E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 1


 Karunia Mutiara Cinta

==================================================
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.
==================================================
Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336 
==================================================


Satu



Malam terlihat cerah, di depan gerbang sebuah rumah besar, dua orang pemuda tampak sedang berbicara dengan seorang pembantu yang bekerja di rumah itu.
"Selamat malam, Mbak. Kami temannya Lisa. Boleh kami bertemu dengannya?" pinta Bobby perihal maksud kedatangannya.
"Betul, Mbak. Bukankah dia menginap di sini?" timpal Randy yang sudah tak sabar ingin berjumpa dengan kekasihnya.
"O... kalau begitu, tunggu sebentar ya!" pinta si pembantu seraya bergegas masuk.
Tak lama kemudian, si pembantu sudah kembali dan mempersilakan keduanya menunggu di beranda. Saat itu Randy langsung duduk seraya menyalakan sebatang rokok, sedangkan Bobby masih berdiri—memperhatikan sebuah patung aneh yang ada di situ.
Beberapa menit kemudian, Lisa sudah keluar bersama Nina—sahabatnya yang tinggal di rumah besar itu. Lisa yang mengetahui maksud kedatangan Randy segera mengajaknya menuju ke kursi taman, sedangkan Bobby dan Nina menunggu di beranda. Sambil menunggu, mereka berbincang-bincang, mengingat semua kenangan manis yang mereka alami.
Maklumlah, sudah lama sekali mereka tidak bertemu, dan terakhir bertemu ketika mereka masih anak-anak, saat itu Nina dan keluarganya pergi keluar negeri untuk waktu yang cukup lama.
"Nin... kau masih ingat saat kita main pengantin-pengantinan?" kata Bobby membuka pembicaraan sambil memberanikan diri memandang wajah Nina yang sedang tertunduk, sungguh tampak manis dan mempesona. Dalam hati, pemuda itu merasa takjub, "Nin.. Aku tidak menyangka, kalau sekarang kau sudah menjadi gadis dewasa," katanya membatin.
Namun belum sempat pemuda itu menarik pandangan, tiba-tiba Nina sudah menatapnya. Sebuah tatapan yang dirasakan Bobby begitu hangat dan membuat jantungnya kian berdebar kencang. Lantas dengan segera keduanya mengalihkan pandangan sambil meninggalkan kesan di benak masing-masing, yaitu perasaan bahagia yang begitu mendalam. Saat itu Bobby mengalihkan pandangannya ke arah taman, sedangkan Nina tampak tertunduk malu.
Sementara itu di kursi taman, Randy dan Lisa masih membicarakan masalah mereka. Keduanya tampak saling berpandangan dengan tangan saling berpegangan.
"Lis... Benarkah kau mau memaafkanku?" tanya Randy memastikan.
"Iya, Kak. Aku menyadari kalau itu memang bukan salahmu."
"Terima kasih, Lis," ucap Randy seraya meremas tangan Lisa dengan lembut.
"Janji ya, kau tidak akan memberi kesempatan padanya untuk menemuimu lagi !" pinta Lisa seraya membalas remasan tangan pemuda itu.
Randy mengangguk, kemudian dia segera mencium kening Lisa dengan penuh kasih sayang.

 

