E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 11

Sebelas



Pada suatu hari, Bobby dan gurunya pergi untuk menemui seseorang di sebuah gurun terpencil. Mereka berdua mengarungi gurun tandus di tengah teriknya sinar mentari. Mereka terus melangkah dan melangkah. Sang guru tampak sudah terbiasa dengan perjalanan seperti itu, dia tampak melangkah dengan begitu santainya. Bobby yang baru pertama kali mengarungi gurun yang begitu panas tampak sangat kelelahan, keringatnya bercucuran membasahi tubuh, lagi-lagi kulitnya yang putih mulai kemerahan terbakar mentari. Beberapa kali Bobby mengelap peluh yang terus bercucuran di wajahnya, dan sengatan sinar mentari membuatnya merasakan dahaga yang amat sangat. Sebentar-sebentar dia mengeluarkan tempat minumnya, hingga akhirnya air minumnya habis tak tersisa.
Ketika merasa haus lagi, Bobby pun mencoba meminta kepada gurunya. "Kek aku haus sekali, bolehkah aku meminta air minum Kakek?" pintanya seraya menelan ludah untuk membasahi lehernya yang terasa sudah begitu kering.
Sang kakek menoleh, lantas sambil geleng-geleng kepala dia tampak memperhatikan muridnya yang tampak sudah begitu kehausan. "Bob, bukankah kita sudah membawa minuman sendiri-sendiri. Lalu kenapa kau masih meminta kepada Kakek?" tanyanya kemudian.
"Minumanku sudah habis sepuluh menit yang lalu, Kek."
"Itulah akibatnya jika kau terlalu serakah dan tidak mau berhemat."
"Kek, perjalanan ini benar-benar melelahkan, dan aku tidak mungkin bisa bertahan tanpa banyak minum air."
"Jika, Kakek bisa. Kenapa kau tidak?"
Bobby terdiam, dia merasa sang Kakek berkata benar. "Jadi aku harus bagaimana, Kek? Sedangkan kerongkonganku sudah terasa begitu kering."
Sang Kakek tidak menjawab, beliau malah melangkah pergi.
"Kek, kenapa Kakek malah pergi?" tanya Bobby seraya mengikutinya.
"Kau harus menahannya, Bob! Seharusnya disaat seperti itulah kau mempergunakan air minummu—di saat lehermu seakan tercekik karena merasakan haus yang teramat sangat."
Bobby tidak berkata-kata lagi, sebab percuma saja jika bicara pada gurunya yang agak keras itu. Biarpun Bobby terus meratap, beliau pasti tidak akan memberinya minum. Mereka berdua terus melangkah, namun belum sampai lima menit melangkah tiba-tiba Bobby sudah terjatuh, dia benar-benar sudah tidak kuat lagi menahan dahaga yang teramat sangat. Mengetahui itu, sang Kakek pun langsung memberikannya minum. Pada saat itu, Bobby langsung meminumnya dengan begitu rakus. Menyadari itu, sang Kakek buru-buru menyambar tempat minum miliknya hingga terlepas dari genggaman Bobby. "Belum lama Kakek sudah memberi tahumu agar kau jangan serakah, kini kau sudah lupa," katanya seraya menutup rapat tempat minumnya.
"Kek, hausku belum benar-benar hilang."
"Sabarlah, Bob. Kau jangan terlalu serakah! Tunggu sampai lehermu kembali terasa tercekik. Kau memang perlu belajar sabar, agar kau bisa menahan diri dari segala keinginanmu yang begitu menggebu-gebu."
Bobby tidak berkata-kata lagi, dia terus mengikuti gurunya melangkah dan melangkah. Jika dia merasa lehernya tercekik barulah dia meminta air kepada sang Kakek. Bobby kini menyadari betapa pentingnya bersabar agar bisa berhemat guna bisa bertahan hidup, kalau saja dia dan gurunya orang-orang yang serakah tentu mereka sudah mati di tengah gurun yang tandus.
