E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Misteri Kehadiran Arwah - Bagian 6

Enam



Sehari setelah kejadian itu. Teman Jodi yang bernama Yuli terlihat baru saja keluar dari pintu Mal sambil menenteng banyak belanjaan. Dialah gadis yang waktu itu menelepon Jodi ketika berada di halaman parkir kantor Branden. Kini gadis itu sedang melangkah ke mobil yang diparkir tak jauh dari pintu masuk. Dalam waktu singkat dia sudah tiba di mobil dan langsung membuka bagasinya. Ketika hendak memasukkan barang belanjaannya, tiba-tiba sebuah bungkusan yang dibawanya terjatuh. Menyadari itu, Yuli pun segera berjongkok. "Apa itu?" tanya Yuli dalam hati ketika melihat sebuah benda mengkilat tampak tergeletak persis di sebelah bungkusan miliknya.
Yuli segera memungut benda itu, kemudian memperhatikannya dengan seksama. Sebuah koin emas yang sudah tidak mulus lagi tampak berkilau di telapak tangannya, pada permukaannya melingkar tulisan kuno dengan Huruf Palawa. "Hmm... sepertinya ini koin kuno. Tapi kenapa koin ini bisa ada di sini? Apa mungkin seseorang telah menjatuhkannya?" tanya Yuli dalam hati seraya memasukkan koin itu ke dalam saku celananya, kemudian bergegas mengambil bungkusan yang terjatuh tadi dan meletakkannya ke dalam bagasi.
Ketika hendak menutup pintu bagasi, tiba-tiba dia melihat Jodi sedang memasuki pintu utama. Pemuda itu tampak mengenakan T-Shirt hitam dengan jeans warna putih. "Jodiii!!!" teriak Yuli seraya menutup bagasi dan bergegas mengejar pemuda itu.
Kini Yuli sudah berada di dalam Mal dan sedang mencari-cari Jodi, kedua matanya tampak menatap hampir ke segala arah. "Aduuuh! Ke mana sih dia?" tanya Yuli dalam hati.
"Anda mencari siapa?" tiba-tiba terdengar seorang bertanya dengan suara yang berat.
Yuli segera berpaling. Betapa terkejutnya dia ketika menyadari kalau orang yang bertanya itu adalah seorang satpam yang terlihat angker. Pada pipi kirinya terlihat bekas luka yang cukup parah, kumisnya pun tampak tebal dan hampir menutupi sebagian bibir atasnya, sedangkan kedua matanya tampak besar dan menatap dengan tajam.
"Ma-maaf, Pak! Sa-saya mencari teman saya," jawab Yuli tergagap.
Satpam itu tersenyum, "Begini Nona, sebaiknya Nona langsung ke bagian informasi. Di sana petugas kami akan memanggilnya lewat pengeras suara," saran Pak Satpam itu ramah.
Yuli tidak menduga akan perkataan itu, sebuah perkataan yang dianggapnya sangat kontras dengan tampangnya yang angker.
"Terima kasih, Pak!" ucap gadis itu seraya berlari ke bagian informasi yang tidak  begitu jauh.
Usai menyampaikan pesan, Yuli segera  melangkah ke pintu utama dan menunggu Jodi di tempat itu. Lama dia menunggu, namun pemuda itu tak kunjung tiba. Kini gadis itu mulai sedikit resah, dalam hati dia ingin sekali pergi, namun keinginannya untuk berjumpa Jodi membuatnya tetap bersabar. Kemudian sambil mendengar tembang cinta yang mengalun merdu, gadis itu  tetap setia menunggu dan berharap Jodi akan segera muncul. Benar saja, dalam waktu singkat Jodi sudah menampakkan batang hidungnya. Melihat itu, Yuli pun tampak senang sekali. Kemudian dengan segera dia berlari menghampiri Jodi dan memeluknya erat.
"Jo, aku kangen sekali, sudah lama ya kita tidak bertemu," kata Yuli dengan wajah berseri-seri seraya melepaskan pelukannya.
"Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... kau mau belanja atau sudah belanja?" tanya Jodi.
"Sebenarnya aku sudah mau pulang. Tapi ketika melihatmu memasuki pintu utama, aku pun berniat menemuimu," jawab Yuli.
"Benarkah! Kalau begitu, lebih baik kita ngobrol di cafetaria saja! Terus terang aku masih kangen denganmu," ajak Jodi.
