E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Misteri Kehadiran Arwah - Bagian 3

Tiga



Pagi harinya, bias mentari hangat menerpa bumi, burung-burung tampak menyambutnya dengan kicauan yang begitu merdu. Di kebun samping, Rani terlihat sedang memetik bunga. Dia memetiknya untuk dibawa berziarah ke makam Yana. Setelah bunga yang dipetiknya memenuhi keranjang, gadis itu segera melangkah masuk. Kini dia sedang meletakkan keranjang yang dibawanya di atas meja. Pada saat itu ayahnya datang menghampiri.
"Ada telepon untukmu, Nak," katanya kepada Rani.
"Dari siapa, Ayah?" tanya Rani seraya menatap mata ayahnya.
"Dari nak Jodi, Sayang..." jawab Branden.
Mendengar itu Rani tampak tersentak, "Jo-Jodi!" ucapnya gembira, kemudian dengan serta-merta gadis itu berlari ke ruang tengah.
Sejenak Branden memperhatikan kepergian putrinya, tak lama kemudian dia sudah melangkah ke kebun samping untuk melihat-lihat tanaman yang baru ditanamnya.
Sementara itu di ruang tengah, Rani tampak sedang berbicara dengan kekasihnya. "Jo, aku senang sekali kau menghubungiku. Tapi, kenapa baru sekarang?"
"Maaf, Sayang...!     Aku terlalu sibuk. O ya, bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Jodi mengalihkan pembicaraan.
"Baik, Jo. Kau sendiri bagaimana? Apa kuliahmu lancar?" Rani balik bertanya.
"Tentu saja," jawab Jodi.
"Syukurlah kalau begitu. O ya, kapan kau kembali ke Jakarta?"
"Hal itulah yang ingin kusampaikan padamu. Begini, Sayang... saat ini kan aku sedang memasuki masa liburan. Jadi, besok aku akan datang menemuimu."
"Benarkah?" tanya Rani seakan tidak percaya.
"Benar, Sayang... aku kan sudah begitu merindukanmu," jawab Jodi.
"Masaaa..."
"Sungguh, aku memang sudah sangat merindukanmu."
"O ya, tadi kaubilang terlalu sibuk. Sebenarnya sibuk apa, kok sampai tidak bisa menghubungiku?" tanya Rani lagi.
"Wah, kalau soal itu ceritanya panjang. Mungkin kau juga tidak akan percaya jika kuceritakan."    
"Memangnya apa sih?" tanya Rani penasaran.
"Sudahlah... percuma saja. Kau pasti tidak akan percaya."
"Jo, aku kan belum mendengar ceritamu. Kau semakin membuatku penasaran saja. Sebaiknya lekas kau ceritakan!"
"Ran, sebenarnya aku merasa berat menceritakan hal ini. Namun karena kau memaksa, terpaksa aku menceritakannya. Begini, Sayang... sebenarnya... aku telah diguna-guna orang. Selama ini aku lumpuh dan tidak bisa bicara. Untunglah ada seseorang yang menolongku sehingga aku bisa kembali normal seperti sekarang. Aku bohong kalau kuliahku lancar-lancar saja, sebenarnya kuliahku mandek selama beberapa minggu. Nah, karena itulah aku tidak bisa menghubungimu."
"Apa benar yang kau ceritakan itu, Jo?” tanya Rani ragu. ”Hmm… Rasanya tidak mungkin ada orang yang tega berbuat jahat padamu. Eng… Memangnya kau pernah berbuat salah?" tanya gadis itu kemudian.
"Benar kan, kau pasti tidak akan percaya!"
"Tidak, Jo! Aku percaya kok. Aku cuma heran saja, kenapa orang sebaik kamu masih juga diperlakukan begitu."
"Entahlah... mungkin tanpa sengaja aku pernah menyakiti seseorang sehingga dia tega berbuat begitu. O ya, Sayang... saat ini aku sedang ada keperluan mendesak. Sudah dulu ya, sampai jumpa besok. Bye..."
