E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Topeng Kuning - Bagian 4

EMPAT
KE BATAVIA



Seminggu setelah rencana keberangkatan, Bobby dan Sinta tampak sibuk mempersiapkan beberapa perlengkapan untuk pergi ke masa lalu—tepatnya pada masa Jakarta masih disebut Batavia. Saat itu keduanya tampak sudah mengenakan pakaian dan aksesoris abad 19 yang membuat mereka seperti muda-mudi pada zaman itu. Sinta yang selama ini mengenakan cadar, kali ini terpaksa cuma mengenakan kerudung agar tidak menarik perhatian. Maklumlah, menurut sebagian besar ulama, cadar itu memang tidaklah wajib. Karena itulah, Sinta berani melepasnya. Selama ini, dia mengenakan cadar hanya sebagai penyempurna hijab agar kecantikannya tidak menjadi fitnah. Terbukti, setelah Sinta melepas cadarnya, kini Bobby lebih sering memperhatikannya. Maklumlah, selama ini pemuda itu hampir tidak pernah melihat wajah Sinta, dan begitu mendapat kesempatan, dia pun menjadi terlena. Sungguh bagi Bobby wajah Sinta itu laksana embun di pagi hari, laksana oase di tengah sahara, laksana bulan di kala purnama, dan laksana berjuta bintang di angkasa. Bobby dan Sinta masih terus mempersiapkan segala sesuatunya, dan setelah semuanya siap, keduanya lantas segera menuju anjungan untuk menemui Haris yang saat itu masih sibuk mempersiapkan kelayakan mesin waktu.
“Bagaimana, Har?” tanya Bobby pada pemuda itu.
“Beres, Bob. Semua sistem sudah aku periksa dan semuanya dalam kondisi baik. O ya, bagaimana dengan persiapan kalian? Apa sudah beres semua?”
“Sudah, Har.”
“Baiklah, kalau begitu segeralah masuk ke Kapwak!“
"Sebentar, Kak. Aku lupa membawa bonekaku!" kata Sinta gelisah.
"Sudahlah, Sin! Kau tidak perlu membawa boneka segala," kata Bobby.
"Tidak bisa, Kak! Aku sulit tidur jika tidak memegang boneka itu," jelas Sinta merengut.
"Aduh... kau itu sudah besar, Sin. Masa tidur saja masih ditemani boneka."
"Kamu tuh tidak mengerti, Kak. Boneka itu hadiah dari…" Sinta tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ha-hadiah dari siapa, Sin?" tanya Bobby penasaran.
"Sudahlah…! Kau itu mau tahu saja."
"Huh, dasar pelit. Masa segitu saja tidak boleh tahu," kata Bobby jengkel.
"Biarin," kata Sinta ringan.
"Sudah, sudah…! Kalau ngobrol melulu kapan berangkatnya. Ayo, Sin. Lekas naik ke Mestrans I !" kata Haris tiba-tiba.
Mengetahui itu, lantas Sinta pun segera naik ke Mestrans I, dan begitu Haris mengoperasikannya, dalam sekejap Sinta sudah hilang dari pandangan. Kini Sinta sudah berada kamar dan sedang mencari boneka pandanya yang imut-imut. Ukuran boneka itu sebesar bola kasti dan biasa disimpan di laci tempat tidurnya.
"Aduh, dimana sih boneka itu?" tanya Sinta dalam hati sambil terus mencari di antara benda-benda yang tersimpan di laci. "O ya, semalam kan aku meletakkannya di belakang lemari es." Sinta teringat ketika menjemur boneka itu di belakang lemari es setelah mencucinya, lalu dengan segera dia berlari ke ruang belakang untuk mengambilnya.
"Aduh bonekaku yang lucu, akhirnya kamu bisa ikut denganku ke Batavia," kata Sinta berbicara kepada bonekanya.
Setelah memasukkannya ke dalam saku, gadis itu segera menghubungi Haris untuk segera memindahkannya ke anjungan. Tak lama kemudian, dia sudah kembali ke anjungan, saat itu di wajahnya terpancar ekspresi penuh kebahagiaan. “Ayo Kak Bobby, kita berangkat sekarang!” ajaknya seraya melangkah memasuki Kapwak.
Tanpa berkata-kata, Bobby pun segera memasuki Kapwak, kemudian dengan segera dia memasang waktu tahun pendaratan, yaitu tanggal 9 Agustus 1811 sekitar abad 19, di mana dia ingin mengetahui benar asal-usul suku yang dikenal dengan nama Betawi. Maklumlah, Bobby itu memang berdarah campuran Betawi dan Melayu. Ayahnya adalah suku Betawi asli dan Ibunya berasal dari negeri jiran Malaysia. Bobby ingin sekali mengetahui asal-usul suku Ayahnya, yang kata orang berasal dari keturunan budak. Karena merasa mempunyai kesempatan, Bobby pun nekad hendak menyelidiki masa itu. Sinta yang juga berdarah campuran antara Betawi dan Jawa ingin mengetahui pula asal-usul suku Ibunya yang berasal dari Betawi.
Kini Bobby sudah siap untuk menekan tombol peluncuran, dan setelah tombol itu ditekan, terdengarlah mode suaranya, "Hitungan mundur pemindahan dimulai. 10... 9... 8... 7... 6... 5... 4... 3... 2... 1... Meluncur..." akhirnya mesin itu meluncur ke zaman yang dituju. Beberapa saat kemudian, terdengarlah mode suara yang menandakan mesin waktu sudah sampai di tempat tujuan. "Pemindahan selesai..." kata si pemandu memberi tahu. Saat itu Kapwak mendarat di hutan kecil yang jauh dari area permukiman.
Setelah pintu Kapwak terbuka, Bobby segera keluar dengan waspada, kemudian kedua matanya tampak mengawasi keadaan sekitarnya dengan penuh rasa was-was. Sementara itu, Sinta tetap berada di dalam, menunggu aba-aba dari Bobby. Setelah dia melihat Bobby memberi tanda aman, akhirnya gadis itu mulai mengaktifkan Kapwak untuk segera mengembalikannya ke pesawat. Hal itu dilakukan demi keamanan Kapwak agar tak ditemukan orang saat ditinggalkan. Kini Kapwak sudah siap meluncur, pada saat yang sama Sinta tampak keluar Kapwak dan bersama-sama Bobby menyaksikan benda itu lenyap dari pandangan.
Setelah Kapwak kembali ke pesawat, Bobby dan Sinta segera melangkah pergi—meninggalkan hutan kecil yang dipenuhi oleh semak belukar. Kini mereka sedang berdiri di atas tanah lapang berumput sambil menikmati pesona keindahan abad ke 19. Tak jauh tempat mereka berdiri, terbentang sebuah sungai yang cukup lebar dan tampak begitu indah—memantulkan sinar matahari yang seperti kumpulan mutiara. Sungai itu adalah sungai Ciliwung. Tak lama kemudian, Bobby dan Sinta tampak melangkah mendekati sungai, saat itu mereka benar-benar kagum dengan segala keindahannya. Sungguh keadaan sungai Ciliwung yang mereka lihat itu sangat berbeda jauh dengan yang ada di masa depan. Selain mempunyai ukuran yang cukup lebar, sungai itu juga mempunyai air yang begitu jernih. Di sungai itu tampak berlalu-lalang perahu-perahu yang ditumpangi oleh Madam (nyonya) dan Noni (nona) Belanda.
