E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Misteri Kehadiran Arwah - Bagian 10

Sepuluh



Ketika matahari mulai bersinar, Branden dikejutkan oleh sepucuk surat yang dia temukan di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Isi surat itu memberitahukan kalau Rani telah pergi meninggal rumah. Mengetahui itu, Branden segera memeriksa kamar Rani. Setelah mengetahui Rani tidak berada ditempat tidurnya, yakinlah Branden kalau Rani memang telah minggat.
Hari ini Branden terpaksa tidak masuk kantor, dia pergi ke sana-kemari untuk mencari putri tunggalnya itu. Namun sangat disayangkan, hingga tengah hari Rani belum juga ditemukan. Sementara itu di tempat lain, Yuli terlihat sedang berada di pelataran parkir. Setelah memarkir mobilnya dia tidak lekas keluar, tapi dia berbicara dulu dengan seseorang lewat HP-nya. "Jo, nanti malam kau jangan kemana-mana ya! Aku ada perlu denganmu," katanya kepada pemuda yang ada di seberang sana.
"Apa itu, Yul?" tanya Jodi penasaran.
"Nanti malam saja, Jo. Soalnya sekarang aku tidak bisa lama-lama."
"Baiklah… nanti malam aku akan menunggumu."
"Sudah ya, Bye…" ucap Yuli mengakhiri pembicaraan seraya menyimpan HP-nya.
Setelah itu dia bergegas ke luar dan langsung menuju ke Salon Kecantikan. Kebetulan hari ini dia memang mau creambath rutin di tempat itu. Sementara itu di dalam Salon suasana tampak sedikit ramai, beberapa orang tampak sedang duduk menunggu giliran. Di salah satu kursi hias tampak seorang wanita asing yang sedang ditata rambutnya. Wanita itu adalah Maemi, dia sedang berhias karena akan pulang ke Tokyo. Usai berhias, wanita itu duduk di kursi tunggu sambil mengeluarkan kartu kredit. Pada saat yang sama, Yuli tiba di tempat itu, dia duduk di sebelah Maemi seraya membuka majalah yang dibawanya.
Betapa terkejutnya Maemi ketika mengetahui siapa yang duduk di sebelahnya, "Heh, bukankah kau wanita simpanan Jodi?" tegurnya dengan kening yang berkerut.
Yuli terkejut mendengar teguran itu, kemudian dia menoleh ke arah Maemi dengan alis yang sedikit merapat. "O… kau rupanya, Eh! Dengar ya! Aku ini bukan wanita simpanan Jodi. Aku sendiri baru mengetahui kebusukannya, dia itu memang lelaki yang perlu diberi pelajaran," jelas Yuli kepada Maemi seraya meletakkan majalah yang sedang dipegangnya.
"O… rupanya kau juga baru dicampakkan olehnya," kata Maemi lagi.
"Tidak, bukan demikian. Aku adalah teman sekelas Jodi ketika di SMU dulu, kebetulan selama ini kami memang berteman baik. Terus terang, semula aku memang tidak tahu kalau dia sudah mempunyai istri. Yang aku tahu, dia masih sendiri dan belum mempunyai pacar. Tapi, sekarang aku sudah tahu siapa dia sebenarnya—dia pria beristri yang juga mempunyai pacar bernama Rani Dewina. Aku pun baru mengetahui semua itu dari surat yang diberikan oleh ibunya Rani. Rupanya selama ini dia telah membohongiku dengan mengatakan bahwa Rani itu sepupunya. Walaupun selama ini dia begitu baik dan perhatian padaku. Namun bila dia sebusuk itu, aku tidak sudi berteman dengannya," jelas Yuli panjang lebar.
"O… benarkah?" kata Maemi seakan tidak percaya. Lantas dengan wajah yang tampak menyesal wanita itu kembali berkata, "Kalau begitu... maafkan aku ya! Terus terang, aku merasa bersalah karena telah menuduhmu yang tidak-tidak."
"Sudahlah! Aku bisa memakluminya kok—aku mengerti akan perasaanmu yang diperlakukan oleh Jodi secara tidak layak."
"Terima kasih atas pengertianmu. O ya, kenalkan... namaku Maemi."
"Emm... namaku Yuli, senang berkenalan denganmu."
"Aku juga, Yul. O ya, ngomong-ngomong... siapa tadi yang kau bilang sebagai pacar Jodi?"
"Rani maksudmu?”
"Ya, dia. Kasihan gadis itu, dia pasti tidak menyadari kalau dirinya sedang dipermainkan oleh suamiku."
"Kau benar Maemi, dan karenanyalah ibunya memintaku untuk mengungkapkan jati diri Jodi yang sebenarnya. Terus terang, saat ini aku sedang bingung—aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan Rani."
"Loh, ibunya kan tahu kalau Jodi memang sebusuk itu. Lalu, kenapa tidak dia sendiri yang menceritakannya?" tanya Maemi bingung.
"Ibunya sudah meninggal, kira-kira sebulan yang lalu," jawab Yuli polos.
"A-apa??? Ja-jadi…"
"Ya… Arwah ibunya yang memberikan surat itu," potong Yuli.
Maemi bergidik seketika, kemudian dia segera mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Kalau begitu, berikan saja ini," kata Maemi seraya memberikan selembar foto kepada Yuli.
Yuli tampak mengamati foto itu sejenak, dilihatnya sepasang pengantin tampak sedang bergandengan mesra di depan pelaminan. Mereka adalah Maemi dan Jodi yang sedang berbahagia di sebuah pesta perkawinan. Setelah menyimpan foto itu di dalam tasnya, Yuli kembali berbincang-bincang dengan Maemi.
Kini keduanya tampak sudah semakin akrab, mereka terus berbincang-bincang hingga pada akhirnya, "O ya, Yul. Sekarang aku mesti pergi, lain kali kita bisa berbincang-bincang lagi," pamit Maemi seraya sun pipi kiri-kanan. "Sampai jumpa lagi ya, Yul!" ucapnya kemudian.
Yuli memandangi kepergian Maemi, dia merasa kasihan melihat wanita yang sedang hamil muda itu. Baginya Jodi itu benar-benar biadab, teganya dia menyuruh istrinya untuk menggugurkan anak kandungnya sendiri. Namun ketika Maemi mengatakan akan bercerai dengan suaminya, dia tampak merasa lega. Sebagai seorang wanita, dia pun akan melakukan hal serupa jika mempunyai suami seperti Jodi. Tak lama kemudian, tibalah giliran Yuli untuk menikmati jasa pelayan Salon.