"Bye..." balas Rani seraya menutup teleponnya, kemudian dia teringat dengan masa-masa indahnya bersama Jodi. Saat itu wajahnya tampak ceria dan hatinya kembali berbunga-bunga, "Oh Jodi, aku sangat merindukanmu. Benarkah kau akan pulang menemuiku?"
Kini gadis itu melangkah dan duduk melamun di kursi teras. Saat itu, hatinya betul-betul senang membayangkan kedatangan Jodi. Pada saat yang sama, Branden yang sedang berada di kebun samping tampak memperhatikannya, kemudian dengan segera dia menghampiri.
"Ada apa, Sayang...?" tanya Branden seraya duduk di kursi yang bersebelahan dengan Rani.
Rani pun segera menceritakan kabar gembira itu, sedangkan Branden tampak mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
"Jadi, Nak Jodi akan pulang besok?" tanya Branden seakan tidak percaya.
"Iya Ayah," jawab Rani singkat.
"Syukurlah kalau begitu, Ayah juga sudah rindu dengannya," kata Branden sambil tersenyum.
"O ya, Ayah. Sekarang Rani mau berkemas-kemas dulu," Pamit Rani seraya melangkah pergi.
Sementara itu, Branden masih di tempat duduknya, dia tampak terdiam seperti memikirkan sesuatu. Ketika dia memandang ke arah jalan, tiba-tiba dia melihat seorang wanita cantik bergaun merah tampak menghampiri. Branden pun memperhatikan wanita itu, namun dia sama sekali tidak mengenalnya, sebab memang baru kali ini dia melihatnya.
"Selamat pagi, Pak!" sapa wanita itu dengan senyuman tersungging di bibirnya.
Branden tidak membalas sapaan itu, dia masih saja bertanya-tanya perihal wanita yang kini berdiri dihadapannya.
Kini wanita itu kembali tersenyum. "Anda Pak Branden kan?"  tanya wanita itu dengan nada lembut.
"Maaf! Anda siapa ya? Apa ada perlu dengan saya?" tanya Branden bingung.
"Benar, Pak. Saya ada perlu dengan Bapak. Maksud kedatangan saya ingin menginap di sini," kata wanita itu mengatakan keperluannya.
"Me-menginap?" tanya Branden heran.
"Boleh saya duduk, Pak?" tanya wanita itu lagi.
"O, silakan!" ucap Branden ramah.
Wanita itu pun segera duduk, sedangkan Branden tampak memperhatikannya dengan mata tak berkedip. Kini dia sedang diselimuti kebingungan perihal wanita yang berada di sebelahnya. "O ya, anda mau minum apa?" tanyanya kepada wanita itu.
Wanita itu tampak tersenyum. "Apa saja boleh," jawabnya kemudian.
Melihat itu, Branden ikut tersenyum. "Kalau begitu, tunggu sebentar ya!" ucap Branden seraya beranjak ke dapur.
Kini Branden sedang sibuk membuat minuman. Sementara itu, Rani yang baru saja keluar dari kamar mandi tampak menghampirinya. "Minuman buat siapa, Ayah?" tanyanya kepada sang Ayah yang masih sibuk membuat minuman.
“Buat tamu, Sayang…" jawab Branden.
"Tamu…? Siapa dia, Ayah?" tanya Rani lagi.
"Entahlah… Ayah juga tidak kenal," jawab Branden.
Karena penasaran, Rani pun segera melangkah ke teras. Namun setibanya di tempat itu dia tidak melihat siapa-siapa. "Tamunya mana, Yah!" teriaknya kepada Branden.