Tak lama kemudian, keduanya tampak menuju ke sebuah kafetaria untuk berbincang-bincang di tempat itu sambil menikmati es teler yang menyegarkan.

 

Di sebuah ruang perkantoran, seorang pria tampak sibuk di depan meja kerjanya. Dialah Branden yang kini sedang serius menyelesaikan tugas-tugasnya. Tak lama kemudian, seorang rekan wanitanya datang menghampiri. "Permisi, Pak! Ini ada surat buat Bapak," katanya seraya menyerahkan sepucuk surat kepada Branden.
"O, terima kasih, Bu!" ucap Branden seraya mengambil surat itu dan mengamatinya.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Pak!" pamit rekannya.
"O, silakan!" ucap Branden.
Setelah rekannya pergi, Branden pun segera membaca isi surat itu.
Rahasia perusahaan, keputusan direktur utama No:xxx/22.B3/kep/Dir.utama/dokumen.
Kabar Gembira: Sesuai dengan kerja keras dan kejujuran Bapak Banden selama ini, kami dari pihak perusahaan telah memutuskan untuk memberikan kenaikan gaji kepada saudara dan akan diperbarui mulai bulan ini, terhitung sejak dikeluarkannya surat keputusan ini. Keputusan ini adalah sah dan sangat  rahasia, tentunya demi kepuasan saudara sebagai pegawai kami, terima kasih.

Branden sangat gembira mengetahui hal itu. Ternyata kerja keras dan kejujurannya selama ini telah membuahkan hasil sehingga perusahaan memberikan penghargaan atas semua jerih-payahnya. Sejenak dia menoleh ke arah rekan-rekannya yang masih tampak serius dengan pekerjaannya masing-masing.
Setelah menyimpan surat tadi, Branden kembali bekerja dengan penuh semangat. Tak lama kemudian, Bu Siska datang menghampiri. Kini dia sudah berdiri di depan meja kerja Branden sambil bertolak pinggang. Branden yang saat itu sedang serius membaca sebuah berkas sama-sekali tidak menyadari kedatangannya.
"Ahem…!" ucap wanita itu tiba-tiba.
Branden tersentak seraya mengangkat kepalanya, betapa terkejutnya dia ketika melihat Bu Siska tampak memandangnya dengan sorot mata yang berapi-api. "A-ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya Branden tergagap.
Bu Siska tidak menjawab, dia justru balik bertanya. "Kenapa Bapak berani berbuat lancang?" tanya wanita itu dengan nada marah.
"Ma-maaf, Bu! Saya tidak mengerti maksud Ibu," jawab Branden sopan.
"Alaaah… Bapak kan yang melaporkan perihal berkas itu kepada Ibu Direktur," tuduh Bu Siska kecewa.
"Apa!" seru Branden kaget. Kemudian dia berdiri seraya menatap mata wanita itu, "Sumpah, Bu. Saya sama sekali tidak melapor. Beliau sendiri yang mengetahuinya," ucap Branden sungguh-sungguh.
"Lho, bukankah Bapak yang tadi memberitahukan saya untuk menghadap Ibu direktur."
"Itu memang benar, Bu. Tapi... itu kan atas permintaan beliau."
"Sudahlah, anda tidak usah berkelit! Tidak mungkin beliau tahu jika anda tidak melapor," tuduh Bu Siska lagi. "Asal Bapak tahu saja, di ruangan beliau saya dimarahi habis-habisan, dan beliau telah memberikan peringatan keras kepada saya," jelas Bu Siska geram.
"Sungguh, Bu… Saya sama sekali tidak melaporkan hal itu."
"Lalu siapa… kan cuma anda yang saya tugasi," kata Bu Siska ketus.
"Baiklah, sekarang akan saya jelaskan duduk perkaranya. Kalau begitu silakan duduk dulu!" tawar Branden ramah.
"Tidak perlu! Sekarang juga saya akan melaporkan masalah ini kepada Pak Heru. Permisi!" pamit Bu Siska seraya melangkah pergi dengan amarah yang meluap-luap.
Saat itu Branden cuma terpaku memperhatikan kepergiannya, kemudian dia segera duduk kembali. Karena konsentrasinya terganggu, Branden merasa kesulitan untuk melanjutkan pekerjaan. Kini dia cuma bisa termenung sambil terus memikirkan kejadian yang baru dialaminya. Sementara itu, Rekan-rekannya yang berada di ruangan itu tampak saling berpandangan, mereka tampak prihatin melihat Branden diperlakukan seperti itu. Kini mereka kembali melanjutkan pekerjaannya masing-masing, tampaknya mereka tidak mau turut campur dengan persoalan yang dihadapi pria itu.
