resah dan gelisah. Entah bagaimana dia harus bersikap terhadap dering telepon yang sering kali berbunyi itu, haruskah dia mengangkatnya karena khawatir Angel yang menelepon, atau tetap didiamkan karena dia tak mau dibebani lagi oleh berbagai pesan yang menyebalkan. KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! tiba-tiba dering kegelisahan kembali berdering. Karena merasa khawatir, lantas Bobby pun segera mengangkatnya. "Hallo! Assalamu’alaikum...!" sapa orang yang ada di seberang sana. Saat itu hati Bobby begitu senang bukan kepalang karena yang didengarnya barusan adalah suara seorang gadis.
"Ya, Wa’allaikum salam...!" sapa Bobby senang.
"Eng... Bisa bicara dengan Ibu Haji!" pinta gadis itu.
"O, ini dari siapa?" tanya Bobby agak kecewa.
"Dari Wanda, anak Bu Haji Endah."
"Wanda?" Bobby agak terkejut karena gadis yang menelepon itu ternyata gadis yang hendak dijodohkan dengannya, dan gadis itu pun ternyata telah mengecewakan hatinya itu. Maklumlah, terakhir kali mereka bicara—mereka sempat bertengkar lantaran berpedaan pendapat.
"Eng... Tunggu sebentar!" pinta Bobby seraya memanggil ibunya.
Tak lama kemudian, Bobby sudah datang bersama ibunya. Saat itu Bobby langsung duduk menonton TV, sedangkan sang Ibu langsung berbincang-bincang dengan Wanda.
"O, begitu... Baiklah, nanti malam Ibu akan ke sana. O ya, ngomong-ngomong kau mau bicara dengan  Bobby?" tanya Ibu Bobby kepada Wanda. "Tidak apa-apa, dia lagi tidak sibuk kok," jelas Ibu Bobby melanjutkan, "Tunggu sebentar Ya!," pintanya kemudian.
"Bob, ini Wanda mau bicara denganmu," kata sang Ibu seraya menyerahkan telepon yang ada digenggamannya.
"Ya, Hallo!" sapa Bobby kepada gadis itu.
Saat itu Winda diam saja.
"Kenapa kau hanya diam, Wan? Bicaralah…!" pinta Bobby kepada Wanda yang belum juga bicara.
"Eng... Apa kabar, Kak?" tanya Wanda kepada Bobby.
"Baik," jawab Bobby singkat seraya menunggu kata-kata Wanda selanjutnya.
"Kak... Ayo dong bicara!" pinta Wanda.
"Lho, bukankah kau yang mau bicara?"
"Aku bingung, Kak. Terus terang, aku tidak tahu harus bicara apa? Hmm... Enaknya bicara apa ya?"
"Entahlah... Aku juga tidak tahu?"
"Kak, kenapa sih sekarang Kakak jadi berubah? Kemarin-kemarin, Kakak begitu pandai bicara. Kenapa sekarang jadi lain?" tanya Wanda yang merasakan ada perubahan pada diri Bobby.
"Entahlah... Mungkin karena sekarang aku lagi tidak mood saja."
"Eng.. Kalau begitu, kita bicaranya lain kali saja deh, kalau Kakak sudah mood."
"Maaf ya, Wan!" ucap Bobby yang mengetahui kekecewaan Wanda.
"Tidak apa-apa, Kak. Kalau begitu sudah ya. O ya, salam buat Ibu. Wassalamu’alaikum..."
"Wa’allaikum salam..." ucap Bobby seraya menutup telepon dan kembali duduk menonton TV.
Kini Bobby kembali teringat dengan perbedaan pendapat waktu itu, yaitu perihal wanita karir yang telah menjadi cita-cita Wanda. Oleh karena itulah, Bobby pun merasa tidak cocok jika menikah dengan Wanda. Maklumlah, Bobby memang tidak menghendaki mempunyai istri yang seorang wanita karir. Apalagi saat itu Wanda mengatakan kalau dia sudah bertekad untuk menjadi wanita karir, walau apa pun yang terjadi. Sejak mengetahui itulah, Bobby memutuskan untuk menjauhi Wanda dan memilih Angel sebagai pendampingnya. Bahkan dia sudah yakin sekali kalau Angel akan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Selain itu, dia pun mulai meyakini kalau Angel itulah cinta sejatinya yang sengaja dipertemukan Tuhan demi untuk membahagiakannya.