Mendengar itu, Branden pun segera keluar sambil membawa dua gelas minuman yang baru dibuatnya. Setibanya di teras, dia langsung melihat ke arah kursi yang diduduki wanita tadi. Branden langsung bingung ketika mengetahui wanita itu memang sudah tidak ada. Kini Branden tampak meletakkan minuman yang dibawanya ke atas meja, kemudian kepalanya tampak menoleh kiri-kanan—mencari-cari wanita itu. Sementara itu, Rani cuma duduk memperhatikan ayahnya yang tampak kebingungan—mundar-mandir mencari wanita yang dimaksud.
Kini Branden kembali menghampiri Rani dan segera duduk di sebelahnya. "Ke mana tamunya ya? Tadi kan dia duduk di sini," kata Branden dengan kepala yang masih saja tampak celingukan.
"Ah, Ayah ada-ada saja. Minuman ini buat Rani saja ya?" kata Rani seraya meneguk minuman yang ada di atas meja.
"Aneh…" kata Branden dalam hati, kemudian dia tampak mengambil gelas yang masih penuh dan meminum isinya.
Rani cuma tersenyum melihat kelakuan ayahnya, dia merasa lucu dengan kejadian itu. Setelah kedua gelas itu kosong, Rani pun langsung membawanya ke dapur.     "Ayah-Ayah…" ucap Rani seraya geleng-geleng kepala.  
Sementara itu Branden masih duduk di kursi teras, dia masih saja bingung dengan kejadian tadi. Hingga akhirnya, Branden memutuskan untuk melupakan kejadian itu.
Kini lelaki itu tampak asyik membaca surat kabar pagi sambil menikmati sebatang rokok. Tiba-tiba perhatiannya tertuju pada sebuah artikel yang berjudul “Bersekutu dengan Setan”.

Drs. Abdi Dinata mulanya adalah seorang yang miskin, setelah dia bersekutu dengan setan akhirnya dia menjadi orang yang sangat kaya. Pada suatu ketika dia bertaubat, dan sejak itulah kekayaan yang dimilikinya semakin hari semakin berkurang. Semua harta yang ada dijual dan digadaikan hingga jabatan direkturnya pun berpindah tangan kepada orang lain. Pada saat itulah Pak Abdi kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi segala permasalahannya.
Hingga pada suatu ketika, istrinya memberi masukan yang sangat berarti. Waktu itu sang Istri berkata “Janganlah Bapak menyesal jika harta itu sirna lantaran keputusan tepat yang sudah Bapak ambil. Karena suatu saat Bapak pasti akan mendapat gantinya melalui cara yang lebih baik.” Saat itulah Pak Abdi Dinata menjadi kuat menghadapi segala macam rintangan, dan beliau sangat mencintai istrinya yang telah menyadarkannya dari perbuatan sesat.

Branden terdiam memikirkan isi artikel itu, ternyata artikel itu mirip sekali dengan masa lalunya, masa lalunya yang penuh dengan kesesatan dan telah membuatnya melupakan Tuhan. Sekarang Branden sudah bertaubat dan menjadi manusia biasa yang tidak mempunyai kemampuan supranatural lagi.
Tiba-tiba Branden teringat dengan mendiang istrinya, dimana semasa hidup istrinya itulah yang telah menyadarkan dia dari perbuatan sesat. Sampai saat ini Branden memang tidak mungkin bisa melupakan kenangan manis ketika bersama istrinya. Apalagi setelah peristiwa belakangan ini, dimana sosok sang istri selalu datang menemuinya. Sungguh kehadiran sosok istrinya itu telah membangkitkan segala kerinduannya.
Kini Branden kembali memikirkan berbagai peristiwa aneh yang dialaminya. Hingga kini dia masih dibuat bingung, dan dia tidak mengerti kenapa dirinya selalu dihantui oleh sosok sang Istri, bukankah seharusnya mendiang istrinya itu sudah berada di alamnya.
Mendadak Branden dikejutkan oleh kehadiran Rani yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya sambil menenteng sekeranjang bunga. "Yuk Ayah, kita berangkat sekarang!" ajak Rani seraya duduk di sebelah ayahnya.
