Tiga
Setelah peristiwa dua malam yang membahayakan itu, akhirnya Bobby tersadar dan takut sekali jika sampai terjerumus ke lembah nista. Karenanyalah dia memutuskan untuk bertemu Randy, sahabatnya yang sudah dianggap sebagai saudara kandungnya sendiri. Barangkali saja dia bisa membantunya mencarikan jalan keluar agar bisa lepas dari bayang-bayang Winda, yang mana selama ini telah membuatnya terpedaya sehingga harus lari ke hal-hal yang negatif. Kini pemuda itu tampak disambut hangat oleh sahabatnya dan dipersilakan masuk ke kamar kos-kosannya yang terasa cukup nyaman.
“Kau masih suka hura-hura, Bob?” tanya Randy perihal kebiasaan buruk Bobby yang membuat pemuda itu merasa perlu untuk menanyakannya.
“Eng… Kenapa kau menanyakan hal itu, Ran?” Bobby malah balik bertanya.
“Tidak… Aku cuma prihatin saja. Andai kau mau menggunakan uangmu untuk hal-hal yang bermanfaat, tentu Tuhan akan memuliakanmu.”
“Ran, ketahuilah. Kini aku sudah sadar, kalau perbuatanku yang lalu itu memang salah. Karenanyalah, kini aku datang menemuimu karena ingin meminta masukan darimu.”
“Benarkah yang kau katakan itu?”
Bobby mengangguk. “Begini, Ran. Terus terang, hingga hari ini aku tidak bisa melupakan Winda. Sebenarnya selama ini aku melakukan itu agar bisa lepas dari bayang-bayangnya. Namun cara yang kutempuh itu keliru, sebab cara itu merupakan upaya setan untuk pemperdayaku. Selama ini aku merasa bisa menjaga diri hal-hal yang membahayakan, sebab aku punya iman yang menjadi tameng pelindungku. Pikirku tidak apa-apa jika aku pergi ke tempat-tempat hiburan demi mengobati hatiku yang lara. Aku merasa pasti tidak akan terjerumus ke arah yang menyimpang selama aku bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak. Namun pada kenyataannya, sedikit demi sedikit setan berhasil memperdayaku. Dan yang terakhir setan hampir saja berhasil menjerumuskanku ke lembah nista. Karenanyalah kini aku benar-benar bingung, bagaimana caranya agar bisa melupakan dia, namun dengan cara-cara yang tidak menyimpang.”
Randy menepuk bahu Bobby pelan, “Kau tidak mungkin untuk bisa melupakannya, Bob. Namun jadikanlah itu sebagai pelajaran yang berharga. Sungguh Tuhan telah menciptakan episode yang demikian agar kau bisa menjadi lebih baik. Ketahuilah, tidak akan bertambah kemuliaan seseorang sebelum Tuhan memberikan ujian kepadanya. Karena itulah, kau tidak perlu melupakannya, namun ambillah hikmah dari peristiwa itu.”
“Hikmah apalagi yang bisa kuambil selain dari kekecewaan dan sakit hati lantaran telah mencintai gadis yang salah.”
“Banyak... banyak sekali, Bob. Andai kau bisa mengikhlaskannya, kau tentu akan betul-betul menjadikan peristiwa itu sebagai ujian. Pikirkan kenapa Tuhan tak mengizinkanmu menjalin cinta dengannya. Pikirkan juga kenapa Tuhan menakdirkanmu untuk bertemu dengannya dan jatuh cinta kepadanya. Berprasangka baiklah pada Tuhan yang telah menciptakan episode yang demikian demi untuk kebaikanmu, yang mana bisa memetik segala pelajaran darinya. Dan jika kau sudah memahaminya, lalu kau ikhlas dan sabar dalam menjalaninya, maka Insya Allah kau akan menjadi lebih baik. Kau akan menjadi lebih dewasa dan lebih bijaksana ketika menjalani episode selanjutnya.”
“Ikhlas dan sabar…?”
“Ya, itulah kuncinya. Sebab untuk menjadi lebih baik, tidak ada cara lain lagi selain harus latihan dan latihan. Episode yang sedang kau jalani selama ini adalah bagian dari sarana latihan itu. Karenanya kau tidak perlu lari, namun hadapi sekuat kemampuanmu. Jika kau tak sanggup, jangan sampai kau putus asa, sebab kepasrahan adalah sebaik-baiknya jalan yang bisa kau tempuh.”