Malam harinya, hujan turun rintik-rintik, hembusan angin dingin terasa begitu menusuk kulit. Pada saat yang sama, sebuah sedan mewah tampak berhenti di depan gerbang sebuah rumah megah. Kini sedan itu mulai melaju melewati gerbang yang pintunya telah terbuka secara otomatis. Bersamaan dengan itu, seorang satpam tampak berlari mengikutinya. Dia terus berlari sambil menggenggam payung di tangannya. Kini satpam itu sedang berdiri di samping mobil sambil menunggu seseorang yang akan dipinjamkannya payung. Selang beberapa saat, seorang gadis tampak keluar dari mobil dan langsung mengambil alih payung yang sedang dipegang oleh Pak Satpam tadi. Gadis itu ternyata Yuli, kini dia sedang melangkah ke pintu utama yang terletak agak jauh dari tempatnya memarkir mobil.
Kini Yuli sudah berada di ruang tengah dan sedang berbincang-bincang dengan Jodi. Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya Yuli mulai mengatakan maksud kedatangannya. "Jo, boleh aku meminta kembali koinku!" pintanya berharap.
"Kenapa? Bukankah aku memerlukannya untuk melindungi diri dari arwah sialan itu," tanya Jodi tidak senang.
"Sebenarnya aku memerlukannya koin itu, Jo. Kakekku berpesan agar aku selalu membawanya ke mana pun aku pergi," kata Yuli memberikan alasan.
"Tidak!!! Pokoknya koin ini harus tetap di tanganku, titik."
Mendengar itu, Yuli langsung mengerutkan keningnya, lalu keduanya matanya tampak menatap Jodi dengan tajam. "Huh! Sekarang aku baru merasakan sendiri kebusukanmu. Sekarang aku benar-benar yakin siapa kau sesungguhnya, kau memang bukan manusia, kau hanyalah seekor binatang yang tak bermoral. Rupanya waktu itu kau telah membohongiku agar aku bersimpati dan mau menyerahkan koin emas itu padamu."
"Ha ha ha…! Kau memang wanita bodoh, Yul. Selama ini kau mengira aku ini pria baik-baik, kan? Sebenarnya perhatianku selama ini hanya untuk membuatmu simpati, dan aku melakukan semua itu semata-mata ingin mendapatkan dirimu. Selama ini aku memang sangat menyukaimu, dan aku ingin sekali menikmati tubuh indahmu itu," kata Jodi sambil tersenyum dengan mata penuh birahi.
"Kurang ajar kau, Jo!!! Beraninya kau berkata begitu," ujar Yuli seraya berdiri dari duduknya, kedua matanya tampak melotot tajam.
"Tenang Manis… jangan galak begitu dong!" pinta Jodi seraya ikut berdiri. "Ayolah… bukankah lebih baik kita nikmati malam ini bersama-sama!" ajaknya kemudian seraya menarik lengan Yuli dan mendekapnya erat, kemudian dia berusaha untuk menciumnya.
Mendapat perlakuan itu, Yuli segera meronta dan menampar pipi pemuda itu dengan begitu keras, kemudian berdiri menjauh dan menatapnya dengan sangat marah. Sementara itu Jodi tampak mengusap-usap pipinya yang terasa panas, sedangkan kedua matanya tampak membalas tatapan Yuli dengan mata yang berapi-api.
"Dasar perempuan sialan!" maki Jodi seraya menghampiri gadis itu dan menamparnya dengan keras sekali. Tak ayal, Yuli langsung terpelanting dan jatuh di lantai, dari celah bibirnya tampak mengalir darah segar yang membasahi sebelah pipinya.
Yuli tampak meringis kesakitan, tubuhnya terasa begitu lemas dan tak berdaya. Melihat itu, Jodi segera membopongnya ke kamar atas dan langsung menjatuhkannya di atas tempat tidur. Kini pemuda itu sedang berdiri sambil menatap tubuh Yuli dengan begitu bernafsu. Tak lama kemudian dia sudah berlutut di atas tubuh sintal itu, kedua tangannya tampak memegang kedua tangan Yuli dengan begitu erat.
Menyadari apa yang akan dilakukan Jodi, Yuli segera meronta sekuat tenaga, namun perbuatannya itu sia-sia belaka—baginya pegangan Jodi terasa begitu kuat. Sebagai wanita yang lemah, hal itu justru akan menghabiskan energinya saja. Akhirnya Yuli menyadari itu, kini dia sudah tidak meronta lagi, dia menunggu kesempatan untuk menggunakan sisa tenaganya. Sementara itu Jodi mulai menciumi leher Yuli, dan Yuli cuma bisa pasrah menerima perlakuan itu, namun dalam hati dia terus mengumpat atas kebiadaban pemuda itu.
Karena Yuli sudah tak meronta lagi, akhirnya Jodi melepaskan pegangan tangannya, namun kakinya masih tetap mengapit tubuh Yuli dengan erat. Kini dia tampak mengeluarkan koin emas milik Yuli dari dalam dompetnya. "Sayang… Bukankah kau begitu menginginkan koin ini," katanya seraya menunjukkan koin itu kepada Yuli. "Aku janji… setelah kita menikmati sorga dunia ini, dan setelah aku melenyapkan arwah keparat itu, aku pasti akan mengembalikan koin ini padamu."
"Tidak!!! Aku tidak akan rela menyerahkan kegadisanku padamu," teriak Yuli seraya meludahi wajah pemuda itu.
Mendapat perlakuan itu, Jodi langsung menamparnya dengan keras sekali, kemudian menjambak rambutnya yang panjang sebahu. "Jangan sekali-kali lagi kau meludahiku Yul! Terus terang aku bisa membunuhmu karenanya," ucap Jodi seraya memandangnya dengan begitu murka.
Saat itu Yuli cuma bisa merintih kesakitan, isak tangisnya pun terdengar cukup memilukan. Yuli cuma bisa menangis dan menangis, sungguh dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Jodi mulai membuka kancing bajunya satu per satu.
Jodi terus membuka kancing baju Yuli dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tampak memainkan koin emas di seputar wajah Yuli. Ketika Jodi hendak melepas kancing baju Yuli yang terakhir, tiba-tiba sebuah vas bunga melayang dan menghantam kepala Jodi dengan kerasnya. Tak ayal, tubuh Jodi langsung tersungkur di sisi Yuli. Bersamaan dengan itu, koin emas yang ada di genggamannya terlepas seketika.
Menyadari kesempatan itu, Yuli segera bangun dan mengambil koin emas miliknya, kemudian segera berlari meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Jodi yang baru saja bangkit langsung mengejarnya, dia melihat gadis itu sedang berlari ke arah tangga yang menuju ke lantai bawah.
Sungguh sangat disayangkan, Yuli yang masih dalam keadaan lemah tiba-tiba saja terjatuh. Ketika dia baru saja berdiri, tiba-tiba Jodi sudah memegang tangannya. "Kau mau ke mana, Sayang...? Bukankah urusan kita belum selesai," kata pemuda itu seraya berusaha keras mengambil koin emas dari tangan Yuli. Saat itu Yuli tampak mempertahankannya dengan sekuat tenaga, dia tampak menyembunyikannya di balik punggung.
Jodi yang sudah kian gelap mata segera mencekik leher Yuli dengan sekuat tenaga, sepertinya dia sudah tidak ragu-ragu lagi untuk membunuhnya. Yuli yang dicekik begitu rupa merasakan nafasnya kian bertambah sesak, darahnya pun seakan mulai berhenti mengalir. Dalam keadaan kritis itu, tiba-tiba sebuah guci melayang dan langsung menghantam tubuh Jodi dengan kerasnya. Tak ayal, tubuh pemuda itu langsung tersungkur bersamaan dengan suara pecahan guci yang hancur berkeping-keping. Pada saat yang sama, Yuli tampak terbatuk-batuk, kemudian dengan segera dia berlari meninggalkan pemuda itu.
Yuli masih terus berlari—dia berlari seraya menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Pada saat yang sama Jodi sudah berdiri kembali, wajahnya yang tampan tampak masih meringis kesakitan. Namun ketika dia hendak mengejar buruannya, tiba-tiba saja sosok Yana muncul di hadapannya. "Jodiii…!!!" serunya dengan suara yang begitu parau.
Saat itu Jodi sangat ketakutan melihat wajah Yana tampak begitu mengerikan. Wajah yang berlumuran darah itu tampak begitu pucat, kedua bola matanya tampak mencuat ke luar, sementara itu giginya yang runcing tampak menyeringai buas.
Jodi yang masih tampak ketakutan segera mundur menjauh. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja benda-benda keramik yang ada di ruangan itu tampak melayang-layang, kemudian jatuh di sekitar pemuda itu dengan suara pecahan yang terdengar hingga ke luar rumah.
Jodi yang mengalami peristiwa itu tampak gemetar hebat, wajahnya yang tampan tampak begitu pucat. "Tolong jangan kauganggu aku, Yana...! Ma-ma-maafkanlah aku…!" mohon pemuda itu dengan terbata-bata, sedangkan kakinya terus melangkah mundur ke langkan.
Yana yang sudah begitu murka tidak mempedulikan kata-katanya, dia terus mendekati pemuda itu hingga akhirnya tertahan di tepi langkan. Sementara itu di luar rumah, Yuli tampak sedang mengendarai mobilnya melewati pintu gerbang. Wajahnya yang cantik tampak masih terlihat tegang, namun dalam hati dia bersyukur karena berhasil melarikan diri dari kebiadaban pemuda yang mau memperkosanya.
Yuli terus melaju—memacu mobilnya menjauhi rumah Jodi. Pada saat yang sama, satpam yang bertugas di rumah itu tampak berlari memasuki rumah, dia berniat memeriksa suara pecahan yang didengarnya ketika sedang membukakan pintu untuk Yuli.
Setibanya di ruang tengah, satpam itu tampak terkejut. Dilihatnya sang Majikan sedang terjatuh dari lantai atas. Tubuhnya meluncur cepat dan jatuh menimpa meja kaca di bawahnya. saat itu Jodi tewas seketika dengan tubuh yang sangat mengenaskan. Kepalanya pecah dengan kedua mata yang tampak melotot, sedangkan wajahnya yang terkena serpihan kaca tampak hancur mengerikan. Dari mulut, hidung, dan telinganya tampak keluar darah yang terus mengalir.
Sementara itu di tempat lain, Branden tampak sedang duduk termenung di ruang tamu, dia tampak begitu sedih karena putri tunggalnya belum juga ditemukan. "Rani, Ayah benar-benar menyesal karena tidak mau berterus terang kepadamu. Andai saja waktu itu Ayah mau berterus terang, mungkin saat ini kau masih bersama Ayah, Nak." Branden membatin. Kemudian dengan perasaan yang teramat bersalah Branden tampak menjambak rambutnya sendiri.
Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba Branden mendengar suara ketukan pintu, kemudian disusul dengan suara orang yang memberi salam. Mendengar itu, Branden segera membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia ketika melihat siapa yang datang, ternyata yang datang itu Rani beserta seorang ibu yang sedang menggendong bayi.