Setelah pertemuan malam itu, Bobby sering berkunjung ke rumah Nina, hingga akhirnya mereka saling menyatakan cinta. Malam minggu pertama terasa begitu indah, bagaikan bunga warna-warni yang senantiasa harum mewangi. Tiada perasaan yang terucap selain cinta dan sayang, dan tiada perasaan yang terungkap selain peluk dan cium. Bahkan keduanya sudah berjanji untuk saling menyayangi dan mencintai dengan sepenuh jiwa. Dan di setiap malam Minggu, mereka selalu menyempatkan diri untuk bertemu dan saling berbagi.
"Nin… Aku sangat mencintaimu. Cintaku padamu setinggi langit dan sedalam lautan," ucap Bobby seraya membelai rambut Nina yang panjang sebahu.
"Begitu pula aku, Kak. Setiap yang ada pada dirimu merupakan bagian dari diriku, rasanya... aku ingin selalu berada di sisimu," ucap Nina seraya merapat di pelukan pemuda itu.
"Nin ! Bolehkah aku menciummu sebagai ungkapan rasa cintaku!" pinta Bobby seraya menatap mata kekasihnya dengan hangat.
Nina tidak menjawab, saat itu dia terus menatap Bobby dengan tatapan penuh cinta. Lalu dengan perlahan kedua matanya tampak terpejam—tanda yang biasa diutarakan atas kesediaannya dicium oleh Bobby. Kemudian dengan perasaan cinta yang bergelora, keduanya tampak berciuman dengan mesranya. Sungguh saat itu keduanya sudah terjerat oleh cinta yang membutakan, sehingga apa yang mereka lakukan itu seakan ungkapan saling mengasihi, padahal apa yang mereka lakukan itu justru saling meracuni hati. Sementara itu di sebuah taman yang berada di tengah kota, Randy tampak sedang mengejar Lisa yang berlari sambil mengucurkan air mata. 
"Lis! Lisa…! Tunggu Lis! Mengapa kau tidak mau mengerti? Apa lagi yang harus kujelaskan padamu?" teriak Randy dengan nafas terengah-engah.
Lisa tidak menghiraukan teriakan itu, dia terus berlari dan berlari—berusaha menghindar dari kejaran pemuda yang sudah begitu dibencinya. Ketika sampai di sebuah tikungan, tiba-tiba gadis itu menghentikan larinya, kemudian melangkah menghampiri Randy. "Kak, sepertinya aku memang harus bicara padamu," katanya kepada Randy yang kini sudah berdiri dihadapannya.
"Syukurlah, Lis…! Akhirnya kau mau mengerti juga," kata Randy dengan mata berbinar.
"Ia, Kak. Kini aku telah mengerti dan menyadari kekeliruanku," kata Lisa seraya menghapus air matanya. "Ke-ketahuilah, Kak! Sesungguhnya kita memang sudah tidak cocok dan tak mungkin bisa bersatu lagi," sambungnya kemudian dengan kedua mata yang menatap Randy dengan penuh kebencian. "Ini! Kukembalikan tanda cinta darimu, dan jangan pernah engkau menemuiku lagi!" larangnya seraya melemparkan kalung dan cincin yang pernah diberikan padanya sebagai tanda kesungguhan cinta Randy, kemudian gadis itu segera berpaling dan berlari meninggalkan pemuda itu.
Pada saat yang sama, Randy hanya terpaku memperhatikan kepergian Lisa, di dadanya bergejolak perasaan sedih yang  begitu mendalam, terasa sesak dan menyakitkan.

 