Kedua lelaki itu terus melangkah hingga akhirnya mereka sampai di sebuah oasis yang menghijau, itulah tempat tujuan mereka—tempat tinggal sahabat sang guru. Kini mereka tengah menghampiri seseorang yang tengah duduk sambil memperhatikan domba-dombanya yang terlihat meminum air di sebuah kolam kecil. Melihat domba-domba yang asyik minum di air yang jernih, Bobby pun segera berlari ke arah kolam dan segera memuaskan dahaganya bersama domba-domba itu. Pada saat itu, sang Guru hanya geleng-geleng kepala sambil terus melangkah menemui sahabatnya yang kini berdiri menyambut kedatangannya.
"Assalamu’alaikum..."
"Walaikum salam...."
Sang Kakek dan sahabatnya tampak berpelukan, kemudian mereka duduk bersebelahan. Tak lama kemudian, Bobby sudah menyusul duduk di hadapan mereka. Kini wajah pemuda itu sudah tak terlihat layu, dan itu semua karena dahaganya yang sudah benar-benar hilang. Saat itu, sang Kakek langsung memperkenalkannya dengan si Sahabat, dan sepertinya sahabat kakek itu begitu menyukainya. Dia melihat ada sesuatu yang terpancar di wajah pemuda itu, sesuatu yang memang bisa diharapkan.

 

Malam harinya, Bobby dan gurunya menginap di oasis itu. Mereka dijamu dengan makanan dan minuman yang istimewa. Sepotong daging domba kering yang diawetkan dan semangkuk susu domba yang penuh dengan lemak dan protein. Itulah makanan yang memang mereka butuhkan untuk hidup di gurun yang begitu liar dan tidak bersahabat. Setelah kenyang, ketiganya tampak beristirahat di dalam sebuah tenda kecil.
Pada tengah malam udara terasa benar-benar dingin. Walaupun Bobby sudah tidur di dalam tenda dengan berselimutkan kulit domba yang cukup tebal, pemuda itu masih saja merasa kedinginan. Kini dia tampak memandang ke langit melalui celah jendela yang tidak mempunyai penutup, bintang-bintang terlihat indah berkelap-kelip menghiasi malam yang dingin. Sampai akhirnya pemuda itu terlelap karena lelah dan kantuk yang tak tertahankan.

 

Esok paginya, Bobby dan gurunya kembali pulang, mereka kembali mengarungi gurun yang tandus. Di dalam perjalanan mereka kembali berbincang-bincang.
"Kek? kenapa sahabat Kakek itu tinggal sendirian."
"Itu karena beliau mau lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, selain itu beliau itu seorang penulis yang karya-karyanya selalu mengajak kepada orang untuk lebih mencintai Tuhan."
"Sejak kapan beliau memutuskan untuk tinggal menyendiri."
"Sejak kematian istrinya yang paling dia cintai. Semenjak itu dia memutuskan untuk tidak menikah lagi, dia lebih suka hidup menyendiri dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta."
"Kenapa beliau tidak menikah lagi"
"Bob? Setiap orang itu berbeda-beda, beliau merasa lebih baik tidak menikah karena beliau memang mampu hidup sendiri. Beliau lebih mengutamakan ibadah ketimbang kehidupan duniawi, dengan hidup menyendiri beliau bisa mencintai Tuhannya dengan sepenuh hati. Kalau sudah demikian, Tuhan pun akan sangat mencintai dan menyayanginya. Dengan demikian, semua ibadah adalah kenikmatan, dan kenikmatan itu mampu menyingkirkan segala kenikmatan duniawi yang selama ini kita kenal. Jadi, kau tidak perlu heran jika beliau lebih menyukai hidup sendiri. Sebenarnya beliau tidak hidup sendiri, beliau hidup bersama Tuhannya yang selalu berada sangat dekat dengannya."