Sejenak Branden memperhatikan rekan-rekannya, dia benar-benar merasa malu atas peristiwa tadi. Ketika Branden memandang ke sudut ruangan, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang berdiri di tempat itu. Dia melihat sosok wanita itu sedang memandangnya sambil tersenyum tipis.
"Yanaaa!" seru Branden dengan suara yang agak keras.
Mendengar itu, rekan-rekannya spontan memperhatikan Branden, saat itu mereka benar-benar heran dengan ucapan Branden yang memanggil nama istrinya. Pada saat yang sama, sosok Yana sudah berdiri di hadapan Branden dan sedang bercakap-cakap dengannya. "Kau harus tetap bersabar, Branden!" kata sosok istrinya itu.
"Yana… apakah kau…" belum sempat  Branden menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sosok istrinya itu menghilang dari pandangan.
Branden terkejut seraya menatap ke penjuru ruangan, kepalanya tampak menoleh kiri-kanan mencari-cari sosok sang Istri. Sementara itu, rekan-rekannya yang melihat tingkah-laku Branden saat itu semakin heran, lalu salah seorang dari mereka segera datang menghampiri. "Ada apa, Pak? Kalau boleh saya tahu, sebenarnya Bapak sedang mencari apa?" tanya rekan Branden prihatin.
"Eh, sa-saya sedang… eh, tidak. Tidak ada apa-apa kok," jawab Branden tergagap.
Rekan kerja Branden tampak mengerutkan kening, "Bapak yakin tidak ada apa-apa?" tanyanya kemudian.
"Benar kok, tidak ada apa-apa. Saya cuma sedikit lelah," jawab Branden meyakinkan.
Sejenak rekan kerjanya itu memperhatikan Branden, kemudian dengan segera dia kembali ke meja kerjanya. Sementara itu di ruangan lain, sosok wanita berpakaian putih tampak sedang memperhatikan Bu Siska yang saat ini sedang menerima telepon. Kini sosok wanita itu tampak menghampirinya, wajah yang pucat tampak begitu marah. Pada saat yang sama, atasan Bu Siska yang bernama Pak Heru sedang sibuk di meja kerjanya.
"Aduh!" teriak Bu Siska seraya menoleh ke arah Pak Heru. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Bu Siska seraya menatap Pak Heru yang masih bingung karena teriakan sekretarisnya.
"Apa! Aku tidak melakukan apa-apa. Aku justru mau bertanya, kenapa tiba-tiba saja kau berteriak?"
"Sudahlah, Pak. Mengaku saja! Lagi pula, saya tidak mungkin marah sama Bapak. Saya tahu Bapak lagi pusing, dan semua ini memang gara-gara kesalahan saya," kata Bu Siska seraya menghampiri Pak Heru dan duduk di depan meja kerjanya.
"Kau ini bicara apa, Sis? Aku benar-benar jadi tambah bingung."
"Ya sudah, kalau begitu kita lupakan saja! Eh, Pak. Ngomong-ngomong, kenapa Pak Branden berani memberitahukan hal ini ke pada Ibu Direktur ya?" kata Bu Siska dengan nada kecewa.
"Entahlah, Sis.... Mungkin Branden memang telah berkata jujur kalau Ibu Direktur tanpa sengaja telah mengetahuinya," ujar Pak Heru. 
"Ah, tidak mungkin, Pak! Setahu saya, Beliau hampir tidak pernah ke tempat kerjanya. Aku rasa, Branden memang sengaja mengadukan hal itu karena ingin cari muka. O ya, Pak. Saya dengar dia baru menerima kenaikan gaji, bukankah itu suatu bukti," tuduh Bu Siska dengan raut wajah yang begitu kesal.
"Kamu tahu dari siapa?" tanya Pak Heru.
"Ratna yang memberitahuku," jelas Bu Siska.
"O, Ratna sahabatmu yang di bagian keuangan itu?"
Bu Siska mengangguk, kemudian dia kembali bicara. "Pak, saya benar-benar kecewa dengan Branden. Karena ulahnya, saya sempat ditegur oleh Ibu Direktur," keluhnya seraya bangkit dari tempat duduk. "Pak, di sini kan kedudukan Bapak lebih tinggi, sebaiknya Bapak segera bertindak!" sarannya dengan semangat yang berapi-api.