Bobby pun terdiam merenungi semua perkataan Randy barusan, hingga akhirnya dia bisa memahami kalau semua peristiwa di dalam kehidupannya adalah sarana latihan agar kelak dia bisa memahami arti kehidupan.
Esok siangnya, Bobby dan Randy datang menemui teman mereka yang bekerja sebagai seorang satpam di sebuah perumahan mewah. Kini ketiganya tampak asyik berbincang-bincang di dalam gardu yang diteduhi oleh rindangnya pohon beringin, dan terkadang angin sepoi-sepoi bertiup melewati tempat itu, hingga membuat tempat itu kian bertambah sejuk. Ketiga pemuda itu terus berbincang-bincang hingga akhirnya perbincangan mereka terhenti oleh kedatangan seorang gadis cantik.
“Hai, Kak Haris!” sapa gadis itu kepada pemuda yang duduk di sebelah Randy.
“Hi, Nur..! Apa kabar?” Balas pemuda itu.
“Baik, Kak,” jawab gadis itu singkat.
“O ya, Nur. Kenalkan, ini teman-temanku!”
Gadis itu tampak tersenyum, kemudian dengan segera dia bersalaman dengan Randy, “Aku Nuraini,” katanya kepada pemuda itu.
“Aku Randy,” balas Randy seraya membalas senyum gadis itu.
Entah kenapa, saat itu Nuraini langsung duduk di sebelah Haris dan berbincang-bincang dengannya seolah tak mengindahkan kehadiran Bobby.
“O ya, Kak Haris. Jadi malam nanti kita pergi?” tanya gadis itu pelan.
“Iya, tentu saja. Setelah penggantiku datang, aku pasti langsung pulang untuk bersiap-siap,” jawab Haris.
Pada saat yang sama, Bobby tampak masih terheran-heran. Sungguh dia tidak mengerti dengan sikap gadis yang baru dikenalnya itu, dalam hati dia pun merasa agak kesal, “Hmm… Sombong sekali dia. Masa dia hanya kenalan dengan Randy saja, memangnya aku ini dianggap apa?”
“Bob, nanti malam kau ikut ya!” ajak Haris membuyarkan pikiran pemuda itu.
“Eng… I-ikut?” tanya Bobby setengah terkejut. “Me-memangnya kalian mau pergi ke mana?” lanjutnya kemudian.
“Kami akan pergi memancing, Bob.” jawab Haris.
“Me-memancing?” Bobby tampak melongo. “Bersama gadis itu?” tanyanya kemudian.
“Kenapa, Bob. Kau heran?” tanya Haris.
“Iya, tidak biasanya… Apa mungkin dia akan sabar menemani kita memancing, jangan-jangan nanti malah jadi pengganggu.”
“Nuraini tidak cuma menemani, Bob. Tapi dia juga ikut memancing.”
“Benarkah? Sungguh aku tidak menduga, aku pikir selama ini seorang gadis maunya hanya pergi makan, nonton, atau belanja. Tapi ternyata…”
“Nuraini itu memang tidak seperti gadis kebanyakan, Bob. Sebab katanya dengan memancing dia bisa menjadi gadis yang lebih sabar, dan terbukti dia memang seorang gadis yang penyabar,” jelas Haris.
Mendengar itu Bobby langsung berpikir, “Gadis sesombong itu. Apa mungkin dia juga gadis yang penyabar?” tanya Bobby dalam hati.
“Bagaimana, Bob. Mau tidak…?” tanya Haris membuyarkan pikiran Bobby.
“Sudahlah, Kak Haris. Aku yakin, pemuda loyo seperti dia mana bisa memancing,” komentar Nuraini.
“Siapa bilang aku tidak bisa? Huh, kau memang sok tahu. Ok, Har. Nanti malam aku ikut,” jawab Bobby seraya melirik kepada Randy yang dilihatnya tampak senyam-senyum sendiri. “Kau kenapa, Ran?” tanya Bobby perihal keanehan itu.
“Tidak… Tidak ada apa-apa kok,” jawab Randy.
“Tadi, kenapa kau senyam-senyum sendiri?” tanya Bobby lagi.
“Hehehe…!”
“Aneh…? Sekarang kau malah cengengesan…” Bobby semakin bertambah bingung.