 "Apakah untuk bisa seperti beliau harus meninggalkan semua kehidupan duniawi?"
"Tidak juga, Bob. Itu semua tergantung kepada manusianya sendiri, dan juga lingkungan tempat di mana dia tinggal."
"Maksud Kakek?"
"Begini, Bob. Kalau seorang merasa mampu untuk mendekatkan diri di tengah-tengah kemungkaran, itu tidak menjadi masalah. Tapi jika seseorang merasa terganggu, mau tidak mau dia harus mencari tempat yang lebih baik. Karena tidak semua orang mempunyai mental yang sama, dan tidak semua orang bisa menjadi ikan di tengah lautan yang tidak menjadi asin walaupun dikelilingi air yang asin.
Setiap orang memang sudah mempunyai misi masing-masing yang harus diemban dalam hidupnya, dan itu memang sudah digariskan oleh Sang Pencipta. Seperti beliau, Tuhan menentukan jalan hidupnya demikian karena beliau mempunyai misi menyampaikan pesan-pesan Tuhan melalui karya-karyanya.
Sedangkan Kakek sendiri mempunyai misi yang lain lagi. Kakek mempunyai misi membantu orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan secara langsung, yaitu dengan cara berdakwah ke tempat-tempat tertentu. Selain itu Kakek juga membantu orang-orang yang ingin mencari tempat yang mereka anggap tidak nyaman dalam mendekatkan diri kepada Tuhan."
"Apa maksud Kakek dengan mencarikan tempat yang mereka anggap tidak nyaman"
"Maksud Kakek mencarikan tempat yang lebih baik, artinya mereka bisa mendekatkan diri kepada Tuhan tanpa merasa tertekan."
"Seperti apa itu, Kek?"
"Sudahlah! Suatu hari nanti, kau pun akan mengerti."
Mereka terus melangkah dan melangkah, hingga akhirnya matahari tampak sudah berada di atas kepala. Hal itu sempat membuat Bobby merasakan dirinya bagaikan di neraka. Namun begitu, pemuda itu masih bisa bertahan. Soalnya sekarang dia sudah bisa menghemat air minumnya, dan dia sudah mulai bersabar walaupun rasa haus terasa begitu menyiksa.

 

Di hari minggu yang cerah, sang Kakek mengajak Bobby untuk menjemput seseorang yang ingin mencari tempat yang lebih baik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena itulah, lagi-lagi mereka harus mengarungi gurun yang tandus.
"Kek sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Bobby seraya menutup tempat minumnya.
"Kita akan ke perbatasan untuk menjemput seseorang dari Bangladesh."
"Seseorang dari Bangladesh?"
"Benar, Bob. Di negaranya, beliau sangat dimusuhi oleh beberapa pejabat yang ada di pemerintahan, dan karenanyalah beliau berniat pindah ke Pakistan untuk mencari perlindungan."
Bobby sangat terkejut begitu mengetahui gurunya akan menjemput seseorang yang masuk secara illegal.
"Kek, apakah hal ini dibenarkan?"
"Kalau menurut hukum keimigrasian hal ini sama sekali tidak dibenarkan, tapi kalau menurut Kakek sah-sah saja. Orang boleh hijrah ke mana saja selama tujuan hijrahnya untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, karena seluruh muka bumi ini adalah milik Tuhan dan karenanyalah seseorang berhak pergi ke mana saja untuk mendekatkan diri kepada yang memiliki bumi ini. Tentu saja jika hal itu memang mendesak dan tidak ada cara lain yang bisa dilakukan. Kita akan berdosa kalau tidak membantu saudara kita yang dizalimi, dan itulah yang membuat Kakek mau membantu untuk hal-hal semacam itu. Kakek hanya mau membantu jika hal itu menyangkut perjuangan untuk kepentingan Islam, dan Kakek tidak akan membantu jika hal-hal itu menyangkut kepentingan lainnya."