Kini kedua muda-mudi itu sedang melangkah—menghampiri sebuah dermaga kecil yang tak begitu jauh. Setibanya di dermaga, Bobby langsung menemui seorang laki-laki yang sedang menambatkan perahu.
"Assalamu’alaikum, Bang!" sapa Bobby dengan logat Betawi yang kental.
"Ade ape, ye?" tanya orang itu, juga dengan logat Betawi yang kental.
Bobby lantas segera mengajak orang itu berbincang-bincang, menanyakan perihal Kota Batavia yang membuatnya penasaran, hingga akhirnya, "O ya, Bang… Ngomong-ngomong, pusat pemerintahannye ade di mane ye?" tanya Bobby pada orang itu.
"O... kalo ntu ada di Weltevreden. Dari sini, elu bisa naek delman menuju ntu tempat," jelas orang itu.
"O iye, Bang. Ngomong-ngomong, ape Abang mau beli cincin batu aye?" tanya Bobby seraya mengeluarkan cincin batu yang diikat oleh perak.
"Wah, cakep bener ni cincin. Emangnye, berape elu mau jual?" tanya orang itu.
"Berape aje deh, Bang. Soalnye, aye lagi butuh duit nih," jawab Bobby sambil tersenyum.
"Hmm… Gue cuma punya duit segini, ape elu mau?" tawar orang itu seraya menyodorkan uang miliknya.
"Kaga ape-ape deh, Bang," kata Bobby seraya menyerahkan cincinnya dan mengambil uang itu.
"O iye, ngomong-ngomong elu dari mane?" tanya orang itu.
"O, kalo aye dari Jakarta Selatan, Bang!" jawab Bobby tanpa menyadari ucapannya.
"Jakarta Selatan…" Orang itu tampak garuk-garuk kepala. "Hmm… Kampung ntu ade di sebelah mane, ye? Perasaan, dari gue kecil ampe bangkotan kaya gini, belon pernah denger kalo ada kampung nyang namenye Jakarta Selatan," kata Orang itu sambil terus garuk-garuk kepala.
"Eng... Abang asli orang sini, ye?" tanya Bobby menutup kebingungan orang itu.
"Emm… Sebetulnye bukan. Soalnye Babe gue dari Bugis dan enyak gue dari Demak. Jujur aje, gue jadi orang sini lantaran Babe ame enyak gue emang udeh lame netep di sini," jawab orang itu.
"O, gitu ya, Bang,” kata Bobby mengangguk-angguk. “O iye, Bang. Makasih ye buat semuanya. Kalo gitu,  sekarang aye permisi dulu. Assalamu’alaikum, Bang…" ucap Bobby.
"Wa’alaikum salam…" balas orang itu.
Tak lama kemudian, Bobby dan Sinta sudah pergi meninggal orang itu. Kini mereka sedang berjalan menuju ke jalan utama yang memang tidak begitu jauh. Setibanya di sana, mereka tampak terkagum-kagum melihat gedung-gedung megah yang berjajar di sisi jalan, semuanya tampak indah dengan arsitektur eropa klasik. Sementara itu di jalan utama, tampak kuda-kuda dan beberapa kereta kuda yang berlalu lalang. Setibanya di sebuah perempatan jalan, mereka tampak berdiri menunggu delman yang menuju ke Weltevreden. Pada yang sama, seorang pria separuh baya tampak melangkah menghampiri mereka. "Assalamu’alaikum…" sapa orang itu memberi salam
"Wa’allaikum salam…" balas Bobby menjawab salam orang itu.
"Elu bedua pade mau ke mane?" tanya orang itu dengan dialek Betawi yang kental.
"Kite mau ke Weltevreden, Bang," jawab Bobby dengan dialek Betawi yang kental pula.
"Kalo gitu… tujuan kite same!" kata orang itu seraya tersenyum ramah.
Tak lama kemudian, Bobby dan orang itu sudah terlibat di dalam perbincangan yang panjang. Keduanya terus berbincang-bincang sampai akhirnya delman yang mereka tunggu tampak melintasi tempat itu. Kini Bobby, Sinta, dan orang yang baru mereka kenal itu tampak sudah menaiki delman. Saat itu, Bobby dan Sinta duduk bersebelahan, sedangkan orang tadi duduk berhadapan dengan mereka. Ketika delman sudah melaju kembali, Bobby melanjutkan perbincangannya. "O iye, Bang. Ngomong-ngomong, Abang orang asli sini, ye?" tanya Bobby.
"O, kalo Gue sih emang dilahirin dan digedein di sini. Tapi kalo elu mau tau, sebenernye gue bukan asli orang sini. Soalnye, Babe gue dari Pajajaran dan Enyak gue dari Demak. Setau gue, orang asli sini sebenernye kaga ade. Asal muasal orang-orang di sini sebenernye dari kampung kecil nelayan nyang sekarang jadi pelabuhan Sunda Kelape. Orang-orang di kampung nelayan ntu dateng dari Kerajaan Areteun yang pada taun 452 dikuasain ame Kerajaan Taruma Negare. Nama ‘Sunda Kelape’ sebenernye dinamain ame orang-orang pade mase Kerajaan Sunda, nyang artinye pelabuhan Kerajaan Sunda. Nah, pada mase ntu banyak orang Pajajaran nyang bedagang di Sunda Kelape. Terus, lame-lame orang-orang ntu pade menetep di situ. Setelah Pajajaran dikuasain ame kerajaan Demak, banyak orang Pajajaran nyang kawin ame orang-orang Demak. Sekarang, setelah berkembang jadi kota Batavia nyang sebelumnye bername Jayakarta, akhirnye banyak orang dari daerah laen nyang juga pade dateng ke sini dan menetep lama. Karena ntu, akhirnye banyak dari orang-orang ntu yang pade kawin antar suku. Makanye, sekarang di Batavia banyak orang hasil perkawinan antar suku ntu. Salah satunye ye gue ini…" cerita orang itu panjang lebar.
Saat mendengar cerita itu, Bobby dan Sinta tampak mengangguk-angguk paham. Dalam hati, kini mereka sudah merasa lega lantaran sudah bisa menarik kesimpulan kalau cerita mengenai orang-orang Betawi yang berasal dari keturunan budak tidak sepenuhnya benar. Sebab, orang-orang Betawi ada karena perkawinan antar suku dan mereka lama menetap di Batavia. Bahkan bukan saja dari kepulauan Nusantara. Mereka juga datang dari belahan dunia lain. Dialek Betawi pun tercipta karena adanya keragaman bahasa serta budaya lain yang berbaur dengan bahasa dan budaya asli terdekat, yaitu bahasa Melayu dan Sunda.
Kalau boleh disimpulkan, orang Betawi Asli adalah orang-orang yang menetap di Batavia, yaitu sejak masih bernama sunda kelapa hingga akhirnya menjadi Batavia. Tidak peduli dia orang Sunda, Jawa, Madura, dll. Jadi, kalau dia menetap di Batavia juga bisa disebut orang Betawi. Seperti halnya sekarang Jakarta, tidak peduli dia dari daerah mana. Selama dia menetap lama dan mempunyai KTP Jakarta, dia disebut orang Jakarta.