"Lalu... apa yang harus saya lakukan?" tanya Pak Heru seraya merapatkan kedua alisnya.
"Hmm… apa ya?" Bu Siska tampak berpikir keras, kemudian dia mulai berjalan berputar-putar. "Nah... saya punya ide yang bisa membuat Branden menyesali perbuatannya," katanya lagi seraya duduk di atas meja kerja atasannya dengan mata yang berbinar-binar.
"Maksudmu?" tanya Pak Heru seraya menatap sekretarisnya yang kini tampak tersenyum.
"Begini, Pak… Saya akan berusaha menggagalkan laporan periklanan satu semester yang dipersiapkan Branden. Saya akan melakukannya berturut-turut selama tiga semester. Dengan demikian reputasinya akan menjadi buruk, dan kemungkinannya dia pasti akan dipecat. Untuk mewujudkan rencana ini, Bapak harus berani menggunakan wewenang Bapak diluar ketentuan yang berlaku. Demi reputasi kita, Pak," jelas Bu Siska seraya kembali duduk di kursi yang ada di depan meja kerja atasannya.
"Kau jangan gila, kalau ada yang tahu justru kita yang bisa dipecat," kata Pak Heru khawatir.
"Jangan khawatir, Pak! Saya akan mengerjakannya dengan sebersih mungkin, dan saya yakin, tidak seorang pun yang akan mengetahuinya," kata Bu Siska penuh keyakinan.
"Kalau begitu… baiklah. Kita akan atur rencana itu. Tapi ingat, jangan sampai Pak Santoso mengetahui hal ini! Jika beliau sampai mengetahuinya, tentu beliau tidak akan terima. Dan yang pasti, beliau akan marah besar karena kita sudah mengaduk-aduk pekerjaan anak buahnya," jelas Pak Heru.
"Baik, Pak. Saya akan berhati-hati. Pak Santoso pasti tidak akan menyadarinya," kata Bu Siska seraya tersenyum puas.
"Kapan kau akan menjalankan rencana itu?" tanya Pak Heru.
"Tentu saja setelah Bapak memberitahu saya tentang hasil rapat para manajer nanti. Kalau tidak salah, minggu depan kan?" tanya Bu Siska seraya berdiri dari tempat duduknya.
"Ya, itu Betul. Kalau begitu, minggu depan saya akan memberitahukan hasilnya. O ya, sekarang tolong kau atur jadwal saya untuk besok!" pinta Pak Heru seraya membuka sebuah map yang berada dihadapannya.
"Baik, Pak," kata Bu Siska seraya berjalan ke meja kerjanya.
Kini keduanya sudah kembali sibuk dengan tugas masing-masing. Sementara itu, sosok Yana tampak begitu marah, sorot matanya terlihat tajam memperhatikan kedua orang itu. Akhirnya sosok waniti tu pergi dari ruangan setelah menjatuhkan sebuah vas bunga yang ada di atas kabinet.

 

Di tempat terpisah, Yuli baru saja tiba di rumah. Kini dia sedang memarkir mobilnya di depan garasi. Tak lama kemudian, dia tampak keluar mobil dan bergegas membuka pintu bagasi. "Mang!" teriaknya memanggil si Pembantu yang baru saja menutup pintu gerbang.
Mendengar itu, si Pembantu pun buru-buru menghampiri, "Iya Non… ada apa?" tanyanya sopan.
"Eh, malah pakai tanya-tanya! Cepat kaubawa masuk semua barang-barang ini!" perintah Yuli dengan mata melotot.
Melihat wajah tuannya yang tampak begitu galak, si Pembantu segera melaksanakan perintah itu. Dia tampak mengangkat semua barang-barang itu sekaligus. Namun baru saja dia hendak melangkah, tiba-tiba, "Sebentar, Mang! Ada lagi nih," tahan Yuli seraya menambah tumpukan itu dengan sebuah bungkusan berpita merah yang baru diambilnya dari jok belakang.
"Apa masih ada lagi, Non?" tanya si pembantu menunggu.
"Sudah, sudah semuanya. Sekarang cepat kau bawa masuk!"
"Baik, Non..." ucap si pembantu seraya melangkah pergi.