Menjelang petang mereka tiba di perbatasan, dan tak lama kemudian orang yang dimaksud tiba dengan beberapa orang yang mengantarnya.
"Assalamu’alaikum..."
"Wa’allaikum salam..."
Mereka semua tampak berpelukan dan sun pipi kiri-kanan, selanjutnya Guru Bobby mengajak orang yang dimaksud meninggalkan perbatasan, sedangkan orang-orang yang mengantarnya kembali lagi ke Bangladesh.
Bobby, sang Guru, dan seorang lelaki yang bernama Mustafa tampak terus melangkah dengan mengendap-endap, mereka berusaha menghindari penjaga di perbatasan yang terkadang suka berpatroli. Setelah sekian lama berjalan dengan mengendap-endap akhirnya mereka tiba di tempat yang aman. Kini ketiganya tengah melangkah menyusuri gurun yang gersang.

 

Malam harinya, mereka menginap di tengah gurun. Pada saat itu, udara malam terasa begitu dingin. Sementara itu di tengah kegelapan, hewan-hewan malam yang lapar sesekali terlihat merayap mencari makan. Bahkan seekor tarantula tampak merayap di dekat peristirahatan mereka.
"Sana pergi!" teriak sang Kakek mengusir tarantula itu.
"Ada apa, Kek?" tanya Bobby.
"Tidak ada apa-apa. Hanya seekor tarantula yang mau menghangatkan diri bersama kita."
Bobby agak bergidik mendengar kata tarantula, hewan yang katanya bisa membunuh hanya dengan sekali sengatan.
"Kek? Apa tarantula itu akan kembali lagi?"
"Ya... mungkin saja"
"Apakah dia akan menggigitku?"
"Kau tidak perlu takut, Bob! Hewan itu sama sekali tidak berbahaya. Selama kita tidak mengganggu, hewan itu juga tidak akan menggigit. Hewan itu hanya menggigit bila dirinya merasa terancam, dan dia akan menjauhi setiap makhluk yang lebih besar darinya. Lihat saja tadi, begitu dia melihat kakek yang lebih besar darinya, dia pun langsung lari terbirit-birit."
Selama ini Bobby memang kurang mengerti betul tentang prilaku hewan yang satu itu,  tapi begitu tahu, dia pun tidak merasa takut lagi.
"O ya, Kek. Ngomong-ngomong, di gurun ini ada hewan apa lagi?"
Banyak sekali, Bob. Ada kadal, kalajengking, ular derik, dan masih banyak lagi."
"Lihat itu, Kek? Hewan apa yang seperti itu. Aku baru pertama kali ini melihatnya?"
"Di mana, Bob?"
"Di sana. Kek."
Begitu melihat hewan yang dimaksud, sang Kakek langsung terdiam dengan mulut yang tampak berkomat-kamit. Sepertinya dia sedang membaca sesuatu.
"Ada apa, Kek? Kenapa kakek malah berkomat-kamit. Memangnya hewan apa itu ?"
Sang kakek masih tidak menjawab, dia terus saja berkomat-kamit. Setelah hewan itu pergi barulah sang kakek kembali bicara. "Bob itu yang dinamakan Ankeset."
"Hewan apa itu, Kek"
"Ya... semacam hewan jadi-jadian."
"Apa! Di tempat ini ada hewan seperti itu?" Bobby tampak terkejut.
"Banyak sekali, Bob. Tapi, mereka jarang sekali menampakkan diri. Hanya kepada orang tertentu saja mereka menampakkan diri. Sebenarnya mereka itu para kesatria hitam dari Bangladesh, mereka adalah jin fasik yang mempunyai power yang sangat kuat lantaran mereka sering dipuja-puji dan diberi persembahan oleh orang kafir Bangladesh. Karenanyalah mereka mampu menampakkan diri di hadapan kita. Kini kau tidak perlu khawatir, tadi kakek sudah mendoakanmu agar dia tidak berani berbuat macam-macam."