Kini Bobby sudah tidak memikirkan Wanda lagi, melainkan memikirkan Angel yang hingga kini belum juga menelepon. "Ya, Tuhan... Aku bisa gila jika harus terus menunggu dan menunggu. Sampai kapan aku akan dibuat gelisah oleh setiap dering telepon yang berbunyi di rumah ini? Duhai Allah... Aku betul-betul resah dan gelisah..."
Bobby terus memikirkan Angel. Sungguh perasaannya kini sudah menjadi tidak karuan. Segala kerinduan dan dering kegelisahan yang disebabkan oleh dampak pertemuannya dengan Angel betul-betul membuatnya ingin mati saja. Begitulah cinta, yang dengannya manusia bisa menjadi serba salah. Terkadang bisa membuatnya bahagia dan terkadang bisa membuatnya menderita. Sungguh cinta sebuah misteri yang sulit untuk dipecahkan.
 

Hari berikutnya, Bobby tampak sedang melanjutkan kerangka karangan yang sedang dibuatnya. "Hmm... apa lagi ya?" tanya Bobby seraya berpikir keras mengenai peristiwa apa lagi yang akan ditulis. "Hmm... Pada Bab Delapan ini harus ada peristiwa baru yang pembuka masuknya karakter Lia di dalam kehidupan Irfan. Hmm... Tapi peristiwa apa ya yang enak untuk mempertemukan kedua karakter ini?" tanya Bobby lagi-lagi berpikir keras. "Hmm... Lia itu kan sahabat Wina—gadis yang Infan cintai. Selama ini, Winalah yang telah memberikan saran untuk Lia agar meninggalkan Irfan, sebab Lia menilai Irfan hanyalah seorang buaya darat yang cuma mau mempermainkan Wina. Selama ini Lia mengetahui perihal Irfan cuma dari Lia, dan Lia sendiri memang belum mengenal Irfan secara langsung. Begitu pun dengan Irfan, dia malah tidak tahu kalau ada sahabat Wina yang bernama Lia. O ya, bukankah Wina itu punya hobi chatting. Bagaimana jika mereka berkenalan di chat room saja, dan sejak perkenalan itulah mereka akhirnya akrab, dan Lia pun akhirnya mencintai Irfan yang saat itu menggunakan nama samaran Handi. Lia mencintai Handi karena Lia menilai Handi adalah pria yang baik dan penuh perhatian, apalagi ketika mereka saling bertukar Foto, maka semakin cintalah Lia karena Handi memang seorang pemuda yang tampan. Begitu pun dengan Handi, lantaran dia sudah putus dengan Wina, dia pun berniat menjadikan Lia sebagai pacar barunya. Hingga akhirnya, jadilah mereka sepasang kekasih. Namun pada suatu ketika, Wina, Lia, dan Handy bertemu. Dan...  Bingo!" Seru Bobby gembira seraya buru-buru menulis berbagai kejadian dramatis yang tiba-tiba saja tercipta di dalam benaknya. "Ah, akhirnya... Bisa juga aku menemukan sebuah konflik yang justru membuat Wina semakin mencintai Irfan! Dan itu karena kejujuran Lia yang memberikan penilaian siapa Irfan itu sebenarnya. Dulu, Lia telah menganjurkan Wina untuk meninggalkan Irfan, namun karena Lia sudah mengenal Irfan, maka dia pun merasa berdosa jika tak berusaha mempersatukan mereka kembali. Hmm… Jika aku berhasil menutup cerita ini dengan sebuah ending bahagia yang mengharukan, tentu ceritaku ini akan menjadi cerita cinta yang menarik," pikir Bobby penuh percaya diri.