“Sudahlah, Bob. Tidak usah dipikirkan! Memangnya tidak boleh apa orang senyam-senyum sendiri?”
“Boleh saja sih, tapi… Sepertinya aku merasa sedang dipermainkan.”
“Maaf deh, kalau senyam-senyumku tadi membuatmu merasa demikian!” ucap Randy seraya tersenyum tipis.
“Ya sudah, kita lupakan saja masalah itu. O ya, Ran. Ngomong-nomong kau ikut juga kan?”
“Tentu saja aku ikut, kan aku yang mempunyai ide memancing itu.”
“Ka-kau yang punya ide…?” tanya Bobby dengan kening berkerut.
“Betul… Aku pikir liburan akhirnya pekan ini lebih asyik kalau memancing. Apa lagi kalau ada seorang gadis yang ikut, pasti tambah asyik. Hehehe…!”
Mendapat jawaban itu, Bobby pun kembali memikirkan sesuatu, “Hmm… tidak biasanya Randy seperti ini, ja-jangan-jangan...”
“Bob! Kalau kau tidak punya pancing, aku akan meminjamkannya. Kebetulan aku punya dua,” kata Haris membuyarkan pikiran Bobby.
“Eh i-iya, Har. Terima kasih.”
“Apa lagi yang kau pikirkan, Bob? Aduh, kau ini jangan terlalu banyak mikir! Nanti cepat tua loh,” kata Randy yang mengetahui Bobby baru saja memikirkan sesuatu.
“Entahlah, Ran. Sebab, aku merasa ada sesuatu yang aneh.”
“Aneh…?” tanya Randy dengan wajah serius.
“Iya, tidak biasanya kau bersikap seperti ini?”
“Bob, ketahuilah. Kita tuh tidak harus mikir serius melulu, sekali-kali bolehlah kita santai sejenak. Dan karenanya, saat ini aku tidak mau memikirkan sesuatu yang berat. Lagi pula, bukankah ini hari libur, dimana kita seharusnya rileks guna menghilangkan kepenatan setelah bekerja hampir satu minggu.”
“Aku rasa kau benar, Ran. Mungkin aku saja yang terlalu curiga sehingga jadi berpikiran yang tidak-tidak.”
“Sudahlah, Bob! Lupakan saja itu! O ya, bagaimana kalau sekarang kita pergi ke pasar untuk membeli keperluan memancing?”
“Ok, Ran. Aku setuju.”
“O ya, Har! Jangan lupa! Sebelum pukul delapan kita sudah harus berkumpul di rumahku,” kata Randy mengingatkan.
“Sip, Ran. Aku dan Nuraini pasti sudah berada di rumahmu sebelum pukul delapan.”
Setelah saling berpamitan, Bobby dan Randy tampak melangkah menuju ke mobil jeep yang diparkir tak jauh dari gardu satpam, dan tak lama kemudian jeep merah yang saat itu dikemudikan Bobby langsung melesat menuju pasar.
Malam harinya, Bobby dan ketiga temannya sudah berada di tepian telaga. Telaga itu cukup luas, dikelilingi beragam pepohonan liar. Ada rumpun bambu yang tampak lebat dengan sebagian daunnya tampak menjuntai ke air, juga ada pohon kirai yang tumbuh persis di tepian telaga dengan akarnya yang terendam air. Saat itu Randy dan Haris duduk berdampingan, asyik memancing di bawah terangnya cahaya bulan. Sedangkan di tepian yang berbeda, Bobby dan Nuraini tampak duduk berdampingan, memancing dengan sabar, menunggu pelampung mereka bergerak, sebuah pertanda kalau kail sedang dimakan ikan. Lama keduanya duduk berdampingan tanpa mengucap sepatah kata pun, hingga akhirnya, “Malam yang indah ya,” komentar Nuraini tiba-tiba.
“I-iya…” jawab Bobby tergagap. “Eng… Langit malam ini memang lagi cerah. Lihatlah bintang-bintang yang bertaburan itu, juga rembulan yang hampir bulat sempurna,” sambungnya kemudian.
“O ya, kalau kau mau tahu. Karena sebab itulah aku suka memancing di malam hari. Cobalah kau dengar suara serangga-serangga itu! Terasa menentramkan jiwa bukan?”
“Kau benar… Sungguh suara-suara yang terdengar itu begitu menentramkan jiwa. Selama ini, suara-suara merdu itu telah luput dari pendengaranku.”
