E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Cahaya Bintang - Bagian 6

Enam



Semenjak pertemuannya dengan Randy waktu itu, Bobby tak pernah berjumpa lagi dengannya. Karena penasaran, Bobby pun berniat mengunjunginya. Di suatu siang yang panas, Bobby tampak mengendarai mobilnya menuju ke tempat kost Randy. Setibanya di sebuah gang kecil, pemuda itu segera turun dan melangkah menyusuri jalan MHT yang di kanan-kirinya tampak permukiman penduduk yang padat dan berdempet-dempet. Pemuda itu terus melangkah, hingga akhirnya dia tiba di tempat tujuan. Saat itu Bobby betul-betul tampak kecewa, ternyata sahabatnya itu sudah pindah entah ke mana.
“Hmm... sebenarnya dia pergi ke mana, hingga tak seorang pun teman kostnya mengetahui?” tanya Bobby seraya meninggalkan tempat itu.
Sungguh dia tidak menyangka kalau Randy kini sudah menghilang bak ditelan bumi. Kini pemuda itu duduk di atas pagar jembatan sambil terus memikirkan perihal sahabatnya. Sungguh dia tidak mengerti, kenapa hanya karena perbincangannya waktu itu Randy menjadi demikian. Sambil memandang ke aliran sungai yang cukup tenang, pemuda itu pun mencoba mendapat jawaban.
“Hmm... Kenapa dengan Randy? Apakah semua itu karena dia kecewa dengan keputusanku. Aku benar-benar heran, kenapa Randy begitu ngotot ingin menjodohkanku dengan Nuraini. Padahal, dia itu kan gadis lacur yang tak bermoral. Hmm... apa mungkin karena selama ini dia sudah begitu percaya dengan Nuraini yang begitu lihai bersembunyi di balik topengnya yang benar-benar sempurna, hingga akhirnya dia pun tidak mampu mengetahui siapa Nuraini itu sebenarnya. Jika benar demikian, perbuatan Randy yang ingin menjodohkanku dengan gadis itu adalah perbuatan yang sangat bodoh. Dan karena kebodohannya itu, dia hampir saja memasukkanku ke dalam perangkap gadis yang tak bermoral itu,” pikir Bobby sambil terus memperhatikan riak air sungai yang dilihatnya tampak kotor.
Pemuda itu terus memikirkan Randy, sedang kedua matanya tampak memperhatikan aliran sungai yang saat itu dilihatnya banyak membawa benda-benda aneh dan unik yang entah dari mana asalnya. Saat itu dia sempat melihat sebuah boneka yang menyeramkan, tangan dan kakinya sudah tak ada, sebagian kepalanya yang berambut pirang tampak gundul. Dan yang paling menyeramkan adalah sebelah matanya yang tak mempunyai bola mata. Tak jauh dari boneka yang hanyut itu terlihat sebuah bola plastik yang sudah penyok-penyok, dan juga seekor bangkai kucing yang hampir membusuk. Bobby sempat iba melihat hewan malang yang sudah menjadi bangkai itu, bahkan dia sempat memikirkan penyebab kematiannya. Namun belum sempat dia mendapatkan jawaban, tiba-tiba dia melihat sebuah bagian tubuh manusia yang tengah mengapung. Bobby sempat terkejut dengan apa yang dilihatnya itu, namun setelah dia mengamati dengan seksama kalau itu hanyalah sebuah tangan boneka yang sering dilihatnya di etalase, akhirnya dia pun menjadi lega.
Memang ada-ada saja yang dibawa oleh aliran sungai di Ibu Kota ini, yang mana airnya terkadang berwarna cokelat keruh dan terkadang berwarna kelabu dengan sedikit hijau kehitaman. Bahkan sesekali waktu airnya itu pun beraroma tak sedap dan membuat selera makan jadi berkurang, sungguh cocok buat mereka yang berniat melangsingkan badan. Karena dengan tanpa obat-obatan yang mempunyai efek samping, dia pun bisa mengurangi nafsu makannya.
Tiba-tiba Bobby dikejutkan oleh seekor ikan sapu-sapu yang entah kenapa mendadak muncul dan menciptakan suara yang cukup mengejutkan. Saat itu Bobby sempat terpukau dengan ikan yang diduganya sangat kuat dan bisa mempertahankan keberadaan rasnya dari kepunahan. Maklumlah, ikan jenis itu memang cukup banyak ada di sungai itu, dan ukurannya pun cukup besar pula, namun anehnya tidak banyak orang yang mau mengkonsumsinya. Dan yang paling membuat Bobby kagum adalah ikan itu mampu bertahan hidup disaat ikan-ikan lain sudah pada teler lantaran limbah yang mengotori sungai. 
Setelah Bosan merenung di tempat itu, Bobby segera kembali ke mobil dan bergerak menuju ke tempat favoritnya. Dan beberapa menit kemudian, dia sudah sampai di tempat tujuan. Kini pemuda itu sedang melangkah ke sebuah gedung tinggi yang belum selesai dibangun. Di atap gedung itulah dia tampak menyendiri sambil memperhatikan kepadatan rumah penduduk yang jika dilihat dari atas hanya tampak atapnya saja. Ada atap yang berwarna merah, kuning, hijau, cokelat, dan biru. Saat itu dia sempat melihat beberapa anak kecil tampak sedang bermain layang-layang di atap rumahnya masing-masing. Kini kedua mata pemuda itu tampak memperhatikan berbagai antena televisi yang seperti berlomba-lomba menangkap gelombang siaran. Bentuknya pun tampak bermacam-macam, ada yang besar dan yang kecil, malah ada yang berbentuk unik seperti seekor ikan yang tinggal hanya tulangnya saja, dan ada juga yang aneh menyerupai tutup panci. Ups! Ternyata itu memang tutup panci betulan yang dimanfaatkan untuk antena karena tak mampu membelinya. Saat itu Bobby hanya tersenyum dalam hati, dan di dalam benaknya pemuda itu sempat bertanya-tanya apa ia tutup panci seperti itu bisa menangkap gelombang dengan bagus.
Setelah sedikit terhibur dengan segala yang dilihatnya, kini pemuda itu kembali merenungkan sahabatnya. Dan setelah agak lama, renungan itu pun berubah. Kini pemuda itu tengah merenungkan perihal pujaan hatinya, yang selama ini tak pernah diketahui rimbanya. “Winda... ke mana lagi aku harus mencarimu? Padahal, aku sudah sangat merindukanmu. Entah sampai kapan aku sanggup begini? Apakah selama ini usahaku masih kurang maksimal sehingga aku tak jua menemukanmu. Baiklah... aku berjanji, mulai saat ini aku akan berusaha lebih keras lagi untuk mencarimu. Kalau perlu, semua pelosok akan kujelajahi demi bisa berjumpa denganmu. Bukankah Randy belum lama telah berjumpa denganmu. Dengan begitu, aku pun tentu bisa berjumpa denganmu.”
Bobby terus memikirkan perihal pujaan hatinya. Sementara itu di tempat lain, Randy dan Nuraini tampak sedang bercakap-cakap. Mereka duduk berdampingan di sebuah  kursi taman yang terbuat dari beton. “Ja-jadi... kau masih mau mencoba untuk bisa mendekatinya?” tanya Randy kepada Nuraini.
“Kau betul, Kak. Sebab aku sudah begitu mencintainya, dan aku ingin dia menjadi suamiku.”
“Hmm... apa mungkin dia mau kembali padamu? Bukankah kau bilang ketika terakhir bertemu dengannya, dia tampak begitu marah, bahkan dia bilang sudah tak mau melihat wajahmu lagi. Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin kau bisa mendekatinya.”
“Entahlah, Kak. Aku juga tidak tahu, namun begitu aku akan berusaha untuk bisa mendapatkan hatinya kembali.”
“Kalau begitu terserah kau saja. Aku pun tidak punya cara untuk bisa menyatukan kalian, saat ini aku cuma bisa bantu doa semoga kalian bisa kembali bersatu. O, ya Nur... ngomong-ngomong kenapa dia sampai menuduhmu seperti itu.”
“Sebagai gadis munafik maksudmu?”
Randy mengangguk.