Setelah menemukan endingnya, akhirnya Bobby mulai menyelesaikan kerangka karangannya yang diberi judul Keluguan dan Praduga. "Hmm... Tapi kapan ya aku bisa mulai mengembangkan kerangka ini. Sungguh sekarang-sekarang ini aku sedang tidak mood menulis. Tapi..." tiba-tiba Bobby teringat dengan artikel berjudul Sure! Kita tidak butuh Mood, Kok! Sebuah artikel yang bersumber dari Dunia Kata. Di tulis oleh Mohammad Fauzil Adhim.


Salah satu berhala yang banyak dipuja oleh penulis—apalagi penulis fiksi—adalah mood. Mereka bisa menulis dengan baik kalau sedang mood. Sebaliknya, mereka akan berhenti menulis kalau lagi tidak ada mood. Lama-lama mereka dikuasai mood. Mereka menulis atau tidak, bergantung pada mood atau suasana hati.
Saya tidak tahu sejak kapan penulis sangat bergantung pada mood. Begitu bergantungnya pada mood sampai-sampai mereka percaya mood sangat menentukan lancar tidaknya menulis. Padahal, kitalah yang seharusnya menentukan diri kita sendiri. Kalau kita membiasakan diri untuk menulis apa saja; dalam suasana gaduh atau tenang, dalam suasana penuh semangat atau dingin tak bergairah, kita akan lebih produktif sekaligus melahirkan tulisan yang lebih berbobot. Satu hal yang harus kita pompakan, menulis karena memang ada yang harus kita sampaikan. Kalau mood sedang tidak bersahabat dengan kita, jangan dikasih hati. Tetaplah menulis. Insya Allah, kita akan terbiasa sehingga dapat menulis dengan bagus anytime, anywhere, kapan saja, dan di mana saja.
Pipiet Senja adalah contoh luar biasa. Dalam dirinya bergabung ketekunan, kerja keras, dan kemampuan menulis kapan saja, di mana saja. Tidak bergantung pada mood. Pipiet Senja bisa menulis saat sakit, ketika harus terbaring di rumah sakit, atau ketika sedang menghadapi beratnya persoalan hidup. Ia menulis dari zaman Remy Silado, ketika saya baru belajar membaca, sampai sekarang ketika penulis-penulis muda yang bersemangat sedang tumbuh. Ada kemauan belajar yang luar biasa. Ada semangat yang sangat dahsyat untuk bisa senantiasa produktif menulis kapan saja. Sekali lagi, kapan saja tanpa bergantung pada mood.
Ibu kita yang memiliki nama asli Etty Hadiwati Arief ini sekarang sudah menghasilkan tidak kurang dari lima puluh lima buku, terdiri dari 25 buku cerita anak dan 30 novel. Belum lagi ratusan cerpen yang tersebar di berbagai media massa dan belum sempat dibukukan. Luar biasa!


Begitulah isi artikel yang membuat Bobby kembali bersemangat untuk menulis walaupun sedang tidak mood. Namun di lain sisi, dia pun merasa berat jika harus menulis sedangkan pikirannya sedang tidak konsentrasi lantaran memikirkan sang Pujaan Hati. Apalagi soal perjodohannya itu, sungguh membuatnya betul-betul tertekan. Untuk saat ini, dia merasa yang enak itu bukan mengembangkan kerangka karangan yang baru diselesaikannya, melainkan hanya menulis puisi cinta mengenai perasaannya kepada sang Belahan Jiwa.