"I-iya Sayang... tapi sebentar, Ayah ganti baju dulu," jawab Branden seraya beranjak pergi. Tak lama kemudian dia sudah kembali sambil menenteng ceret yang berisikan air mawar. Setelah mengunci pintu, mereka pun segera berangkat ke pemakaman dengan berjalan kaki. Letak pemakaman itu memang tidak begitu jauh, cuma makan waktu lima belas menit untuk sampai ke sana.
Setibanya di pemakaman, Rani langsung bersimpuh di makam ibunya, sedangkan Branden tampak bersimpuh di sisi yang berlawanan. Hingga saat ini mereka masih saja bingung melihat makam itu selalu bersih, padahal selama ini Branden tidak pernah mengeluarkan uang untuk biaya perawatan.
Sekilas Branden mengarahkan pandangannya ke sebuah pohon yang agak jauh di belakang Rani. Dan dia agak terkejut ketika melihat seorang wanita tampak bersandar di pohon itu. Wajahnya tampak begitu pucat, sedang kedua matanya tampak mengawasi mereka dengan penuh misteri. Sejenak Branden memperhatikan wanita itu, kemudian pandangannya segera beralih kepada Rani yang terlihat masih menaburkan bunga-bunga di makam ibunya. "Hmm... siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa dia memperhatikan kami begitu rupa?" tanya Branden dalam hati. Kemudian pandangannya kembali beralih ke arah pohon tadi. Dan betapa terkejut dia ketika mengetahui wanita tadi sudah tidak ada, raut wajahnya pun berubah seperti orang kebingungan.
Rani yang melihat wajah ayahnya seperti itu merasa heran, "Hmm... apa yang sedang dilihat Ayah di belakangku?" tanyanya dalam hati. Lalu dengan serta-merta gadis itu menoleh ke belakang, dan ternyata dia tidak melihat sesuatu pun yang mencurigakan. Kini gadis itu kembali memperhatikan ayahnya yang sedang merapikan bunga-bunga yang telah ditaburinya. "Ada apa, Ayah? Kok tadi Ayah seperti orang bingung?" tanyanya kepada Branden.
"O, ti-tidak ada apa-apa, Sayang..." jawab Branden sengaja merahasiakan apa yang dilihatnya. Kemudian dia segera mengambil ceret yang berisi air mawar dan langsung menyiramkannya ke makam Yana. Setelah itu dia mengajak Rani untuk berdoa bersama.
Kini keduanya tampak berdoa dengan begitu khusuk, memohon kepada Tuhan agar arwah orang yang mereka cintai diterima di sisi-Nya. Baru saja keduanya selesai berdoa, tiba-tiba Branden dikejutkan oleh sosok istrinya yang mendadak hadir. Dilihatnya sosok sang istri sedang berdiri di belakang Rani sambil menatapnya dengan pandangan yang begitu dingin.
Jantung Branden langsung berdegup kencang, bersamaan dengan itu hawa dingin terasa merasuki tubuhnya. Lalu dengan serta-merta dia mengalihkan pandangannya ke arah Rani yang saat itu dilihatnya sedang memeluk makam ibunya sambil menangis sedih.     "Ibu…! Rani sayang sama Ibu. Sebenarnya Rani ingin sekali memeluk Ibu. Namun karena dunia kita berbeda, Rani cuma bisa memeluk makam Ibu. Rani mohon, Ibu tidak akan lupa sama Rani, dan Rani akan terus berdoa untuk Ibu," ucap Rani sambil terus terisak.
Saat itu Branden ikut hanyut dalam kesedihan, kemudian dia kembali melihat sosok istrinya yang masih saja berdiri di belakang Rani. Dia melihat sosok sang istri tampak membelai-belai kepala Rani dengan wajah begitu sedih. Branden pun segera memegang tangan Rani dan menatapnya dengan penuh prihatin. "Sudahlah Rani… kau jangan terlalu bersedih, Nak! Ibumu pasti akan sedih jika melihatmu seperti ini," ucapnya kepada Rani yang masih saja menangis. Kemudian dia kembali melihat ke belakang Rani, "Hmm... ke mana dia?" tanyanya dalam hati seraya mencari-cari sosok istrinya itu, kedua matanya tampak menatap hampir ke semua penjuru pemakaman.