Pada saat itu Branden langsung memeluk putrinya dengan penuh rasa haru, "Kau ke mana saja, Nak? Ayah sudah sangat mengkhawatirkanmu, Sayang..." tanya Branden sambil terus memeluk putrinya. Sementara itu Rani cuma terdiam, dia tidak merespon pelukan ayahnya sebagaimanamestinya.
"Kau kenapa, Sayang..." tanya Branden seraya melepaskan pelukannya, kemudian dia menatap wajah putrinya yang tampak begitu dingin.
Rani tidak menjawab, dia masih diam membisu. Melihat itu, Branden kembali bicara, "O... sekarang Ayah mengerti. Kau pasti sudah salah paham tentang Ayah, dan semua itu karena Ayah tidak mau berterus terang padamu," kata Branden seraya membelai rambut putrinya. "Rani... maafkan Ayah, Nak! Ayah memang sudah bersalah karena tidak mau berterus terang, dan Ayah berjanji akan menjelaskan semuanya itu kepadamu," lanjutnya kemudian.
Mendengar itu, Rani merasa sedikit tenang, namun raut wajahnya masih tetap terlihat begitu dingin. Branden menyadari kalau putrinya masih belum bisa mempercayainya, kemudian dia berusaha untuk meyakinkannya sekali lagi. Karena Branden berkata dengan penuh kesungguhan, akhirnya Rani mau mempercayainya. Mengetahui hal itu, Branden terlihat senang, kemudian dia segera mengajak keduanya untuk masuk, dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruang tamu.
Kini Branden tampak sedang berbincang-bincang dengan si Ibu yang sudah membawa putrinya pulang. Sementara itu, Rani terlihat sedang membuatkan minum. Setelah menyuguhkan minuman yang dibuatnya, Rani tampak melangkah ke teras depan dan duduk termenung di tempat itu. Kini dia sedang memikirkan perihal ayahnya yang sudah berjanji akan menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pada saat yang sama, Branden masih berbincang-bincang dengan si Ibu yang ternyata seorang penjual sayur, "O... jadi begitu, Bu," kata Branden ketika mengetahui kalau si Ibu mengenal putrinya ketika di bis kota, dan beliau menemukan Rani sekitar pukul empat pagi.
"Benar, Pak. Waktu itu kebetulan saya hendak berangkat untuk belanja sayuran di pasar, dan betapa terkejutnya saya ketika melihat seorang gadis sedang menangis di pinggir jalan. Pada mulanya saya tidak mengenali dia, tapi ketika saya perhatikan dengan seksama akhirnya saya mengenalinya. Waktu itu wajahnya tampak begitu murung. Saat itu saya bisa merasakan beban berat yang sedang dihadapinya. Karena saya sudah mengenal siapa Rani, saya pun segera mengajaknya pulang ke rumah. Dan sesampainya di rumah, saya meminta Rani untuk menceritakan kesusahannya. Setelah Rani bercerita, akhirnya saya bisa mengetahui duduk perkaranya. Karenanyalah saya merasa berkewajiban untuk membantunya. Namun ketika saya mengajaknya pulang ke rumah Bapak, Rani menolak, dan setelah saya bujuk, akhirnya Rani mau pulang, namun dengan syarat saya mau berbicara dengan Bapak agar mau menceritakan perihal semua kejadian aneh yang telah Rani ceritakan itu. Karena tadi saya dengar Bapak sudah mau menceritakannya, saya rasa sudah tidak perlu lagi untuk memintanya. O ya, Pak. Sekarang sebaik saya pamit pulang! Saya tidak bisa lama-lama karena suami saya pasti sedang menunggu. Lagi pula, Bukankah Bapak harus segera menceritakan hal yang sebenarnya kepada Rani."
"Baiklah, Bu. Sekali lagi saya ucapkan banyak terima kasih."
"Sama-sama, Pak. Permisi!" ucap si Ibu seraya beranjak dari duduknya, kemudian melangkah menghampiri Rani yang saat itu masih duduk di teras depan. "Rani, kau jangan lari lagi ya, Nak! Kasihan ayahmu, dari tadi pagi beliau sudah mencarimu sampai ke mana-mana, dan beliau sangat mengkhawatirkanmu."
Rani tampak mengangguk, kemudian memeluk si ibu seraya mengucapkan banyak terima kasih. Beberapa saat kemudian, si Ibu tampak sudah meninggalkan tempat itu. Pada saat yang sama, Rani dan ayahnya tampak duduk berdua di teras depan. Sesuai dengan janjinya, Branden segera menceritakan peristiwa yang selama ini dipendamnya. "Rani…" ucapnya dengan lembut. Belum sempat Branden melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara burung di samping rumahnya.
Branden dan putrinya langsung memusatkan pendengaran ke asal suara itu. Pada saat itu Rani tampak terpaku mendengarnya, sedangkan Branden tampak beranjak bangun untuk memeriksa. Kini lelaki itu sedang melangkah menuju ke samping rumah yang tampak begitu gelap. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok istrinya tampak sedang berdiri di tempat itu.
"Yana…!" seru Branden menyapa mendiang istrinya.
Mendengar ayahnya menyebut nama sang Ibu, Rani sektika terkejut, kemudian dengan segera dia berlari menghampiri Branden dan melihat apa yang dilihat ayahnya. Saat itu sosok Yana sudah tak terlihat lagi. Saat itu Rani tampak heran sambil mengamati ke sekelilingnya. "Ada apa, Ayah? Kenapa barusan Ayah menyebut nama Ibu?" tanya Rani bingung.
Branden memandang Rani dengan sorot mata yang penuh kebimbangan. Namun karena dia sudah berjanji untuk tidak menutup-nutupinya, maka dia pun segera berterus-terang, "Nak… Tadi Ayah sedang menyapa ibumu," jawabnya pelan.
Rani tampak terkejut, dia sama sekali tidak menyangka akan hal itu. Kini dia menatap mata ayahnya dengan dahi agak berkerut, "Ja-jadi Ibu…"
"Iya, Nak. Ibumulah yang telah membuat kejanggalan-kejanggalan selama ini. Dia memang sering datang untuk menjenguk kita," jelas Branden memotong perkataan putrinya.
Saat itu Rani bukannya senang akan kejujuran Branden, tapi justru membuatnya begitu kecewa. "Tidak mungkin, Ayah… Tidak mungkin!!!" ucap Rani seraya memandang ayahnya dengan sorot mata yang begitu tajam. "Dengar Ayah…! Ibu telah pergi meninggalkan kita, dan beliau sudah tenang di alam sana. Beliau tidak mungkin bangkit dari kuburnya dan menjadi hantu gentayangan. Kenapa Ayah memfitnah Ibu demi untuk menutup-nutupi perbuatan Ayah?" lanjutnya tidak mau mempercayai kenyataan itu.
Branden kebingungan, dia tidak tahu bagaimana cara membuktikan hal itu dan membuat putrinya percaya. Kini dia melangkah dan mendekap tubuh Rani dengan penuh kasih sayang. "Ayah mengerti kata-katamu, Nak. Tapi percayalah... selama ini arwah ibumu memang selalu datang ke rumah kita," jelas Branden seraya membelai-belai rambut putrinya.
Tiba-tiba Rani melepaskan diri dari dekapan sang Ayah dan langsung mundur selangkah, "Ayah bohong! Ayah tidak mengatakan hal yang sebenarnya," ucap Rani lirih.
"Percayalah, Sayang...! Karenanyalah selama ini Ayah selalu menutup-nutupinya. Dari semula Ayah sudah bisa menduga kalau kau tidak akan bisa mempercayainya. Terbukti saat ini kau tidak mau menerima kenyataan yang sebenarnya, dan semua itu karena Ayah tidak mempunyai bukti yang bisa membuatmu yakin."
"Apa benar semua yang Ayah ucapkan itu?" tanya Rani ragu.
Branden mengangguk, kemudian melangkah menghampiri putrinya, "Rani... surat yang kau tanyakan tempo hari adalah surat dari ibumu," ucapnya kemudian.
"Ja-jadi… surat itu dari Ibu?" tanya Rani seakan tidak percaya.
"Iya, Sayang..." jawab Branden singkat.
"Tapi... kenapa Ibu melakukan semua itu?" tanya Rani masih belum mengerti.
"Kalau begitu, mari kita duduk kembali! Ayah akan menjelaskan semuanya padamu," pinta Branden lembut.
Akhirnya mereka kembali duduk di kursi teras. Tak lama kemudian, Branden mulai menceritakan perihal kehadiran sosok Yana selama ini. Baru saja dia selesai bercerita, tiba-tiba angin kencang datang menderu-deru. Bersamaan dengan itu, sesosok tubuh dengan gaun putih yang berkibar-kibar tampak melayang turun di muka rumah. Kini sosok itu tampak tersenyum kepada mereka berdua. Melihat itu, Rani segera bangkit dan menatapnya dengan mata tak berkedip.
"I-Ibu…!" Seru gadis itu tiba-tiba.
“Anakku…" sapa Yana seraya menatap wajah putrinya dengan lembut.
"Ibu... Rani sayang sama Ibu," ucap Rani seraya menitikkan air matanya.
"Ibu juga, Nak... Ibu sangat menyayangimu, dan Ibu berharap kau juga selalu menyayangi ayahmu," kata sosok ibunya lembut, kemudian dengan serta-merta dia melayang naik dan hilang seketika.
"Ibuuu….!!!" panggil Rani lirih, kemudian dia menangis tersedu-sedu.
Rani masih saja menangis, saat itu dia tampak berlari kesana-kemari mencari soosk ibunya itu—matanya yang basah terus memandang ke segala arah, sedangkan mulutnya tak berhenti memanggil. Selama ini Rani sudah sangat merindukan ibunya, dan dia merasa begitu kehilangan ketika sosok ibunya pergi dengan begitu tiba-tiba.
Branden yang melihat putrinya seperti itu berusaha untuk menenangkannya, kemudian memeluknya dengan segenap perasaan sayang. Rani segera membalas pelukan ayahnya dengan sangat erat—dia berusaha keras untuk melepaskan semua kesedihannya.
Rani terus menangis di pelukan ayahnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir membasahi kedua pipinya, "Maafkan Rani, Ayah! Rani sudah tidak percaya sama Ayah," ucapnya lirih.
"Sudahlah Sayang…! Kau tidak perlu meminta maaf. Ayah maklum kalau kau memang cuma salah paham," kata Branden seraya membelai rambut putrinya dengan penuh kasih sayang,
"Terima kasih, Ayah…!" ucap Rani seraya melepaskan pelukan dan memandang ayahnya dengan mata yang berbinar-binar.
Branden membalasnya dengan sebuah senyum yang membuat Rani merasa begitu damai. Tiba-tiba saja, di wajah Rani tersungging senyum keceriaan.
"Terima kasih, Yana… kau telah mengembalikan Keceriaan putri kita," ucap Branden dalam hati, kemudian dia segera mengajak putrinya untuk masuk ke rumah.
Kini mereka sudah berada di kamar masing-masing. Saat itu Branden tampak sudah terlelap di tempat tidurnya, sedangkan Rani baru saja akan merebahkan diri. Tak lama kemudian, dia pun terlelap bersama mimpi-mimpinya.



Esok paginya cuaca tampak cerah, burung-burung terdengar berkicau dengan merdunya. Yuli yang baru saja bangun tidur tampak sedang merenggangkan persendiannya, kemudian beranjak bangun dan membuka jendela. Pada saat yang sama, cahaya matahari yang hangat menebus masuk menyinari sebagian ruang kamar. "Oh, segarnya udara pagi ini," ucap Yuli seraya menghirup udara pagi dalam-dalam.
Tidak biasanya Yuli bangun sepagi ini, biasanya dia baru bangun sekitar pukul 9.00 WIB. Kini gadis itu sudah siap untuk pergi mandi, namun ketika sedang melangkah ke kamar mandi, dia berpapasan dengan pembantunya yang tampak memperhatikannya dengan sedikit heran.
"Tumben, Non. Pagi-pagi sudah bangun," komentarnya sambil garuk-garuk kepala.
Mendengar itu, Yuli langsung angkat bicara, "Sudah deh, Mang. Jangan banyak komentar, lebih baik sekarang kaupersiapkan sarapan untukku!" pintanya dengan nada kesal.
"Ba-baik, Non," ucap pembantunya agak terbata.
Yuli melanjutkan langkahnya. Setibanya di kamar mandi, matanya langsung tertuju ke arah tulisan di cermin—tulisan tangan yang ditulis pada cermin yang berembun. "Yuli, maafkan kalau malam itu aku telah membuatmu takut! Aku harap kau tidak lupa untuk pergi menemui Rani!" Begitulah bunyi tulisan itu.
Yuli merinding seketika, dia sadar kalau Yana telah mengingatkannya untuk segera menemui Rani. Lantas dengan perasaan yang masih merinding, Yuli bergegas mandi. Sesekali matanya tampak was-was mengawasi sekitarnya, khawatir kalau-kalau sosok Yana masih berada di tempat itu.
Selesai mandi, Yuli langsung berpakaian dan bergegas menuju ke meja makan. Pada saat yang sama, pembantunya datang dengan membawakan sarapan pagi. Kini si pembantu tampak berdiri si samping Yuli dengan wajah penuh keingintahuan. "Memangnya, mau ke mana, Non?" tanyanya sambil cengengesan.
"Kau ini mau tahu saja," kata Yuli tidak mau memberitahu.
"Bukan apa-apa, Non! Kalau tuan dan nyonya bertanya, saya harus jawab apa?" jelas pembantunya.
"Baiklah... bila mereka tanya, bilang saja aku sedang pergi ke rumah teman!"
"Kalau begitu, baik Non."
Kemudian si pembantu tidak berkata-kata lagi, dia langsung pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Pada saat yang sama, Yuli mulai menikmati sarapan paginya—sepotong roti bakar dan segelas susu. Sementara itu di tempat lain, Rani dan Branden juga sedang sarapan. Mereka sedang menikmati singkong rebus yang pagi-pagi sekali sudah di cabut oleh Branden dari kebun belakang.
Selesai sarapan, keduanya tampak bersantai di teras depan, kemudian mereka mulai berbincang-bincang. "Yah, sekarang kan hari libur. Bagaimana kalau kita pergi ke makam ibu?" tanya Rani tiba-tiba.
"Hmm... kau merindukannya?" Branden balik bertanya.
"Betul, Ayah. Entah kenapa tiba-tiba Rani ingin mengunjungi Ibu?"
"Kalau begitu, Ayah sih setuju saja. Nah, bagaimana kalau sekarang kau memetik bunga untuk keperluan nyekar!" Saran Branden seraya mengambil surat kabar pagi dan mulai membacanya.
Sementara itu, Rani tampak bergegas mengambil keranjang kecil dan langsung melangkah ke pekarangan samping untuk memetik bunga-bungaan yang biasa digunakan untuk pergi berziarah. Beberapa menit kemudian, keduanya tampak sudah berangkat menuju ke makam Yana.
Setibanya di makam, mereka melihat sang Kakek juru kunci sedang berada di makam tersebut. "Sedang apa beliau?" tanya Branden kepada putrinya.
"Mungkin beliau habis membersihkan makam Ibu, Yah."
"Kalau begitu, lekas kita ke sana!" ajak Branden seraya mempercepat langkah kakinya.
Tak lama kemudian, keduanya sudah berdiri di belakang sang Kakek. "Selamat pagi, Kek!" ucap Rani kepada sang Kakek yang masih saja sibuk membersihkan makam.
Sang kakek terkejut, kemudian lekas-lekas menoleh. "Oh kalian," ucapnya seraya tersenyum.
Kemudian beliau memperkenalkan diri dan bercerita sedikit tentang jati dirinya. Branden dan Rani tampak senang mendengarkan penuturan sang Kakek. Tak lama kemudian, mereka sudah terlihat akrab. Kini mereka sedang menaburkan bunga di atas makam dan berdoa bersama-sama. Setelah itu, mereka segera menuju ke makam orang tua Yana dan berdoa di tempat itu.
Selesai berdoa, mereka tampak melangkah menuju ke pohon kamboja yang cukup rindang. Di bawah keteduhan pohon itulah, sang Kakek segera menceritakan perihal sosok Yana kepada keduanya. Pada saat itu Branden dan Rani tampak mendengarkan penuturan sang Kakek dengan begitu antusias.
Dalam ceritanya, sang Kakek menjelaskan kalau yang melakukan semua kejadian yang mereka alami, seperti angin besar dan lain-lain bukanlah pekerjaan Yana. Semua itu adalah pekerjaan Qarin Yana, jin pendampingnya yang ingin menyesatkan Branden dan Rani, dia juga dibantu oleh jin fasik yang mempunyai kekuatan besar. Maklumlah, qarin orang beriman sangat lemah, karena ia jarang menyerap energi dari yang didampinginya. Berbeda dengan qarin orang yang sesat, mereka bisa sangat kuat lantaran sering menyerap energi dari orang yang didampinginya.
Biasanya qarin hanya diberi izin selama 40 hari untuk menuntaskan kehendaknya, sebab energi yang diperlukan untuk berinteraksi manusia sangatlah besar. Sebenarnya tujuan Jin fasik yang membantu Qarin Yana juga ingin menyesatkan manusia, agar manusia percaya dengan adanya arwah yang gentayangan, apa lagi jika manusia sampai menyediakannya kopi manis dan kopi pahit. Maka jin fasik akan semakin bertambah kuat. Begitulah lihainya mereka dalam usaha menyesatkan manusia agar bisa diserap energinya. Seolah mereka itu berbuat baik dan menolong, padahal pada hakekatnya justru menyesatkan.
Selama ini arwah Yana sudah berada di alam barzakh, menunggu hari kebangkitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada arwah yang gentayangan. Sebab, ketika seseorang di kubur dia akan diminta untuk menjawab pertanyaan malaikat. Setelah itu, bagi orang yang beriman akan mengalami tidur panjang, sedangkan mereka yang tidak beriman akan mengalami siksa kubur.

