E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 15

Lima Belas



Tiga bulan kemudian, Randy mengajak istrinya untuk tinggal di rumah baru mereka, tapi istrinya masih saja menolak—dia masih bersikeras untuk tinggal di rumah Paman dan Bibinya dengan alasan masih berat untuk meninggalkan mereka. Sebenarnya Randy merasa jengkel juga, karena selama ini dia merasa tidak nyaman tinggal di rumah itu. Bagaimana tidak, setiap hari dia selalu diperlakukan seperti anak kecil oleh orang tua angkat Yuli. Bila dia belum makan, si Paman selalu menasehati agar cepat-cepat makan, kalau tidak nanti terkena mag. Jika sedang nonton TV hingga larut malam, si Bibi selalu bilang jangan tidur terlalu malam. Jika tidak, nanti kesehatanmu akan terganggu, dan sebagainya dan sebagainya...
Randy memahami maksud mereka memang baik, dan mereka melakukan itu karena sayang kepadanya. Tapi biar bagaimanapun juga, hal itu telah membuat Randy merasa seperti anak kecil. Tanpa perlu dinasehati pun, sebenarnya dia sudah mengerti betul tentang semua itu. Dan dia melakukan itu sama sekali bukan karena tidak mengerti, tapi karena suatu sebablah yang mengakibatkan dia melakukan hal-hal yang dianggap salah oleh mereka. Bukan hanya itu saja! Semua peraturan di rumah itu memang benar-benar membuat Randy merasa tidak nyaman. Bayangkan! Di kamar mandi saja ada tulisan "Jangan jorok, siramlah setelah buang air besar!" Setiap kali dia masuk kamar mandi selalu saja melihat tulisan itu, yang mengatakan seolah-olah dirinya jorok dan tidak pernah menyiram setelah buang air besar, padahal dia selalu menyiram kakus setiap habis buang air besar. Walaupun tulisan itu bukan ditujukan padanya, tetap saja dia merasa seperti tertuduh. Sebenarnya dia ingin sekali mengganti tulisan itu dengan "Kebersihan sebagian dari pada iman", biar kesannya tidak menuduh, tapi karena dia merasa tidak ada hak, dia pun mengurungkan niatnya.
Kini dia sedang membujuk istrinya untuk mau tinggal di rumah baru mereka. "Mengertilah Manis...! Terus terang, aku merasa risih tinggal di sini."
"Sudahlah, Sayang... Hal-hal seperti itu tidak perlu diambil hati, Paman dan Bibi melakukan semua itu karena mereka sayang padamu."
Dalam hati Randy sedikit kesal, "Aku juga tahu, Yul. Kau tidak perlu mengajariku!" ucapnya dalam hati. Kemudian lelaki itu menatap mata istrinya dengan lembut, "Manis... pandanglah mataku!" pintanya kemudian.
Yuli pun memandang mata suaminya. Pada saat itu Randy kembali bersuara, "Manis... aku sayang padamu, dan aku sangat mencintaimu. Jangan hanya karena hal seperti ini hubungan kita jadi tidak harmonis, cobalah untuk mengerti apa yang kurasakan!"
Yuli tersentak dengan kata-kata Randy barusan, wajahnya kini tertunduk dengan mata yang berkaca-kaca. Dia merasakan betul kalau suaminya benar-benar berharap untuk pindah dari rumah itu. Kini Yuli menitikkan air matanya, "Maafkan aku Sayang...! Selama ini aku memang terlalu egois. Aku selalu mementingkan perasaanku sendiri, sedangkan perasaanmu sama sekali tidak aku hiraukan. Kini aku mengerti perasaanmu, kau memang tidak ingin hidup terkekang. Kau akan merasa lebih bebas tinggal di rumah sendiri dari pada harus tinggal di sini. Sayangku... mulai besok kita bisa tinggal di rumah baru kita."
"Terima kasih, Manis...! Kau mau mengerti perasaanku," ucap Randy seraya mengecup kening istrinya, "Kau tidak perlu bersedih Manis...! Karena setiap minggu kita bisa datang ke sini untuk menengok mereka."
"Sungguh...!" ucap Yuli seraya menatap mata suaminya.
"Iya Manis..." kata Randy seraya mengecup kening istrinya lagi.
Kemudian keduanya saling berpelukan, saat itu Randy pun semakin sayang kepada istrinya yang mau mengerti tentang perasaannya. Randy benar-benar beruntung mempunyai istri seperti Yuli, istri yang akan selalu disayanginya.

 

Di pagi yang cerah, di lorong sebuah rumah sakit, seorang pemuda terlihat sedang duduk di sebuah kursi panjang. Dia sedang menunggu seseorang yang akan memberikan kepastian tentang kepulangannya. Tak lama kemudian, seorang berpakaian putih datang menemuinya. "Saudara Bobby! Anda sudah diizinkan untuk pulang. Semua biaya rumah sakit sudah diselesaikan oleh pihak kepolisian."
"Terima kasih, Pak Dokter! Kalau begitu, aku permisi untuk pulang. O ya... Terima kasih atas perhatian Bapak selama ini!"
"Sama-sama..."
Setelah berjabatan tangan, Bobby segera melangkah meninggalkan rumah sakit. Saat itu, dia merasa senang dengan keadaannya sekarang, dan dia sangat bersyukur karena Tuhan masih melindunginya. Kini dia mulai melangkah menuju ke kampung halamannya. Bobby terus melangkah sambil tak henti-hentinya menyebut nama Tuhan. Pemuda itu benar-benar menikmati perjalanannya kali ini, dan sepertinya dia juga tidak merasa lelah sedikitpun. Hingga akhirnya, pemuda itu tiba di kampung halamannya dan segera menziarahi makam ibunya. Sepulang dari makam, pemuda itu berjumpa dengan sahabatnya Randy.
"Bo-Bobby! Apakah aku tidak salah lihat," ucap Randy senang.
"Randy, benarkah kau Randy sahabatku," ucap Bobby tak kalah senang.
Bobby segera memeluk sahabat lamanya, sejenak mereka saling melepaskan rindu.
"Maukah kau mampir ke rumahku, Bob?" tawar Randy.
"Tentu saja, kenapa tidak."
"O ya, Bob. Apa kau sudah menikah?" tanya Randy.
"Belum,"
"Kau, sendiri?" Bobby balik bertanya.
"Aku sudah menikah, Bob"
"Alhamdulillah, berbahagialah selalu! Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah" ucap Bobby.
"Amin… Terima kasih, Bob!"
Tak lama kemudian, keduanya tampak sudah melangkah menuju ke rumah Randy, hingga akhirnya mereka tiba di rumah itu. Kini keduanya tampak sedang bercakap-cakap di ruang tamu.
"Ngomong-ngomong… apa kau sudah makan?" tanya Randy.
"Belum," jawab Bobby terus terang.
"Kalau begitu, ayo kita makan sama-sama!"
Lalu dengan sedikit canggung, Bobby tampak mengikuti sahabatnya menuju ke ruang makan. Di ruangan itu, Yuli terlihat sedang menyiapkan makanan.
"Ayo, Bob. Silakan duduk!" tawar Randy.
"Terima kasih, Ran!"
Akhirnya, mereka pun makan bersama-sama.
"Bob, sekarang kau kerja dimana?" tanya Randy.
"Aku belum bekerja, Ran."
"O ya, Bob. Aku turut berduka cita atas kematian ibumu. Waktu itu aku sempat main ke rumahmu, dan aku sangat terkejut begitu tahu tentang kematian ibumu. Pak RT kampungmu bilang, kau pergi merantau. Sebenarnya, selama ini kau ke mana saja?"
"Aku menuntut ilmu, Ran." Jawab Bobby seraya menceritakan pengalamannya selama ini.
"Kalau begitu, apakah kau mau mengajariku, Bob?"
"Maaf, Ran! Aku tidak bisa mengajar."
"Kenapa?" tanya Randy heran.
"Bukan karena aku tidak bisa teknisnya, Ran. Tapi aku belum mengamalkan ilmu yang kudapat itu."
"Mungkin setelah menikah dan mempraktekkan semua pelajaran yang kudapat. Aku baru bisa mengajar,"
"O ya, Bob. Kau bilang kau masih menganggur, lalu dari mana kau mendapatkan uang."
"Allah Maha Pemurah, Ran. Selama ini aku selalu diberi rezeki oleh-Nya."
"Tapi, apakah itu mencukupi, Bob?"
"Biarpun hanya sedikit, aku sudah sangat bersyukur, Ran."
"Bob, maukah kau membantuku untuk memasarkan hasil jahitanku. Pokoknya, nanti kau akan kuberi persenan."
"Terima kasih, Ran! Sepertinya aku tidak mempunyai bakat soal pemasaran."
"Kau jangan khawatir, Bob. Aku akan mengajarimu. Selain itu, aku ingin kau mengajarkan aku dan istriku untuk membaca Al-Quran. Kau mau kan mengajari kami.
"Kalau cuma mengajar baca Al-Quran, tentu saja aku mau."
"Kalau begitu, kau bisa tinggal di sini, Bob."
"Tidak, Ran. Aku tidak mau merepotkanmu."
"Tidak, Bob. Itu sama sekali tidak merepotkan."
"Terima kasih, Ran! Selama ini aku biasa tidur di masjid."
"Baiklah... Kalau kau tidak mau tinggal di rumahku kau bisa tinggal di kamar kost milikku. Lokasinya tidak terlalu jauh dari sini."
"Maaf, Ran! Aku tidak mempunyai uang untuk kost."
"Kau tidak perlu membayar, Bob."
"Tidak, Ran. Aku tidak mau hidup seperti benalu."
"Baiklah, Bob. Anggap saja upahmu mengajar sudah dipotong untuk membayar kost."
"O, jadi kau ingin membayarku sebagai pengajar Quran. Tidak Ran! Aku sama sekali tidak mau dibayar untuk hal itu."
"Bob, aku benar-benar ingin membantumu, jadi aku harus bagaimana?"
"Begini saja, Ran. Apakah kau mempunyai uang untuk membeli sebuah mesin steam."
"Tentu saja, Bob."
"Nah... kalau begitu aku akan menggunakan uang itu untuk membeli mesin steam. Aku akan membuka usaha cucian motor, dan untuk itu kita terapkan sistem bagi hasil.
"Baiklah, Bob. Aku setuju saja."
"Terima kasih, Ran!"
Mereka terus membahas masalah itu, hingga akhirnya kepastian untuk membuka usaha itu pun bisa segera dilaksanakan. Malam harinya, Bobby sudah tinggal di kamar kost yang disewakan oleh sahabatnya itu.

 

Esok paginya, pemuda itu sudah terlihat sibuk—kesana-kemari mencari tempat untuk usaha dan mencari mesin steam yang layak digunakan. Bobby memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang dan penuh kecermatan, hingga akhirnya berdirilah sebuah tempat pencucian motor di sebuah tempat yang cukup strategis.
Selama membuka usahanya, pemuda itu selalu bekerja dengan giat dan penuh tanggung jawab. Dia melakukan pekerjaannya dengan baik sekali, sehingga setiap pelanggannya merasa puas. Karena selain murah, hasil cuciannya juga sangat bersih.
Kini Bobby sudah bisa hidup dari hasil usahanya itu, walaupun dengan hasil yang sedikit. Tapi semua itu tidak membuatnya merasa kekurangan, bahkan dia merasa berkecukupan. Semua itu karena dia benar-benar mensyukuri seberapa pun rezeki yang ia dapatkan. Karena dia tahu kehidupan di dunia ini adalah fase untuk persiapan menuju kehidupan kelak. Karena itulah Bobby selalu berusaha untuk menjalani kehidupan di dunia ini dengan sebaik mungkin. Setiap waktunya yang berharga tidak mau disia-siakan untuk kegiatan yang tidak bermanfaat. Semua waktunya di gunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan membantu sesama. Bahkan setiap malam, pemuda itu tidak pernah lupa mengajarkan cara membaca Al-Quran kepada Randy dan Istrinya. Walaupun sebenarnya Randy dan Istrinya sudah bisa membaca Al-Quran, tapi mereka belum bisa membacanya secara baik dan benar. Selama mengajar mereka, Bobby selalu bersungguh-sungguh dan penuh keiklasan agar kedua orang yang diajarkannya itu bisa menangkap pelajaran dengan mudah. Dengan sabar dia mencontohkan cara pengucapan yang benar, hingga sedikit demi sedikit Randy dan Istrinya mulai bisa memahami.

    
   
Setahun telah berlalu. Kini usaha cucian motor yang dirintis Bobby mulai mengalami kemajuan. Kini pemuda itu sedang berbincang-bincang dengan Randy di rumahnya. Maklumlah, setiap habis mengajar, Bobby memang selalu menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan sahabatnya itu.
"O ya, Bob. Aku ingin membicarakan soal pengembangan usaha cucian motor kita. Bagaimana kalau hasil keuntungan selama ini kita belikan mesin steam satu lagi."
"Benar, Ran! Aku pun juga sudah memikirkannya, dan aku akan mengajak Wawan untuk bekerja membantuku."
"Wawan? Siapa dia, Bob?"
"Dia seorang pemuda yang baik dan jujur, dia tinggal tak jauh dari tempat cucian motor kita. Terus terang, aku kasihan sekali padanya, karena selama ini dia masih menganggur."
"Baguslah kalau begitu, itu namanya perduli kepada warga sekitar."
"Nah, bagaimana kalau besok kau mampir ke sana! Aku akan memperkenalkan pemuda itu."
"Oke, Bob. Besok aku akan mampir"
"Ran? Sekarang aku pamit pulang! Sampai bertemu besok," ucap Bobby seraya bangkit dari tempat duduknya.
"Sampai besok, Bob," ucap Randy seraya mengikuti Bobby sampai ke muka rumah.
"Assalamu’alaikum..." ucap Bobby.
"Waalaikum salam..." balas Randy seraya memperhatikan kepergian sahabatnya.

 

Esok harinya menjelang Ashar, Bobby dan Randy terlihat sedang bercakap-cakap. Saat itu, seorang pemuda tampak menghampiri mereka.
"Nah itu orangnya," kata Bobby kepada Randy.
Kemudian Randy diperkenalkan dengan pemuda yang bernama Wawan, dan Randy pun sangat suka dengan pemuda itu. Selain sebagai seorang pekerja keras, Wawan juga pemuda yang saleh.
"Ran? Mari kita sholat Ashar!" ajak Bobby.
"Mari, Bob."
Kemudian ketiganya melangkah ke masjid yang tak jauh dari tempat itu, setelah mengambil wudhu mereka pun sholat Ashar berjamaah. Setelah melakukan sholat Ashar mereka kembali ketempat cucian motor. "Bob? Wan? Aku pamit dulu ya!"
"Hati-hati ya!"
"Assalamu’alaikum..." ucap Randy.
"Wa’alaikum salam..." balas Bobby dan Wawan bersamaan.