"Ada apa, Ayah?" tanya Rani dengan mata masih berlinang.
Branden tidak menjawab, dia justru mengajak Rani untuk menuju ke makam orang tua Yana—kakek dan nenek Rani. Kebetulan makam itu memang tidak begitu jauh. Setelah menaburkan bunga dan berdoa di makam tersebut, keduanya pun segera beranjak pulang.
Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan seorang kakek berpeci hitam, di tangannya tergenggam tongkat kayu yang berukir. Kini kakek itu tengah menatap mereka sambil tersenyum ramah. Pada saat yang sama, Rani tampak membalas tersenyum sang Kakek sambil terus berlalu.
"Siapa dia, Nak?" tanya Branden seraya memandang ke arah kakek yang sudah kian menjauh.
"Kalau tidak salah, dia itu penjaga makam-makam tadi, Ayah," jawab Rani.
"Dari mana kau tahu?" tanya Branden lagi.
"Waktu itu—sewaktu berziarah di makam kakek dan nenek, Rani sempat diberi tahu sama Ibu," jelas Rani.
"O... begitu," kata Branden seraya mengangguk-angguk. Tiba-tiba kedua matanya tampak tertuju ke langit, "Wah, sepertinya hari ini akan turun hujan," kata Branden lagi setelah melihat Awan hitam tampak mulai menyelimuti angkasa.
Menyadari apa yang akan terjadi, mereka pun segera mempercepat langkah—menyusuri jalan setapak yang bergelombang. Setibanya di rumah, Branden langsung duduk di kursi teras untuk melepas lelah, sedangkan Rani tampak pergi ke dapur untuk menyimpan ceret yang tadi dibawanya.
Kini gadis itu sedang berbaring di tempat tidur sambil melamunkan sang Pujaan hati, serta mengenang kembali akan masa-masa indah bersamanya. Saat itu, wajahnya yang cantik tampak begitu berseri-seri. Pada saat yang sama, Branden tampak masih asyik bersantai. Ketika hendak menyalakan sebatang rokok, tiba-tiba "Braaaan...!" dari samping rumah terdengar suara wanita memanggil.
"Siapa?" tanya Branden seraya beranjak memeriksa, dan betapa terkejutnya dia ketika mengetahui di samping rumah tidak ada siapa-siapa.
"Hmm... siapakah yang memanggilku barusan?" tanya lelaki itu dalam hati.
"Braaaan...!" tiba-tiba panggilan itu kembali terdengar.
Lagi-lagi Branden terkejut, kemudian dengan segera dia mencari orang yang memanggilnya. "Aneh... tidak ada siapa-siapa. Apakah itu Yana?" tanya lelaki itu dalam hati.
Kini Branden sudah tidak menghiraukannya, dia  kembali duduk dan menikmati asap rokoknya. Ketika lelaki itu memandang ke arah jalan, tiba-tiba dia melihat sosok wanita berbaju merah yang tadi pagi datang bertamu. Wanita itu tampak berdiri di tepi jalan sambil memandangnya dengan tersenyum simpul. Rambutnya yang panjang tampak tergerai menutupi sebagian gaun merah yang dikenakannya.
Branden tampak mengucek kedua matanya, kemudian dia kembali memperhatikan sosok wanita tadi. Semula dia tidak percaya dengan penglihatannya, namun sekarang dia yakin betul kalau wanita itu memang yang tadi pagi datang bertamu. "Hmm.. tidak salah lagi, wanita itu memang dia. Kalau begitu, aku akan segera menghampirinya," ucap Branden dalam hati.