"Hmm... Apakah kini aku sedang diperdaya oleh bisikan setan yang menyesatkan, sehingga aku menjadi terlena dengan cinta yang membutakan. Padahal, masih banyak sekali hal penting yang bisa aku kerjakan. Bukankah aku ini diciptakan untuk menjadi khalifah, minimal untuk diriku sendiri, dan bukan hanya memikirkan soal cinta yang justru semakin membuatku tidak produktif. Tapi... Bisakah aku tetap produktif tanpa seorang pendamping yang men-support aku, dan bisakah aku bertahan hidup tanpa perhatian dan kasih sayang dari orang yang mencintaiku. Bukankah sewaktu masih di surga, Nabi Adam juga merasa kesepian karena tidak ada wanita yang mendampinginya. Dan karena rasa kesepiannya itulah lantas Allah menciptakan Hawa untuknya. Di surga saja Nabi Adam merasa seperti itu, apalagi aku yang hanya tinggal di dunia, yang di dalamnya penuh dengan duri-duri yang menyakitkan. Hmm… Tampaknya cintaku kepada Angel hanyalah cinta buta, sebab akibat dari cinta itulah kini aku menjadi demikian. Bukankah cinta sejati itu adalah cinta yang membuat manusia justru semakin bersemangat dalam mengisi kehidupannya."
KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! telepon tiba-tiba kembali berdering. "Ah, sudahlah... Biarpun dia itu Angel atau hanya orang sakit jiwa yang mau mencari benda magis aku tidak perlu mengangkatnya. Pokoknya kini aku sudah tidak peduli, dari pada nantinya aku dipusingkan dengan berbagai pesan yang tak penting—pesan yang sebetulnya malas aku sampaikan karena membuatku ikut terlibat dengan urusan yang kuanggap berdosa itu, yaitu mengenai perdagangan benda magis.
Sungguh aku sangat menginginkan ayahku itu mau sadar, kalau apa yang dilakukannya selama ini—memperdagangkan jimat atau benda magis adalah salah. Namun saat ini aku memang tidak bisa berbuat banyak, soalnya ilmu agamaku hanya sedikit, sedangkan ilmu agama ayahku yang memperbolehkan kepemilikan jimat atau benda magis sudah sangat beliau kuasai. Kata ayahku, kalau sebenarnya jimat atau benda magis secara khusus memang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW sehingga tidak masuk ke dalam Syariat Islam yang diajarkan olehnya. Sebab firman Allah terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang tersurat berupa Al-Quran dan yang tersirat yaitu segala kemahakuasaan Allah SWT yang tampak di mata dan hati manusia. Sungguh sebuah pendapat yang betul-betul membingungkanku. Tapi, ya sudahlah... Aku tetap pada keyakinanku sendiri, dan biarlah ayahku dengan keyakinannya pula, yang penting buatku adalah aku tidak mau ikut campur dan terlibat dengan segala urusannya yang tak sejalan denganku. Kini yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa agar beliau mau kembali ke jalan yang lurus, amin…" ucap Bobby penuh harap.
KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! telepon kembali berdering, saat itu Bobby masih tak mau menghiraukannya. KRIIING...! KRIIING...! KRIIING...! telepon masih terus berdering, namun Bobby masih tak menghiraukannya, saat itu dia malah asyik menulis sebuah puisi kerohanian. Pada saat yang sama, di seberang sambungan, di sebuah telepon umum yang sepi, seorang gadis tampak berdiri resah. "Hmm... Kenapa belum juga diangkat?" tanya Angel gelisah. "Mmm... Apa mungkin di rumahnya sedang tidak ada orang. Tapi... Bukankah kata Raka, Bobby itu jarang pergi ke mana-mana. Apa lagi ibunya, yang setiap hari selalu ada di rumah. Hmm... Apa mungkin saat ini aku sedang sial? Sebab, bisa saja saat ini mereka memang sedang pergi. Kalau begitu, sebaiknya aku telepon lain waktu saja," pikir Angel seraya menutup telepon dan segera melangkah pergi.
Malam harinya, Angel kembali menelepon Bobby. Namun saat itu masih tak ada seorang pun yang mengangkatnya. "Hmm... kalau begitu besok saja kutelepon dia," kata Angel yang masih bisa bersabar.  Sungguh Angel tidak tahu, kalau sebetulnya Bobby sudah melepas line telepon lantaran kesal dan merasa terganggu oleh dering telepon yang di rasakan begitu menyebalkan.