Esok paginya, matahari tampak bersinar cerah. Namun sayangnya, saat itu sudah tak terdengar lagi kicauan burung yang biasanya berkicau merdu. Pada saat yang sama, Bobby tampak masih terlelap dan tidak menyadari kalau waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 WIB. Hal itu terjadi akibat semalam dia tidak bisa tidur lantaran terus terbayang sang Pujaan Hati. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB, ternyata Bobby masih terlelap bersama mimpinya. Saat itu di dalam mimpinya, dia sedang berduaan dengan Nina di taman yang indah, dan ketika dia hendak mencium gadis itu, tiba-tiba "Bob…! Bobby...! Bangun, Nak!" teriak ibunya memanggil.
Mendengar itu, seketika Bobby terjaga, kemudian duduk di sisi tempat tidur dan mulai merenggangkan persendiannya.
"Sayang…! Ayo cepat bangun! Ini sudah siang!" teriak ibunya lagi.
"Iya Bu, Bobby sudah bangun," kata Bobby seraya bergegas membuka pintu kamarnya.
"Sayang…! Sungguh tidak biasanya kau tidur sampai sesiang ini. Eng… Semalam kau pasti begadang, iya kan?" tanyanya kepada Bobby yang dilihatnya masih tampak mengantuk.
"Ia... Bu, semalam Bobby tidak bisa tidur."
"Eng… Kalau begitu, sebaiknya sekarang kau mandi, setelah itu langsung sarapan! Hari ini kau harus mengantar Ibu ke rumah Bu Suryo," pinta sang Ibu kemudian.
"Duh, Ibu! Kenapa harus Bobby sih? Kan ada Pak Hadi," bantah pemuda itu.
"Bobby… Bobby…! Kalau Pak Hadi bisa mengantar untuk apa Ibu menyuruhmu? Ketahuilah… Kalau hari ini Pak Hadi tidak bisa mengantar Ibu karena ada urusan keluarga,” jelas Sang Ibu mengabarkan. 
“Kalau begitu, baiklah Bu,“ kata Bobby seraya bergegas mandi.
Usai sarapan, pemuda itu langsung ke garasi dan mengeluarkan sedan birunya. Kini dia sedang memanaskan mobil itu sambil menunggu ibunya datang. Sambil menunggu, pemuda itu tampak asyik memutar musik keras underground sebagai penyemangat saat berkendara. Lima menit kemudian, Ibunya sudah datang dengan membawa sebuah bungkusan, pada saat yang sama di depannya terlihat Bik Ijah yang tampak tergopoh-gopoh menuju ke pintu gerbang.
"Apa itu, Bu?" tanya Bobby.
"O, ini pesanan Bu Suryo—kain batik dari solo," jawab Sang Ibu seraya duduk di sebelah Bobby. "Tapi, ngomong-ngomong kau memutar musik apa pagi-pagi begini, suaranya seperti kaleng rombeng. Ayo lekas matikan! Telinga Ibu bisa pecah bila mendengar musik seperti ini. Bukankah lebih enak memutar musik kroncong kesukaan Ibu."
Akhirnya, dengan terpaksa Bobby menuruti keinginan ibunya. Kini pemuda itu mulai menjalankan sedan birunya sambil terus mendengarkan lagu kroncong yang membuatnya betul-betul bete. Sedan biru terus bergerak perlahan hingga akhirnya keluar pintu gerbang dan menghilang di kejauhan.
Sementara itu di tempat lain, Randy tampak murung memikirkan kekasihnya. Rupanya dia masih terpukul dengan kejadian semalam, bahkan saking dipresinya—sudah sepuluh batang rokok dia habiskan pagi ini. Sungguh dia tidak menduga, kalau pertemuannya dengan Sang Mantan justru membuat Lisa begitu marah. Padahal, dia menemui gadis itu lantaran ingin menegaskan dan memberi pengertian agar  tidak menemuinya lagi. Maklumlah, selama ini mantan pacarnya itu memang masih mencintainya dan berharap bisa bersatu kembali. Bahkan mantan pacarnya itu selalu datang ke rumahnya, padahal Randy sudah jelas-jelas menyatakan kalau dia sudah tak mencintainya.
Setelah mematikan rokok yang kesebelas, Randy tampak beranjak dari duduknya dan segera melangkah ke warung—sebuah tempat dimana dia dan Bobby biasa nongkrong. Rupanya pemuda itu berniat mencurahkan isi hatinya kepada Bobby, dan berharap sahabatnya itu mau membantu.
Setibanya di warung, pemuda itu tampak kecewa—ternyata Bobby tak tampak batang hidungnya. "Pak Ade, kok tumben ya Bobby belum ke mari?" tanyanya kepada Pak Ade—penjaga warung yang memang sudah sangat dia kenal.