Namun belum sempat dia beranjak, tiba-tiba hujan gerimis mulai turun menyiram bumi. Bersamaan dengan itu, wanita tadi segera menghampiri Branden. "Selamat siang, Pak!" ucapnya seraya tersenyum manis.
"Siang Nona…! Mari, silakan duduk!" tawar Branden ramah.
Wanita itu pun segera duduk di sebelah Branden, bersamaan dengan itu senyumannya yang manis kembali tersungging.
Belum sempat Branden membalas senyuman itu,  tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya, disertai dengan halilintar yang menggelegar keras. Saat itu Branden tersentak kaget lantaran mendengar suara guntur yang begitu kerasnya, namun dia agak heran saat melihat wanita yang bersamanya tampak biasa-biasa saja. Karena itulah, keinginannya untuk lebih mengenal wanita itu pun timbul. "Eng... kalau boleh saya tahu, siapa namamu?’ tanya Branden sopan.
Wanita itu tidak menjawab, dia terlihat hanya tersenyum ramah.
"Emm… Tolong perkenalkan dirimu, Nona! Dan tolong katakan maksud dan tujuanmu kemari!" pinta Branden dengan nada lembut.
 Belum sempat Branden mendapat jawaban, tiba-tiba saja wajah wanita itu berubah menjadi wajah Yana. Tak ayal, Branden pun langsung terkejut bukan kepalang, dadanya berdegup kencang, dan hawa dingin terasa merasuki tubuhnya. "Ya-Yana! Ke-kenapa kau selalu menggangguku?" tanyanya dengan terbata-bata.
Yana tidak menjawab, dia terlihat memandang Branden dengan tatapan yang begitu dingin. Dan tiba-tiba saja sebuah senyuman dingin tampak tersungging di bibirnya yang pucat. Saat itu Branden merasa serba salah, "Ya-Yana... a-aku…" Belum sempat Branden melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba saja lelaki itu mendengar suara jeritan keras yang berasal dari dalam rumah.
"Rani...?" ucap Branden dalam hati ketika menyadari kalau itu suara jeritan Rani, lalu dengan serta-merta lelaki itu bergegas menemuinya.
"Ada apa, Sayang...?" tanya Branden panik.
"Rani bermimpi, Yah, " jawab Rani seraya mengusap-usap lututnya yang sakit karena terjatuh dari tempat tidur.
"O, jadi kau jatuh karena bermimpi," kata Branden seraya memegang lutut putrinya.
"Aduh, sakiiit... Ayah," rintih Rani.
"O… rupanya kakimu terkilir, Nak. Kalau begitu, Ayah akan menggosoknya dengan minyak tawon," kata Branden seraya mengangkat putrinya dan membaringkannya di atas tempat tidur.
Kini lelaki itu  tampak sibuk mencari minyak tawon yang biasa digunakannya untuk mengobati cidera seperti itu. Setelah menemukan apa yang dicarinya, Branden pun segera mengoleskan minyak itu ke kaki Rani yang terkilir, juga ke lutut Rani yang terlihat memar. "Nah, sekarang istirahatlah! Nanti juga akan sembuh," kata Branden seraya mengecup kening putrinya.
"Terima kasih, Ayah!" ucap Rani seraya tersenyum.
Tiba-tiba Branden teringat dengan sosok istrinya yang sedang berada di teras muka, kemudian dia bergegas untuk menemuinya. Ketika lelaki baru saja keluar kamar, tiba-tiba "Auu... Ayaaah!" teriak Rani kesakitan.
Branden pun terkejut dan segera menghampirinya. "Ada apa, Nak?" tanyanya khawatir.
Rani tidak menjawab, dia segera beranjak dari tempat tidur dan langsung memeluk ayahnya dengan isak tangis yang cukup memilukan.
"Ada apa, Sayang...?" tanya Branden lagi.
"Ka-kaki Rani, Ayah," jawab Rani terisak.
"Kenapa kakimu? Bukankah tadi sudah diobati," tanya Branden bingung.