"Ja-Jadi dia mengincarku, Kek."
"Bukan... bukan begitu. Kau kan orang asing di negeri ini, dan kakek rasa dia mau berkenalan denganmu."
"Kalau cuma ingin berkenalan kenapa muka kakek tadi begitu khawatir?"
"Sudahlah, Bob. Lupakan saja! Hewan itu tidak akan macam-macam selama kau selalu mendekatkan diri kepada Tuhan."
Tiba-tiba, Pak Mustafa yang sejak tadi terdiam kini tampak berbicara dengan terbata-bata
"Ada apa, Saudaraku?" tanya sang Kakek bingung.
"Di-di-disana. Li-lihat di sana!"
Sang kakek pun menoleh. Betapa terkejutnya dia ketika melihat hewan yang tadi muncul kembali. Tapi kali ini hewan itu tidak sendirian, dia muncul bersama kelima temannya.
"Celaka...!" ucapnya sangat khawatir. Lantas dengan segera dia membuat sebuah lingkaran dengan tongkat kayunya, dan setelah itu dia mengajak Bobby dan Mustafa untuk ikut masuk ke dalam lingkaran yang dibuatnya.
Kini sang Kakek dan Pak Mustafa tampak bersila dengan mulut terus berkomat-kamit, sedangkan Bobby tampak memperhatikan mereka. Sementara itu di kejauhan, keenam hewan jadi-jadian itu tampak sedang bergerak mendekat, dan begitu tiba di dekat lingkaran hewan-hewan itu pun berhenti. Bobby ketakutan bukan kepalang, dalam hati dia menduga hewan-hewan itu pasti sedang mengincarnya. Kini Bobby terpejam, dalam hati pemuda itu terus berdoa kepada Tuhan agar melindunginya. Pemuda itu tak henti-hentinya membaca ayat-ayat yang pernah dia pelajari. Sesekali dia membuka matanya, dan keenam hewan yang seperti anjing dengan tanduk yang melingkar-lingkar masih saja mengawasinya. Pandangannya tampak buas dengan sorot mata yang begitu tajam. Bobby pun kembali terpejam, kali ini dia tidak berani lagi untuk membuka matanya.
Setelah agak lama, hewan-hewan itu pun pergi menjauh, dan sang kakek tampak lega melihatnya. "Bob! Hewan-hewan itu sudah pergi" katanya seraya menepuk bahu muridnya.
Bobby segera membuka kedua matanya, saat itu dia merasa lega sekali. Dan dia begitu bersyukur karena Tuhan masih melindunginya. "Kek, apakah mereka sudah benar-benar pergi, dan apakah nanti mereka kembali lagi? Jangan-jangan nanti malah tambah banyak."
"Kau tidak perlu khawatir, Bob. Ternyata mereka memang hanya ingin mengenalmu. Tadi kakek sempat bicara pada mereka, dan mereka mengatakan bahwa salah satu dari bangsa mereka menderita di dalam keris kecil milikmu. Kini mereka tidak akan mengganggu lagi, karena kakek sudah berjanji untuk membebaskan bangsa mereka yang ada di keris itu. Nah... sekarang berikan keris itu kepada kakek!"
Saat itu juga Bobby langsung mengeluarkan keris miliknya. "Tapi, Kek... Ini adalah keris kenang-kenangan yang diberikan padaku. Apa benar keris ini ada penunggunya?."
"Keris itu memang ada penunggunya, Bob. Dan dia sangat menderita karena dipaksa untuk selalu bersamamu, sebaiknya dia harus segera dilepaskan."
"Ini, Kek," katanya seraya menyerahkan keris kecil pemberian kakek Yuda.
Begitu sang kakek menerima keris itu, sang kakek langsung membaca sesuatu, dan mendadak keris itu lenyap dari telapak tangan sang Kakek.