Kini Yuli tampak mengambil majalah yang masih tergeletak di jok depan mobilnya. Setelah itu, dia segera melangkah masuk. Sementara itu di ruang tengah, si pembantu terlihat baru saja meletakkan barang-barang yang dibawanya di atas meja panjang.
"Aduuuh, pasti habis deh barang-barang di Mal," celoteh si pembantu sambil geleng-geleng kepala, melihat belanjaan yang baginya tampak begitu banyak.
"Bawel! Ini cuma sedikit tahu," celetuk Yuli yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya.
Si Pembantu tampak terkejut, "I-ini banyak Non…" ucapnya tergagap. Kemudian dia tampak garuk-garuk kepala, "Me-memangnya habis ngeborong di mana, Non?" tanyanya kemudian.
"Aaah... sudahlah! Tidak usah tanya-tanya! Sana ambilkan aku minum!" perintah Yuli seraya duduk di sofa dan mulai membuka-buka majalahnya.
Sementara itu, si Pembantu langsung bergegas ke dapur. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawa segelas sirup berwarna merah. "Ini Non minumannya," ucapnya ramah.
"Terima kasih, Mang!" ucap Yuli seraya meneguk minuman itu. Seketika dia merasakan sirup manis yang begitu segar mulai membasahi kerongkongannya. "Hmm... nikmat sekali," katanya dalam hati seraya meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas meja. "Mang, tolong bantu aku membuka bungkusan-bungkusan ini!" pintanya kemudian.
Kini mereka mulai membuka bungkusan-bungkusan itu satu per satu. Pada saat yang sama, Yuli tampak mengamatinya dengan seksama. "Mang, yang ini tolong dibawa ke kamar!" pintanya seraya menyerahkan dua stel pakaian yang sedang dipegangnya.
Si Pembantu menurut, dia segera membawanya ke kamar. Tak lama kemudian dia sudah kembali dan siap menjalankan perintah selanjutnya.
"Nah... Mang. Sekarang bawa semua barang-barang ini ke kamar!" pinta Yuli.
Kali ini si Pembantu tidak segera melaksanakan perintah itu, dia tampak masih berdiri dengan wajah mesam-mesem. Melihat itu, Yuli tampak begitu kesal. "Eh, kok masih berdiri di situ?" tanyanya dengan alis yang tampak merapat.
"Maaf Non...! Kok dibawa ke kamar semua, bagian saya mana, Non?" tanya si pembantu dengan wajah yang masih saja mesam-mesem.
Yuli tidak menjawab, dia malah berdiri dengan santainya, kemudian menatap si Pembantu dengan mata melotot. "Eh… kalau tidak bisa diam, nanti akan kujahit mulutmu. Sekarang cepat bawa barang-barang itu ke kamar!" seru Yuli marah. "O ya, setelah itu tolong siapkan air hangat di bak mandi! Jangan lupa dengan aroma terapinya! " lanjutnya kemudian.
Tanpa menunggu lagi, si pembantu segera membawa barang-barang itu, sedangkan Yuli tampak sudah duduk kembali dan mulai membaca majalahnya. "Maaf, Mang! Selama ini aku selalu berkata kasar padamu, habis kau selalu membuatku kesal sih," ucap Yuli dalam hati.
Seketika gadis itu teringat dengan koin emas yang ditemukannya, lalu dengan serta-merta gadis itu mengamatinya dengan penuh seksama. "Hmm... apa ya arti tulisan ini? Kalau dilihat dari hurufnya, sepertinya menggunakan huruf palawa? Dan sepertinya berasal dari jaman Kerajaan. Tapi, Kerajaan apa ya?"
Yuli terus memperhatikan koin itu, "Hmm... apa sebaiknya hal ini kutanyakan pada kakekku? Bukankah dia paham betul dengan hal-hal yang seperti ini. Baiklah, Besok pagi aku akan berangkat menemuinya." Setelah berkata begitu, Yuli segera menyimpan koinnya, kemudian bergegas ke kamar mandi dan berendam menikmati aroma terapi.

 

Malam harinya, sekitar pukul sembilan, di dalam sebuah kamar yang bersih dan tertata rapi. Seorang wanita baru saja mengenakan pakaian tidurnya. Dialah sekretaris Pak  Heru yang bernama Bu Siska. Kini dia tampak memandang ke arah lukisan yang tergantung di dinding, sepertinya dia benar-benar mengagumi keindahannya yang begitu menyejukkan mata. Lukisan dengan objek wanita cantik itu memang belum lama dia beli, dan dia sangat bangga memilikinya. Wanita di lukisan itu mengenakan gaun hijau dan memakai perhiasan yang begitu cantik, dia sedang tersenyum sambil memegang setangkai mawar merah.