Mungkin suatu hari nanti, anak, cucu, atau cicit orang yang sekarang menetap di Jakarta sudah tidak tahu lagi asal-usul nenek moyangnya. Jika ditanya, ‘Kamu orang mana?’ Mereka cuma bisa menjawab, ‘Saya orang Jakarta’ atau bisa jadi mereka bilang ‘Saya orang Betawi’. Sebetulnya nama Betawi sendiri berasal dari kata Batavia, yang karena orang-orang pada masa itu sulit menyebutnya maka tersebutlah kata Betawi itu. Tapi, ada juga versi lain yang menceritakan kalau nama Betawi itu berasal dari julukan keadaan Batavia yang menjijikan. Bobby sendiri sempat terkejut ketika mendengar versi itu. Menurut cerita yang didengarnya. Waktu itu, ketika VOC berkuasa. VOC melarang orang-orang membuang hajat ke kali dikarenakan kali adalah sumber kehidupan. Sebagai alternatif, dibuatlah tempat penampungan. Namun karena waktu itu VOC sangat korup, tempat-tempat itu pun menjadi terbengkalai. Akibatnya, Batavia menjadi kota yang bau dan kotor, hingga akhirnya bencana muntaber pun tak terelakkan. Waktu itu, setiap orang yang hendak menuju ke Batavia, selalu mengatakan "Saya akan pergi ke daerah ‘betai’ (daerah yang penuh dengan kotoran manusia)" hingga lama-kelamaan orang menyebutnya Betawi. Versi yang lainnya lagi adalah, ketika terjadi peperangan yang menggunakan tai (kotoran manusian) untuk berperang. Hingga akhirnya daerah pertempuran itu penuh dengan kotoran, dan daerah yang penuh kotoran itu di juluki daerah ‘betai’ hingga lama-kelamaan menjadi nama Betawi.  Entah versi mana yang benar, Bobby tidak mau ambil pusing. Tapi dia sempat berfikir kalau nama Betawi itu rasanya kurang tepat, sebab sebelum ada Batavia sudah ada kota yang bernama Jayakarta. Karena itulah sekarang di beri nama Jakarta, yang berasal dari kata Jayakarta. Bukankah orang-orang di kota itu memang sudah ada sejak berdirinya Sunda Kelapa. Menurut sejarah yang pernah Bobby ketahui, nama Betawi sendiri baru populer sejak abad ke-19, ketika guru Syaikh Junaid al-Betawi, mengajar di Masjidil Haram, Mekah. Maklumlah, waktu itu di Arab Saudi nama-nama tokoh agama diberi gelar dari nama kota kelahirannya. Seandainya waktu itu VOC tidak mengganti nama Jayakarta dengan nama Batavia, tentu Syaikh Junaid akan diberi gelar Syaikh Junaid al-Jayakarta, dan akhirnya nama Jayakarta-lah yang akan menjadi populer. Tapi sayang, sejarah memang tidak pernah berandai-andai, kalau sekarang nama Betawi-lah yang lebih populer rasanya tidak masalah. Sebab nama bukanlah segalanya, yang terpenting bagi Bobby adalah bagaimana dia bisa menjaga nilai-nilai luhur yang pernah diajarkan oleh para pendahulunya. Mungkin suatu hari kelak, ketika sudah banyak orang Betawi yang menyadari perihal sejarah nama itu, tentu mereka lebih suka dipanggil orang Jayakarta atau Jakarta ketimbang dengan nama Betawi, yang mana para penjajah dulu dengan seenaknya telah mengganti nama kota yang sebelumnya memang pernah ada.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, akhirnya Bobby, Sinta, dan orang yang bersama mereka sampai juga di tempat tujuan. Kini mereka telah turun dari delman dan sedang melangkah bersama. Ketika sampai di sebuah persimpangan, "Nah, kalo elu mau ngeliat-liat pusat kota nyang terkenal ntu. Elu bisa lewat jalan yang ke sane," jelas orang tadi.
"Iye Bang. Terima kasih. O ya, ngomong-ngomong Abang mau ke mane?" tanya Bobby.
"Kalo gue mau ke rumah mertua, lewat jalan yang ntu," jawab orang itu seraya menunjuk ke arah yang dimaksud. "Kalo gitu, udeh dulu ye, Assalamu’alaikum," kata orang itu kemudian..
"Wa’allaikum salam…" balas Bobby pelan sambil mengawasi kepergiannya.
Bobby dan Sinta mulai melangkah menyusuri daerah Weltevreden, saat itu mereka sempat terkagum-kagum dengan segala keindahannya. Keindahan akan taman-tamannya, patung-patungnya, dan masih banyak lagi.
“Kak Bobby, lihatlah patung manusia yang ada di sana itu. Indah ya?”
“Ya, itu memang Indah. Tapi sayang, hal itu bisa merusak ikidah lantaran menjadi tempat berkumpulnya jin-jin jahat. Di masa kita, mana ada patung yang seperti itu. Masih ingatkah kau, kalau semua patung manusia yang ada sepuluh tahun lalu telah dimusiumkan dan akhirnya diganti dengan kaligrafi ayat Al-Quran.”
“Ya, aku ingat. Masa itu adalah masa yang kelam, dimana kemungkaran begitu merajalela lantaran masyarakatnya masih jauh dari nilai-nilai islami. “
Kedua muda-mudi itu terus berkeliling, menikmati keindahan pusat kota yang tampak teratur rapi. Setelah puas, mereka pun beristirahat di sebuah warung kecil guna mengisi perut yang mulai keroncongan. Kini mereka sudah duduk di sebuah bangku panjang dan langsung memesan dua piring gado-gado.
Sambil menunggu gado-gado siap, Bobby dan Sinta tampak mencicipi beberapa makanan kecil yang tersedia di meja. Saat itu Sinta menikmati sepotong pisang goreng, sedangkan Bobby tampak melahap singkong goreng yang empuk. Mereka menikmati makanan kecil itu sambil membicarakan rencana selanjutnya.
"Kak, kita menginap cuma semalam kan?" tanya Sinta.
"Iya, Sin. Sesuai kesepakatan, kita akan menginap semalam sekedar untuk melihat suasana malam di kota ini. Besok pagi, tepat pukul sembilan, kakakmu pasti sudah mengirim Kapwak di lokasi yang sama," jawab Bobby.
"Awas ya, kalau Kakak sampai melebihi batas waktu itu."
"Tidak akan, Sin. Percayalah! Sungguh aku tidak mengerti, kenapa kau sampai bicara seperti itu? Seolah aku ini akan berbuat jahat saja.”
“Maaf, Kak. Bukan apa-apa. Kita kan bukan muhrim. Terus terang, aku khawatir kalau setan sampai berhasil memperdayaimu.”
“Sin… dengarkan aku. Jika aku senantiasa berdoa dan selalu mengingat Allah, aku yakin Allah pasti akan melindungiku dari tipu daya setan. Sin, percayalah padaku, kalau besok pagi kita pasti sudah kembali ke pesawat. Lagi pula, kakakmu sudah mewanti-wanti aku agar jangan macam-macam. Ya, aku paham betul bagaimana perasaan seorang kakak jika adiknya pergi berdua dengan lelaki yang bukan muhrimnya, dia tentu akan khawatir sekali."