"Nah sekarang dia sudah pergi, Bob. O ya, kenapa kau tidak mengatakan kepada kakek kalau kau mempunyai keris yang ada penunggunya."
"Aku sama sekali tidak tahu, Kek. Ketika keris itu diberikan, aku cuma diminta menjaganya. Itu saja."
"Ya sudah! Lain kali, jika kau diberikan sesuatu yang seperti itu, sebaiknya kau tanyakan kepada orang yang pintar (bukan dukun). Dengan demikian kau bisa mengetahui, apakah berpenghuni atau tidak."
"Baik, Kek. Aku akan selalu ingat nasihat kakek."
"Kalau begitu, mari kita kembali beristirahat."
Akhirnya ketiga orang itu kembali beristirahat. Kini mereka mulai merebahkan diri dengan berselimutkan kulit hewan. Saat itu, udara malam memang terasa semakin dingin, hingga akhirnya ketiga orang itu terlelap karena kantuk dan rasa lelah.

 

Pagi harinya mereka sudah melanjutkan perjalanan. Kini ketiganya tengah menyusuri gurun sambil berbincang-bincang. "O ya, saudaraku. Apakah kita akan sampai di desamu sore nanti?" tanya Mustafa.
"Benar saudaraku? Sore nanti kita akan tiba di gerbang desa. Tapi sebelum itu, kita akan pergi untuk menemui sahabatku yang tinggal di tepi sungai Hindus."
"Diakah orang yang akan mengurus surat-surat untukku?"
"Benar saudaraku.  Semoga kau bisa cepat menjadi penduduk yang sah di negeri ini."
Mereka terus berbincang-bincang mengarungi gurun yang panas, dan menjelang tengah hari mereka tiba di tepi sungai Hindus. Kini mereka hendak menumpang sebuah perahu kecil yang ditambat pada sebuah pohon yang cukup besar. Setelah melepaskan tali penambat, ketiganya segera menaiki perahu itu. Sekarang mereka mulai menyusuri sungai sambil menikmati pemandangan sungai Hindus yang begitu indah.
Setelah dua jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di tempat kediaman sahabat Kakek. Kini mereka terlihat sedang bercakap-cakap di dalam sebuah ruangan.
"O, jadi dia ini muridmu?" kata Abu—sahabat Kakek.
"Benar sekali, Saudaraku. O ya, apa si Hasan sudah kemari?" tanya Kakek.
"Ya, dia sudah kemari. Setelah dia menitipkan pesananmu, dia langsung pamit pulang."
"Kenapa dia langsung pulang?"
"Entahlah... tapi katanya dia ada urusan penting. Tadi dia juga meminta sebuah jimat dariku."
"Dia meminta jimat, dan kau memberikannya wahai saudaraku?"
"Ya tentu saja, seperti dia memang membutuhkannya. Memangnya kenapa?"
"Ah tidak, tidak apa-apa."
"Kalau begitu, aku ambilkan dulu pesananmu itu ya?"
Guru Bobby tampak mengangguk, kemudian dia berbicara kepada Bobby yang terlihat sedang bingung.
"Bob, kenapa kau kelihatan bingung? Sebenarnya ada apa?" tanya gurunya.
"Ah tidak ada apa-apa, Kek."
Sebenarnya Bobby sedang memikirkan masalah jimat yang selama ini selalu menjadi pertanyaannya. Ketika Bobby akan mengajukan pertanyaan, Abu sudah kembali, dia membawakan pesanan untuk sang Kakek.
"Baiklah saudaraku. Sekarang aku permisi dulu!" pamit Kakek.
"Kenapa terburu-buru, saudaraku?" tanya Abu.
"Aku masih ada urusan lain yang harus segera kuselesaikan."
"Ya sudah kalau begitu. O ya, Bob. Ini ada hadiah dariku, sebuah jimat penangkal bahaya."
"Terima kasih, Kek!" ucap Bobby seraya memakai jimat yang berupa kalung ke lehernya.