Setelah puas menikmati lukisan itu, Bu Siska langsung duduk di depan meja rias yang dipenuhi dengan peralatan make up dan produk perawatan kulit. Kini dia mulai berkaca sambil mengenakan cream malam yang berguna untuk menjaga kelembapan kulit, setelah itu merebahkan diri di tempat tidur untuk melepaskan segala rasa letihnya. Tempat tidurnya sangat indah, modelnya berbentuk klasik dengan sentuhan warna emas yang menawan. 
Baru saja Bu Siska memejamkan mata, tiba-tiba terdengar alunan nada indah yang dimainkan begitu apik, iramanya pun terdengar sangat menyayat hati. Rupanya suara merdu denting piano itu terdengar dari ruang tengah rumahnya. "Hmm... siapa yang bermain piano seindah ini, apakah Bapak yang memainkannya?" tanya Bu Siska dalam hati. Kemudian wanita itu duduk di tepi tempat tidurnya.
"Hmm... bukankah Bapak akan kembali besok. Tapi, kenapa sekarang sudah kembali?" Bu Siska kembali bertanya. Kemudian wanita itu segera berdiri dan melangkah ke pintu kamar.
Ketika baru membuka pintu, mendadak alunan nada yang terdengar merdu itu berhenti. Betapa terkejutnya Bu Siska ketika melihat di depan piano tidak ada siapa-siapa. "Pak! …Pak!" Panggilnya dengan suara yang agak keras. Bu Siska tampak mencari suaminya sampai ke semua ruangan, namun dia tidak menjumpainya.
Kini wanita itu duduk di sofa ruang tengah dengan wajah yang sedikit bingung. "Aku heran, siapa sebenarnya yang memainkan piano tadi?" tanya Bu Siska dalam hati.
Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba lampu di ruangan itu tampak bergoyang-goyang. Bu Siska pun segera memalingkan pandangannya ke arah bola lampu yang kini semakin keras bergoyang. Bu Siska tampak terpaku—wajahnya yang cantik tampak begitu tegang. "A-ada apa ini. Kenapa dengan lampu itu?" tanyanya penuh keheranan.
Tiba-tiba suara piano kembali berbunyi, kemudian diikuti dengan bergeraknya benda-benda yang ada di ruangan itu. Tak ayal, Bu Siska ketakutan bukan kepalang, kemudian berteriak histeris sambil menutup kedua telinganya. Tak lama kemudian, suasana menjadi tenang kembali. Pada saat yang sama, Bu Siska segera berlari memasuki kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Kini Bu Siska tampak bersandar di daun pintu sambil menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan dengan sangat cepat. Baru saja ketegangannya mereda, tiba-tiba lukisan wanita cantik yang tergantung di kamarnya tampak bergerak-gerak. Seketika Bu Siska terkejut seraya memandang ke arah lukisan itu, kemudian lukisan itu mendadak kembali terdiam. Lantas dengan penuh rasa penasaran, Bu Siska melangkah mendekati lukisan itu.
Dengan perasaan was-was, Bu Siska terus melangkah. Dan ketika dia sudah bengitu mendekat, tiba-tiba lukisan itu berbicara kepadanya. "Siskaaa, kenapa kau tegaaa?" tanya wanita di lukisan itu dengan suara yang terdengar begitu parau.
Lagi-lagi Bu Siska terkejut bukan kepalang, seketika itu juga bulu kuduknya langsung berdiri. Kantas dengan serta-merta dia berlari ke pintu dan langsung memutar anak kuncinya. Namun ketika hendel pintu ditarik, ternyata pintu itu tak bisa dibuka. Mengetahui itu, Bu Siska langsung panik, dia pun berusaha menariknya dengan sekuat tenaga. Tapi sayangnya perbuatan itu sia-sia belaka, pintu tersebut tetap tidak bisa dibuka.
Kini Bu Siska kembali bersandar di daun pintu, matanya kembali memandang ke arah lukisan. Pada saat itu, tiba-tiba saja wanita yang ada di lukisan tadi kembali bicara, "Siskaaa... kenapa kau begitu jahat?" tanyanya dengan suara yang lebih keras, dan tiba-tiba semua benda yang ada di ruangan itu tampak mulai bergerak-gerak.
Tak ayal, saat itu wajah Bu Siska tampak semakin pucat, bibirnya bergetar dan jantung kian berdegup kencang. "Si-si-siapa kau?" tanya Bu Siska dengan terbata-bata.
"Aku Yanaaa Sisss, aku Yana—istri Brandeeen."
"Ja-ja-jadi ka-ka-kau, Yana?" Bu Siska tampak semakin ketakutan, dia benar-benar tidak menyangka kalau yang sedang berbicara kepadanya adalah Yana—mendiang istri pria yang ingin ia celakai. Saat itu juga tubuh Bu Siska langsung lemas, dia terduduk di lantai dengan tubuh masih bersandar di daun pintu.
"Siska, ketahuilah! Aku datang cuma untuk memperingatkanmu. Jika kau masih meneruskan niat jahatmu itu, aku tidak segan-segan untuk membunuhmu," ancam Yana tidak main-main.
Bu Siska tidak berkata-kata, dia tampak diam seribu bahasa. Tak lama kemudian, lukisan itu kembali seperti wujudnya semula. Suasana di kamar itu pun akhirnya mulai tenang kembali. Pada saat itu, Bu Siska tampak belum juga bangkit dari duduknya, dia masih tak kuasa untuk berdiri, semua persendiannya terasa lemas dan tak bertenaga.
Sementara itu di tempat lain, Pak Heru tampak sedang sendirian di rumahnya. Dia sedang beristirahat di ruang tengah sambil menyaksikan pertandingan sepak bola. Sejenak lelaku itu melirik ke arah jam dinding, dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Tak lama kemudian, dia sudah kembali menyaksikan pertandingan yang tampaknya begitu seru.
Ketika sedang seru-serunya menyaksikan pertandingan antara Intermilan melawan Manchester United, tiba-tiba lampu di ruangan itu tampak berkedip-kedip, seperti mau putus. Pak Heru agak merasa terganggu dengan kejadian itu, matanya tampak memperhatikan bola lampu yang kini masih saja berkedip-kedip. Tak lama kemudian, lampu itu menyala seperti sediakala. Kini mata Pak Heru kembali tertuju ke layar televisi.
"Goaaal, goaaal…" teriaknya, menyoraki sang bintang favorit yang mempecundangi pertahanan lawan dengan tendangan yang begitu indah.
Di layar kaca, sang Bintang favorit tampak berlari ke tepi lapangan dan bergaya atas keberhasilannya itu. Sorak-sorai penonton tampak riuh menyambutnya dengan suka-cita. Saat itu Pak Heru begitu gembira akan keberhasilan tim favoritnya yang sudah menduduki score 2-1. Tayangan gerak lambat pun segera diputar—disaat sang bintang beraksi ketika menjebol pertahanan lawan. Namun ketika sedang menyaksikan detik-detik indahnya sang Bintang beraksi, tiba-tiba televisinya padam dengan sendirinya. Pak Heru merasa kesal sekali, dia menduga yang baru saja terjadi dikarenakan sleep mode yang dalam keadaan aktif. Lalu dengan segera dia mengambil remote untuk menyalakannya kembali. Namun ketika tombol power ditekan, ternyata televisinya masih tidak mau menyala. Pak Heru semakin kesal, dia tampak menekan tombol itu berkali-kali. Namun sayangnya usaha itu sia-sia belaka, televisinya tak kunjung bisa menyala.
Kini Pak Heru melangkah mendekati televisi dan menekan tombol power-nya, namun televisi itu masih juga tak mau menyala. "Sial... kenapa dengan televisiku?" gerutunya kesal seraya kembali ke tempat duduk.
Begitu dia hendak duduk, tiba-tiba lampu di ruangan itu kembali berkedip-kedip. Seketika Pak Heru berpaling, memperhatikan bola lampu yang masih berkedip-kedip. "Hmm… Ada apa ya? Apakah bola lampu itu memang sudah mau putus?" tanya lelaki itu dalam hati seraya melangkah untuk melihatnya dari dekat.
Ketika sedang mengamatinya, mendadak bola lampu itu menyala terang dan semakin terang. Sampai akhirnya bola lampu itu meledak dengan diiringi suara yang cukup keras, sebagian pecahannya tampak mengenai wajah Pak Heru.