"Benarkah yang Kakak katakan itu?”
Bobby menggangguk. Mengetahui itu, Sinta lantas kembali berkata-kata, “Kak, maafkan aku karena sudah meragukanmu. O ya, Kak. Apakah uang kita cukup untuk menginap malam ini?" 
"Hal itu pun sudah kupikirkan, karenanyalah aku berencana mau menjual lagi cincin perakku yang bermata Mirah Delima untuk menambah persediaan uang kita," jelas Bobby.
"Di pasar mana kita akan menjualnya?" tanya Sinta lagi.
"Eng... di mana, ya? Mmm…" Bobby tampak berpikir, lalu pandangannya tertuju kepada ibu penjual gado-gado. "Numpang nanya, Bu! Pasar nyang rame deket sini, pasar ape ye?" tanya Bobby kepada penjual gado-gado dengan dialek Betawi-nya yang kental.
"Kalo pasar nyang rame, sih. Vinckepasser," jelas si Ibu penjual gado-gado sambil terus mengulek.
"Vinckepasser ntu ade di mane, Bu?" tanya Sinta, juga dengan dialek Betawi.
"Dari sini ngetanin, Neng," jelas si Ibu.
Bobby dan Sinta tampak mengangguk-angguk, bersamaan dengan itu gado-gado yang mereka pesan tampak sudah selesai dibuat. Kini keduanya tampak menikmatinya dengan begitu lahap. Saat makan, pandangan mereka terkadang mengarah ke luar—melihat keramaian suasana Batavia tempo dulu. Sementara itu di ruang pemantau pesawat, Haris tampak sibuk mengakses sebuah situs surat kabar lokal yang cukup terkenal, saat itu dia sedang mencari informasi terbaru yang berkenaan dengan kota Jakarta.
Maklumlah, belakangan ini sering terjadi kecelakaan yang diakibatkan oleh cuaca buruk yang sudah melanda Jakarta sejak sepekan silam. Saat itu di benaknya terlintas keinginan untuk membantu pihak berwenang yang seringkali mengalami kesulitan dalam upaya evakuasi. Karena itulah, Haris berniat memanfaatkan kostum bertopeng kuning untuk keperluan evakuasi itu.
Ketika sedang serius-seriusnya membaca, tiba-tiba dari perutnya terdengar suara yang menandakan kalau dia sudah merasa lapar. Karena tak mau maag-nya kambuh, lantas dengan segera pemuda itu beranjak ke dapur untuk memasak mi instan. Sebenarnya Haris bosan juga jika harus memakan makanan instan terus-menerus. Sekali-sekali dia ingin makan nasi dengan rendang daging dari rumah makan padang, saat itu hatinya mengancam akan pergi ke rumah makan itu sepulang Bobby dan Sinta dari Batavia.
Kini Haris sudah duduk di ruang makan sambil menikmati mi instan yang masih mengepulkan uap panas, sesekali dia tampak mengelap kaca matanya akibat terkena uap panas itu. Saat makan, sesekali pemuda itu menghirup teh manis yang menjadi minuman favoritnya. Pada saat yang sama, di depan sebuah warung kecil di Batavia, Bobby dan Sinta tampak sedang menunggu angkutan yang ke arah timur. Setelah lama menunggu, akhirnya sebuah delman tampak melintas—menyusuri jalan yang ada di hadapan mereka. Mengetahui itu, keduanya segera menghentikan delman dan bergegas menaikinya. Kini delman itu sudah kembali melaju, bergerak perlahan menuju ke Vinckepasser dengan diiringi derap kaki kuda yang terdengar harmonis.
Setibanya di Vinckepasser, Bobby dan Sinta langsung melangkah mencari toko perhiasan guna menjual sebuah cincin lagi. Saat pencarian itu, Sinta tampak asyik melihat-lihat suasana pasar yang ramai, kepalanya menoleh kiri kanan—melihat barang-barang yang dipajang di depan toko. Ketika sampai di suatu tempat yang terbuka, keduanya melihat orang ramai tampak berkerumun, sedang menyaksikan sesuatu. Karena penasaran, mereka pun segera menghampiri kerumunan itu. Ternyata di tengah kerumunan, mereka melihat seorang pria kekar dan dua pembantunya yang sedang melakukan atraksi. Si Pria Kekar itu mengenakan ikat kepala dari kain yang berwarna hitam. Dia mengenakan jas panjang berwarna cokelat, berstel celana panjang yang juga berwarna cokelat. Di pinggangnya terikat sabuk berwarna hijau, dan pada kedua tangannya dihiasi dengan aksesoris batu cincin dan gelang akar bahar. Sedangkan kedua pembantunya memakai ikat kepala yang juga berwarna hitam, mereka mengenakan kaos oblong putih dan celana hitam sebatas betis. Seorang pembantunya mempunyai hidung yang cukup besar, sedangkan yang satunya mempunyai wajah buruk dengan bekas luka hampir di seluruh wajahnya. Ternyata ketiga orang itu sedang mengadakan atraksi guna menarik perhatian para pejalan kaki yang ramai berlalu-lalang, yaitu dengan menghibur mereka dengan berbagai atraksi yang berbau supranatural. Saat itu, Bobby dan Sinta tampak senang menyaksikan berbagai atraksi yang ditampilkan itu. Semuanya memang memikat, apalagi lagi ketika atraksi tidur di atas paku dan berjalan di atas bara, sungguh membuat keduanya terkagum-kagum.
Kini si Pria Kekar dan kedua pembantunya akan menampilkan atraksi terakhir, yaitu sebuah atraksi yang menghebohkan dan bisa membuat para penontonnya bergidik ketakutan. Benar saja, saat itu si Hidung Besar langsung mengambil sebuah pisau dan sebuah palu kayu yang telah dipersiapkan. Kini dia tampak menempelkan ujung pisau yang dipegangnya itu ke leher si Muka Buruk. Saat itu si Muka Buruk tampak tenang, dia terus duduk di atas gelondong kayu dengan mata tertutup kain. Tak lama kemudian, si Hidung Besar sudah mengambil ancang-ancang siap untuk memukul gagang pisau yang dipegangnya. Saat itu, kilatan ujung pisau yang menempel di leher si Muka Buruk sempat membuat bulu kuduk Sinta merinding, dan ketika palu kayu yang dipegang si Hidung Besar menghantam gagang pisau, Sinta langsung memekik seraya memejamkan kedua matanya. Bersamaan dengan itu, si Muka Buruk berteriak begitu keras, merasakan ketajaman pisau yang menembus lehernya. Seketika dari luka tusukan itu tampak mengalir darah segar yang cukup banyak. Pada saat itu, si Pria Kekar yang ternyata seorang penjual obat tampak berbicara lantang kepada para penonton dengan dialek Betawi-nya yang kental, "Saudare-saudare! Leher pembantu setia saye udeh ditembus ame piso. Liat tuh! merahnye dareh nyang keluar!" katanya sambil menunjuk ke arah si Muka Buruk. Kemudian dia kembali melanjutkan kata-katanya, "Nyang saye pegang eni adalah obat mujarab warisan pare leluhur. dan dengan obat enilah saye mau ngobatin luka tusukan ntu!"
Kemudian penjual obat itu segera menghampiri si Muka Buruk yang tampak merintih kesakitan. Pada saat yang sama, si Hidung Besar kembali memukul gagang pisau yang ada di leher si Muka Buruk. Tak ayal, si Muka Buruk kembali berteriak keras—merasakan sakit yang bukan kepalang. Kini Si Penjual Obat sedang berusaha mencabut pisau yang menembus leher pembantunya, dan ketika pisau itu tercabut, darah di leher si Muka Buruk langsung muncrat dan mengalir begitu deras. Pada saat itulah si Penjual Obat segera menaburkan serbuk halus mujarab yang dipegangnya hingga menutupi luka. Sungguh menakjubkan, darah yang semula mengalir deras seketika itu juga berhenti. Bersamaan dengan itu, rintihan si Muka Buruk pun sirna berganti dengan siulan yang terlantun merdu.
Bobby yang menyaksikan atraksi itu tampak geleng-geleng kepala, sedangkan Sinta yang baru berani membuka matanya tampak tertegun melihat si Muka Buruk yang baru ditembus pisau tampak bersiul ria. Selanjutnya penjual obat tadi segera menawarkan penyembuh luka mujarab itu kepada para penonton. Beberapa penonton yang berminat membeli obat itu tampak mengacungkan tangan, sedangkan yang tidak berminat mulai meninggalkan tempat itu. Si Hidung Besar berkeliling memberikan obat kepada para penonton yang mau membelinya. Saat itu, Bobby yang juga merasa tertarik langsung membelinya. Mengetahui itu Sinta langsung berkomentar, "Kau mau saja dibodohi oleh penjual obat itu, Kak."
"Ya, aku tahu kalau tukang obat itu ada yang suka menipu, tapi tidak semuanya kan. Ketika melihat atraksi tadi bukankah tampak meyakinkan sekali?"
"Memang sih, tapi sepertinya itu cuma trik yang biasa digunakan oleh para tukang sulap."
"Apa benar begitu, Sin? Padahal yang kulihat tadi itu benar-benar nyata."
"Ya... namanya juga trik. O ya, Kak. Memangnya Kakak percaya dengan kemujaraban obat itu?"
"Sin, sebenarnya obat itu tidaklah menyembuhkan, namun hanya sebagai media saja. Sebab, hanya Allah-lah yang berkuasa untuk menyembuhkannya. Ketahuilah, kalau orang mempunyai keyakinan cuma Tuhan-lah yang bisa menyembuhkan, maka dengan segelas air bening pun bisa menyembuhkannya. Itulah yang dinamakan sugesti penyembuhan."
"Kalau memang demikian kenapa kau mesti membeli obat itu segala?"
"Jawabnya adalah ‘sugesti’. Sebab, aku yakin kalau di dalam obat ini terdapat bahan-bahan ciptaan Allah yang berfungsi untuk menyembuhkan luka, sekalipun mungkin saja di dalam obat ini tidak ada bahan penyembuh luka. Seperti halnya air bening yang telah di doakan, orang percaya kalau air itu bisa menyembuhkan karena dia yakin kalau di dalamnya telah mengandung unsur penyembuh yang di luar jangkauan pengetahuan manusia."
"Aku benar-benar tidak mengerti dengan penjelasanmu itu, Kak."
"Itulah rahasia Allah yang memang tidak semua orang bisa memahaminya. Jika kau mau membaca buku ‘Memahami Takdir Keajaiban dan Sunatullah’ karya Bang Bois. Tentu kau bisa memahami hal ini."
"Hmm... kalau begitu, jika ada kesempatan aku pasti akan membacanya."
Kini Bobby dan Sinta kembali melihat-lihat suasana pasar. Tak lama kemudian, mereka sudah menemukan sebuah toko perhiasan. Saat itu Bobby langsung memasuki toko dan menawarkan cincin miliknya, "Koh? Aye mau menjual cincin eni," kata Bobby seraya menunjukkan cincinnya kepada si Tokeh (Penjual orang cina) yang menjual perhiasan.
"Hayaaa, ini cincin emang wenel-wenel wagus. Welape elu mau jual ini cincin?" tanya Tokeh dengan logat cinanya.
"Berape engkoh berani bayar?" tanya Bobby.
"Hayaaa, kalo owe pikil-pikil ini walang emang wagus, owe welani wayal ini walang segini," kata Tokeh seraya menyodorkan uang kepada Bobby.
"Iye, koh. Aye terime," kata Bobby seraya mengambil uang yang ada di tangan Tokeh.
"Kalo elu punya walang wagus lagi, elu wisa jual ama owe!" kata Tokeh sambil tersenyum.
"Iye, koh. Udeh ye!" kata Bobby seraya mengajak Sinta pergi dari tempat itu.
Kini Bobby dan Sinta sudah kembali berjalan-jalan menyusuri lorong pertokoan sambil melihat barang-barang yang dipajang di depan toko. Sesekali Sinta menarik lengan Bobby dan mengajaknya untuk melihat barang yang dianggapnya unik. Mereka terus melihat-lihat suasana pasar sampai menjelang petang.
"Kak, makan dulu yuk! Aku lapar sekali nih," kata Sinta sambil mengusap-usap perutnya yang keroncongan.
"Aku juga, Sin. Kalau begitu, mampir ke warung itu yuk!" ajak Bobby seraya menunjuk ke arah sebuah warung makan.
Mereka pun segera melangkah memasuki warung yang menjual makanan khas Betawi. Saat itu, Bobby memesan nasi dengan sayur asem pakai ikan mas pepes. Sedangkan Sinta memesan nasi dengan soto Betawi pakai emping. Setelah hidangan siap, mereka pun segera menyantapnya dengan begitu lahap. Saat itu, di sebelah Bobby tampak dua orang lelaki yang duduk sambil menaikkan sebelah kakinya, yang satu berkumis tebal, dan satunya lagi bertubuh tambun. Keduanya tampak asyik ngobrol sambil menikmati segelas kopi pahit. "Eh, elu denger kaga? Katenye  kemaren serdadu Inggris udah mendarat di sini," cerita si Kumis Tebal.
"Iye, gue juga udeh denger. Kalo dugaan gue bener serdadu Inggris itu pasti akan masuk kemari besok hari," timpal si Tubuh Tambun.
"Kalo gitu, bakal terjadi pertempuran hebat dong," duga si Kumis Tebal.
"Ya... pasti bakalan begitu," kata si Gendut sambil mengangguk-angguk.
Bobby yang sempat mendengar percakapan mereka tampak tidak peduli, saat itu dia masih saja asyik menikmati makanannya. Sementara itu, Sinta sama-sekali tidak menyimak pembicaraan kedua orang tadi, dia justru sibuk meminta emping kepada penjual warung untuk menambah emping di piringnya yang sudah hampir habis. Usai makan, mereka tidak langsung pergi, melainkan duduk sebentar untuk menurunkan nasi yang baru saja masuk ke perut. "O ya, Kak. Ngomong-ngomong, malam nanti kita menginap di mana?" tanya Sinta.
"Tenang…! Tadi aku sempat melihat sebuah penginapan yang tak jauh dari sini. Itu loh, bangunan yang di sebelah sana itu, yang di atapnya ada patung naga!" kata Bobby sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.
Setelah merasa cukup nyaman, Bobby dan Sinta akhirnya keluar warung dan bergegas menuju penginapan. Sesampainya di tempat itu mereka langsung memesan dua buah kamar yang bersebelahan, saat itu mereka mendapat kamar yang berada di lantai atas. Tak lama kemudian, keduanya sudah berada di kamar masing-masing untuk beristirahat.
Sementara itu di ruang pemantau pesawat, Haris tampak sedang memeriksa Rolab melalui mesin penunjang kehidupan. Setelah diperiksa, ternyata ada sedikit kerusakan pada sistem pertahanannya. Kini Haris sedang berusaha untuk memperbaikinya. Setelah melakukan perbaikan, akhirnya pemuda itu menyuruh Rolab untuk kembali ke mesin penunjang kehidupan.
Kini Rolab mulai bersandar di mesin itu, dari punggungnya tampak keluar sebuah alat yang kemudian dihubungkan dengan lubang yang ada di mesin. Pada saat yang sama, Haris tampak mengamati status Rolab melalui layar monitor yang ada di mesin itu. Setelah mengetahui semua sistem di tubuh Rolab bekerja dengan baik, akhirnya Haris mengakhiri proses pemeriksaan. Kini Haris tampak sibuk me-download data dari memory Rolab. Dia sengaja melakukan itu guna mengetahui perjalanan Rolab selama berada di zaman cretaceous.
Setelah semua data di-download ke komputer utama, akhirnya Haris menyuruh Rolab untuk keluar dari mesin penunjang kehidupan dan menyuruhnya mengambilkan segelas minum. Sementara itu dia sendiri mulai menyaksikan rekaman perjalanan Rolab di zaman cretaceous dengan menggunakan komputer utama. Saat itu, Haris sempat tercengang ketika melihat tayangan seru di layar monitornya—seekor T-rex (Teranosaurus Rex) yang lapar tampak sedang menyantap seekor dinosaurus kecil, bahkan giginya yang runcing tampak begitu menyeramkan—mencabik-cabik mangsanya. Haris terus menyaksikan petualangan Rolab di zaman cretaceous dengan antusias, sesekali dia mengeleng-gelengkan kepalanya karena takjub.
Di Batavia, di dalam sebuah kamar penginapan. Sinta tampak sedang menyisir rambutnya yang hitam, sedang kedua matanya tampak memandangi kecantikan wajahnya yang terpantul di cermin antik. Saat itu kedua belah pipinya sudah tidak terlihat tembam lagi, dan itu semua berkat program diet yang dijalaninya selama ini. Sementara itu di kamar sebelah, Bobby tampak asyik menuliskan pengalamannya selama di Batavia. Dia menulisnya pada sebuah buku kecil bersampul biru. Sesekali dia berhenti untuk mengingat kembali apa yang sudah dialaminya siang tadi. Ketika sedang asyik menulis, tiba-tiba dia mendengar suara ketukan di pintu kamar. Mendengar itu, Bobby pun bergegas membuka pintu kamarnya. "O, kau Sin. Ada apa?" tanyanya seraya merapikan tatanan rambutnya yang tampak kusut.
"Kak, sudah pukul delapan malam, nih. Jadi tidak kita jalan-jalan?" tanya Sinta mengingatkan.
"Apa! Sudah pukul delapan," kata Bobby terkejut seraya melihat jam tangan yang tersimpan di saku celananya, " Kau benar, Sin. Kalau begitu, tunggu sebentar ya!" pintanya seraya bergegas mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan.
"Memangnya Kakak sedang apa? Kok bisa sampai lupa waktu begitu?" tanya Sinta lagi.
"Aku sedang menulis pengalaman kita siang tadi, Sin. Untung saja kau mengingatkanku," jawab Bobby sambil terus sibuk menyiapkan segala sesuatunya.
"Ayo dong, Kak. Cepat sedikit! Keburu malam nih," pinta Sinta tampak tak sabar.
"Nah, selesai sudah... Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajak Bobby seraya melangkah berdampingan dengan Sinta. 
Tak lama kemudian, keduanya sudah berada di luar penginapan dan sedang menikmati suasana malam tempo dulu. Saat itu, cuaca tampak cerah berbintang. Udara malam pun terasa sejuk bagai menyelimuti kota Batavia. Sementara itu di depan penginapan, beberapa pedagang tampak mangkal—menjual berbagai jenis makanan. Sungguh malam yang begitu semarak, bahkan orang-orang pun terlihat ramai berlalu-lalang di atas trotoar yang diterangi oleh lampu-lampu jalan yang temaram. Saat itu, Bobby dan Sinta tampak berjalan menyusuri trotoar, melewati para pemusik jalanan yang sedang berpentas. Lagu-lagu kroncong mengalun merdu mengiringi perjalanan mereka. Suasana malam itu memang begitu romantis. Bahkan Bobby dan Sinta berani sekali berjalan sambil bergandengan bak sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Ketika malam sudah semakin larut, akhirnya kedua muda-mudi itu segera kembali ke penginapan. Namun mereka tidak langsung kembali ke kamar, melainkan menuju ke sebuah kedai yang ada di depan penginapan. Mereka berbincang-bincang sambil menikmati segelas bajigur.
"Kak? Apa kesanmu tentang kota Batavia?" tanya Sinta.
"Mmm, Batavia begitu damai. Perencanaan kotanya sangat bagus, dan rumah-rumahnya pun indah," jawab Bobby.
"Iya, ya, Kak! Kenapa pada zaman kita begitu semerawut? Tata kotanya tidak karuan dan kemacetan yang menyebabkan polusi pun begitu memprihatinkan," kata Sinta seraya meneguk bajigurnya.
"Benar, Sin. Itu semua adalah warisan pemerintah kita sepuluh tahun yang lalu," timpal Bobby.
"Kapan ya kota kita bisa betul-betul rapi dan menjadi senyaman ini?" tanya Sinta berharap.
"Sin… Kalau pemerintah kota kita terus konsisten dengan syariat Islam-nya, yaitu bisa terus amanah dan tidak korup. Insya Allah, kota kita akan terus tumbuh berkembang menjadi lebih baik lagi," kata Bobby seraya meneguk minumannya.
"Kau benar, Kak. Menurut sejarah, Batavia yang indah ini pada mulanya juga sempat amburadul lantaran diperintah oleh VOC yang para pejabatnya begitu korup. Namun setelah setelah VOC dibubarkan dan administrasinya diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda, akhirnya Batavia bisa kembali berjaya," timpal Sinta.
Tiba-tiba saja Sinta menguap, rupanya rasa kantuk sudah tak mampu lagi ditahan. Bobby pun sudah mulai mengantuk, kemudian dia mengajak Sinta untuk kembali ke kamar masing-masing. Bobby mengantarkan Sinta sampai ke pintu kamarnya, selanjutnya dia segera masuk ke kamarnya yang berada di sebelah kamar Sinta.