"Sudah ya saudaraku. Aku pergi, Assalamu’alaikum..."
"Wa’allaikum salam..."
"Hai, saudaraku Mustafa! Mari kita pulang," seru Kekek kepada Mustafa yang dari tadi menunggu di muka rumah.
Dan tak lama kemudian, mereka tampak sudah bergegas meninggalkan tempat itu. Kini mereka sudah menumpang perahu untuk kembali pulang. Di dalam perjalanan, sang Kakek langsung meminta jimat yang diberikan kepada Bobby. "Bob, berikan jimatmu itu padaku!" pintanya tidak main-main.
Bobby pun menurut, dia segera melepaskan jimatnya dan memberikan kepada sang Kakek. Begitu jimat itu diterima, sang kakek langsung membuangnya ke tengah sungai.
"Kenapa, Kek? Kenapa Kakek membuangnya?"
"Kau tidak memerlukan itu, Bob."
"Kenapa yang lain boleh, aku tidak, Kek?"
"Kau jangan ikut-ikutan dengan mereka, Bob! Kalau kau memang masih mau menjadi muridku, ikutilah semua perkataanku."
"Baiklah, Kek. Tapi terus terang aku masih bingung dengan masalah ini, bisakah Kakek menjelaskannya?"
"Begini, Bob. Pada dasarnya jimat itu meminta bantuan kepada jin untuk selalu menjaga kita, dan hal itu sangat dilarang oleh Nabi kita Muhammad SAW."
"Iya, Kek. Aku juga sudah mengetahui hal itu, dan yang masih membuatku bingung adalah kenapa hal itu tidak diperbolehkan oleh Nabi."
"Bob, jimat itu dapat membuat orang menjadikan seseorang takabur dan musrik. Sesungguhnya jimat itu tak mempunyai kekuatan apa-apa, namun karena ada Jin fasik yang memanfaatkannya, maka jin itu tidak segan-segan membantu si pengguna jimat, dengan maksud memperdaya si pengguna agar menjadi syirik.
Ketahuilah, Bob! Sesungguhnya manusia itu telah diciptakan lebih hebat dari Jin, buktinya adalah Nabi Sulaiman AS yang mampu memerintah para Jin lantaran beliau berkuasa atas jin-jin itu. Dan semua itu lantaran beliau sudah mendapat izin dari Allah, dan Allah akan senantiasa  melindunginya dari tipu daya Jin-jin itu.
Begitupun di zaman Rasulullah. Pada zaman beliau, justru Jin lah yang meminta bantuan untuk menyelesaikan segala urusan di kalangan mereka. Waktu itu Nabi Muhammad SAW pernah mengutus seorang sahabatnya untuk membantu saudara mereka yang dari kalangan Jin untuk menyelesaikan urusan itu. Dan hal itu semakin membuktikan bahwa manusia memang mempunyai derajat yang lebih tinggi ketimbang Jin. Karenanyalah, kita sebagai manusia tidak sepantasnya meminta bantuan kepada mereka. Hanya kepada Allah-lah kita wajib memohon pertolongan. Jika Allah sudah berkehendak, maka para malaikat akan dikerahkan-Nya untuk membantu kita."
"Tetapi, kenapa Kakek mendiamkan saja orang lain menggunakannya?"
"Sebenarnya Kakek tidak tinggal diam, Kakek juga pernah bicara kepada mereka. Tapi karena mereka mempunyai pandangan dan alasan tertentu, jadi Kakek pun tidak bisa berbuat banyak. Yang penting, tugas Kakek sudah dilaksanakan, yaitu telah menyampaikan kebenaran itu, selebihnya Kakek kembalikan kepada diri mereka masing-masing. Kakek tidak mau berdebat soal itu, karena perdebatan justru akan menambah kekerasan hati mereka."
Setelah sekian lama mereka mengarungi sungai Hindus, akhirnya mereka tiba di tempat semula. Kini ketiganya melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa.