E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Topeng Kuning - Bagian 1


Topeng Kuning
==================================================
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.
==================================================
Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336 
==================================================

SATU
PENEMUAN YANG TAK DIDUGA-DUGA



Jakarta, 10 tahun dari sekarang. Pada sore yang cerah, di sebuah pemukiman mewah, tampak berjajar rumah-rumah besar yang tak berpagar. Namun begitu, semua halamannya tampak begitu indah dan tertata rapi. Pada sebuah rumah, tepatnya di dalam sebuah ruangan berukuran 4x5 meter, terlihat benda-benda berserakan. Ada robot-robotan setengah badan yang dipadukan dengan tank mainan, motor-motoran yang menggunakan baling-baling, sebuah antena para bola mini yang terus berputar, dan masih banyak lagi.
Di depan sebuah meja panjang yang berketinggian 30 cm, dan di atas sebuah permadani yang empuk, seorang gadis manis berjilbab tampak sedang melakukan percobaan. Gadis itu bernama Sinta, dia sedang melakukan percobaan. Sebuah mobil mainan yang sudah dilepas keempat rodanya tampak dimodifikasi sedemikian rupa. Pada bagian belakangnya terpasang sebuah baling-baling yang digerakkan oleh sebuah motor listrik, sedangkan pada bagian atasnya terpasang sebuah balon gas yang tak begitu besar.
Rupanya Sinta bercita-cita menciptakan sebuah mobil tanpa roda yang bisa melayang dengan ketinggian setengah meter dan bisa melaju di atas permukaan apa saja. Melaju di atas di atas air misalnya. Ide itu bermula setelah dia melihat sebuah hopper craft yang bisa melaju tanpa menggunakan roda, melainkan dengan menggunakan bilik udara pada bagian bawahnya. Hopper craft digerakkan dengan sebuah baling-baling besar yang dipasang pada bagian belakangnya, dengan demikian kendaraan itu bisa melaju di atas air maupun di rawa-rawa yang berumput. Kelemahan hopper craft adalah masih bersentuhannya antara bagian bawah kendaraan dengan permukaan bumi, sehingga bilik udara yang rentan terhadap gesekan membuatnya tidak memungkinkan berjalan di atas permukaan yang keras secara terus-menerus. Selain itu, perbedaan tekanan udara juga mempengaruhi daya angkatnya. Karena itulah, hopper craft tidak layak digunakan di atas permukaan yang keras seperti jalan raya dan permukaan tanah misalnya.
Saat ini Sinta masih menemui beberapa kendala, dia belum bisa membuat mobil itu mengambang di atas permukaan. Saat dia mencoba menggunakan sebuah balon gas, ternyata balon itu tak mampu mengangkat beban yang terlalu berat. Kemudian Sinta pun mengambil balon gas yang lebih besar, lantas dengan balon itulah mobil itu berhasil terangkat.
"Duh… ini sih sama saja dengan pesawat zeppelin! …memangnya ada mobil pakai balon sebesar itu? Hihihi… Bodohnya aku." Sinta merasa lucu sendiri, kemudian dia kembali berpikir, "Hmm… Jika menggunakan baling-baling pada bagian atas maupun bagian bawah, rasanya tidak mungkin. Seberapa besar baling-baling yang harus aku gunakan? Aku kan ingin membuat mobil, bukannya mau membuat helikopter!" Sinta meragukan apa yang baru saja dipikirkannya. “Eng… tunggu dulu, jika aku menggunakan empat buah baling-baling kecil tentu hal itu sangat memungkinkan. Tapi, seberapa besar tenaga yang harus aku gunakan? Wah, rasanya tidak mungkin. Ya, tidak mungkin aku membuat mobil yang boros bahan bakar seperti itu,“ Sinta kembali meragukan kemungkinan itu.
Setelah lama berpikir, akhirnya gadis itu menemukan sebuah cara agar mobil itu dapat mengambang. "Ya, aku akan menggunakan cara seperti semula saja. Pertama-tama, mobil itu harus dibuat dari bahan yang ringan. Pada bagian atas mobil akan kubuat sebuah lambung yang berguna untuk menampung gas. Hmm… tapi gas apa ya yang mampu mengangkat beban cukup berat?" Sinta tampak kembali berpikir. "Hmm… Gas ini… tidak mungkin. Kalau gas itu… juga tidak mungkin."
Sinta masih saja berpikir sambil terus membaca sifat-sifat gas dalam buku catatannya. Sementara itu di sebuah padepokan, murid-murid Perguruan Silat Naga Putih tampak duduk bersila—mengamati kedua rekan mereka yang sedang berlatih tanding. Saat itu, semuanya tampak begitu antusias—memperhatikan keduanya yang tampak begitu lihai, berlaga di tengah arena—memainkan jurus-jurusnya dengan penuh cekatan. Salah satu dari mereka bernama Bobby, pria berkulit sawo matang yang juga dikenal sebagai seorang pengusaha muda berusia 25 tahun. Saat itu, tubuhnya yang atletis tampak lincah menghindari serangan-serangan lawan, sedangkan rambutnya yang lurus tampak terumbai-umbai mengikuti irama ayunan kepalanya.
Pada suatu kesempatan, Bobby berhasil menangkap lengan lawannya, kemudian dengan sebuah teknik bantingan yang cukup baik, pemuda itu berhasil menghempaskannya ke lantai. Tak ayal, lawannya pun langsung meringis kesakitan—merasakan cidera pada tubuhnya yang lumayan parah. Namun lawannya tak mau menyerah, dengan sekuat tenaga dia berusaha bangkit kembali. Kini dia sudah berdiri dan langsung memasang kuda-kuda. Mengetahui itu, Bobby pun segera memasang kuda-kudanya. Tak lama kemudian, keduanya sudah kembali memainkan kembangan, mereka tampak berputar-putar mencari kelemahan lawan. Tanpa diduga, sang Lawan sudah menyerang, saat itu dia memukul lurus ke depan. Mengetahui itu, dengan segera Bobby berkelit ke samping, kemudian dengan perhitungan yang cermat, akhirnya pemuda itu berhasil menyusupkan sebuah pukulan keras dan telak mengenai rahang lawannya. Tak ayal, lawannya pun langsung terhuyung dan jatuh terlentang. Namun, kali ini dia tidak mampu bangkit kembali.
"Cukup!" suara wasit terdengar menyudahi pertarungan itu.
"Horeee… hebat, Bob!" puji salah satu temannya.
"Fantastis… luar biasa!" sorak-sorai teman sepadepokannya terdengar riuh menyambut kemenangan Bobby.
Sementara itu, lawan tanding Bobby yang bernama Rino tampak berusaha berdiri. Melihat itu, Bobby pun segera menghampiri. "Kau tidak apa-apa, Rin?" tanyanya khawatir seraya membantunya berdiri.
"Tidak apa-apa kok, cuma sakit sedikit," jawab Rino terus terang. "Kau hebat sekali, Bob," pujinya kemudian..
"Kau juga hebat, Rin," balas Bobby seraya tersenyum.
Setelah saling memberi hormat, keduanya lantas kembali ke tempat duduk masing-masing. Saat itu Bobby terlihat duduk di sebelah guru silatnya.
"Wah, kau benar-benar makin lihai saja, Bob!" puji sang Guru.
"Terima kasih, Guru. Lagi pula, semua itu kan berkat ketekunan Guru melatih saya," ujar Bobby merendah.
"O ya, Bob. Jangan lupa! Besok kau harus giat berlatih di rumah! Sebab, lusa aku sendiri yang akan menjadi lawan tandingmu."
"Tentu saja, Guru! Saya akan berusaha," kata Bobby bersemangat.
Kini sang Guru mengarahkan pandangannya ke yang lain. "Darma? Hengky? Sekarang giliran kalian!" serunya lantang.
Mendengar itu, keduanya segera menuju ke tengah arena. Setelah saling memberi hormat, keduanya tampak mulai memainkan kembangan. Kini pandangan Bobby terpaku menyaksikan pertarungan itu.
Di tempat terpisah, Sinta masih saja bergelut dengan buku catatannya. Hingga akhirnya, "Aha! Bagaimana kalau aku menggunakan magnet yang saling berlawanan? Caranya dengan menciptakan medan magnet di bawah mobil itu. Tapi… bagaimana caranya ya? Aduh, pusiiing." Sinta tampak menarik nafas panjang, kemudian dengan segera dia memandang ke langit-langit guna sejenak menikmati keindahan beberapa pesawat model yang dirakitnya sendiri.
Setelah pikirannya segar kembali, gadis itu mulai mencatat segala kemungkinan yang sekiranya bisa diterapkan pada penelitiannya kali ini. Saat itu, jarinya yang lentik tampak lincah menuliskan kata-kata yang berbau ilmu pengetahuan, dan dengan tulisan yang bak tulisan dokter, gadis itu terus membangun kalimat demi kalimat.
Usai menulis, pikiran gadis itu kembali menerawang—memikirkan berbagai kemungkinan yang baru saja terlintas. Saat itu, alisnya tampak kian merapat. Bersamaan dengan itu, tanpa sadar gigi putihnya mulai menggigit-gigit pena yang dipegangnya, dan dengan pena itu pula, sesekali dia tampak memukul-mukul pelan kepalanya yang kini mulai terasa pening.
Lama gadis itu berpikir, namun ketika dia baru mendapat ide yang cukup meyakinkan, tiba-tiba AC yang memberikan kesejukan mati dengan sendirinya. Seketika gadis itu menoleh, memperhatikan AC yang telah membuatnya begitu kecewa, "Aduh, kenapa lagi dengan AC itu? Padahal baru kemarin diperbaiki oleh Kak Haris. Huh! Dasar AC gak berkualitas," makinya agak kesal.
Kini kerongkongan Sinta mulai terasa kering, dan dengan segelas air dingin tentu dapat menyegarkannya kembali. Setelah meletakkan pena hitamnya, gadis itu segera melangkah ke dapur. Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan wajah yang tampak lebih segar. Namun baru saja dia hendak bersila, tiba-tiba "TING TONG. Assalam…!" terdengar suara bel rumah yang disusul dengan ucapan salam.
“Wa’alaikum…!” balas Sinta seraya buru-buru mengenakan cadarnya dan bergegas membukakan pintu.
“O… Kak Bobby. Kok tumben datang sendirian?”
“Iya Sin, aku baru pulang latihan. ”
“O ya, Kak. Maaf ya, kalau kali ini aku tidak mempersilakanmu masuk. Maklumlah, kakakku Haris lagi sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, kali ini dia tidak mungkin bisa menemaniku.
“Tidak apa-apa, Sin! Lagi pula, aku cuma sebentar kok. Seharusnya aku yang minta maaf karena sudah mengganggumu."
"Tidak kok! Eng… kalau boleh kutahu, sebenarnya ada keperluan apa, Kak?"
"Begini, Sin. Bukankah seminggu yang lalu kau pernah bilang, kalau kau ingin mencoba teknologi kolam air mengalir?"
"Itu memang betul, Kak! Namun, aku kesulitan untuk mencobanya. Aku kan tidak punya lahan untuk melakukan percobaan itu."
"Karena itulah aku datang kemari, aku mau memberitahumu sebuah kabar gembira."
"Kabar apa itu, Kak?" tanya Sinta penasaran.
"Aku bersedia jika halaman belakang rumahku dijadikan tempat uji cobamu,” jelas Bobby.
"Apa! Benarkah yang Kakak katakan itu?" tanya Sinta seakan tidak percaya.
Bobby mengangguk, senyumnya pun langsung mengembang lebar.
"Wah! Terima kasih, Kak! Kakak itu memang temanku yang paling baik," puji Sinta gembira.
"Kalau begitu, kau mau kan ke rumahku besok?"
"Besok…? Mengerjakan kolam itu?" tanya Sinta menggebu-gebu.
"Ya," jawab Bobby singkat.   
"Wah, tentu saja aku mau. Tapi… aku tidak tahu, apakah besok kakakku Haris mau menemaniku."
"Eng… kalau begitu, biar aku saja yang bicara padanya!" 
"Aku setuju, Kak! Kalau begitu, mari kuantar ke kamarnya. O ya, setelah itu tidak apa-apa kan jika aku langsung kembali ke ruang riset untuk melanjutkan pekerjaanku.”
Bobby tersenyum setuju.
“Eng, Kalau begitu. Yuk, Kak!" ajak Sinta seraya melangkah ke kamar kakaknya lebih dulu.
Sementara itu di kamar, sang Kakak yang bernama Haris tampak sedang duduk di sebuah kursi yang menghadap ke sebuah meja kecil. Saat itu dia sedang sibuk memperbaiki sebuah motherboard komputer yang rusak. Kedua tangannya tampak begitu trampil menyolder kabel-kabel yang digunakan sebagai jumper untuk menggantikan alur yang terputus.
Kini pemuda tampan yang berkacamata bulat itu tampak begitu serius mengamati rangkaian elektronika yang baru disoldernya. Ketika sedang serius-seriusnya mengamati, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketukan di pintu kamar. Seketika pemuda itu menoleh ke arah pintu. “Masuk saja, tidak dikunci!" serunya kepada orang yang mengetuk pintu.
Mendengar itu, orang yang mengetuk pintu segera memasuki ruangan. Sesosok tubuh tegap yang mengenakan T-shirt putih berstel jeans biru muda tampak berdiri di muka pintu, wajahnya yang tampan menyungging senyuman tipis.
"Hey, ternyata kamu Bob! Maaf ya! Tadi kupikir yang datang itu Sinta. Ayo, Bob! Silakan masuk! Emm… Tumben sore-sore begini kau datang kemari, pasti ada sesuatu yang penting," duga Haris seraya melanjutkan pekerjaannya.
Mendengar itu, Bobby segera mendekat. "Sorry ya, Har! Kalau aku mengganggumu. Eng… tampaknya kau masih sibuk sekali ya?” tanyanya kemudian. 
"Tidak kok, kebetulan tinggal sedikit lagi," ujar Haris yang masih saja terlihat sibuk. "Emm… Memangnya ada perlu apa?" tanyanya kemudian.
"Aku mau minta bantuanmu, Har," kata Bobby seraya memperhatikan ujung solder yang dipegang Haris.
"Bantuan apa, Bob?" tanya Haris lagi sambil terus sibuk menyolder.
"Besok pagi, kau mau ya menemani Sinta ke rumahku!" pinta Bobby.
"Ke rumahmu… ngapain?" tanyanya dengan nada heran.
"Besok, aku dan Sinta mau membuat kolam ikan teknologi air mengalir. Kau mau kan, sekalian juga ikut membantu kami?"
"Kolam ikan teknologi air mengalir...? Apa itu, Bob?" tanya Haris bingung.
"Ya... kolam ikan yang airnya selalu mengalir." 
"O, jadi air yang disirkulasikan menggunakan pompa air listrik. Begitu?"
"Tidak Har, buka begitu. Menurut Sinta, teknologi itu sama sekali tidak menggunakan pompa listrik, tapi menggunakan cara alami."
"Dengan teknik menimba menggunakan kincir angin maksudmu?" tanya Haris lagi.
"Bukan Har. Tapi dengan cara memompa air dengan menggunakan teknik Vacuum," jelas Bobby.
"O, jadi pompa air yang menggunakan kincir angin ya?."
"Bukan juga, Har."
"Lantas apa dong?"
"Gaya grafitasi, Har. Sinta mau menggunakan gaya grafitasi untuk mem-vacuum-nya"
"Apa, menggunakan gaya grafitasi? Eng… kalau boleh kutahu, teknisnya bagaimana, Bob?" tanya Haris penasaran.
"Wah, kalau ditanya teknisnya. Aku juga tidak tahu, soalnya aku benar-benar buta dengan ilmu fisika tingkat tinggi. Hmm… bagaimana kalau hal itu kau tanyakan langsung pada adikmu!"
"Oke deh, nanti akan kutanyakan.”
“O ya, Har? Ngomong-ngomong, bagaimana dengan permintaanku tadi?” tanya Bobby mengingatkan.
“Bob, demi kemajuan adikku, aku pasti mau menemaninya. Lagi pula, sebetulnya aku penasaran ingin mengetahui soal teknologi itu lebih jauh.”
"Benarkah? Kalau begitu, terima kasih, Har. Kau itu memang seorang Kakak yang pengertian.”
“Sudahlah, Bob! Bukankah hal itu memang sudah menjadi kewajibanku, yang mana kepercayaan kita tidak membenarkan jika seorang gadis pergi sendiri ke rumah pria yang bukan muhrimnya.
"Kau benar, Har. Oke deh…  Kalau begitu, aku pulang sekarang saja," pamit Bobby.
"Oke, Bob. Sampai bertemu besok!"
"Yup, sampai bertemu besok! Assalam…"
“Waalaikum…” Balas Haris seraya mengantarkan Bobby hingga ke muka rumah.
Setibanya di tempat itu, Bobby langsung menunggangi sepeda motor dua silindernya dan segera memacunya pulang. Saat itu, suara mesinnya terdengar keras—menderu memecah keheningan senja.

 

Malam harinya, Sinta tampak sedang bersantai di sofa yang empuk sambil menonton acara Tafakur Channel—sebuah acara ilmu pengetahuan yang mengajak pemirsanya untuk lebih mengenal Tuhan. Ketika sedang asyik-asyiknya menyaksikan acara itu, tiba-tiba Haris sudah duduk di sebelahnya. Saat itu, Sinta tak terlalu menghiraukannya—dia masih saja asyik memperhatikan topik yang disuguhkan pada acara Tafakur Channel kali ini.
"Sin…” sapa Haris pada adiknya.
"Nanti saja ya, Kak. Aku lagi asyik menonton nih," kata Sinta kepada sang Kakak.
“Ya, sudah kalau begitu. Padahal aku mau membicarakan soal mau tidaknya aku menemanimu besok," kata Haris seraya beranjak bangun.
“Tunggu, Kak!” tahan Sinta tiba-tiba. “Maaf kan aku, Kak. Aku betul-betul tidak tahu. Eng… Ngomong-ngomong, apa benar Kakak mau menemaniku besok?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja. Kalau bukan aku, memangnya siapa lagi yang mau menemanimu.”
“Benarkah?” tanya Sinta seakan tak percaya, padahal dia tahu betul kalau kakaknya itu belakangan ini sedang sibuk sekali.
Mengetahui itu, Haris langsung mengangguk.
“Makasih ya, Kak. Kakak itu memang orang yang paling baik sedunia.”
“Kok cuma bilang terima kasih saja sih? Eng… bagaimana kalau sekarang kau buatkan aku segelas teh manis.”
“Huh, dasar... teh manis lagi... teh manis lagi...” kata Sinta terpaksa melangkahkan kakinya ke dapur guna menuruti permintaan sang Kakak. Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan membawa segelas teh untuk kakaknya. “Ini, Kak...” katanya seraya kembali duduk di tempatnya semula.
Kini kakak berandik itu tampak asyik menyaksikan acara Tafakur Chanel bersama. Keduanya tampak begitu antusias menyaksikan perihal sistem koloni lebah madu yang mengagumkan itu, yang mana memang sudah menjadi ketetapan Allah.
Sementara itu di tempat lain, di sebuah lokasi permukiman yang agak sepi, sebuah rumah besar tampak berdiri dengan megahnya. Halaman depannya tampak luas dan dipagari dengan tembok setinggi 2 meter. Gerbangnya terbuat dari jeruji besi berukir dengan ornamen dua buah relief mawar. Sedangkan halaman samping kiri, kanan, dan halaman belakangnya dibatasi dengan pagar tembok setinggi 3 meter.
Halaman depan merupakan taman yang cukup cantik dengan hamparan rumput jepang yang menghijau. Jika malam tiba, taman itu diterangi oleh empat buah lampu taman berwarna kuning dan biru. Pada bagian taman yang berdekatan dengan pagar depan dihiasi dengan pohon-pohon cemara, sedangkan pada bagian lain terdapat pohon-pohon hias yang tampak terawat dengan baik. Di bagian tengah taman itu terdapat tiga buah bola batu yang berhiaskan kaligrafi, dan ketiganya mempunyai ketinggian yang berbeda-beda. 
Halaman samping kiri tampak ditanami beberapa pohon palem merah dan beberapa pohon cemara, sedangkan halaman samping kanannya hanya ditanami rumput dan bunga-bungaan, halaman itu dipakai sebagai jalan samping yang langsung menuju ke halaman belakang. Halaman belakang juga merupakan taman yang cukup luas, di situ ditanami beberapa pohon buah-buahan, dan juga bunga-bungaan. Sedang pada sudut kirinya berdiri sebuah gudang yang cukup besar.
Kini dari gudang itu, seorang pemuda tampan terlihat keluar dan langsung melangkah menuju beranda belakang. Beranda itu tampak nyaman, lantainya terbuat dari batu pualam yang tersusun rapi, sedangkan di sekelilingnya tampak berjajar bunga-bunga yang begitu indah. Kini pemuda itu sedang duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu, kedua matanya tampak memperhatikan benda kenangan yang diambilnya dari dalam gudang—sebuah piala yang didapatkan saat mengikuti lomba ketangkasan ayah dan anak. Pemuda itu terus memperhatikan benda itu walaupun hanya dibantu cahaya lampu remang-remang. Kini keduanya matanya tampak mulai berkaca-kaca. Dialah Bobby yang sedang mengenang kembali akan masa lalunya, sebuah masa yang penuh cobaan dan akhirnya membawa dia ke rumah itu.
Pada masa yang telah lewat, ketika rumah itu baru selesai dibangun—ayahnya dilanda cobaan, perusahaannya mengalami kebangkrutan karena krisis. Hingga akhirnya, rumah mereka yang berlokasi di bilangan Menteng disita untuk melunasi hutang-hutang perusahaan. Pada saat itulah mereka pindah ke rumah baru itu. Namun baru satu minggu kepindahan mereka, ayahnya meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Waktu itu, sang Ayah cukup terpukul dengan peristiwa yang menimpanya, hingga akhirnya penyakit kencing manis dan darah tinggi yang sudah lama dideritanya menjadi semakin parah. Ibunya yang saat itu cuma sebagai ibu rumah tangga tidak bisa berbuat banyak, dia hanya pasrah menerima kenyataan itu. Jangankan untuk biaya pengobatan, untuk makan sehari-hari saja sudah semakin sulit.
Semenjak ayahnya meninggal, sang Ibu yang cuma lulusan S1 itu mulai berusaha mencari pekerjaan ke sana-ke mari. Dia terus berusaha dengan gigih agar bisa membesarkan Bobby yang saat itu masih berusia 12 tahun. Hingga pada akhirnya, dia diterima di salah satu perusahaan sebagai staff administrasi, dan itu semua berkat usaha dan doa-doanya yang tiada henti.
Ketika Bobby duduk di kelas III SMA, sang Ibu berjumpa dengan seorang teman lamanya. Teman lama ibunya itu menawarkan untuk bekerja di Malaysia. Setelah memikirkan dengan matang, akhirnya sang Ibu menerima tawaran itu. Bobby yang mengetahui rencana itu merasa berat, namun sebagai anak yang mengerti akan kondisi keluarga, akhirnya dia merelakannya juga.
Selama sang Ibu berada di Malaysia, Bobby menempati rumah itu bersama seorang pembantu yang sudah mengabdi sejak Bobby masih kecil. Semua kebutuhan Bobby saat itu, baik kuliah, makan, dan lain-lain diatur sebisanya. Dengan kata lain, Bobby harus bisa hidup mandiri. Bagi Bobby, semua itu tidaklah terlalu sulit. Karena selama kuliah, Ibunya sering mengirimkan uang dan terkadang juga datang untuk menemuinya.
Setelah lulus kuliah, Bobby mulai membuka usaha dengan modal yang dikumpulkan dari uang pemberian Ibunya. Hingga akhirnya, usahanya itu bisa berkembang dengan pesat dan menjadikannya seorang pengusaha yang sukses. Semua itu tak lepas dari kerja kerasnya dan juga doa yang selalu dipanjatkan. Kini Bobby sudah mempunyai beberapa orang anak buah yang ditugaskan untuk mengurusi perusahaannya itu.

 

Keesokan paginya, Bobby tampak sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk membuat kolam ikan. Kini dia sedang mengeluarkan peralatan yang akan digunakan untuk keperluan itu. Sambil menunggu Haris dan Sinta, Bobby mulai menandai lokasi yang akan digunakan. Saat itu dia menentukan lokasinya tepat di tengah-tengah halaman.
Baru saja dia selesai menandai, tiba-tiba terdengar bel rumah berbunyi. "Nah, itu pasti mereka!" duga Bobby seraya berlari ke muka rumah. Tak lama kemudian, dia sudah tiba di tempat itu. "Hai,  Kalian!" sapanya kepada Haris dan Sinta yang dilihatnya sedang berdiri di depan pintu gerbang. "Bagaimana, apakah kalian sudah siap?" tanyanya seraya membuka pintu.
"Tentu saja," jawab Sinta bersemangat.
"Apa semua peralatannya sudah disiapkan?" tanya Haris menambahkan.
"Sudah kok," jawab Bobby singkat. "Eng… Kalau begitu, Yuk! Kita langsung ke belakang!" ajaknya kemudian.
Kini ketiganya tampak melangkah melewati jalan setapak di samping rumah. Setibanya di beranda belakang, Haris dan Sinta langsung terpaku memperhatikan sebuah seni kaligrafi ayat Al-Quran yang membentuk sebuah pohon. Entah kenapa, setiap kali melihat kaligrafi itu, mereka masih saja terkagum-kagum. Padahal, selama ini mereka sudah sering kali melihatnya.
"Silakan duduk Har!" tawar Bobby ramah. "Yuk Sin, ikut aku ke dapur!" ajaknya kemudian.
Mendengar itu, Sinta langsung mengikuti Bobby yang sudah melangkah lebih dulu. Sementara itu, Haris langsung duduk di kursi beranda seraya memperhatikan kembali kaligrafi yang masih membuatnya kagum. Tak lama kemudian, Bobby dan Sinta sudah tiba di dapur. Saat itu Bobby langsung membuka laci dan mengeluarkan beberapa makanan, selain itu dia juga mengeluarkan sebotol sirup rasa jeruk yang masih tampak penuh. Semuanya diletakkan di atas meja kecil. Pada saat itu, Sinta cuma terpaku memperhatikannya.
"Sin… ini makanan dan sirup untuk kita nanti. Kalau kau perlu apa-apa, ambil saja di laci ini!" jelas Bobby.
"Baik, Kak!" kata Sinta mengerti.
"Oke Sin, kalau begitu aku dan Haris akan melakukan penggalian sekarang, kuharap kau lekas menemui kami."
Sinta mengangguk, kemudian dengan segera dia bergerak—menyiapkan makanan dan minuman. Pada saat yang sama, Bobby tampak sudah kembali ke beranda. Setelah mengambil meteran yang tergeletak di atas meja, pemuda itu segera mengajak Haris menuju ke lokasi penggalian. Kini mereka sedang mengukur lokasi yang akan digali dan menandainya sesuai dengan desain kolam yang dibuat Sinta. Setelah pengukuran selesai, keduanya segera mengambil cangkul masing-masing. Bersamaan dengan itu, Sinta sudah selesai dengan tugasnya. Kini dia sedang menghampiri Bobby dan Haris yang dilihatnya sudah siap menggali. “Ini Kak, makanan dan minumannya,” katanya gadis itu seraya duduk di atas rumput dan meletakkan baki yang dibawanya ke atas rumput.
“Terima kasih, Sin,” ucap Bobby seraya mulai melakukan penggalian.
Haris yang saat itu sedang berdiri santai sambil bertopang tangan di gagang cangkul segera mengikutinya. "O ya, Bob. Ngomong-ngomong, berapa dalam kita akan menggali?" tanyanya kemudian.
"Sesuai dengan desainnya, kurang lebih setengah meter, Har," jawab Bobby.
Saat itu keduanya tampak terus menggali dengan penuh semangat. Sementara itu, Sinta tampak terus memandorinya sambil sesekali mengisi gelas yang mulai kosong. Semenjak awal penggalian, Bobby dan Haris sudah minum sampai empat kali. Maklumlah, cuaca pagi ini memang terasa cukup panas.
Bobby dan Haris masih terus menggali. Ketika kedalamannya sudah mencapai 45 cm, tiba-tiba KLONTANG! terdengar bunyi benturan dua buah benda logam yang cukup keras.
"Wah, sepertinya cangkulku mengenai sesuatu, Bob!" Seru Haris.
"Ya, suaranya seperti mengenai sebuah benda logam, jangan-jangan… itu harta karun peninggalan Jepang," kata Bobby seraya mendekati Haris yang sedang berusaha memperjelas benda yang mengenai cangkulnya.
"Ah, masa sih?" komentar Sinta seraya ikut mendekat.
"Kira-kira benda apa ya, Bob? Sepertinya cukup besar," tanya Haris penasaran.
"Kalau begitu. Ayo, kita gali lebih dalam!" ajak Bobby tak kalah penasaran.
"Benar, Kak! Dengan begitu kita bisa mengetahui, benda apa itu sebenarnya," timpal Sinta yang juga ikut penasaran.
Kini mereka mulai menggali lebih dalam, hingga akhirnya benda itu tampak benar-benar jelas terlihat. Benda itu terbuat dari logam anti karat. Bentuknya seperti kapsul dengan diameter kurang lebih 1.5m, dan tingginya mencapai 2.5m. Pada bagian bawahnya tampak seperti kaki penopang yang bisa membuat kapsul itu berdiri tegak.
"Wah, benda apa itu ya, Kak Bobby?" tanya Sinta heran.
"Entah... Aku juga tidak tahu," jawab Bobby bingung.
"Bob? Bagaimana jika benda ini kita bawa ke gudang! Dengan demikian, kita bisa menyelidikinya lebih seksama," saran Haris.
"Kalau begitu, mari kita kerjakan!" ajak Bobby bersemangat.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Setelah semuanya siap, mereka mulai mengerjakan pekerjaan yang tampaknya begitu menguras tenaga. Kini mereka sedang mengangkat benda itu dengan menggunakan katrol. Setelah berusaha keras, akhirnya mereka berhasil mengeluarkan benda itu dari lubang galian dan segera membawanya ke gudang dengan menggunakan lori.
Kini benda itu sudah diletakkan di tengah-tengah ruangan dan sedang diamati oleh ketiganya. Di bagian atas benda itu terdapat lempengan berupa sel solar yang dilindungi oleh kubah transparan, sedangkan di bagian sisinya terdapat bagian yang menyerupai pintu, dan di dekat bagian yang menyerupai pintu itu terdapat sebuah panel dengan dua buah tombol. "Mmm… tidak salah lagi, bagian yang ini jelas sebuah pintu. Lihatlah! Tombol di panel ini, ada tulisan OPEN.  Kalau begitu, aku akan mencoba membukanya," kata Bobby.
"Jangan, Kak! Mungkin benda itu berbahaya. Sebaiknya kita laporkan saja kepada pihak berwajib," saran Sinta khawatir.
"Benar, Bob. Kita tidak perlu menanggung risiko dengan menyelidikinya lebih jauh. Biar aparat berwenang saja yang melakukannya," Haris sependapat.
"Kalian ini bagaimana, sih? Apakah kalian tidak penasaran untuk mengetahui isi benda ini?" tanya Bobby tak sependapat.
"Memang sih... aku juga penasaran, tapi aku tidak berani menanggung risikonya," jawab Haris.
"Baiklah… Bagaimana kalau besok saja kita putuskan? Kita selidiki lebih jauh, atau kita serahkan kepada pihak berwenang. Aku beri kesempatan kepada kalian untuk berpikir, apakah keputusan kalian itu memang sudah tepat?" saran Bobby.
"Oke, aku akan mempertimbangkan saranmu itu, Kak," kata Sinta setuju.
"Bagaimana denganmu, Har?" tanya Bobby.
"Baiklah... aku juga akan mempertimbangkannya," jawab Haris setuju.
"Nah... bagaimana kalau sekarang kita selesaikan pekerjaan yang tertunda tadi, setuju...!" ajak Bobby bersemangat.
"Setuju…" jawab Sinta dan Haris serempak.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah kembali ke tempat penggalian guna melanjutkan pembuatan kolam.

  

Malam harinya, selesai makan, Bobby tak henti-hentinya memikirkan benda yang ditemukannya siang tadi. Sungguh saat itu dia begitu penasaran ingin mengetahui isi benda misterius itu, bahkan di benaknya timbul berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Karena rasa penasaran yang amat sangat itulah, akhirnya Bobby pergi ke gudang untuk menyelidikinya lebih lanjut.
Setibanya di dalam gudang, Bobby langsung mengamati benda itu hampir ke setiap sisinya. Benda itu tampak begitu kotor, sisa tanah yang menempel membuatnya sulit mengamati. Menyadari itu, Bobby berupaya membersihkannya dengan menggunakan kain lap dan air sabun, hingga akhirnya benda itu benar-benar bersih dan bisa diamati dengan jelas. Pada sisi belakang, tepatnya di bagian bawah benda itu terdapat 3 baris tulisan yang berbunyi, "Cakra International Company, Transport Manufacturing, Teleporter Capsule  Model No. TC001409."
"Hmm… apakah ini sebuah alat transportasi?" tanya Bobby seraya kembali melanjutkan penyelidikannya.
Kini pemuda itu sedang memperhatikan bagian atas benda itu dengan penuh seksama. “Hmm… tidak salah lagi, bagian atas benda ini memang pembangkit listrik tenaga surya. Jika begitu, berarti benda ini menggunakan sinar matahari sebagai sumber tenaganya," duga Bobby dalam hati.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya pemuda itu mengalihkan perhatiannya ke arah panel yang terdapat di pintu kapsul. Kini dia sedang mengamati lampu indikator yang dilihatnya masih dalam keadaan mati. "Hmm... apa mungkin jika kutekan tombol ‘Open’ ini akan membuatnya menyala?" tanya Bobby dalam hati.
Karena penasaran, Bobby pun segera menekan tombol itu. Setelah tombol itu ditekan, ternyata tidak terjadi apa-apa. Lantas Bobby pun mengulanginya sampai beberapa kali, dan ternyata masih juga tidak terjadi apa-apa. "Hmm… mungkin benda ini sudah rusak sehingga tidak bisa dioperasikan lagi," pikirnya.
Bobby terus melakukan penyelidikannya, sementara itu malam sudah tampak semakin larut. "Aaahhh...." Bobby menguap, rupanya dia sudah begitu lelah dan mulai mengantuk. "Hmm... sebaiknya penyelidikan ini aku lanjutkan besok pagi saja," gumam pemuda itu seraya menguap sekali lagi. Tak lama kemudian, dia sudah kembali ke rumah untuk beristirahat.


 

Topeng Kuning - Bagian 2

DUA
PESAWAT RUANG ANGKASA



Pagi harinya udara terasa begitu sejuk. Di beranda belakang, Bobby tampak sedang bersantai sambil menikmati secangkir teh hangat dan sepotong roti panggang isi keju. Pemuda itu tampak menikmati sarapannya sambil memandang keindahan pekarangan di belakang rumahnya. Saat itu, di atas ranting cemara terlihat beberapa ekor burung parkit yang sedang bertengger. Kicauan mereka terdengar merdu, bernyanyi riang menyambut pagi yang cerah. Beberapa dari mereka tampak terbang menuju ke gundukan tanah yang belum dirapikan, semuanya tampak riang melompat-lompat mencari makan—menikmati cacing-cacing kecil yang sudah mati maupun yang sedang sekarat.
Waktu terus berjalan, udara mulai terasa hangat, dan embun pagi pun mulai menghilang dari pandangan. Di ufuk timur, sang Surya sudah semakin meninggi, membiaskan sinarnya melewati celah dedaunan. Saat itu Bobby sedang merenung, kedua matanya tampak memandang gudang, sedang di benaknya tersirat beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan, yaitu mengenai benda misterius yang ditemukannya kemarin. Karenanyalah, pemuda itu berniat untuk melanjutkan penyelidikannya.
Tak lama kemudian, pemuda itu sudah beranjak memasuki gudang. Saat itu, sinar matahari tampak menerangi ruangan itu, cahayanya memancar melalui atap gudang yang transparan. Di tengah ruangan, benda misterius yang ditemukan kemarin masih tampak berdiri dengan kokoh. Ketika pemuda itu sedang berdiri mengamati, tiba-tiba dia dikejutkan oleh lampu indikator yang sebelumnya padam kini dalam keadaan menyala.
"Hah! Apakah aku tidak salah lihat? Kenapa lampu indikator itu bisa menyala?" tanya Bobby tak habis pikir. "Hmm... A-apa mungkin karena pembangkit listriknya telah bekerja? Ya, tidak salah lagi. Aku rasa memang demikian, dan itu artinya, benda ini masih bisa difungsikan," duga Bobby bersemangat.
Lantas tanpa pikir panjang, pemuda itu pun segera menekan tombol yang betuliskan ‘OPEN’. Setelah tombol itu di tekan, tiba-tiba pintu benda itu langsung terbuka lebar. Kini tampaklah bagian dalamnya yang tampak kosong melompong, namun di bagian sisi dalamnya terdapat sebuah panel yang mempunyai layar monitor seukuran monitor ATM (Automatic Teller Machine). Mengetahui itu, Bobby pun segera masuk dan langsung memperhatikan layar monitor yang dilihatnya tadi. Saat itu, di layar monitor tampak terpampang sebuah tombol dengan tulisan ‘Close The Door’.
"Hmm… mungkinkah ini sebuah layar sentuh? Sebab di dalam sini memang tidak ada tombol-tombol untuk mengoperasikannya," pikir Bobby seraya memberanikan diri untuk menyentuhnya. Seiring dengan disentuhnya tulisan itu, tiba-tiba pintu benda itu tertutup dengan sendirinya. Pada saat yang sama, layar monitor tampak sudah berganti tampilan. Dan disaat pergantian itu, terdengar pula mode suara dari pemandu otomatis yang terprogram di benda itu. "Select Your Destination!" katanya memberi instruksi.
Kini di layar monitor tampak terpampang peta dunia, dan di bagian bawah layar terdapat tombol  dengan tulisan ‘Return to ship’. Mengetahui itu, Bobby pun segera menyentuh wilayah Indonesia. Saat itu lagi-lagi layar monitor berganti tampilan. Kini di layar telah terpampang peta Indonesia yang dibarengi dengan suara "Indonesia selected". Tombol dengan tulisan ‘Return to ship’ masih tetap tampak, namun di sebelah kirinya muncul tombol baru dengan tulisan ‘Back’.
Bobby terdiam sejenak. Tak lama kemudian, dia sudah menyentuh wilayah Jakarta. Bersamaan dengan itu, layar monitor tampak sudah berganti tampilan. Kini di layar telah terpampang peta Jakarta yang dibarengi dengan suara, "Jakarta selected". Saat itu, Bobby langsung menyentuh sebuah wilayah di peta Jakarta. Namun kali ini layar tidak berganti tampilan, melainkan hanya muncul dua buah tombol dengan tulisan ‘Yes’ dan ‘No’, bersamaan dengan itu terdengar pula suara mode suaranya "Are you ready for launching to this coordinate?"
Kini Bobby mulai memahami, ternyata monitor itu merupakan alat navigasi untuk menentukan lokasi tujuan, sedangkan benda yang sedang dinaikinya itu adalah sebuah alat transportasi. Menyadari itu, Bobby segera menyentuh tombol  ‘No’. Seiring dengan disentuhnya tombol itu, maka terdengarlah mode suaranya, ’Launching aborted,’ kata si Pemandu memberitahu.
Tak lama kemudian, Bobby tampak memberanikan diri untuk menyentuh tombol ‘Return to ship’, bersamaan dengan itu layar monitor kembali berganti tampilan. Kini di monitor terpampang sebuah gambar tiga dimensi pesawat ruang angkasa yang diiringi dengan suara ‘Are you ready?" Kemudian pada layar monitor kembali muncul dua buah tombol yang bertuliskan ‘Yes’ dan ‘No’.
Saat itu Bobby mengerti, bila ia memilih ‘Yes’ berarti ia akan menuju ke pesawat luar angkasa yang terpampang pada layar monitor itu.  "Hmm… rupanya alat transportasi berasal dari pesawat ruang angkasa. Sungguh sulit dipercaya, bagaimana mungkin pesawat seperti itu sudah ada pada zaman sekarang?" gumam Bobby tak habis pikir. Karena rasa penasaran yang amat sangat, akhirnya dia memutuskan untuk menyentuh tombol ‘Yes’.
Setelah tombol itu di sentuh, tiba-tiba Bobby merasakan sekujur tubuhnya bagai disiram pasir halus, kemudian seiring dengan hilangnya rasa itu, tiba-tiba terdengar suara "Welcome to Gatot Kaca Explorer Ship." Bersamaan dengan itu, pintu alat transportasi itu langsung terbuka secara otomatis. Saat itu Bobby benar-benar terkejut lantaran mengetahui ruang gudangnya seolah sudah berubah menjadi anjungan pesawat ruang angkasa. Sungguh dia tidak habis pikir, begitu cepatnya dia berpindah lokasi.
Kini Bobby tampak melangkah memasuki anjungan dengan sangat hati-hati. Saat itu di benaknya ada perasaan was-was, sekaligus juga ada rasa penasaran yang amat sangat. Bahkan dengan penuh rasa ingin tahu, pemuda itu terus memperhatikan isi ruangan. Saat itu kedua matanya hampir tak berkedip, memperhatikan setiap detail ruangan yang tampak begitu canggih. Di bagian tengah ruangan itu terdapat tiga buah kursi yang saling berdampingan, dan di belakang ketiga kursi itu terdapat sebuah area berbentuk lingkaran. Bobby tidak tahu, untuk apa area berbentuk lingkaran itu. Sedangkan di sekeliling ruangan tampak berjajar panel-panel yang mempunyai tombol berwarna-warni. Bukan cuma itu, di hampir setiap sisi ruangan itu juga terpampang beberapa monitor yang masih dalam keadaan aktif.
Sungguh Bobby merasa takjub dengan semua itu, dan yang paling membuatnya takjub adalah layar monitor yang sebesar layar bioskop, posisinya berada tiga meter di depan ke tiga kursi itu. "Ini benar-benar tidak masuk akal … bukankah anjungan seperti ini hanya ada di film-film science fiction. Hmm… Apakah ini cuma mimpi?" tanya Bobby seraya mencubit lengannya sendiri untuk meyakinkan bahwa dia tidak sedang bermimpi.
Tak lama kemudian, kedua mata pemuda itu sudah tertuju pada ketiga kursi yang berada di tengah ruangan. Dia menduga, kursi-kursi itu merupakan tempat mengendalikan pesawat. Karena penasaran, Bobby pun segera melangkah menuju ke tiga kursi itu dan mengamatinya dengan penuh seksama. Jarak antara kursi yang satu dengan kursi lainnya kurang lebih satu meter, dan di depan setiap kursi itu terdapat sebuah panel komputer yang mempunyai keyboard. Sekilas ketiga kursi itu tampak sama, namun ternyata kursi yang berada di tengah agak berbeda, pada bagian lengan kiri dan kanannya terdapat panel dengan tombol yang berwarna-warni.
Kini Bobby sudah duduk di kursi yang berada di tengah. Namun ketika dia sedang memperhatikan tombol yang ada di lengan kursi, tiba-tiba dia mendengar suara wanita yang terdengar keras memenuhi ruangan, suaranya itu terdengar mirip sekali dengan suara Veronica.
"Assalam… Welcome Captain… May I help you?" tanyanya kepada Bobby.
Bersamaan dengan itu, pada layar monitor raksasa tampak terpampang wajah seorang wanita bercadar. Saat itu Bobby betul-betul kaget dibuatnya, lalu dengan serta-merta mata pemuda itu langsung terfokus ke arah monitor—menatap wajah wanita bercadar yang tadi menyapanya. "Wa-wa’alaikum… Who are you? And why you call me a Captain?" tanyanya kepada wanita di layar monitor itu.
"I am SGS. You can call me ‘Gita’! You are a Captain in this ship," kata wanita itu menjawab pertanyaan Bobby.
"What! I am a Captain in this ship…? Are you kidding?" tanya Bobby penuh kebingungan.
"I am sure about that. You are really a new Captain in this ship," kata Gita meyakinkan.
"What SGS mean?" tanya Bobby lagi.
"SGS is ‘Ship Guide System". I am a guide in this ship, and I can speak any language in this word. I have a lot of information about your word. If you need some information, you can ask me any time," jelas Gita panjang lebar.
"Can you speak Indonesian?" tanya Bobby.
"Tentu saja, saya sudah diprogram untuk mengerti hampir semua bahasa di dunia ini," jawab Gita.
"Baiklah… Mulai sekarang sebaiknya kamu gunakan bahasa Indonesia. O ya, sebaiknya kamu jangan panggilku captain, tapi panggil aku ‘Bobby’!"
"Baiklah, Bobby. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Gita.
Menyadari kesempatan itu, Bobby pun tak mau menyia-nyiakannya, lantas dengan segera dia mengajukan beberapa pertanyaan yang masih membuatnya bingung. Sementara itu di depan gerbang rumah Bobby, sepasang kakak beradik Haris dan Sinta tampak gelisah. "Jangan-jangan sudah terjadi sesuatu, Kak," duga Sinta khawatir. “Eng… Bukankah kita sudah 10 kali menekan bel, tapi kenapa Bobby belum juga keluar?” sambungnya seraya  berjongkok membelakangi gerbang lantaran sudah pegal berdiri.
"Mungkin dia begadang semalam, Sin. Jadi, usai sholat subuh dia pasti tidur lagi dan akhirnya jam segini masih belum bangun," kata Haris menenangkan, kemudian pemuda itu mencoba menekan bel sekali lagi, dengan harapan Bobby akan segera keluar. Namun setelah agak lama menunggu, harapannya itu tak terwujud.
"Kak, aku betul-betul khawatir, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan benda yang kita temukan kemarin," ujar  Sinta cemas.
"Mmm… bila yang kau khawatirkan itu benar, sebaiknya kita cepat masuk untuk memeriksanya, Sin!”
“Iya, Kak. Tapi… bagaimana caranya?”
“Terpaksa kita harus memanjat pagar, Sin."
“Tapi, Kak. Itu kan melanggar hukum.”
“Sudahlah…! Ini kan keadaan darurat. Jadi, tidak apa-apa jika kita terpaksa melakukannya.”
"Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu? Yuk, Kak!" ajak Sinta seraya mengambil ancang-ancang untuk memanjat lebih dulu.
Saat itu Haris langsung membantu adiknya untuk memanjat. Tak lama kemudian, dia pun segera menyusul naik. Kini Haris sudah turun ke pekarangan dan sedang membantu adiknya turun. Sementara itu di dalam anjungan, Bobby masih berbincang-bincang dengan Gita. Dia menanyakan segala hal yang berhubungan dengan pengangkatan dirinya sebagai kapten yang baru. Kini Bobby bisa memahami kenapa dirinya diangkat menjadi kapten. Rupanya pesawat itu sudah lama tidak berpenghuni. Jadi, siapa saja yang pertama kali duduk di kursi itu akan diangkat oleh Gita sebagai kapten yang baru. Sebab, Gita mempunyai program yang secara otomatis akan mengambil putusan mengenai itu.
Ketika Gita mulai bercerita mengenai sebab-sebab terdamparnya pesawat, tiba-tiba Bobby teringat akan sesuatu. Saat itu dia langsung melirik jam di tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. "Gawat… Sore ini kan aku akan berlatih tanding dengan guru silatku. Kalau begitu, aku harus segera pulang," kata Bobby dalam hati. "O ya, Gita. Sekarang bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke tempat semula?" tanya Bobby kepada SGS yang bernama Gita itu.
"Itu mudah saja. Setiap melakukan perpindahan, Kaptrans (Kapsul Transportasi) secara otomatis akan merekam koordinat lokasi sebelumnya. Dengan demikian, kamu bisa kembali ke tempat semula dengan menggunakan koordinat itu," jelas Gita menjawab pertanyaan Bobby.
"O ya, apakah alat yang kamu sebut Kaptrans itu selalu menggunakan tenaga surya untuk mengoperasikannya?" tanya Bobby lagi.
"Sebenarnya penggunaan tenaga surya hanya untuk pengisian darurat, yaitu ketika Kaptrans tidak mempunyai tempat bersandar untuk melakukan pengisian tenaga. Namun setiap kali Kaptrans bersandar pada mesin induknya, yaitu di pesawat ini, maka Kaptrans secara otomatis akan melakukan pengisian. O ya, Bobby. Jika kau ingin mengoperasikan Kaptrans dengan mode bahasa Indonesia aku bisa mengaktifkannya sekarang," jelas Gita.
"Kalau begitu, Lakukanlah!" perintah Bobby.
Setelah berkata begitu, Bobby pun segera memasuki Kaptrans dan menyentuh layar monitor untuk mengoperasikannya. "Pilih tujuan anda… Indonesia dipilih… Jakarta dipilih…" Setelah peta Jakarta terpampang di layar monitor, Bobby pun segera menyentuh sebuah titik merah, yaitu tanda lokasi sebelumnya.  "Apakah Anda siap meluncur menuju koordinat ini?" tanya pemandu Kaptrans. Mengetahui itu, Bobby pun segera menyentuh tombol ‘Ya’. Bersamaan dengan itu, lagi-lagi Bobby mengalami perasaan yang sama ketika pertama kali dia  menggunakan alat transportasi itu.
Kini Bobby  sudah kembali ke tempat semula yaitu di dalam gudangnya. Namun ketika dia baru keluar dari Kaptrans, dilihatnya Haris dan Sinta sedang terpaku di ruangan itu. Saat itu, wajah keduanya tampak seperti orang kebingungan.
"Kak Bobby! Apa yang telah terjadi? Sebenarnya benda apa itu?" tanya Sinta heran.
"Ya, Bob. Apa yang telah terjadi? Kenapa tiba-tiba kau muncul dengan benda itu?"  timpal Haris.
"Nanti akan kuceritakan. Kalian pasti tidak akan percaya dengan pengalaman yang baru kualami," kata Bobby menggebu-gebu.
Setelah menutupi Kaptrans dengan sebuah terpal, akhirnya Bobby mengajak kedua sahabatnya menuju ke beranda belakang. Setibanya di tempat itu, Bobby langsung menceritakan pengalamannya secara singkat, yaitu dari mulai menggunakan Kaptrans sampai dengan keberadaannya di pesawat luar angkasa. Hingga akhirnya, "Oke, teman-teman. Aku harus segera berkemas. Sore ini aku akan latihan di padepokan. Nanti malam pasti akan kuceritakan lagi," janji Bobby.
"Ceritamu benar-benar sukar untuk dipercaya, Bob. Tapi biar bagaimanapun, aku betul-betul penasaran ingin mengetahui kelanjutannya. Nanti malam, aku pasti akan kemari lagi," kata Haris seraya berdiri dari duduknya..
"Ya, aku juga," timpal Sinta seraya ikut berdiri.
Tak lama kemudian, Bobby sudah mengantarkan kedua sahabatnya hingga ke depan gerbang. “Hati-hati di jalan ya!” ucapnya kepada kedua sahabatnya itu.
"Oke, Bob. Sampai bertemu nanti," pamit Haris seraya mulai melangkah. "Yuk, Sin!" ajaknya kemudian.
"Sampai nanti, Kak. O, ya sepulang dari sini aku akan membuat kue. Nanti malam kita bisa menikmatinya bersama-sama," Sinta berjanji.
Bobby mengangguk, sedang di bibirnya tampak tersungging senyuman tipis. Setelah kedua sahabatnya pergi, Bobby segera berkemas untuk pergi latihan. Tak lama kemudian, dia sudah mengeluarkan sepeda motornya dan memarkirnya di depan garasi. Sejenak dia memanaskan mesin motornya lebih dulu. Sesekali ditariknya tali gas hingga penuh dan seketika menimbulkan suara yang terdengar menderu keras sampai ke dada. Setelah mesin motornya dirasa cukup panas, Bobby pun segera berangkat menuju ke padepokan.
Setibanya di padepokan, Bobby langsung mengenakan pakaian silat dan bergegas ke ruang latihan. Setibanya di tempat itu, dilihatnya sang Guru tampak sedang memimpin pemanasan. Lalu dengan segera pemuda itu menghampirinya, "Maaf Guru, saya terlambat!" katanya dengan nada menyesal.
"O, kau Bob. Tumben kau datang terlambat, " komentar sang Guru.
"Maaf, Guru! Tadi saya ada sedikit urusan," kata Bobby memberi alasan.
"Ya, sudah. Lain waktu jangan terlambat lagi ya!" pesan sang Guru.
"Terima kasih, Guru!" ucap Bobby seraya bergegas bergabung dengan teman-temannya.
Selepas melakukan pemanasan, sang guru tampak memberikan aba-aba untuk duduk membentuk lingkaran. Saat itu, Bobby dan teman-temannya langsung melaksanakan instruksi itu, hingga akhirnya mereka semua sudah  melingkar membentuk sebuah arena.
"Bobby, lekas ke mari...!" panggil sang guru yang sudah berdiri di tengah-tengah arena.
"Ya, Pak!" sahut Bobby seraya bergegas menghampiri gurunya.
"Sesuai janji Bapak kemarin lusa, sekarang Bapak akan menjadi lawan tandingmu," kata sang Guru seraya mempersilakannya untuk bersiap-siap.
Tak lama kemudian, Bobby dan guru silatnya tampak sudah siap bertarung—mereka sudah memasang kuda-kuda dan sedang memainkan kembangan. Saat itu Bobby betul-betul merasa resah lantaran kondisinya yang tidak prima. Maklumlah, sejak kemarin dia tidak sempat berlatih lantaran sibuk membuat kolam ikan dan menyelidiki pesawat. Namun begitu, dia tetap nekad untuk melawan gurunya dengan sungguh-sungguh. Kini dia sudah mengeluarkan jurus pertamanya, yaitu Naga Mengintai, sebuah jurus yang terdiri dari beberapa gerakan guna membuka titik kelemahan lawan.
Jurus demi jurus terus dikeluarkannya oleh Bobby dan gurunya dengan begitu cekatan. Saat itu, teman-teman sepadepokannya terdengar riuh—bersorak kagum menyaksikan pertarungan yang tampak begitu seru. Bobby masih terus bertarung melawan sang Guru dengan penuh semangat, namun setelah 20 jurus, staminanya tampak mulai menurun. Saat itu, nafasnya sudah sangat tersengal-sengal, bahkan keringatnya pun sudah kian banyak bercucuran. Pada kondisi itu, tiba-tiba saja sebuah pukulan keras tampak mengarah ke wajahnya. Untunglah saat itu Bobby segera menangkis serangan itu dan segera mundur menjauh. "Waduh, hampir saja. Jika terus begini, aku pasti akan kalah," keluhnya seraya memasang kuda-kuda dan mulai memainkan kembangan lagi.
Tak lama kemudian, Sang Guru sudah kembali melancarkan serangan, saat itu Bobby tampak berusaha mengimbanginya dengan sekuat tenaga. Beberapa menit kemudian, Bobby sudah kembali terdesak, namun begitu dia masih berusaha untuk bertahan. Setelah agak lama berusaha, akhirnya Bobby merasa kewalahan juga. Sepertinya saat itu konsentrasinya sudah kian buyar dan membuatnya tak mampu lagi mengantisipasi serangan-serangan sang Guru. Benar saja, dalam waktu singkat sebuah hantaman keras sudah bersarang di dadanya. Tak ayal, seketika itu tubuhnya langsung terlontar jauh dan jatuh terlentang.
Kini pemuda itu tampak meringis menahan sakit, kemudian dengan sekuat tenaga dia berusaha bangkit kembali. Namun belum sempat dia memasang kuda-kuda, tiba-tiba sebuah tendangan menyamping langsung menyambar pipi kirinya. Tak ayal, saat itu tubuhnya langsung terpelanting dan berputar sampai beberapa kali, hingga akhirnya ia terjerembab ke lantai dan tak berkutik lagi. Mengetahui itu, dengan segera sang guru menghampiri dan membantunya untuk berdiri. "Kau, tidak apa-apa, Bob?” tanyanya khawatir.
“Alhamdulillah… Guru. Aku tidak apa-apa, aku hanya sedikit merasakan sakit dan kehabisan tenaga.“
“Syukurlah kalau kau tidak mengalami cidera yang parah. O ya, sebetulnya apa yang membuatmu demikian? Kau itu tidak seperti biasanya. Belum sampai empat puluh jurus kau sudah kalah. Hmm… apa mungkin selama dua hari ini kau tidak berlatih di rumah dan kurang istirahat? Apa benar begitu, Bob?" tanya sang Guru.
Bobby mengangguk. Mengetahui itu, sang Guru langsung geleng-geleng kepala, "Bob, dengarkan aku! Kalau kau malas berlatih, bagaimana mungkin kau bisa mengikuti turnamen tahun ini?" tanyanya dengan nada kecewa.
"Maaf kan saya, Pak!  Dua hari ini saya memang tidak sempat berlatih lantaran sibuk."
"Sudahlah, Bob! Aku tidak mau mendengar alasan macam-macam. Begini saja, jika kau memang tidak mau berlatih dengan sungguh-sungguh, terpaksa Bapak akan menunjuk orang lain untuk menggantikanmu mewakili padepokan kita pada turnamen tahun ini," ancam sang Guru.
"Sekali lagi saya minta maaf, Guru! Mulai hari ini saya berjanji akan lebih giat berlatih dan tidak mengulanginya lagi, sebab saya memang ingin sekali mengikuti turnamen itu," ucap Bobby dengan penuh penyesalan.
Mengetahui itu, sang Guru langsung menepuk-nepuk pundak Bobby. “Baiklah… pegang janjimu itu!” pinta sang Guru seraya mempersilakan pemuda itu untuk kembali ke tempat duduknya. Tak lama kemudian, Bobby sudah kembali duduk di tempatnya semula guna menyaksikan pertarungan kedua temannya yang saat itu baru saja memasuki arena.

 

Sepulang latihan, Bobby segera mandi, kemudian beristirahat di sofa sambil menonton televisi guna menyimak acara yang menjadi favoritnya, yaitu sebuah acara kerohanian yang isinya selalu mengajak pemirsanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Sekitar pukul tujuh, Bobby tampak bersantai di teras depan sambil membaca sebuah majalah Jihad. Sebuah majalah yang isinya memuat perkara jihad, dari jihad membangun diri hingga melawan tentara setan. Ketika sedang asyik membaca, tiba-tiba bel rumahnya berbunyi.
"Nah… itu pasti mereka," duga Bobby seraya berdiri dan bergegas menuju pintu gerbang. Ternyata dugaannya tidak meleset, yang datang memang Haris dan Sinta, kemudian dengan segera dia membukakan pintu dan mempersilakan kedua sahabatnya masuk. Kini ketiganya tampak sudah duduk di berada belakang untuk melanjutkan perbincangan sore tadi.
“O ya, Sin. Ngomong-ngomong, mana kuenya?” tanya Bobby menagih janji gadis itu. 
"Wah, ternyata ingatan Kakak soal makanan bagus juga ya," kata Sinta menyindir. “Ini  kuenya, Kak,” kata gadis itu lagi seraya meletakkan kue yang dibawanya di atas meja.
"Eng, kalau begitu tunggu sebentar ya! Aku akan membuatkan minum dulu, sekaligus mau mengambil pisau untuk memotong kue itu," kata Bobby seraya beranjak ke dapur.
Tak lama kemudian, pemuda itu sudah kembali dengan membawa tiga gelas minuman dan sebuah pisau bergerigi, kemudian segera meletakkannya di atas meja. Setelah itu, dia segera  duduk kembali di hadapan kedua sahabatnya. Pada saat yang sama, Sinta terlihat sedang memotong kue yang dibawanya.
"Ayo deh, dimakan!" tawar Sinta.
Tanpa ragu, Bobby pun segera mengambil kue itu dan menikmatinya dengan begitu lahap. "Mmm… kue buatanmu enak juga, Sin. Andai kamu mau sering-sering membawanya ke mari, tentu akan lebih enak lagi," katanya asal.
"Huh, maunya!" kata Sinta mengomentari.
"Ayo dong, Bob. Lekas cerita!” Pinta Haris yang tampak sudah begitu tak sabar. Begitu dia melihat Bobby sedang mengambil sepotong kue lagi, lantas dengan segera pemuda itu kembali bicara, ”Aduh, Bob! Kita ke sini kan mau mendengar ceritamu, bukannya cuma mau makan kue," keluhnya agak jengkel.
"Iya, nih! Bukannya lekas cerita, eh malah makan melulu," timpal Sinta yang juga mulai jengkel.
Bobby yang saat itu baru menghabiskan kuenya segera angkat bicara, "Iya, iya… Aku akan segera bercerita.  Tapi… setelah yang satu ini ya!” katanya seraya mengambil sepotong kue lagi.
"Huh, dasar!" balas Sinta bertambah jengkel lantaran melihat Bobby makan kue lagi.
Sambil terus menikmati kue buatan Sinta, akhirnya Bobby mulai menceritakan kejadian yang dialaminya. Saat itu, Haris dan Sinta tampak mendengarkannya dengan begitu antusias, bahkan keduanya sempat geleng-geleng kepala karena takjub.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, saat itu jam di pergelangan tangan Bobby sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Karena malam sudah semakin larut, akhirnya Haris dan Sinta berpamitan untuk pulang ke rumah.

 

Esok paginya, Bobby tampak sedang menyiapkan sarapan paginya—sepotong roti bakar isi telur dan secangkir teh manis. Kini dia sedang menikmatinya di teras belakang sambil membaca koran dan menunggu teman-temannya datang. Beberapa jam kemudian, terdengarlah suara bel yang berbunyi keras. Mengetahui itu, dengan segera Bobby beranjak ke muka rumah.
“Hi, Bob! Assalam…!” ucap Haris dan Sinta serempak dari di balik pintu gerbang.
"Hai kalian! Waalaikum…!" balas Bobby dengan wajah yang tampak begitu berseri-seri. "Bagaimana...? Apakah kalian sudah siap untuk menuju ke tempat yang akan membuat kalian takjub?" tanyanya seraya membukakan pintu untuk kedua sahabatnya.
"Tentu saja, Bob. Semalaman aku sempat tidak bisa tidur karena memikirkan hal itu," jawab Haris.
"Iya, Kak. Aku juga. Setelah mendengar ceritamu semalam, aku benar-benar penasaran ingin segera melihatnya," timpal Sinta.
"Baiklah... kalau begitu ayo kita berangkat!" ajak Bobby bersemangat.
Tak lama kemudian, ketiganya tampak sudah melangkah menuju gudang. Setibanya di ruangan itu, mereka langsung memasuki benda yang bernama Kaptrans. Sesuai dengan cara yang pernah dilakukannya kemarin, Bobby pun segera mengoperasikan benda itu. Bersamaan dengan itu, Kaptrans tampak mulai diselubungi oleh seberkas sinar putih yang menyilaukan. Seiring dengan hilangnya sinar itu, Kaptrans pun menghilang dari pandangan, dan dalam sekejap, alat transportasi itu sudah bersandar di pesawat.
Kini pintu Kaptrans sudah terbuka lebar, saat itu Haris dan Sinta langsung terperangah melihat isi ruangan yang tampak begitu menakjubkan, bahkan mata mereka hampir tak berkedip—mengagumi teknologi yang begitu canggih. Sementara itu, Bobby tampak tersenyum saja melihat tingkah mereka, kemudian dengan santai dia melangkah menuju ke ketiga kursi yang berada di tengah ruangan. Melihat itu, Haris dan Sinta segera mengikuti. Kini Bobby sudah duduk di kursi yang berada di tengah. Tanpa ragu, Sinta pun segera mengikutinya dengan duduk di kursi sebelah kiri, sedangkan Haris segera mengikutinya dengan duduk di kursi sebelah kanan. Sama seperti kejadian tempo hari, monitor raksasa yang ada di hadapan mereka mendadak menampilkan wajah wanita bercadar.
"Assalam… Selamat datang, Bobby!" sapa sistem pemandu yang bernama Gita.
"Walaikum…" balas Bobby.
Pada saat yang sama, Haris dan Sinta cuma terpaku menatap wanita bercadar itu.
"Gita? Kenalkan! Ini kedua sahabatku, yang di sebelah kiriku bernama Sinta dan yang di kananku ini bernama Haris," jelas Bobby memperkenalkan kedua sahabatnya.
"Senang berkenalan dengan kalian," ucap Gita kepada keduanya. "O ya, Bobby. Kemarin kamu tidak sempat mendengarkan penjelasan saya. Karena itulah, sekaranglah saatnya saya menjelaskan semuanya. Pada kesempatan ini, saya akan menjelaskan tentang keberadaan pesawat ini. Kemudian setelah itu, saya pun akan memberitahukan berbagai fasilitas yang ada di pesawat ini. Nah, saya harap kalian mau menyimaknya dengan penuh seksama!" Seketika itu, Gita langsung menjelaskan apa yang dikatakannya tadi, bahkan dia pun memvisualisasikannya melalui layar raksasa. Pada saat yang sama, Bobby, Haris, dan Sinta tampak menyimaknya sesuai dengan anjuran Gita.
Ternyata pesawat itu berasal dari tahun 2030, sebuah masa keemasan Islam yang telah mendorong ilmu pengetahuan hingga mampu berkembang dengan begitu pesat. Pada masa itu, Ilmuwan muslim yang ingin memahami hakikat penciptaan berencana untuk menguji kebenaran Relatifitas Waktu dan sekaligus untuk memperlajari Matrix Takdir Lauhul Mahfuz. Karena itulah, mereka segera membentuk sebuah team yang ditugaskan untuk mempelajarinya. Karena saat itu teknologi sudah sedemikian canggih, akhirnya dengan mudah mereka bisa pergi ke zaman yang mereka kehendaki, yaitu dengan memanfaatkan gerbang waktu di ruang angkasa yang dikenal dengan lubang hitam atau lubang cacing.
Ketika team itu sedang berada di suatu zaman, yaitu disaat para pedagang muslim asal Gujarat sedang memilih takdir mereka untuk mengenalkan Islam ke Indonesia, maka terjadilah peristiwa yang tidak diduga-duga. Kerusakan yang cukup parah telah menimpa mesin utama pesawat, hingga akhirnya pesawat itu terpaksa mendarat dadurat di sebuah danau yang cukup dalam. Karena kerusakan mesin pesawat yang tidak mungkin diperbaiki serta persediaan makanan yang semakin menipis, akhirnya sang Kapten memutuskan untuk mengevakuasi para awaknya yang berjumlah sembilan orang. Pada saat itu, sang Kapten berniat mengirim mereka pulang ke zamannya dengan menggunakan Kapwak (kapsul waktu) yang ada di pesawat.
Setelah sebuah kapsul yang memuat tiga orang terisi, sang Kapten segera menentukan tahun pendaratan dan segera mengirim Kapwak ke lubang cacing. Kapsul pertama itu berhasil diluncurkan dengan selamat. Selanjutnya sebuah Android diminta untuk mengambil kapsul kedua dari ruang kargo. Android adalah robot dengan kepandaian yang bisa berkembang atau berevolusi seiring dengan perjalanan waktu. Android dapat menangkap informasi baru dan menganalisanya, kemudian menyimpannya ke dalam data base-nya. Semua itu bisa dilakukan berkat adanya program Artificial Intelligence yang sudah dikembangkan menjelang abad ke-21.
Di ruang kargo masih ada tiga buah kapsul lagi, lalu Android itu segera mengambil kapsul kedua dan meletakkannya di Mesin waktu. Tak lama kemudian, kapsul kedua itu pun berhasil ditransfer dengan selamat. Lalu disusul dengan kapsul ketiga yang juga berhasil ditransfer dengan selamat. Namun ketika Android itu akan mengangkat kapsul keempat, tiba-tiba sistem mekaniknya mengalami kerusakan—perangkat hidrolik yang menggerakkan kedua lengannya tidak bisa difungsikan. Karena itulah kedua lengannya yang masing-masing mempunyai empat buah jari tidak bisa mengangkat Kapwak.
Saat itu, sang Kapten sadar, sebagai manusia biasa dia tidak mungkin bisa mengangkat kapsul keempat itu ke mesin waktu sendirian. Karenanyalah, sang Kapten berusaha keras untuk bisa memperbaiki si Android. Namun ternyata, pria itu sama sekali tak kuasa mengalihkan takdir buruknya—saat itu sang Kapten sudah tak mampu lagi memperbaiki Android yang ternyata mengalami kerusakan cukup parah. Hingga akhirnya, dia terpaksa menerima takdir buruk itu dan memilih pasrah pada Sang Pencipta. Sungguh karena ketidakmampuannya  itulah, akhirnya pria itu terpaksa tinggal di zaman itu.
Andai saja pada masa itu Kapwak sudah bisa dioperasikan dua arah, tentu sang Kapten bisa dengan mudah kembali ke zamannya, yaitu dengan cara memanggil Kapwak yang sudah diluncurkan agar segera kembali pulang ke pesawat. Namun, lagi-lagi takdir memang mengharuskannya demikian. Hal itu terjadi karena para ilmuwan tak kuasa membuat Kapwak yang seperti itu lantaran tidak adanya sumber tenaga yang mencukupi. Pada masa itu, Kapwak hanya bisa dioperasikan dengan mengandalkan tenaga yang ada di pesawat. Sebab, agar kapsul waktu itu bisa kembali pulang ke pesawat, maka Kapwak harus menggunakan tenaganya sendiri, dan tenaga itu haruslah besar. Pada masa itu, hanya pesawat itu saja yang bisa pulang-pergi ke setiap zaman lantaran telah dilengkapi dengan sumber tenaga yang sangat besar. Hal itu dimungkinkan karena pesawat itu telah menggunakan kristal inti pusat bumi yang tinggal satu-satunya sebagai penguat tenaganya.
Karena itulah, takdir buruk sang Kapten yang memang harus terdampar di masa itu tak dapat dielakkan. Demi mempertahankan kehidupannya, akhirnya sang Kapten keluar dari pesawat dengan menggunakan Kaptrans (Kapsul Transportasi). Kaptrans adalah sebuah alat transportasi yang sebagian besar prosesnya dikendalikan oleh pesawat, yaitu dengan cara menguraikan molekul kapsul tersebut beserta isinya, kemudian memindahkannya ke lokasi yang sudah ditentukan. Setelah tiba di lokasi yang dituju, molekul yang sudah terurai tadi disatukan kembali. Koordinat lokasi peluncuran dan pendaratannya ditentukan dengan mengandalkan satelit GPS (Global Positioning System).
Kini yang menjadi pertanyaan Bobby adalah, kenapa Kaptrans bisa berada di halaman belakang rumahnya? Saat itu Gita tidak bisa menjelaskan hal itu, yang dia tahu, sang Kapten menggunakan alat transportasi itu sampai beberapa kali, hingga akhirnya koordinat  terakhir yang tercatat memang berlokasi di halaman belakang rumah Bobby. 
“Hmm… apa mungkin sang Kapten tewas saat menjelajahi alam liar, dan karena ajal yang tak diduganya itulah, akhirnya Kaptrans menjadi tak bertuan. O ya, tadi kau juga menceritakan tentang satelit Galileo yang diluncurkan pada abad ke 21, yang mana menjadi awal teknologi penentuan koordinat dengan tepat. Lalu, bagaimana pada masa lalu sang Kapten bisa menggunakan Kaptrans, bukankah pada masa itu belum ada teknologi tersebut?"
"Itu mudah saja. Pada tahun itu mereka meluncurkan sebuah satelit GPS yang lebih canggih, yaitu satelit Galipa generasi terakhir. Maka dengan satelit itulah segalanya bisa dimungkinkan. Satelit canggih itu sengaja dilengkapi dengan sistem penghancur diri otomatis, yang mana akan hancur dengan sendirinya pada saat yang sudah ditentukan. Itu dilakukan semata-mata agar tidak terjadi perubahan sejarah. Saat ini, di masa kalian. Agar bisa menentukan koordinat Kaptrans, mau tidak mau hanya mengandalkan satelit Galileo yang sudah terbilang kuno itu," jelas Gita.
“Hmm… tadi kau sempat bilang soal penghancur diri. Lalu, kenapa pesawat ini dan juga Kaptrans itu tidak dilengkapi dengan penghancur diri.”
“Sebetulnya, keduanya sudah dilengkapi dengan penghancur diri. Namun, mode penghancuran itu tidak secara otomatis, melainkan harus dengan persetujuan sang Kapten.”
“Hmm… kalau begitu jelas sudah, ternyata semua itu akibat kelalaian sang Kapten yang menyangka umurnya masih panjang, sehingga dia merasa belum perlu untuk mengaktifkan mode penghancuran.”
Setelah puas bertanya-tanya dengan Gita, akhirnya Bobby, Haris, dan Sinta mulai berembuk—membicarakan berbagai hal yang baru saja mereka ketahui.
"O ya, Kak Bobby. Bagaimana kalau sekarang kita berkeliling untuk melihat-lihat pesawat ini!" ajak Sinta.
"Iya, Bob! Aku juga ingin sekali mencoba fasilitas komputer di sini," timpal Haris.
"Sebentar! Aku ada ide... Bukankah Gita bilang di pesawat ini ada Android penunjang pesawat. Bagaimana kalau kita aktifkan Android itu? Bukankah Gita bilang kalau Android itu bisa membantu kita dalam upaya mendapatkan informasi yang kita butuhkan," usul Bobby.
"Benar juga. Aku setuju sekali, Bob," Haris sependapat.
“Aku juga,” Sinta menimpali.
“Kalau begitu, apa yang kita tunggu. Ayo kita segera menuju ruang Android itu!” Ajak Bobby penuh semangat.
Namun belum sempat mereka melangkah, tiba-tiba Gita langsung menahan, "Tunggu dulu, Bobby!" pintanya pada pemuda itu.
Seketika Bobby, Haris, dan Sinta kembali melihat ke arah monitor.
"Ada apa, Gita?" tanya Bobby.
"Aku ingin memberitahukan bahwa pada sebuah lemari di ruangan ini tersimpan beberapa Alkom (alat komunikasi) yang berbentuk seperti telepon genggam. Kemampuan Alkom itu adalah sebagai alat multi fungsi. Alat itu, selain untuk berkomunikasi dengan sesama pengguna Alkom, juga bisa digunakan untuk berkomunikasi kepadaku, maupun kepada Android yang ada di pesawat ini. Selain itu, alat tersebut juga mempunyai beberapa kemampuan lain yang tak kalah hebat."
Gita pun segera menjelaskan semua kemampuan alat itu kepada mereka. Setelah itu, Bobby tampak bergegas ke lemari yang dimaksud. Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan membawa tiga buah Alkom yang langsung dibagikan kepada kedua sahabatnya. Setelah mengantongi Alkom-nya masing-masing, mereka pun segera berangkat ke ruang pemantau—tempat Android berada.
Kini mereka sudah tiba di ruangan itu, sesaat ketiganya sempat terpaku melihat isi ruangan yang tampak begitu canggih. Di setiap sisi ruangan tampak berjajar panel komputer dengan tombol yang berwarna-warni, sedangkan di tengah ruangan—tepatnya di sebelah kiri terdapat sebuah Android yang sedang bersandar pada sebuah mesin, dan di bagian sebelah kanan—agak jauh dari mesin itu tampak tersanggah sebuah kostum dengan kombinasi warna hitam, merah, dan kuning. Wajah kostum itu adalah topeng berwarna kuning dengan sebuah gambar bintang di dahinya. Kostum itu tersanggah di atas sebuah mesin penyangga yang dirancang khusus.
Bobby, Haris, dan Sinta segera melangkah mendekati mesin yang menjadi tempat Android bersandar, kemudian mereka mengamati mesin itu dengan penuh seksama. Rupanya mesin itu digunakan untuk memprogram, memeriksa, maupun untuk mengisi tenaga Android. Kini mereka sedang mengamati Android yang sedang bersandar di mesin itu. Bentuknya cukup unik, kakinya menyerupai kaki laba-laba yang terbuat dari baja ringan, sedangkan tubuhnya berbentuk persegi delapan dan dilengkapi dengan sepasang lengan yang masing-masing mempunyai empat buah jari. Kepalanya berbentuk oval dengan bagian agak lancip ke belakang, dan bisa berputar hingga 360 derajat. Di bagian sisi kiri dan kanan kepalanya terpasang microphone yang berfungsi sebagai alat pendengaran, sedangkan di atas kepalanya juga terpasang sebuah alat pendengaran yang sangat canggih, bentuknya seperti para bola mini yang bisa keluar masuk dan mempunyai kemampuan untuk menangkap suara dari jarak yang sangat jauh. Pada dahinya terdapat sebuah proyektor yang berguna memproyeksikan informasi berupa gambar tiga dimensi (3D Visual Hologram), proyektor itu mempunyai penutup yang dapat bergeser ke bagian atas. Kedua matanya adalah kamera yang mempunyai kemampuan luar biasa, yaitu mampu melihat dalam gelap seperti menggunakan teropong malam (Night vision), selain itu juga mampu melihat dengan pandangan panas seperti penglihatan ular (Infra red), dan yang lebih hebat lagi adalah, kedua matanya itu mampu melihat menembus benda seperti pendeteksi di bandara (x ray), dan juga mampu menembus jaringan kulit seperti alat pendeteksi kehamilan (USG). Mulutnya adalah sebuah speaker yang mampu mengeluarkan suara dengan berbagai frekuensi.
“Canggih!” komentar Sinta kagum.
“Yup, teknologi robot yang sempurna,” timpal Haris.
“Layaknya robot di dalam film science fiction saja ya?”  kata Bobby hampir tak mempercayainya.
Ketika mereka sedang asyik mengagumi Android itu, tiba-tiba sebuah monitor di ruangan itu tampak menampilkan wajah bercadar Gita. "Hallo, Bobby? Saya ingin memberitahumu bahwa Android itu perlu diprogram ulang agar dia bisa mengenali kalian bertiga sebagai tuannya, dan kau bisa memprogramnya menggunakan mesin penunjang kehidupannya," jelas Gita menginformasikan, kemudian dengan segera dia menjelaskan cara menggunakan mesin itu dan juga cara memprogram ulang.
Saat itu, Bobby betul-betul bingung dengan penjelasan Gita yang berbicara dengan menggunakan berbagai istilah mengenai pemprograman komputer. Maklumlah, selama ini Bobby memang cuma mampu mengoperasikan komputer, sedangkan untuk pemprograman komputer jelas dia tidak familiar sama sekali. Namun tidak demikian halnya dengan Haris, saat itu dia paham betul dengan apa yang dikatakan Gita. Lalu, dengan segera dia mengoperasikan mesin penunjang kehidupan Android itu dan mulai memprogram ulang. Pada saat yang sama, Bobby dan Sinta hanya bisa terpaku—memperhatikan Haris yang terlihat begitu sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa menit kemudian, pemuda berkaca mata bulat itu tampak beranjak memasuki tabung kaca yang ada di sebelah mesin itu.
"Har? Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mau masuk ke tabung itu?" tanya Bobby khawatir.
"Tenang…! Aku hanya mau melakukan scanning guna memasukkan data diriku ke dalam komputer yang ada di mesin itu," jelas Haris.
Tak lama kemudian, dari atas tabung itu tampak selingkar sinar Hijau yang terus bergerak turun hingga ke bagian bawahnya, kemudian disusul dengan sinar biru dan merah. Setelah itu, Haris tampak bergegas keluar tabung dan kembali ke tempat duduknya.
"Nah… sekarang giliranmu, Bob!" pinta pemuda itu.
Saat itu Bobby langsung menurut, dengan tanpa rasa takut dia pun segera memasuki tabung scanning. Setelah selesai, Sinta pun diminta agar segera masuk ke tabung itu. Setelah ketiganya melakukan scanning, Haris mulai melanjutkan prosedur selanjutnya, yaitu merekam frekuensi suara masing-masing. Setelah prosedur itu dilakukan, akhirnya Haris kembali melanjutkan pekerjaannya.
Beberapa menit kemudian, pekerjaan memprogram ulang Android itu akhirnya selesai. Kini Haris sedang bersiap-siap untuk mengaktifkannya. Saat baru diaktifkan, Android itu tampak bergerak dengan perlahan—menegakkan kakinya yang seperti laba-laba, kemudian dengan perlahan pula dia mulai melangkah keluar dari mesin penunjang kehidupannya. Kini Android itu tampak memutar kepalanya untuk melihat ke sekeliling ruangan, kemudian kedua matanya tampak bergerak maju mundur—memperhatikan Bobby, Haris, dan Sinta yang saat itu telah terdeteksi sebagai objek utama.
Saat diperhatikan seperti itu, Sinta langsung bergegas sembunyi di belakang Haris, rupanya gadis itu benar-benar takut melihat Android yang terlihat laksana monster siap mencari mangsa. Sementara itu, Bobby hanya terpaku menyaksikan Android yang baginya sangat menakjubkan. Namun, sungguh dia tidak mengerti, kenapa Android itu hanya diam di situ sambil terus memperhatikan mereka bertiga.
"Siapa namamu?" tanya Haris pada Android itu.
"Nama saya,  Rolab," sahut Android dengan nada berat dan intonasi yang kaku.
"Bagus… sekarang, siapa kami?" tanya Haris lagi.
"Kau adalah Haris, dan yang di sebelah kananmu bernama Bobby, sedangkan wanita yang sedang ketakutan itu bernama Sinta. Kalian bertiga adalah tuan saya," jawab Android itu.
"Nah… sekarang, apa tugasmu?" tanya Haris melanjutkan.
"Tugas saya melindungi kalian, membantu kalian, melayani kalian dan saya harus mematuhi semua perintah kalian," jawab Rolab patuh.
"Nah… sekarang, coba perlihatkan kemampuan yang kau miliki," pinta Haris kepada Rolab.
Lantas, dengan segera Rolab mendemonstrasikan segala kemampuannya dengan menggunakan visual hologram. Saat itu dari dahinya terpancar cahaya yang langsung memvisualisasikan segala materi yang sedang dijelaskannya. Selesai mendemonstrasikan semua kemampuan yang dimilikinya, akhirnya Android yang bernama Rolab itu kembali terdiam.
“Wow! Kemampuannya memang luar biasa,” komentar Bobby kagum.
“Ya, selain memiliki begitu banyak data mengenai semua hal penting, dia juga mampu menganalisa dengan akurat dan menampilkannya dalam bentuk visualisasi tiga dimensi. Sungguh dia itu seperti komputer dan perpustakaan yang bisa berjalan. Jadi, setiap kali kita memerlukan informasi penting, tentu kita bisa bertanya padanya,” timpal Sinta tak kalah kagum.
“Selain itu, dia pun mampu memperbaiki setiap kerusakan ringan yang terjadi di pesawat ini,” kata Haris menambahkan.   
"O ya, ngomong-ngomong kenapa namanya Rolab?" tanya Bobby penasaran.
"Habis aku tidak mempunyai alternatif lain, jadi kuberi nama dia ‘Rolab’, kependekan dari ‘Robot Laba-laba’. Maklumlah, bentuknya kan memang seperti laba-laba," jelas Haris.
"Mmm… Rolab… Ya, rasanya itu nama yang cocok buat dia," kata Bobby sambil tersenyum lebar.
"Ya, Rolab nama yang bagus," timpal Sinta seraya memberanikan diri untuk menyentuhnya.
Namun ketika disentuh, tiba-tiba Rolab memandang ke arahnya. Karena kaget, Sinta pun segera mundur selangkah. “Ke-kenapa kau memandangku seperti itu?” tanya Sinta ketakutan.
“Maaf Sinta. Hal itu sudah menjadi bagian rutin dari programku agar senantiasa bisa memperbaharui data,” jelas Rolab kepada gadis itu. “O ya, apa mungkin kau mau memerintahkan sesuatu kepadaku, Sinta?" tanyanya kemudian.
"Eng… Bi-bisakah kamu kembali ke mesin itu!" pinta Sinta dengan agak terbata.
"Tentu saja," kata Rolab seraya bergerak menuju ke mesin penunjang kehidupannya.
"Sin? Kenapa kau suruh dia kembali ke mesin itu? Bukankah kita memerlukannya sebagai pemandu untuk menjelajahi pesawat ini?" tanya Haris heran.
"Maaf deh! Habis… dia telah membuatku takut. Terus terang, aku khawatir kalau-kalau dia itu Android yang Mal Function dan akan menyakitiku," kata Sinta memberikan alasan.
"Kau tidak perlu takut, Sin! Dia tidak akan menyakitimu karena Mal Function, percayalah…! Sekarang, dengarkan aku baik-baik adikku sayang! Jelek-jelek begini, kakakmu ini adalah seorang programmer komputer yang bisa diandalkan. Ketahuilah, tadi aku sempat menyisipkan sebuah kode program yang bilamana ada Mal Function pada rutin kepatuhan, maka kode program yang aku sisipkan itu secara otomatis akan mengambil alih guna mematikan tenaganya.”
Mengetahui itu, Bobby segera menambahkan, "Benar apa yang dikatakan oleh kakakmu itu, Sin. Sebab, Kakakmu itu, selain jago elektronik, dia itu juga seorang programmer yang bisa diandalkan. Waktu itu, dia pernah menyusupkan program virus buatannya ke dalam komputerku, yang mana jika setiap waktu sholat tiba, komputerku pasti akan langsung dimatikan. Sebetulnya kakakmu itu berbuat demikian lantaran dia itu peduli padaku, yang mana tujuannya adalah untuk memberi pelajaran padaku yang sering menunda-nunda sholat lantaran sibuk di depan komputer. Karenanyalah, percaya saja kalau Android itu tidak akan menyakiti kita. Sebab, dia itu sudah diprogram untuk mematuhi setiap perintah kita. Justru dia itu akan senantiasa melindungimu," jelas Bobby memberi keyakinan.
Mendengar penuturan itu, akhirnya Sinta tak takut lagi. "O ya, ngomong-ngomong... Bukankah lengan Rolab sedang mengalami kerusakan?" kata Sinta tiba-tiba.
"Ya, itu memang benar. Karenanya itulah, untuk sementara ini kita tidak mungkin bisa menyuruhnya untuk melakukan pekerjaan yang menggunakan kedua tangannya," timpal Haris.
"Kak... Bagaimana kalau aku yang memperbaikinya. Aku menduga, mungkin saja ada kebocoran pada mekanik hidroliknya."
"Eng… Atau mungkin juga ada kerusakan pada sirkuit hidroliknya," timpal Haris kemudian.
"Kalau begitu, sebaiknya kita bongkar saja," saran Bobby bersemangat.
Lalu tanpa menunda-nunda lagi, mereka pun segera membuka semua bagian yang menjadi penutup sistem mekanik bagian lengan.
"Wah, tidak seperti dugaanku! Sistem mekaniknya rumit sekali. Sepertinya akan memakan waktu yang lumayan lama untuk mempelajarinya," keluh Sinta.
"Ya, sirkuitnya pun tampak rumit sekali. Kalau begitu, sebaiknya kita tutup kembali saja," saran Haris.
"Ya, lain waktu saja baru kita bongkar lagi," timpal Bobby. 
Tak lama kemudian, Bobby dan Haris tampak sibuk memasang kembali setiap bagian yang telah mereka lepas. Sementara itu, Sinta tampak sedang mengamati kostum yang berada di sebelah kanan ruangan. Tanpa sengaja, tangannya menyentuh sebuah tombol yang ada di mesin penyangga kostum. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba dari mesin penyangga tampak keluar lengan-lengan robot yang langsung mengarah ke setiap bagian depan kostum dan segera menguncinya, lalu dengan serta-merta kembali bergerak dan membuat setiap bagian depan kostum tampak terpisahkan. Bagian wajah, leher depan, dada, perutnya, dan bagian depan lainnya. Masing-masing tampak dipegang oleh lengan-lengan robot yang keluar tadi. Sekarang yang tampak hanya tinggal bagian belakang kostum yang tetap masih berada di tempatnya. Saat itu, Sinta cuma bisa terpaku melihatnya. Sementara itu, Bobby dan Haris yang sempat menyaksikan kejadian itu langsung bergegas menghampiri. Kini keduanya tampak sedang serius memperhatikan kostum yang kini telah terbuka.
"Bob? Sepertinya kostum ini siap digunakan. Coba kau perhatikan bagian ini!" kata Haris sambil meraba bagian belakang kostum. "Jika seseorang mengepaskan tubuhnya pada bagian belakang kostum ini, pasti lengan-lengan robot yang memegang setiap bagian depan kostum itu akan menyatukannya kembali secara otomatis."
"Ya, sepertinya memang begitu," kata Bobby membenarkan.
Mengetahui itu, Sinta segera angkat bicara, "Kalau begitu, bagaimana kalau salah satu dari kalian mencobanya!"
"Apa?" kata Bobby dan Haris serempak.
"Sin, ketahuilah! Aku ini belum tahu dampak dan kegunaan kostum itu. Terus terang, aku tidak mau jika disuruh mencobanya," tolak Haris dengan alasan yang tepat.
"Kalau kamu bagaimana, Kak Bobby?" tanya Sinta.
"Kenapa harus aku? Kenapa bukan kau saja, Sin?" Bobby malah balik bertanya.
"Aku kan perempuan, Kak. Masa sih aku harus mengenakan kostum yang dirancang untuk laki-laki," kata Sinta memberi alasan.
"Ups! Iya juga ya," kata Bobby seakan baru menyadari.
"Hmm… Bagaimana kalau kita tanyakan dampak dan kegunaan kostum itu kepada Rolab?" tanya Haris mengusulkan.
"Usul yang bagus, Har," ujar Bobby sependapat.
"Ya, jika ternyata aman, maka tidak ada alasan bagi kalian untuk tidak mencobanya,” kata Sinta menambahkan.
Tak lama kemudian, mereka sudah memanggil Rolab dan langsung menanyakan perihal kostum itu. Setelah mendapat jawaban yang memuaskan, mereka pun tampak saling berpandangan.
"Hmm… rupanya kostum itu digunakan untuk menjelajahi masa lalu," komentar Bobby membuka pembicaraan.
"Kau benar, Bob. Selain itu, kostum itu juga sudah diuji coba dan keamanannya betul-betul terjamin. Jadi, tidak ada salahnya jika kita mencoba mengenakannya," timpal Haris kemudian.
"Hmm… Bagaimana kalau aku saja yang mengenakannya?" Bobby menawarkan diri.
"Aku setuju, Kak Bobby,” kata Sinta menanggapi. “Bukankah kata Rolab tadi perlu ada seorang yang selalu memonitor kostum itu. Menurutku, yang paling familiar dengan hal itu adalah Kak Haris?" sambungnya kemudian.
"Kau benar, Sin,” kata Haris menimpali. “Lagi pula, kostum itu memang dirancang untuk orang yang mempunyai kemampuan bertarung. Jadi, hanya Bobby-lah yang lebih pantas mengenakannya. Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu. Ayo, Bob! Lekas kau bersandar di kostum itu! Aku sendiri akan segera memantaumu lewat monitor yang ada di belakang mesin penyangga,” kata Haris melanjutkan.
Tak lama kemudian, Haris sudah duduk di belakang monitor. Pada saat yang sama, Bobby tampak sedang mengepaskan tubuhnya pada bagian belakang kostum yang terbuka. Begitu tubuhnya sudah pas tersandar, ternyata kostum itu tidak terjadi apa-apa. “Lho, katanya jika aku sudah bersandar di sini, semua bagian depannya itu akan menutup dengan sendirinya. Tapi kenapa belum menutup juga?” tanya Bobby heran
“I ya, ya Bob. Kenapa tidak mau menutup ya?” timpal Haris juga merasa heran.
“Mungkin kostum itu sudah rusak, Kak,” kata Sinta menduga.
“Ya, aku rasa begitu,” Bobby sependapat. “Sebab, jika tidak tentu sang Kapten akan menggunakan kostum ini untuk mengangkat Kapwak,” lanjutnya kemudian.
“Kalian benar, kostum itu memang sedang rusak. Sebab, di monitor pemantau ini ada tulisan berwarna merah yang menyatakan kalau kostum itu tidak siap digunakan,” jelas Haris menimpali.
Mengetahui kenyataan itu, Sinta benar-benar kecewa. “Huh, dasar kostum tidak berkualitas. Masa, mudah sekali rusak,” keluh Sinta seraya menendang penyangga kostum dengan keras sekali. Pada saat itu, tiba-tiba saja semua bagian depan kostum yang terpisah tadi terpasang kembali ke tempatnya semula, dan tubuh Bobby yang masih bersandar pun langsung tertutup rapat oleh kostum itu.
“Li-lihat, Kak. Ko-kostum itu berfungsi,” kata Sinta hampir tak mempercayainya.
“Kau benar, Sin. Di monitor pemantau ini pun tulisan merah tadi sudah menghilang dan berganti dengan tulisan warna hijau yang menyatakan kalau kostum itu dalam kondisi prima dan siap digunakan,” jelas Haris dengan nada gembira.
“Kok bisa ya, Kak?” tanya Sinta dengan nada heran.
“Kau tidak perlu heran, Sin. Dulu saja, ahli komputer sempat bingung lantaran ada komputer yang rusak tanpa diketahui apa kerusakannya. Selidik punya selidik, ternyata ada seekor kutu yang mati dan menyebabkan tubuhnya menjadi perantara hubungan arus pendek. Karena itulah, kini ada istilah Debugging yang maksudnya mencari kutu alias mencari kesalahan yang tak terdeteksi. Mungkin saja, di dalam kostum itu juga ada kutu yang mati, dan ketika tadi kau menendangnya kutu itu lepas dan akhirnya kostum itu bisa berfungsi kembali,” jelas Haris panjang lebar. “Hallo, Bob. Apa kau bisa mendengar suaraku?” tanya Haris yang kini berbicara melalui head set di mesin pemantau.
“Ya, Har. Aku bisa mendengarmu dengan jelas,” jawab Bobby merespon.
“Nah, sekarang coba kau mulai bergerak,” kata Haris lagi mengistruksikan.
Tanpa buang waktu, Bobby pun segera turun dari mesin penyangga. Saat itu dia benar-benar takjub lantaran merasakan tubuhnya dapat bergerak dengan bebas, layaknya seperti mengenakan pakaian biasa saja. Padahal jika dilihat dari ukuran dan bahan yang digunakan, jelas kostum itu tidaklah ringan. Tak lama kemudian, Bobby mulai menggerakkan setiap persendiannya, bahkan pada saat itu dia mampu meloncat-loncat, berjongkok, dan tiarap dengan mudahnya. Sementara itu, Haris masih terus memonitornya melalui komputer yang berada di belakang mesin penyangga. Dengan komputer itulah semua kegiatan Bobby dan keadaan di sekitarnya dapat terpantau dengan baik. Bukan cuma itu, bahkan setiap bagian kostum dapat di monitornya dengan akurat. Saat itu semuanya memang dalam kondisi prima.
"Hallo, Bob! Bagaimana rasanya mengenakan kostum itu. Apa ada keluhan?" tanya Haris kembali berbicara melalui head set.
"Sama sekali tidak, Har. Bagiku kostum ini terasa sangat nyaman, bahkan aku bisa bergerak dengan begitu leluasa," jawab Bobby meyakinkan.
"Hmm… Bagaimana kalau sekarang kau mencoba berbagai gerakan yang sulit? O ya, bukankah Rolab bilang, di sebelah ruang ini ada ruang latihan. Nah, bagaimana jika kau mencobanya di ruangan itu," usul Haris.
Tanpa buang waktu, Bobby pun segera menurut. Tak lama kemudian, dia sudah berada di ruang latihan yang sangat luas. Di ruangan itu terdapat beberapa peralatan fitness dan peralatan senam ketangkasan yang sangat canggih. Kini Bobby mulai melakukan berbagai gerakan yang sulit, seperti salto, berdiri dengan sebelah tangan, jungkir balik dan masih banyak lagi. Setelah puas melakukan semua gerakan yang sulit, akhirnya Bobby kembali ke mesin penyangga. Saat itu, kejadian yang sama ketika kostum itu terbuka kini terjadi lagi—setiap bagian depan kostum tampak dilepas oleh lengan-lengan robot dan hanya menyisakan bagian belakangnya.
Kini Bobby sudah keluar dari kostum itu dan sedang menceritakan perihal apa yang dia rasakan ketika mengenakannya. “Begitulah teman-teman, saat mengenakan kostum itu rasanya bagaikan manusia super saja,” kata Bobby mengakhiri ceritanya.
"Luar biasa, Kak. Itu baru gerakan-gerakan yang menggunakan kemampuanmu sendiri. Belum lagi jika ditambah dengan sistem penyerangan dan sistem pertahanan yang terdapat pada kostum itu," puji Sinta.
"Benar, Bob. Bila kau bisa menggunakan semua kemampuan yang ada pada kostum itu, tentu akan hebat sekali. Kau itu akan menjadi manusia super negeri ini," puji Haris menimpali.
"Kalau begitu, bagaimana kalau besok kita mencoba semua kemampuannya? Dengan begitu, kita bisa segera menggunakannya untuk tujuan yang baik," usul Bobby bersemangat.
Mengetahui itu, Haris dan Sinta tampak menganggukkan kepala. Setelah ketiganya berbincang-bincang sejenak, akhirnya mereka kembali melanjutkan rencana mereka semula, yaitu menjelajahi semua ruangan yang ada di pesawat. Kini mereka sudah berada di ruang medis yang juga berhubungan dengan ruang Android. Saat itu mereka kembali terkagum-kagum dengan apa yang mereka lihat. Di dalam ruangan itu terdapat seperangkat peralatan medis yang menggunakan komputer. Pada bagian sebelah kiri ruangan terdapat dua buah mesin medis yang lumayan besar, yang satu merupakan mesin pemeriksa tubuh yang dilengkapi dengan tempat tidur berpenutup kaca, sedangkan yang satunya lagi adalah sebuah mesin bedah yang dilengkapi dengan kursi dan mempunyai sandaran kepala yang dirancang khusus. Pada bagian sebelah kanan ruangan, tepatnya di pojok sebelah kiri terdapat sebuah tabung pengobatan. Sedangkan di pojok kanannya terdapat sebuah tempat tidur yang dilengkapi dengan sabuk pengikat. Setelah puas melihat-lihat ruangan itu, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan untuk melihat-lihat ruangan yang lain, yaitu ruang laboratorium, ruang kehidupan, dan ruang mesin.
Bobby, Haris, Sinta, dan Rolab terus berjalan menyusuri lorong, kemudian mereka menaiki elevator untuk menuju ke lantai atas, hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu yang cukup besar.
"Ini adalah ruang laboratorium," jelas Rolab kepada ketiganya.
"Ayo kita masuk dan melihat-lihat!" ajak Haris seraya menekan tombol yang ada di tepi pintu.
Seiring dengan ditekannya tombol itu, pintu laboratorium itu pun terbuka, lalu dengan segera mereka melangkah masuk. Laboratorium itu sangat luas, di dalamnya terdapat beberapa ruangan. Saat itu, Rolab diminta untuk menjelaskan fungsi ruangan itu satu per satu.
Ruang Biologi, berguna untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan mahluk hidup—di dalamnya terdapat seperangkat peralatan riset yang menggunakan komputer. Selain itu  tersimpan bahan-bahan kimia pada sebuah lemari khusus.
Ruang fisika, berguna untuk melakukan penelitian benda mati. Di dalamnya terdapat mesin-mesin simulasi yang dikendalikan oleh komputer.
Ruang percobaan, berguna untuk menguji coba hasil penelitian. Di dalamnya terdapat mesin-mesin penguji yang juga dikendalikan oleh komputer.
Ruang Kerja, berguna untuk membuat hasil penelitian. Di dalamnya terdapat peralatan kerja dan bahan-bahan material. Ruang kerja berhubungan dengan ruang uji coba dan ruang kargo.
Kini Bobby, Haris, dan Sinta berjalan menuju ruang kargo. Mereka tampak terkagum-kagum melihat kendaraan yang berada di ruangan itu. Sebuah mobil penjelajah dan sebuah pesawat kecil tampak diparkir di tengah ruangan. Kini mereka sedang mengamati mobil penjelajah dengan seksama. Pada saat itu, Rolab diminta untuk menjelaskannya dengan rinci.
Mobil penjelajah memiliki tiga macam bentuk roda yang bisa diganti maupun dikombinasikan menurut keadaan jalan. Roda yang seperti tank untuk berjalan di dataran yang terjal, roda biasa (ban karet) untuk berjalan di jalan raya, dan roda tank yang dipadukan dengan papan seluncur untuk berjalan di atas es. Mobil tersebut menggunakan tenaga listrik. Sayangnya mobil tersebut tidak dilengkapi dengan persenjataan.
"Wah, hebat! Dengan mobil ini kita bisa menjelajahi daerah yang sulit dilalui oleh kendaraan biasa," ujar Sinta berkomentar.
"Kalau begitu. Ayo, kita lihat bagian dalamnya!" ajak Bobby.
"Iya, aku juga penasaran ingin segera melihat bagian dalamnya," timpal Haris.
Lantas, mereka pun segera memasuki mobil itu. Setibanya di dalam, mereka tampak terheran-heran.  "Lihatlah! Mobil ini mempunyai dapur dan ruang tidur," kata Sinta kagum.
"Benar, Sin. Dengan Mobil ini kita bisa menjelajah dan melakukan penelitian," timpal Haris.
"Selain itu juga bisa untuk piknik," sambung Bobby.
"Ngaco kamu, Kak! Masa piknik pakai mobil seperti ini," komentar Sinta.
"Bisa saja, Sin. Kan ada tempat tidur dan dapurnya," bela Bobby.
"Huh, yang ada di otak kamu memang cuma urusan senang-senang melulu. Sekali-kali kek mikir tentang ilmu pengetahuan," komentar Sinta sok menggurui.
Mendengar itu, Bobby langsung angkat bicara, "Yeee... Bolehnya sirik. Memangnya hidup itu harus mikir terus apa? Boleh dong sekali-kali kita senang-senang. Bukan begitu, Har?" 
"Kau benar, Bob. Kalau tidak begitu, bisa-bisa kita jadi stress dan akhirnya gila."
"Iya iya…. kalian menang!" kata Sinta dengan tatapan kecewa.
Kini mereka sudah keluar dari mobil itu dan sedang melangkah menuju ke pesawat kecil. Setibanya di dekat pesawat, mereka langsung mengamatinya dengan penuh seksama. Seperti biasa, Rolab diminta untuk menjelaskannya. Pesawat itu merupakan pesawat penjelajah. Kedua sayapnya bisa dilipat sedemikian rupa, seperti yang mereka lihat saat ini. Pesawat itu berpenumpang dua orang, pilot dan copilot. Pesawat tersebut digerakkan dengan mesin plasma Jet yang menggunakan tenaga listrik. Pesawat itu juga mempunyai persenjataan mutakhir yang dilengkapi dengan Plasma Canon.
"Wah, pesawat kecil ini luar biasa," puji  Sinta kagum.
"Sayang… di antara kita tidak ada yang bisa mengemudikan pesawat. Aku sebenarnya ingin sekali naik pesawat seperti itu," kata Bobby.
"Kalau kau ingin naik, ya… naik saja, Bob," kata Haris sambil tersenyum.
"Memangnya bisa?" tanya Bobby bersemangat.
"Yaaa, kalau cuma naik saja sih bisa, tapi tidak terbang… hihihi," tawa Sinta yang memahami maksud Haris.
"Huh, payah… aku kira bisa naik menerbangkan pesawat itu!" Bobby menggerutu.
Mereka kembali melihat-lihat ruang kargo. Sekarang mereka sedang melangkah menuju area berbentuk segi empat yang mempunyai pagar besi setinggi satu meter. Saat itu, lagi-lagi Rolab diminta untuk memberikan penjelasan. "Area itu adalah sebuah mesin transportasi yang berguna untuk memindahkan kendaraan yang ada di dalam pesawat, mesin itu dinamakan Mestrans II," jelas Rolab.
"Wah, seperti Kaptrans, dong!" komentar Sinta.
"Benar, Sin. Cuma tidak pakai kapsul," timpal Haris.
Kini mata mereka tertuju pada sebuah benda yang ada di dekat Mestrans II. Itulah benda yang bernama Kapwak, kapsul waktu terakhir yang akan digunakan sang Kapten pada masa yang telah lewat. Setelah mengamati Kapwak, mereka segera bergerak menuju ke ruang kehidupan. Kini mereka sedang menaiki elevator guna menuju ke tempat itu, dan setelah melewati sebuah lorong, akhirnya mereka tiba di ruang kehidupan.
Ruang kehidupan terbagi menjadi beberapa ruangan. Begitu memasuki pintu, mereka berada di ruang santai. Di situ terdapat sofa, meja, dan monitor yang juga bisa berfungsi sebagai televisi. Ruangan tersebut sangat nyaman, karena mempunyai dekorasi yang indah dan udaranya pun terasa begitu sejuk. Di dalam ruang kehidupan terdapat kamar mandi, beberapa kamar tidur, dan sebuah pantry. Setelah beristirahat sejenak di ruang santai, akhirnya mereka bergegas menuju ke ruang mesin.
Kini Bobby, Haris, Sinta, dan Rolab tampak sedang menaiki elevator, mereka hendak turun ke lantai dasar yang merupakan ruang mesin pesawat. Tak lama kemudian, mereka sudah tiba di ruangan itu. Selama berada di dalam ruangan, Rolab selalu diminta untuk menjelaskan segala hal yang ada. Bahkan dia diminta untuk selalu memperingati mereka agar tidak sampai menyentuh sesuatu yang berbahaya. Kini ketiganya tampak serius mengamati isi ruang mesin yang tampak begitu menakjubkan, ternyata ruangan itu begitu besar dan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah area aman, sedangkan bagian kedua adalah area tidak aman karena dipenuhi dengan radio aktif. Kedua bagian itu dipisahkan dengan dinding kaca yang sangat tebal. Pada bagian tengah dinding pemisah terdapat sebuah pintu yang menghubungkan area aman dan area tidak aman. Pintu itu dirancang sedemikian rupa agar orang bisa keluar masuk ke daerah tidak aman tanpa mencemari area aman.
Saat itu, Bobby, Haris, dan Sinta tampak memperhatikan area tidak aman melalui dinding kaca. Sungguh mereka tidak menyangka kalau sumber listrik pesawat ternyata berasal dari dua buah generator nuklir yang masih berfungsi dengan baik. Karena itulah semua sistem kelistrikan di pesawat itu masih bisa berfungsi sebagaimana mestinya, bahkan masih mampu untuk menjalankan Kapwak pada saat evakuasi darurat. Masing-masing generator terletak di sebelah kiri dan kanan ruang area tidak aman. Kini Rolab sedang menjelaskan secara rinci mengenai kedua generator itu. Bobby, Haris, dan Sinta tampak mendengarkannya dengan penuh seksama, mata mereka tertuju pada visualisasi yang diproyeksikan melalui dahi Rolab. Ternyata kedua generator itu menggunakan Reifudi (Reaktor inti fusi dingin). Bahan bakarnya menggunakan Jupenium (Zat radioaktif yang keaktifannya melebihi Polonium dan Radium) yang berasal dari planet Jupiter. Reifudi merupakan reaktor yang cukup canggih, hanya dengan sedikit Jupenium dapat menghasilkan energi yang sangat besar. Persediaan Jupenium di pesawat itu cukup untuk 100 tahun lagi. Kini Bobby, Haris, dan Sinta tampak sudah mengenakan pakaian anti radiasi. Tak lama kemudian, mereka mulai memasuki area tidak aman.
Kini ketiganya sedang memperhatikan sebuah mesin berbentuk lingkaran yang ada di tengah area tidak aman. Mesin itu adalah mesin utama pesawat yang kini sudah tidak bisa difungsikan lantaran mengalami kerusakan sehingga pesawat itu tidak bisa mengangkasa dan melakukan perpindahan waktu. Sebab, untuk memindahkan objek yang sedemikian besar ke dimensi lain jelas membutuhkan tenaga yang lebih besar lagi, tidak cukup hanya dengan mengandalkan kedua generator yang masih berfungsi itu. Tak lama kemudian, Rolab langsung menjelaskan mengenai mesin utama itu,  bahkan dari dahinya tampak sebuah gambar cetak biru mesin yang diproyeksikan dengan begitu detail. Ternyata mesin utama pesawat itu juga menggunakan Reifudi sebagai pembangkit tenaganya. Pada bagian tengah mesin terdapat sebuah alat yang memfokuskan energi menuju ke penggerak mesin utama. Penggerak mesin juga berbentuk lingkaran, terpasang pada langit-langit pesawat. Di bagian tengah alat yang memfokuskan energi itu terdapat sebuah kristal berbentuk segi enam. Pada bagian sisinya tampak bekas pecahan, rupanya karena kerusakan pada kristal itulah yang menyebabkan mesin pesawat tak bisa difungsikan lagi.
Kini Rolab sedang menjelaskan kepada mereka tentang kristal itu. Ternyata kristal yang digunakan itu adalah bagian terkecil dari seluruh bagian kristal inti pusat bumi yang telah ditemukan dan berhasil diangkat sekitar tahun 2025, sedangkan bagian yang terbesar dari kristal itu telah digunakan untuk mengendalikan segala bencana alam yang terjadi di seluruh dunia. Di pesawat, kristal itu digunakan untuk memfokuskan energi yang dihasilkan oleh reaktor Reifudi sehingga menjadi enam kali lipat, kemudian energi itu disalurkan ke penggerak mesin yang ada di langit-langit pesawat. Di situlah energi panas diubah menjadi energi listrik yang akhirnya disalurkan untuk mengaktifkan mesin waktu dan sebagian lagi disalurkan ke mesin pendorong plasma, yaitu mesin yang bisa membuat pesawat bergerak maju.
Bobby, Haris, dan Sinta tampak mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Rolab. Terkadang salah satu dari mereka tampak bertanya tentang sesuatu hal. Saat itu, Rolab pun langsung menjawabnya dengan begitu gamblang. Setelah dirasa cukup, ketiganya lantas segera kembali ke Anjungan.