“O ya, maafkan aku ya! Kalau siang tadi aku sudah bersikap tak semestinya. Tadinya kupikir kau itu bukan pemuda baik-baik. Lihat saja penampilanmu itu, berambut gondrong, pakai anting, dan bercelana jeans robek-robek begitu, malah di lenganmu aku melihat ada tatonya. Untunglah ketika di mobil tadi Kak Randy sempat cerita, kalau kau itu adalah seniman grafis, dan tatomu itu pun hanya yang temporary. Karenanyalah kini aku bisa memaklumi, bukankah kebanyakan seniman memang seperti itu?”
“Entahlah, sebetulnya aku menjadi begini bukan lantaran aku seniman, tapi lebih kepada ekspresi kekecewaanku yang mendalam. O ya, aku juga minta maaf karena sudah menganggapmu sombong.”
“Lihat!!! Pelampungmu bergerak! Ayo cepat hentakkan sebelum umpannya habis dimakan!” seru Nuraini tiba-tiba.
Lantas dengan panik, Bobby pun segera menghentakkan joran yang dipegangnya. Sungguh sangat disayangkan, akibat kurangnya pengalaman membuat ikan itu terlepas kembali.
“Sial… Tidak kena!” keluh Bobby seraya mulai menggulung benang pancingnya.
“Tidak apa-apa… kau kan masih pemula,” kata Nuraini mencoba membesarkan hati pemuda itu.
“Pemula…! Huh, andai saja tadi kau tidak mengejutkan aku, mungkin ikan itu kini sudah berada di genggamanku.”
Mendengar tuduhan itu, Nuraini pun merasa kesal sekali. Ingin rasanya dia membela diri dengan sebaris kalimat yang menikam, namun akhirnya dia memilih untuk mengalah. “Maaf! Sungguh aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Aku cuma merasa senang karena setelah sekian lama menunggu akhirnya ada juga ikan yang memakannya,” kata Nuraini seolah menyesal.
“Sudahlah… lupakan saja! Lain kali, kau jangan mengejutkan aku ya!”
“Iya… aku janji,” kata Nuraini seraya menggerutu dalam hati, “Huh, ternyata dia itu pemuda yang gengsian. Baru dibilang pemula saja sudah semarah itu.”
“Tuh… pelampungmu bergerak!” kata Bobby membuyarkan pikiran Nuraini.
Mengetahui itu, lantas dengan mantap Nuraini menghentakkan joran yang dipegangnya, dan karena kepiwaiannya memancing membuatnya berhasil mendapatkan ikan itu . ”Lihat…! Besar kan ikan yang kudapat ini?”
“Ah, itu sih masih belum seberapa. Lihat saja nanti, aku pasti bisa mendapatkan yang lebih besar dari itu.”
“I-iya… iya… kau memang lebih hebat dariku,” kata Nuraini merendah. “Huh, dasar manusia yang tidak bisa menghargai orang lain. Sungguh sombong manusia yang merasa lebih hebat seperti itu,” lanjutnya dalam hati.
“Kau kenapa? Kenapa raut wajahmu berubah seperti itu?” tanya Bobby ketika melihat beberapa kerutan tanda tak senang tampak menghiasi wajah Nuraini.
“Ah, tidak apa-apa,” jawab Nuraini merahasiakan.
“Kau kesal ya atas kata-kataku barusan. Maaf ya! Sesungguhnya aku tidak mengatakan itu dari lubuk hatiku terdalam. Terus terang, aku hanya mengujimu, apa betul kau itu gadis yang penyabar.”
“Kau itu seperti anak kecil, Kak. Dewasalah sedikit, sebab memainkan perasaan orang lain itu bisa menyakitkan dan membuat orang lain jadi berprasangka buruk.”
“I-iya.. iya.. kau benar. Semua ini memang agak dilema… sebagai manusia yang mempunyai banyak kekurangan tentu sulit menilai kepribadian manusia jika hanya menebak-nebak tanpa melakukan pengujian. Namun begitu, aku akan selalu berusaha untuk kembali meluruskannya.”
“Benarkah…?”