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Terus terang, aku sendiri masih bingung kenapa dia tiba-tiba menuduhku begitu. Dan terakhir aku bertemu dengannya, dia tampak begitu jijik dan...” tiba-tiba Nuraini menangis.
Seketika gadis itu teringat kembali dengan peristiwa yang menyedihkan itu. Waktu itu, ketika dia dan Bobby bertemu di areal parkir sebuah Mall. “Kak, Bobby!” panggil Nuraini kepada Bobby yang kala itu dilihatnya sedang berjalan menuju mobil. Lantas dengan segera gadis itu berlari menghampiri, “Kak, maafkan aku yang sudah memainkan perasaanmu. Terus terang, lamaran Randy itu hanyalah sebuah sandiwara.”
“Be-benarkah yang kau katakan itu?” tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
Nuraini mengangguk.
“Jahat sekali kau, Nur. Kau senang ya jika aku sampai bunuh diri.”
“Aku terpaksa, Kak. Sebab, A-aku...”
“Sudahlah, lupakan saja soal itu! Dan karena peristiwa itu pula kini aku tahu siapa dirimu sebenarnya. Dasar gadis munafik!“
“Ka-kau bicara apa, Kak?”
"Huh, pura-pura bodoh. Dasar gadis pendusta!”
“Kak, sekali lagi aku minta maaf! Bukan maksudku untuk memainkan perasaanmu. Tapi...”
“Sudahlah! Kau tidak perlu banyak bicara! Sebaiknya kau pergi dari hadapanku! Terus terang, aku sudah muak dan jijik melihatmu.”
“Kak, ka-kau...” saat itu Nuraini menangis. Sungguh kata-kata yang diucapkan Bobby itu telah menyakiti perasaannya.
“Percuma kau menangis, Nur. Kau pikir aku akan luluh oleh air matamu itu. Dasar gadis munafik yang murahan!” kata Bobby ketus seraya masuk ke dalam mobilnya.
“Kak! Tunggu, Kak...! Aku mohon, biar aku menjelaskan semuanya,” kata Nuraini seraya menahan pemuda itu untuk tidak meninggalkannya.
“Alah..! Pergi sana! Jangan dekat diriku, najis aku berdekatan dengan gadis sepertimu, kata Bobby ketus seraya melaju bersama mobilnya meninggalkan tempat itu. Pada saat itu Nuraini hanya bisa menangis dan menangis.
 “Sudahlah, Nur! Kau jangan menangis seperti itu. Jika kau terus menangis, bagaimana aku mencarikan jalan keluarnya,” kata Randy membuyarkan ingatan Nuraini. 
Mendengar itu, Nuraini pun segera mengusap air matanya. Kini gadis itu tampak berusaha tegar melawan kesedihannya.
“Hmm... apa semua itu karena sebab sandiwara lamaran itu?” duga Randy.
“Aku rasa bukan. Aku kan sudah mengatakannya. Dan kau pun sudah memberi tahunya kalau itu hanyalah sebuah sandiwara. Lagi pula, bukankah disaat sandiwara itu, kau bilang dia begitu menginginkan aku, bahkan dia rela menyerahkan nyawanya padamu. Dan ketika dia mendapat kesempatan, dia pun begitu senang bukan kepalang. Lantas apakah pantas jika dia marah hanya gara-gara kita mempermainkan perasaannya.”
“Iya, semula aku pun menduga demikian. Namun setelah kupikir-pikir, rasanya memang tidak mungkin. Masa iya dia sampai tega meninggalkanmu oleh karena sebab hal seperti itu. Menurut dugaanku, dia menjadi seperti itu karena ada sebab lain, yaitu dia masih tetap terpengaruh oleh sandiwara lamaran ituyang mungkin saja diyakininya bukanlah sebuah sandiwara.”
“Maksudmu?” tanya Nuraini mau tahu lebih jauh.
“Bukankah sebelumnya dia tidak tahu kalau lamaran itu hanya sebuah sandiwara.”
“Iya... lalu?”
“Eng… Begini, Nur. Saat itu dia memang sangat menginginkanmu, namun karena suatu sebab tidak mustahil dia mengurungkan niatnya itu.”
“Hmm... maksudmu?” Nuraini tampak mengerutkan keningnya.
“Begini, Nur. Bagaimana kalau dia merasa perbuatannya itu salah. Dan karena dia merasa berdosa, akhirnya dia pun pura-pura marah dengan tujuan agar kita kembali bersatu dan menikah, dengan demikian dia merasa kesalahannya tentu akan terbayar. Dan ketika aku memberitahunya kalau itu hanyalah sebuah sandiwara tentu dia tidak akan mudah percaya begitu saja.”
“Kalau begitu, bodoh sekali dia. Bukankah hal itu memang cuma sandiwara.”
“Ya bodoh sekali dia. Hmm... aku sungguh tidak menyangka kalau dia bisa begitu menghayati hal itu.”
“Hal apa, Ran?” Tanya Nuraini penarasan.
“Itu, kalau gadis yang sudah dilamar oleh saudaranya seiman, maka ia sebagai pemuda pantang untuk merebutnya. Dalam kasus itu kan, aku sudah melamarmu lebih dulu, dan aku yakin dia pasti merasa berdosa karena sudah berupaya merebutmu dariku.”
“Tapi, bukankah saat itu dia tidak merasa demikian. Ingatlah, bukankah saat itu kau pernah bilang, kalau dia itu tak hendak merebut aku darimu, tapi dia memohon kerelaanmu.”
“Ya, itu memang benar. Tapi jika kesadarannya memang sudah begitu tinggi, maka dia pasti bisa merasa kalau apa yang dilakukannya adalah perampasan dengan cara yang sangat halus.”
“Hmm... begitu ya. Sungguh betul-betul mengherankan. O ya, ngomong-ngomong kenapa kau pindah dan tak mau menemuinya lagi?” tanya Nuraini perihal kepindahan Randy.
“Itu karena aku takut rahasiaku terbongkar, soalnya akibat sandiwara itu dia justru semakin mengharapkan Winda. Kau kan bisa menduga bagaimana jika sampai ia mengetahui tentang rahasiaku. Dalam kasus lamaran itu terbukti seperti apa dia.”
“Kalau begitu, kau tak perlu khawatir. Sebab sudah terbukti kalau dia memang pemuda yang bisa berbesar hati.”
“Apa kau bilang? Ingat Nur, biarpun kedua kasus itu serupa, namun sebab-musababnya jauh berbeda. Dan apa kau yakin kalau ending-nya akan sama. Lagi pula, perihal Bobby yang berubah pikiran itu kan baru dugaanku saja. Namun, bagaimana jika ternyata penyebabnya bukan karena kesadarannya yang tinggi, melainkan karena ada sebab lain. Jika begitu, bukankah itu berarti akan mengancam kebahagiaanku.”
“Entahlah... aku tidak tahu,” jawab Nuraini bingung.
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang memecahkan persoalan itu. Sementara itu di tempat lain, Bobby yang sudah merasa lapar terlihat sedang menuruni gedung tempatnya merenung. Kini pemuda itu sudah sampai di warung padang dan langsung memesan sepiring nasi dengan lauk rendang yang lezat. Saat itu selera makannya sempat hilang karena sebab dia teringat kembali dengan peristiwa senja yang menyakitkan itu. Namun karena dia teringat kembali dengan tekadnya yang mau mencari Winda, maka dia pun berusaha untuk tetap makan agar tujuannya mencari Winda tak terhalang oleh karena kesehatan.

 

Malam harinya, di atas gedung tinggi yang belum selesai dibangun. Bobby tampak kembali termenung sambil memperhatikan rumah-rumah yang ada di kejauhan, namun kali ini pemandangan yang dilihatnya hanyalah lampu-lampu berwarna-warni yang tak beraturan letaknya. Saat itu dia kembali teringat kembali dengan peristiwa yang tak akan pernah dilupakannya, yaitu ketika dia menyusul Nuraini ke telaga. Saat itu, hatinya pun kembali tersayat-sayat, dan dari kedua matanya tampak mengalir air mata kesedihan. Kini kedua mata yang sudah basah itu tampak memperhatikan bintang-bintang yang bertaburan. Dalam  benaknya pemuda itu terus meratap sedih, mengadu pada Tuhannya di bawah gemerlap malam berbintang. Dan setelah udara bertambah dingin, barulah pemuda itu pergi meninggalkan tempat itu.

 

Esok siangnya, Bobby tampak sedang memasukkan barang-barang yang akan dibawanya bersama pengembaraannya nanti. Rupanya pemuda itu sudah bertekad untuk mencari sang Pujaan Hati yang kini entah berada di mana. Andai saja ia punya fotonya, mungkin akan lebih untuk mudah mencarinya. Setelah semuanya beres, pemuda itu segera menuju ke mobil dan mengendarainya menyusuri jalan yang sudah mulai gelap.
Jeep warna merah yang dikendarai pemuda itu terus melaju menyusuri jalan yang mengarah ke pusat perbelanjaan. Bobby memang berniat mencarinya di tempat itu dan berharap bisa berjumpa dengan kekasihnya. Setibanya di tempat tujuan, pemuda itu segera melangkah memasuki pusat perbelanjaan dan mengamati setiap orang yang ditemuinya. Pemuda itu terus melangkah dan melangkah hingga akhirnya dia pun merasa lelah.
Kini pemuda itu tampak sedang beristirahat di sebuah kafetaria. Sambil menikmati lezatnya makanan dan minuman di tempat itu, Bobby terus saja mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Dalam hati dia sangat berharap akan melihat Winda di antara orang-orang yang berlalu lalang itu. Namun hingga makanan dan minumannya habis, pemuda itu tak jua menemukannya. Hingga akhirnya, dengan langkah gontai pemuda itu segera kembali ke mobilnya dan duduk termenung.
“Win… hari ini aku tidak berhasil menemukanmu. Tapi aku yakin, jika aku terus berusaha, Tuhan pasti akan mempertemukan kita.” Saat itu Bobby sempat membayangkan betapa indahnya masa pertemuan itu. Semua kerinduan dan penderitaannya selama ini akan berubah menjadi kebahagiaan yang tiada tara. Maklumlah, pemuda itu merasa kalau selama ini Winda berusaha menjauhinya dan menolak cintanya lantaran dia itu sudah mempunyai kekasih, dan bukan karena sebab dia tak mencintainya. Andai saja dulu dia langsung melamar Winda, tentu gadis itu tak mungkin bisa menolaknya. Sebab, dia yakin sekali kalau Winda itu adalah gadis yang baik dan taat agama, sehingga tidak ada alasan yang kuat baginya untuk menolak lamarannya yang semata-mata karena Allah. Dan keyakinannya itu muncul karena sebab sandiwara lamaran yang dimainkan Nuraini dan Randy waktu itu, yang betul-betul sudah memberikan inspirasi kepadanya perihal pentingnya arti sebuah lamaran. Bahkan, saat ini dia sudah tidak sabar lagi ingin segera bertemu dengan Winda, yang jika nanti bertemu tentu akan langsung dilamarnya. Andai pun nanti Winda menolak dengan alasan yang tidak kuat menurut ukuran agama, maka dia bisa menyimpulkan kalau Winda itu bukanlah tergolong gadis yang baik untuknya.
Kini pemuda itu sudah kembali melaju bersama jeep merah yang dikendarainya. Kali ini dia berniat untuk pergi ke Solo, tanah kelahiran Winda. Maklumlah, saat ini dia menduga kalau Winda mungkin saja sudah pulang kampung dan menjalani kehidupannya di sana. Dan selama di perjalanan, pemuda itu selalu menyempatkan diri untuk mampir di tempat-tempat keramaian dan berharap bisa berjumpa dengan pujaan hatinya itu. Namun sungguh disayangkan, di setiap tempat yang disinggahinya itu, Winda tak juga ditemukan, bahkan ketika pemuda itu sudah sampai di Solo, ternyata gadis itu juga tak ada di rumahnya.
Kini pemuda itu sedang berbincang-bincang dengan adik lelaki Winda yang pekerjaannya sehari-hari membantu ayahnya menggarap sawah.
“Kak, Bobby. Sudah lama juga Kak Winda belum memberi kabar apa-apa mengenai dirinya. Bahkan saat ini pun kami tidak tahu di mana dia sekarang. Kabar terakhir yang kami ketahui, dia itu mau pergi dari Jakarta dan bekerja di kota lain. Sayangnya, Kak Winda tidak memberitahu nama kota itu. Kalau saja dia sempat memberitahuku, tentu aku akan memberitahukannya pada Kakak.”
“Hmm... kira-kira kota apa ya?” tanya Bobby seakan tak mempunyai harapan.
“Entahlah, Kak. Yang jelas kota itu masih di Pulau Jawa.”
Sejenak Bobby menarik nafas panjang membayangkan betapa luasnya Pulau Jawa itu, haruskah ia menelusuri setiap jengkal kota-kota di Pulau Jawa demi menemukan Winda. “Hmm... sanggupkah aku untuk terus mencarinya?” tanya Bobby dalam hati meragukan kemampuannya. "Ya, Tuhan... apakah aku memang sanggup. Terus terang, mencarinya hingga sampai di sini saja aku sudah merasa kelelahan. Apa lagi jika harus mencarinya di semua kota, bisa-bisa....”
“Kak, apa yang kau pikirkan?” tanya adik Winda membuyarkan pikiran pemuda itu.
“Tidak. Aku hanya sedang bingung saja, apakah aku akan terus mencarinya atau tidak,” jawab Bobby terus terang.
"Kak, sebaiknya sekarang ikut aku yuk!” tawar adik Winda kepada Bobby.
“Ke mana?” tanya Bobby penasaran.
“Bagaimana kalau kita ngopi di warung sambil mendengarkan teman-temanku bermain musik. Mungkin dengan begitu, hati Kakak akan bisa sedikit terhibur.”
Saat itu Bobby langsung membayangkan suasana ceria yang ada di warung itu, di dalam benaknya dia membayangkan kalau suasananya tentu akan lebih ramai daripada di kebun singkong tempatnya biasa nongkrong. “Kalau begitu, Mari!” ajak pemuda itu bersemangat.
Lantas kedua pemuda itu segera melangkah menuju warung yang dimaksud. Dan setibanya di sana, mereka pun langsung memesan kopi dan menikmatinya sambil mendengarkan beberapa pemuda yang memainkan alat musik. Saat itu, suara tabuhan gendang yang bertalu-talu, dan juga suara gitar dan alat perkusi lainnya terdengar begitu harmonis, sungguh semua itu telah menciptakan suasana yang membahagiakan. Hati Bobby pun menjadi riang kala mendengar semua itu, bahkan rasa sedihnya sedikit bisa terobati, hingga akhirnya dia pun bisa bersenda-gurau dengan adik Winda dan juga para pemuda yang baru dikenalnya itu.

 

Beberapa bulan kemudian, di sebuah jalan, seorang pemuda tampak duduk termenung sambil menyandarkan kepalanya di atas setir mobil. “Ya Tuhan... Ampunkanlah segala dosa-dosaku yang lalu. Berilah aku kekuatan untuk terus bisa mencarinya. Ya Tuhan, Engkau tentu tahu, kalau selama ini aku sudah menelusuri beberapa kota, namun ternyata Winda tak jua kutemukan. Karenanyalah aku mohon, kiranya pada kota berikutnya Engkau mau mempertemukan aku dengan gadis yang aku cintai itu,” ucap Bobby dalam hati seraya kembali teringat dengan segala kebaikan yang Winda miliki. “Ya Tuhan, aku tentu akan bahagia bila dia benar-benar bisa menjadi istriku. Sebab, dia itu akan menjadi istri yang baik, istri yang pengertian dan juga patuh kepada suami, yang dengannya aku akan menjadi suami yang bertanggung jawab dan merasa berkewajiban untuk membahagiakannya.”
Tiba-tiba ingatan pemuda itu dibuyarkan oleh kehadiran seorang ibu tua yang meminta belas kasihannya. Saat itu, Bobby pun segera mengambil uang receh yang ada di dashboard mobil dan memberikannya kepada ibu tua itu. Setelah ibu tua itu pergi, Bobby tampak memikirkan rencana selanjutnya. Dan setelah berpikir agak lama, akhirnya dia memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanannya ke kota berikutnya, yaitu ke Kota Perjuangan, Surabaya.