Bukhari Muslim 1667 Diriwayatkan daripada Anas bin Malik r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Apabila seseorang hamba dikebumikan di dalam kuburnya kemudian ditinggalkan oleh kawan-kawannya nescaya dia akan mendengar bunyi hentakan tapak kasut mereka. Seterusnya dia akan didatangi oleh dua malaikat lalu mendudukkannya dan bertanya: Apa pendapatmu tentang lelaki ini iaitu Nabi Muhammad s.a.w?. Baginda bersabda lagi: Sekiranya dia seorang mukmin, nescaya dia akan menjawab: Aku bersaksi bahawa dia hamba Allah dan pesuruhNya. Lalu diberitahu kepadanya: Lihatlah tempatmu di Neraka, sesungguhnya Allah telah menggantikannya dengan Syurga. Nabi s.a.w bersabda: Dia dapat melihat kedua-duanya iaitu Syurga dan Neraka

Bukhari Muslim 325 Diriwayatkan daripada Aisyah r.a katanya: Dua orang perempuan tua dari kaum Yahudi Madinah telah datang menemuiku. Kedua perempuan itu berkata: Sesungguhnya ahli kubur akan di azab dalam kubur mereka. Lalu Aisyah berkata: Kamu berdua ini penipu dan aku tidak mahu membenarkan kata-kata mereka itu, maka kedua-dua perempuan itu meninggalkan aku. Setelah itu Rasulullah s.a.w datang lalu aku berkata kepada baginda: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dua orang perempuan tua dari kaum Yahudi Madinah telah datang menemuiku dan mereka mengatakan bahawa ahli kubur akan di azab di dalam kubur mereka. Lalu Rasulullah bersabda: Memang benar kedua-dua orang perempuan Yahudi itu akan di azab, hanya binatang sahaja yang dapat mendengar azab itu. Aisyah berkata lagi: Aku selalu mendengar Rasulullah s.a.w memohon perlindungan dari azab kubur ketika baginda sembahyang