Saat itu Pak Heru sangat terkejut, dan tiba-tiba saja dia merasakan perih di wajahnya. Lantas dengan segera dirabanya bagian wajah yang terasa perih itu, "Oh tidak, wajahku..." ucap Pak Heru yang melihat darah tampak menempel di telapak tangannya.
Mengetahui itu, Pak Heru buru-buru ke kamar mandi. Kini dia sedang bercermin, mengamati luka-lukanya yang tampak tidak begitu parah. Beberapa goresan kecil tampak menghiasi wajahnya yang putih bersih. Ketika sedang serius mengamati luka-lukanya, tiba-tiba saja sesosok wajah mengerikan tampak muncul di cermin tersebut. Wajah itu tampak begitu pucat, kedua matanya tampak melotot disertai gigi runcing yang menyeringai kepadanya. Tak ayal, seketika itu juga Pak Heru langsung mundur ke belakang, jantungnya  berdebar kencang, bersamaan dengan bulu kuduknya yang berdiri seketika.  Tiba-tiba wajah menyeramkan itu kembali menghilang. Kini Pak Heru hanya melihat dirinya sendiri yang tampak begitu tegang.
"A-apakah yang kulihat tadi itu hantu? Atau itu cuma hayalanku saja?" tanya Pak Heru sambil terus memandang ke cermin dan sesekali mengucek-ngucek kedua matanya.
"Hmm... mungkin itu memang cuma hayalanku saja. Semua ini akibat aku terlalu banyak nonton film horror," duga Pak Heru seraya kembali maju ke depan cermin dan mulai membasuh wajahnya di wastafel. Bersamaan dengan itu, air yang sejuk terasa meredakan ketegangannya.
Pak Heru terus membasuh wajahnya, hingga akhirnya, "Da-da-darah…" ucapnya penuh ketakutan. Saat itu air yang digunakannya tiba-tiba telah berubah menjadi darah yang begitu kental.
Tak ayal, jantung Pak Heru kembali berdegup kencang, nafasnya pun tampak tersengal-sengal. "Tidak, ini bukan hayalan, ini benar-benar nyata," kata lelaki itu seraya berlari ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar.
Ketika daun pintu itu terbuka lebar, dilihatnya sesosok wanita yang tadi ada di cermin kini tengah menghadang jalannya. Saat itu Pak Heru tampak terpaku, matanya terbelalak dengan mulut yang menganga lebar. Sungguh dia tidak mengerti dengan apa yang ada dihadapannya.
Kini sosok wanita itu tampak memandangnya dengan penuh amarah, giginya yang runcing tampak menyeringai seram. Tak ayal, saat itu tubuh Pak Heru langsung gemetar menyaksikan sosok menyeramkan yang kini mulai menghampirinya.
"Pak Heruuu!" seru sosok menyeramkan itu dengan suara yang begitu parau.
"Ti-ti-tidaaak!!! Pergi kau!" teriak Pak Heru seraya melangkah mundur.
Sosok menyeramkan itu terus melangkah mendekati Pak Heru, sedangkan kedua tangannya tampak dijulurkan ke depan. Saat itu Pak Heru terus mundur hingga ke dalam kamar mandi, namun sosok wanita menyeramkan itu terus mengikutinya. Hingga akhirnya, Pak Heru sudah tidak bisa kemana-mana, langkahnya sudah terhalang oleh tembok kamar mandi.
"Ke-ke-kenapa kauganggu aku? Si-si-siapa kau sebenarnya?" tanya Pak Heru dengan suara yang terbata-bata.
"Aku Yana... istri Branden yang sudah meninggal dunia. Aku kemari untuk memperingatimu agar menghentikan niat jahatmu itu," jelas Yana dengan suara serak yang datar.
Seketika Pak Heru merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya, lalu dari celananya tampak mengalir air seni yang membasahi lantai. "Ba-ba-baik, a-a-aku tidak akan melaksanakan niat ja-ja-jahatku ke-ke-kepada Branden," janjinya dengan ucapan yang kian terbata-bata dan dengan wajah yang tampak begitu pucat.
Setelah Pak Heru berjanji, sosok wanita itu mendadak lenyap dari pandangan. Pada saat itu, Pak Heru tampak masih terduduk di lantai, tubuhnya terasa lemas dengan nafas yang tak beraturan. "Kenapa jadi begini!!!" teriaknya penuh penyesalan.