 

Pagi harinya, Bobby dan Sinta masih terlelap di kamarnya masing-masing. Tiba-tiba Bobby terbangun karena suara ledakan yang begitu keras. Rupanya sebuah bom telah menghantam penginapan tempatnya berada. Saat itu Bobby langsung panik lantaran kobaran api sudah memasuki kamarnya. Lalu dengan segera pemuda itu keluar kamar dan berlari menuju ke kamar Sinta. Pada saat yang sama, Sinta tampak keluar dari kamarnya dengan wajah yang begitu ketakutan.
"Ada apa, Kak? Suara apa itu?" tanya Sinta panik.
"Sepertinya kita sedang dibom, Sin."
"Apa? Memangnya sekarang tanggal berapa?"
"10 Agustus 1811," jawab Bobby.
"Astagfirullah…! Aku baru ingat, saat ini kan penyerbuan tentara Inggris ke Batavia," kata Sinta seakan tidak percaya. "Aduh, Kak! Bodohnya kita karena tidak mempelajari sejarah lebih dulu," lanjutnya kemudian.
"Sin, sebenarnya aku sudah mendengar hal ini sejak kemarin. Itu loh, ketika kita sedang makan di warung kemarin sore. Namun, aku lupa memberitahumu."
Sinta tampak melotot kepada Bobby," Dasar Bodoh! Kenapa soal penting begitu tidak kaubicarakan kepadaku."
"Sudahlah...! Semua sudah terlambat. Ayo, Sin. Kita mesti cepat keluar!" ajak Bobby.
Tiba-tiba sebuah bom kembali menghantam penginapan. Tak ayal, kini sebagian penginapan sudah hancur berantakan dan kobaran api pun tampak kian membesar. Saat itu, Sinta tampak takut bukan kepalang, sedangkan Bobby tampak panik luar biasa. Karena menyadari jiwa mereka terancam, Bobby segera menggandeng Sinta dan mengajaknya berlari menuju tangga. Lantas dengan tergesa-gesa, keduanya tampak berlari menuruni anak tangga hingga akhirnya sampai di lantai dasar. Saat itu di lobby utama, api tampak sudah menyebar hampir ke seluruh penginapan. Bersamaan dengan itu, para tamu lain tampak berlarian berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
"Aduh, Kak. Aku takut sekali…" kata Sinta resah.
"Tenang, Sin.... Ayo lewat sini!" kata Bobby seraya memandu gadis itu melewati kobaran api. Pada saat itu, tiba-tiba saja Bobby melihat sebuah balok kayu yang terbakar tampak melayang tepat di atas kepala Sinta. Mengetahui itu, Bobby segera menarik lengan Sinta dan mencoba melindunginya dari hantaman benda mematikan itu. Pada saat yang bersamaan, balok kayu itu tampak berdebum ke lantai dengan disertai percikan bara yang berhamburan. Namun sungguh sangat disayangkan, sebuah paku yang menempel di balok kayu itu sempat mengenai lengan pemuda itu.
“Kak Bobby... kau terluka!" seru Sinta panik ketika melihat luka menganga yang terus mengucurkan darah.
"Tenang, Sin. Bukankah aku mempunyai obat untuk luka seperti ini," kata Bobby seraya mengeluarkan obat yang dibelinya waktu itu.
Lalu dengan serta-merta pemuda itu menaburkan obat tadi ke lukanya. Ajaib... Dengan serta-merta darah yang semula mengucur akhirnya berhenti dengan sendirinya. Selain itu, rasa sakit yang dirasakannya pun berangsur-angsur sirna. Kini Bobby kembali memandu Sinta untuk melewati kobaran api, pada saat itu dia melihat berapa orang tampak tertimpa balok kayu yang terbakar. Jerit dan rintihan terdengar memilukan. Pada saat yang sama terdengar pula suara teriakan dan desingan peluru yang berasal dari luar penginapan.
Kobaran api di dalam penginapan sudah semakin menjadi-jadi, membakar semua bagian penginapan yang memang terbuat dari kayu. Asapnya yang hitam membuat nafas Bobby dan Sinta menjadi sesak, namun  keduanya tetap bertahan dan terus melangkah di antara api yang terus berkobar. Setelah bersusah payah, akhirnya mereka bisa keluar dari penginapan dan segera lari menjauh. Saat itu mereka benar-benar terkejut lantaran melihat keadaan di luar penginapan sudah begitu kacau-balau. Kobaran api ada di mana-mana, kepulan asap hitam tampak membumbung tinggi. Orang-orang tampak berlarian menyelamatkan diri masing-masing. Kuda dan kereta kuda tampak melaju berlomba-lomba menjauhi tempat itu. Suasana saat itu benar-benar sudah begitu mencekam. Bobby dan Sinta ikut berlari untuk menyelamatkan diri. Mereka terus berlari dan berlari, hingga akhirnya "Kak Bobby… aku sudah tidak kuat lagi…" keluh Sinta seraya terduduk lemas di tengah jalan.
"Ayo, Sin! Cepat bangun… kuatkan dirimu!" pinta Bobby berharap.
"Tidak Kak, aku sudah tidak kuat lagi. Sebaiknya kau selamatkan dirimu saja!"
"Kau bicara apa, Sin. Kalau begitu, ayo... biar kugendong!"
Pada saat itu, tiba-tiba Bobby melihat seekor kuda yang tak berpenunggang tampak berlari pelan ke arahnya. "Lihat itu, Sin! Dengan kuda itu kita tidak perlu berlari lagi.," katanya penuh semangat. "Kau tunggu di sini ya, aku akan berusaha mendapatkan kuda itu!" pintanya kemudian seraya bergegas mengejar kuda itu dan berusaha menungganginya.
Setelah berusaha keras, akhirnya dia berhasil menunggangi kuda itu dan segera memacunya ke tempat Sinta berada. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui beberapa kereta kuda tampak melaju cepat ke arah Sinta, sepertinya kereta-kereta itu akan menabraknya dan melindasnya tanpa ampun. Menyadari apa yang akan terjadi, Bobby segera memacu kudanya lebih cepat lagi, memacunya secepat mungkin untuk menyelamatkan Sinta yang sedang ketakutan.
Kini Gadis yang bernama Sinta itu tampak sedang berusaha berdiri, saat itu dia mencoba menyelamatkan diri dengan segenap kemampuannya. Sementara itu, kereta-kereta kuda yang akan melintas di jalan itu sudah kian mendekat, sepertinya sudah tidak ada waktu lagi bagi gadis itu untuk melarikan diri. Namun dalam situasi gawat itu, tiba-tiba "Cepat, Sin! Raih tanganku!" seru Bobby yang kini sudah berada di dekat gadis itu.
Sinta pun segera meraih tangan Bobby. Pada saat itu, Bobby tampak membantunya naik ke atas kuda. Setelah gadis itu berhasil duduk di atas pelana, Bobby segera memacu kudanya menjauhi tempat itu, yaitu memacunya menuju ke lokasi Kapwak berada.
Suasana jalan tampak kian kacau-balau, di mana-mana banyak orang yang sedang berjuang menyelamatkan diri. Sementara itu, Bobby masih terus melaju dengan kudanya, sedangkan Sinta yang duduk di belakang Bobby tampak berpegangan dengan begitu erat. Ketika melewati sebuah persimpangan, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta kuda yang kehilangan kendali. Kereta itu tampak terguling bersamaan dengan putusnya tali pengikat kuda, saat itu kuda-kuda yang menariknya pun terlepas dan lari menjauh. Kini kereta tak berkuda itu tampak meluncur cepat—terseret di atas jalan dan hampir saja menabrak kuda yang ditunggangi oleh Bobby dan Sinta. Saat itu jantung keduanya hampir saja copot dibuatnya, namun akhirnya merasa lega lantaran berhasil lolos dari maut. "Huff... Alhamdulillah… hampir saja," ucap Bobby seraya terus memacu kudanya menjauhi tempat itu.
Tak jauh dari persimpangan, kira-kira 500 meter di depan Bobby. Seorang ibu muda sedang berteriak-teriak minta tolong. Kecemasan yang begitu dalam terpancar di wajahnya yang kusut. Sementara itu di tengah jalan, seorang anak kecil tampak sedang kebingungan. Di kanan kirinya melaju kereta kuda yang saling mendahului.
Si Ibu muda terus berteriak-teriak minta tolong, dia tampak begitu khawatir dengan keselamatan anaknya yang masih saja kebingungan di tengah jalan. Tiba-tiba si Ibu melihat sebuah kereta kuda yang tak berpenumpang tampak melaju cepat ke arah anaknya. Tak lama lagi, kereta itu pasti akan menabraknya. Melihat itu, sang Ibu tampak semakin cemas dan tidak tahu harus berbuat apa, hingga akhirnya dia cuma bisa pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Sang Pencipta.
Bobby yang kebetulan melihat hal itu segera memacu kudanya lebih cepat lagi, dia tampak berusaha keras untuk bisa mendahului kereta kuda yang sudah semakin mendekati anak kecil itu. Setelah berusaha dengan gigih, akhirnya Bobby berhasil mendahuluinya. Kini dia tampak memiringkan badan guna bisa menggapai pinggang anak kecil itu, dan ‘HAP!’, Bobby berhasil meraih anak itu dan segera membawanya ke tepi jalan. Sementara itu, kereta kuda yang hampir menabrak anak kecil itu terus saja berlalu.
Kini Bobby sedang memperlambat laju kudanya. Pada saat yang sama, si Ibu muda tampak berlari menghampirinya, di wajahnya tampak terpancar kebahagiaan yang tiada tara, sungguh dia begitu bersyukur karena anak semata wayangnya berhasil diselamatkan. Setelah anak itu diturunkan, Ibunya pun langsung memeluk dan menciuminya berkali-kali, dari matanya tampak menetes air mata kebahagiaan. Kini dia sedang menggendong anak itu seraya memandang kepada Bobby, "Terima kasih, Bang!" ucapnya tulus.
Mendengar itu, Bobby pun tampak tersenyum. "Sama-sama, Pok," ucapnya seraya bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan.
Namun belum sempat dia memacu kudanya, tiba-tiba "Tunggu, Bang!" tahan si Ibu seraya menyodorkan sesuatu kepada pemuda itu. "Ni, Bang. Terimalah!" ucapnya seraya memberikan seikat cincin perak, yang di atasnya terdapat tulisan “Muhammad Rasulullah”.
"Tidak usah, Pok. Eye udeh seneng kok bisa ngebantu, Mpok!"
"Terima aje, Bang. Sesuai amanat almarhum suami aye, cincin perak eni musti di kasih buat pemuda baik, kaya Abang."
"Baiklah, Pok. Kalo emang itu udeh amanat suami empok, aye mau menerimanye," ucap Bobby seraya menanggapi cincin itu.
Setelah berpamitan, Bobby pun segera memacu kudanya menyusuri jalan yang masih kacau-balau. Sementara itu, si Ibu muda tampak memperhatikan kepergian Bobby dengan raut wajah yang berseri-seri, "Semoga Allah selalu melindungi kalian," teriaknya mengiringi kepergian pemuda itu.
"Amin…" ucap Bobby dalam hati setelah mendengar teriakan itu. Kemudian sekilas dia menengok ke belakang, dilihatnya ibu muda itu sudah pergi bersama beberapa orang laki-laki dan perempuan yang tampak mengajaknya menuju ke tempat yang aman.
Bobby terus memacu kudanya menuju lokasi Kapwak. Sementara itu, Sinta yang duduk di belakang Bobby masih tampak ketakutan, kota yang kemarin dilihatnya begitu damai kini tampak begitu mencekam. Sinta benar-benar tidak menduga kalau mereka harus berada di tengah-tengah medan pertempuran, dan itu semua lantaran kecerobohan mereka yang tak mau memperlajari sejarah lebih dulu.
Setelah cukup lama berkuda, akhirnya Bobby dan Sinta tiba di tepi sungai Ciliwung. Kemudian mereka segera menuju ke tempat pertama kali mereka datang, yaitu ke lokasi Kapwak akan muncul. Setibanya di lokasi, Bobby tampak menghentikan kudanya dan langsung melompat turun, kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Sinta. Kini dia sedang mengajak gadis itu untuk beristirahat sejenak di bawah pohon yang begitu rindang guna sejenak meredakan ketegangan.
Mereka terus beristirahat di tempat itu sambil menunggu kemunculan Kapwak. Pada saat itu Bobby tampak memperhatikan cincin yang baru diterimanya. Sebuah cincin yang tanpa sepengetahuannya merupakan cincin milik Rasulullah yang di buang ke dalam sebuah sumur dan akhirnya ditemukan oleh seorang ulama pedagang Arab yang kemudian berkunjung ke Batavia dan memberikannya kepada suami ibu muda itu.
"Lihat Kak! Kapwak sudah muncul," kata Sinta tiba-tiba.
Bobby pun segera mengalihkan pandangan ke arah Kapwak. "Kalau begitu, ayo lekas kita ke sana!" ajaknya seraya meraih lengan gadis itu untuk bersama-sama menuju Kapwak.
Kini mereka sudah berada di dalam Kapwak dan sedang bersiap-siap untuk pulang. Tak lama kemudian, mereka sudah meluncur menyusuri lorong waktu ke masa depan. Dalam waktu singkat, akhirnya mereka tiba di anjungan pesawat dengan selamat. Kini mereka sudah keluar dari Kapwak dengan raut wajah yang tampak begitu ceria, di bibir mereka tampak tersungging senyum kebahagiaan. Mereka pun mengucapkan syukur kepada Sang Pencipta, yang karena izin-Nya-lah mereka bisa tiba dengan selamat.
Haris yang melihat penampilan mereka tidak karuan tampak begitu terkejut, "Bobby, Sinta! Apa yang telah terjadi?" tanyanya heran.
"Kami terjebak di medan pertempuran," jawab Bobby sambil cengengesan.
“Apa? Terjebak di medan pertempuran?” Haris tampak terkejut.
"Betul, Kak. Itu semua karena kecerobohan kita dalam memilih takdir, sehingga kami terpaksa harus terdampar di medan pertempuran," kata Sinta dengan wajah yang tampak tegang lantaran mengingat kembali kejadian yang baru dialaminya.
Saat itu Bobby dan Sinta langsung menceritakan pengalaman mereka di Batavia, sedangkan Haris tampak mendengarkannya dengan begitu antusias. Dia terus mendengarkan cerita itu dari yang menyenangkan sampai yang mendebarkan.