Ketahuilah, bahwa orang yang sudah meninggal akan terputus amalnya, jadi tidak mungkin kembali untuk menolong. Jangankan arwah manusia, Jin fasik saja, pada hakekatnya tidak akan mampu menolong manusia, sebab mereka sangat lemah, tentunya jika tidak ada energi dari manusia yang berhasil diserapnya. Dan sistem penyerapan energi manusia ini sudah dirancang sedemikian rupa, yaitu jika ada manusia yang meminta tolong kepada mereka, maka manusia akan terserap energinya. Karena itulah tidak diperbolehkannya manusia meminta tolong kepada bangsa Jin, sekalipun Jin itu mengaku muslim. Sebab pada hakekatnya tidak ada Jin muslim yang akan bersedia membantu manusia, kecuali ia sudah menjadi fasik. Rasulullah pun pernah ditawarkan bantuan oleh Jin, namun beliau menolak lantaran sudah memahami hakikat sejatinya. Sebaik-baiknya Jin fasik, adalah sejahat-jahatnya manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan: “Banyak di antara mereka yang bisa terbang di udara, dan setan telah membawanya (ke berbagai tempat, -pent.), terkadang ke Makkah dan selainnya. Padahal dia adalah seorang zindiq, menolak shalat dan menentang perkara-perkara lain yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta menghalalkan segala yang telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Begitulah lihainya setan dari bangsa Jin, yang bersedia membantu manusia karena kekafiran, kefasikan, dan maksiat yang dilakukannya. Kecuali bila dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. (Jika dia demikian,) niscaya setan akan meninggalkannya dan segala ‘pengaruh’ pada dirinya akan hilang baik berupa penyampaian berita atau amalan-amalan lain.
Karena itu janganlah berbangga hati jika bisa melihat dan berkomunikasi dengan setan dari bangsa Jin, bahkan bisa mendapat kabar ini-itu, dan juga mempunyai kesaktian yang bisa ini-itu. Ketahuilah, sesungguhnya semua itu hanyalah tipu daya mereka guna menyesatkan manusia.

Al Jin 6. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan[1523] kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
[1523]. Ada di antara orang-orang Arab bila mereka melintasi tempat yang sunyi, maka mereka minta perlindungan kepada jin yang mereka anggap kuasa di tempat itu.

Al Jin 21. Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan."

Surat Al Jin ayat 21 inilah yang seharusnya kita amalkan, sebab dengan mengamalkan ayat ini pada hakekatnya kita telah menutup pintu dimensi alam jin, yaitu dengan cara tidak sekali-kali berinteraksi dengan mereka. Sebab pada hakekatnya jin tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepada manusia dan tidak (pula) suatu kemanfaatan. Begitupun manusia tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepada jin dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.
Karenanyalah, jin muslim yang sudah memahami ayat tersebut tentu tidak mungkin bisa menolong manusia dengan bentuk apapun, sebab mereka memang tidak mempunyai energi untuk itu. Dan mereka juga tidak mungkin bisa diperintah, apa lagi diperbudak oleh manusia.
Pengalaman Surat Al Jin ayat 21 inilah cara terbaik menghormati kehidupan mereka, yaitu tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk semakin menyesatkan manusia. Sudah cukup mereka merusak kehidupan dunia pada masa yang silam, dan sekarang adalah kesempatan manusia untuk menjadi khalifah dengan tanpa melibatkan mereka. Jika umat manusia sudah banyak yang mengamalkan surat ini, maka para jin fasik tidak akan mempunyai kekuatan apa-apa untuk mengganggu manusia. Maka dengan demikian, secara otomatis kehidupan manusia akan menjadi lebih baik.
Selain itu, untuk menjaga keharmonisan antara alam manusia dan alam jin (Dalam rangka mengamalkan Surat Al Jin ayat 21), manusia diwajibkan untuk senantisa berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Allah. Dengan memohon perlindungan kepada Allah, secara tidak langsung manusia telah membentengi diri untuk tidak berinteraksi dengan alam jin. Maklumlah, jika ada manusia yang melempar batu, membuang air panas, dan lain sebagainya ternyata bisa juga mengenai bangsa jin. Karenanyalah untuk membentengi manusia agar tidak lalai menggangu para jin, maka setiap melakukan berbagai tindakan yang bisa membahayakan bangsa jin, diharuskan mengucapkan bacaan basmalah lebih dulu, dengan maksud agar perbuatan manusia itu tidak mengenai bangsa jin.
Semua inilah sejatinya cara yang terbaik guna menghormati bangsa jin agar tidak merasa terganggu lantaran kecerobohan manusia yang tidak memahami keberadaan mereka. Bukannya dengan cara menyediakan ini-itu yang justru membuat mereka semakin kuat, dan ujung-ujungnya justru semakin mengganggu kehidupan manusia.
Karena itulah, sudah saatnya kita meninggalkan budaya yang bisa membuat jin fasik justru bertambah kuat, yaitu dengan cara mengamalkan kitab suci al-Quran dengan sebenar-benarnya, salah satunya adalah dengan mengamalkan Surat Al Jin ayat 21.
Setelah mendengarkan penjelasan itu, Rani dan Branden tampak lega. Segala pertanyaan yang membingungkan telah terjawab sudah. Setelah berbincang-bincang sejenak, akhirnya Ayah dan anak itu kembali pulang ke rumah.
Sepulang dari makam, Branden tampak sibuk mengurus kebunnya yang berada di belakang rumah, sedangkan Rani asyik melamun seorang diri di kamarnya, dia masih saja memikirkan Jodi yang diketahuinya sudah mempunyai istri. Sepertinya dia masih sulit untuk menerima kenyataan itu. Sementara itu di muka rumah, sebuah sedan tampak memasuki pekarangan. Tak lama kemudian, pengemudinya yang ternyata seorang wanita tampak keluar dan melangkah ke pintu depan. Kini dia sedang mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Mendengar itu, Rani segera keluar untuk menemuinya. Saat itu dia tampak terpaku memperhatikan wajah yang baru pertama kali dilihatnya. "Maaf! Anda siapa ya? Apa ada perlu dengan ayah saya?" tanyanya kepada wanita itu.
"Kau Rani kan? O ya, kenalkan... namaku Yuli. Maksud kedatanganku kemari sebenarnya ada perlu denganmu," jawab wanita itu.
"O... kalau begitu. Ayo... silakan masuk!" tawar Rani ramah.
Yuli segera masuk, tak lama kemudian mereka sudah berbincang-bincang mengenai Jodi.
"Benarkah apa yang kau katakan itu?" tanya Rani ragu. "Sebenarnya ayahku pun sudah menceritakannya, namun di hatiku masih ada sedikit keraguan," sambungnya kemudian.
"Sekarang kau tidak perlu ragu lagi Rani, coba kaulihat foto ini," ucap Yuli seraya memberikan foto yang waktu itu diberikan oleh Maemi.
Kini Rani tampak memperhatikan foto itu, hatinya terasa hancur berkeping-keping. Di sisi lain, dia merasa yakin kalau Jodi memang pria busuk yang tidak pantas untuk dicintai. Setelah mereka berbincang-bincang sejenak, akhirnya Yuli berpamitan untuk pulang. Kini Rani tengah mengantarkannya hingga ke muka rumah. "Hati-hati di jalan ya!" ucap Rani seraya melambaikan tangan kepada Yuli.
Setelah sedan yang ditumpangi Yuli menjauh, Rani pun bergegas ke teras dan duduk di tempat itu. Tak lama kemudian Branden terlihat datang menghampirinya. "Rani, siang nanti Ayah akan pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Kau mau menitip apa, Nak?" tanya Branden
"Tidak, Ayah. Rani tidak mau menitip apa-apa," jawab Rani terus terang.
"Ya sudah... kalau begitu ayo kita masuk," ajak Branden kepada putrinya.
"Tidak, Ayah. Rani masih mau di sini dulu."
"Baiklah... sekarang Ayah masuk dulu ya," pamit Branden seraya melangkah masuk.
Kini Rani tampak sedang melamun, rupanya dia sedang memikirkan pria yang waktu itu telah menggagalkan usaha bunuh dirinya. Siapa lagi kalau bukan Bobby, pria yang tiba-tiba saja hadir di dalam benaknya.