Bobby mengangguk, sedang di bibirnya tersungging sebuah senyum yang menandakan kerendahan hatinya. Melihat itu, Nuraini pun jadi terpana. “Sungguh dia memang pemuda yang baik, namun…”
“Hai, kalian! Tampaknya malam sudah semakin larut. Ayo sebaiknya kita lekas pulang!” Ajak Randy yang tiba-tiba sudah berada di tempat itu bersama Haris.
“Betul. Coba rasakan, bukankah udara malam ini sudah semakin menusuk kulit?” timpal Haris.
“Baiklah… aku juga sudah mulai merasa lelah. O ya, ngomong-ngomong kalian dapat ikan berapa?” tanya Nuraini.
“Aku dapat lima,” jawab Haris.
“Kalau aku tujuh,” jawab Randy. "O ya, kalian dapat berapa?” tanyanya kemudian.
“Aku satu,” jawab Nuraini.
“Kalau aku, sama sekali tidak dapat,” timpal Bobby.
“Huh, kalian sih bukannya memancing, tapi malah ngobrol. Iya kan?” kata Randy mengomentari.
“Kami memancing kok? Mungkin itu karena ikannya lagi pada sentimen sama kami,” kelit Bobby.
“Hihihi… kau ini ada-ada saja, Kak. Kalau memang masih amatir bilang saja, jangan pakai alasan ikannyalah dibilang sentimen!” kata Nuraini mengomentari.
“Iya.. iya… aku memang amatir. Dan kau juga amatir, buktinya kau cuma dapat satu.”
“Kak, sebetulnya ini karena kita ngobrol melulu. Betul kata Randy tadi. Sebab, jika kita tadi berkonsentrasi memancing tentu filing kita akan lebih bermain. Kita akan menyadari kalau di lokasi ini ikannya sedikit, dan dengan demikian kita tentu akan mencari lokasi yang lebih baik.”
“O, begitu…” kata Bobby mengangguk-angguk.
“Sudahlah! Dapat ikan berapa pun tidak menjadi masalah, yang terpenting kita bisa menikmati malam ini dengan suka-cita,” kata Randy.
“Betul, bukankah kita memancing ke sini karena mau mencari suasana yang berbeda,” timpal Haris.
“Kalian, benar… selama berada di sini. Aku memang merasakan suasana yang betul-betul menyenangkan,” kata Bobby sependapat.
“Tentu saja… bagaimana tidak menyenangkan jika berduaan dengan gadis cantik di tempat sepi seperti ini.”
“Ran! Kau bicara apa?”
“Hehehe… terlambat, Bob. Sudah tertelan tuh.”
Saat itu, dalam hati Bobby mengakui kalau keberadaan Nuraini memang sudah membuat malam itu menjadi istimewa, dan pemuda itu pun sudah bisa menebak kalau pertemuannya dengan Nuraini memang sudah diaturnya. “Hmm… Randy memang pandai membuat sandiwara ini menjadi sangat berkesan. Aku yakin, dia sengaja mengenalkanku pada Nuraini dengan maksud mengalihkan pikiranku dari Winda. Tapi sayang… hingga kini Winda tetap menjadi gadis pujaanku. Tapi Biar pun begitu, aku sangat menghargai upayanya, dan tidak mustahil, setelah malam yang berkesan ini lambat-laun hatiku pun bisa berpaling dari Winda.”
“Oi…! Ayo kita pergi, jika ingin memikirkannya nanti saja di rumah!” kata Randy membuyarkan pikiran Bobby.
“I-iya, iya… Yuk kita pulang!”
Lantas keempat anak manusia itu segera kembali ke mobil dan langsung melaju pulang. Di dalam perjalanan, mereka terus berbincang-bincang seputar kegiatan memancing tadi. Bahkan saat itu Haris sempat cerita kalau ketika memancing tadi ia melihat bayangan putih yang berkelebat melintasi semak belukar. Mengetahui itu, Bobby jadi sedikit merinding. Bagaimana jika dia yang mengalami kejadian itu, tentu dia akan lari terbirit-birit. Tapi untunglah dia tak mengalaminya, sebab saat bersama Nuraini tadi, dia sama sekali tidak memikirkan hal itu, yang ada dipikirannya hanyalah soal Nuraini dan kegiatan memancingnya. Andai saat itu dia memikirkan soal hantu, kemungkinan besar dia akan merasa takut, dan karena rasa takut itulah yang sebenarnya dapat menyebabkan seseorang bisa melihat hal-hal yang membuatnya takut.