"Entahlah... sepertinya tadi ada yang memegang kaki Rani, Ayah," jawab Rani dengan raut wajah yang tampak ketakutan. "Auh! Aduh, sakiiit!" tiba-tiba Rani menjerit.
Branden agak panik melihat keadaan putrinya seperti itu, "Sabar, Nak! Kakimu pasti sembuh," kata Branden menenangkan.
"Tolong Ayah, tolong…! Aduh sakiiit." Rani terus merintih, merasakan sakit yang luar biasa. Dia terus menangis dan menangis, hingga air matanya tampak membasahi pipi.
Branden sangat kasihan melihat keadaan putrinya, namun dia tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu dia cuma bisa membelai-belai kepala Rani dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, Rani mulai tenang, rasa sakit di kakinya sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Melihat itu, Branden merasa lega. Kemudian dia segera menyelimutinya dengan selimut yang hangat. "Istirahatlah, Sayang...! Ayah akan menemanimu di sini," katanya seraya membelai rambut putrinya.
Rani tampak tersenyum. Saat itu dia pun merasakan kakinya mulai berangsur sembuh. "Ayah, sekarang kaki Rani sudah tidak terasa sakit lagi," jelasnya kepada Branden.
"Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Padahal, tadi Ayah begitu mengkhawatirkanmu," kata Branden merasa senang mendengar pernyataan putrinya.
Sementara itu di sudut ruangan, sosok Yana tampak sedang memandang wajah putrinya. Parasnya yang cantik tampak begitu pucat, namun senyum di bibirnya memperlihatkan kebahagiaan. Pada saat itu Branden masih terduduk di sisi tempat tidur, dia terus menemani putrinya sampai tertidur pulas.
Setelah tahu putrinya terlelap, Branden segera keluar kamar dan duduk di kursi tamu. Kini dia sedang termenung di tempat itu, memikirkan semua peristiwa yang telah dia alami. Sementara itu di luar rumah, hujan lebat masih saja mengguyur Bumi. Sesekali kilat membias dengan diiringi bunyi halilintar yang menggelegar.
Ketika hari sudah menjelang sore, Branden segera beranjak dari duduknya dan bergegas mengontrol semua ruangan. Kini dia sedang berada di dapur untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Dan ketika baru saja meneguk segelas air bening, tiba-tiba dia mendengar suara langkah seseorang di belakang rumahnya.
Branden segera membuka pintu belakang dan memeriksa suara itu. "Hmm... tidak ada siapa-siapa. Lalu tadi itu langkah siapa?" tanya Branden seraya menoleh kiri-kanan. Branden benar-benar telah dibuat bingung, padahal tadi dia memang mendengar suara langkah kaki yang berjalan di belakang rumahnya. "Hmm... mungkinkah itu Yana yang sengaja ingin menggangguku, tapi kenapa dia berbuat begitu?" tanya Branden lagi seraya melangkah masuk.
Hingga kini Branden masih belum mengerti dengan kehadiran sosok Yana, dan dia mulai merasa terganggu dengan kehadirannya. Setelah mengunci pintu rapat-rapat, Branden segera melangkah ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. Kini dia sedang memikirkan Yana, memikirkan perihal kehadirannya yang masih penuh misteri. Sementara itu, sosok yang sedang dipikirkan Branden sudah berada diruangan itu, dia berdiri di sisi Branden dengan tidak menampakkan diri. Saat itu dia hanya memperhatikan Branden yang dilihatnya masih saja termenung.
Tiba-tiba, di samping sosok wanita itu telah berdiri sesosok hitam yang kini sedang memandangnya. "Sekarang kau ikut aku! Aku akan mengajarkan bagaimana caranya agar kau mempunyai kekuatan lebih guna berinteraksi dengan mereka," ajak sosok hitam itu.
Sosok wanita itu pun menurut, kemudian dia tampak melesat pergi mengikuti sosok hitam yang dilihatnya berkelebat ke arah makam.