Siang harinya Branden berangkat ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Selang beberapa saat, sebuah sepeda motor terlihat memasuki pekarangan. Setelah memarkir motornya, pemuda itu langsung melangkah ke teras, kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
Rani yang mengetahui ada tamu segera membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui siapa yang datang, pemuda tampan yang kini menarik hatinya. Siapa lagi kalau bukan Bobby, pemuda tampan yang pernah menolongnya. Kini Yuli tampak terpaku melihat Bobby yang tersenyum kepadanya.
"Kak Bobby!" ucap Rani seakan tidak percaya. "Ayo Kak, silakan masuk!" ajaknya kemudian.
Setelah mempersilakan Bobby duduk, Rani pun berpamitan untuk membuatkan minum. Sementara itu Bobby tampak sedang melihat-lihat keadaan ruang tamu, dia melihat sebuah foto keluarga Branden.
"Hmm… keluarga yang berbahagia," duganya.
Tak lama kemudian Rani datang membawakan minum, dia tampak memperhatikan Bobby yang sedang melihat foto keluarganya. "Itu ayah dan ibuku," jelasnya tiba-tiba.
Bobby agak terkejut dan segera berpaling. "O… kau, Rani. Ngomong-ngomong, di mana mereka?" tanyanya kepada gadis itu.
"Ayahku sedang pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan dan akan kembali menjelang malam nanti. Sedangkan ibu…." Rani tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak terpaku melihat sosok ibunya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Bobby. Saat itu sosok ibunya tampak tersenyum, seolah-olah memberi isyarat bahwa Bobbylah orang yang pantas menjadi kekasihnya.
"Ibu…!" seru Rani menyapa sosok ibunya.
"Iya Rani. Ayolah katakan, di mana ibumu! " pinta Bobby yang merasa gadis itu terlalu lama menggantung kalimatnya.
Rani yang tersadar akan permintaan Bobby segera menjawab, "Oh ya… I-Ibu… sudah sebulan lebih meninggal dunia," jawabnya sedikit gugup.
"Oh… maafkan aku!" ucap Bobby menyesal.
Rani terdiam sesaat, dalam hati gadis itu terus bertanya-tanya mengenai arti senyuman sosok ibunya, sebab dia menyadari kalau yang barusan dilihatnya adalah Qarin Yana bukan arwah ibunya.
Sesungguhnya bisa saja apa yang diisyaratkannya itu adalah kebenaran, namun kebenaran itu akan ditambah dengan seratus kedustaan. Apalagi jika sampai meyakini kalau dia adalah arwah jelas akan semakin menyesatkan.
Kini mata gadis itu tampak menatap Bobby dengan hangat, kemudian mengajak pemuda itu untuk duduk kembali. Tak lama kemudian mereka, sudah berbincang-bincang dengan begitu akrab.
Setelah bosan ngobrol di ruang tamu, mereka segera pindah ke teras depan, kemudian kembali berbincang-bincang di tempat itu. Ketika sedang asyik-asyiknya ngobrol, mendadak HP Bobby berbunyi. Saat itu Bobby langsung menerimanya, "Hallo!" sapanya kepada orang di seberang sana.
"Bob, nanti malam jadi kan kita jalan-jalan?" tanya gadis yang meneleponnya.
"Tentu saja, bukankah kita sudah sepakat," jawab Bobby.
"Kalau begitu, sampai nanti ya," ucap si Gadis seraya memberikan ciuman jauh.
"Yuli! Tunggu...!" tahan Bobby tiba-tiba. Tapi sayang... telepon sudah ditutup.
Rani tampak terpaku, keningnya pun tampak berkerut ketika mendengar nama gadis yang disebut tadi.



salam….

Mohon maaf jika pada tulisan ini terdapat kesalahan di sana-sini, sebab saya hanyalah manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Saya menyadari kalau segala kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, dan segala kesalahan tentulah berasal dari saya. Karenanyalah, jika saya telah melakukan kekhilafan karena kurangnya ilmu, mohon kiranya teman-teman mau memberikan nasihat dan meluruskannya. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih banyak.
Akhir kata, semoga cerita ini bisa bermanfaat buat saya sendiri dan juga buat para pembaca. Amin… Kritik dan saran bisa anda sampaikan melalui e-mail bangbois@yahoo.com

Wassalam…


[ Cerita ini ditulis tahun 2005 ]