"Iya-ya... Nak. Biasanya kan pukul segini dia sudah nongkrong  di sini dan bernyanyi dengan gitar kesayangannya itu," timpal Pak Ade merasa heran.
"Duh, ke mana ya dia? Seharusnya dia memang sudah nongkrong di sini sambil menyanyikan lagu Iwan Fals yang benar-benar fals," canda Randy berupaya mengobati sedikit kekecewaannya.
"Ah, Nak Randy bisa saja. Kalau Nak Bobby tahu, bisa- bisa dia tidak mau menyanyi lagi loh," komentar Pak Ade sambil terkekeh.
"Ah, Pak Ade… aku kan cuma bercanda. Kalau dia tidak mau menyanyi, bisa sepi dong ini warung," kata Randy menanggapi.
Setelah berkata begitu, Randy langsung memesan sebotol minuman dan makanan ringan. Sambil menikmati makan dan minumnya, pemuda itu terus menunggu kedatangan sahabatnya.
Sementara itu di tempat lain, Bobby sedang duduk sendiri di beranda rumah Bu Suryo. Karena terlalu lama menunggu, dia pun jadi melamun sendiri. Saking terbuainya dengan lamunan yang begitu indah, membuat pemuda itu tidak menyadari kalau ada langkah kaki yang mendekat.
"Kak Bobby...!" panggil seorang gadis tiba-tiba.
Seketika Bobby menoleh, memperhatikan seorang gadis yang kini tersenyum manis padanya.
"Kakak sedang apa di sini?" tanya gadis itu seraya duduk di sampingnya.
"Lho, kau sedang apa di sini ?" Bobby malah balik bertanya.
"Kakak ini bagaimana sih, ini kan rumahku," jawab Lisa.
"Ru-rumahmu! Masa sih. Kok kau tidak pernah cerita. Terus... kalau yang di dekat rumah Nina?" tanya Bobby heran.
"O... kalau itu rumah pamanku, selama ini aku memang tinggal di sana. Sedangkan di sini rumah orang tuaku," jelas Lisa
"O… begitu." Bobby tampak mengangguk-angguk.
"O ya, Kak. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Sedang apa Kakak di sini?"
"Eng… aku sedang mengantar Ibuku," jawab Bobby.
"O… begitu." Lisa tampak mengangguk-angguk, tak lama kemudian dia sudah kembali bicara, "O ya, Kak. Ngomong-ngomong, bagaimana hubunganmu dengan Nina, apa lancar-lancar saja?" tanya pada pemuda itu.
"Ya Alhamdulillah… Hubunganku dengan Nina baik-baik saja," jawab Bobby seraya tersenyum tipis, "Kau sendiri bagaimana? Apakah hubunganmu dengan Randy baik-baik juga?"
Lisa tidak menjawab, saat itu dari kedua matanya tampak mengalir air mata kesedihan.
"Lis... kenapa kau menangis?" tanya Bobby penuh keheranan.
Lisa masih saja menangis, bahkan air mata yang kian bertambah deras. Kemudian dengan terisak, gadis itu mulai cerita, "Begini Kak! Randy itu orangnya memang tidak bisa dipercaya. Padahal, dia sudah berjanji untuk tidak menemui mantan pacarnya lagi. Tapi kemarin, ternyata dia sedang asyik berduaan di sebuah fast-food restoran—Dia telah mengingkari janji untuk yang ketiga kalinya, Kak… Terus terang, aku sudah tidak tahan lagi. Karena itulah aku terpaksa mengambil putusan untuk berpisah dengannya."
Mengetahui itu, Bobby tampak  terkejut dan ikut prihatin, kemudian dengan penuh perhatian, pemuda itu mencoba menghibur Lisa. Dan setelah berusaha keras, akhirnya Lisa bisa tersenyum juga.
Sementara itu di tempat lain, ketika matahari telah berada di atas kepala, Randy masih saja menunggu Bobby. "Huh! Kemana sih tuh orang? Masa sudah siang begini belum datang juga. Kalau saja HP-nya bisa dihubungi, tentu aku tidak perlu menunggunya," keluh Randy seraya beranjak dari duduknya.
Kemudian dengan perasaan kecewa, pemuda itu segera melangkah meninggalkan warung. Setibanya di rumah, dia langsung masuk kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. Kini dia teringat kembali dengan kejadian semalam, rasa sakit karena ditinggal Lisa kembali terasa sehingga membuatnya benar-benar merasa tersiksa. Kemudian dengan serta-merta pemuda itu beranjak bangun dan langsung menghubungi Johan—bandar narkoba yang sudah sangat dikenalnya sewaktu dia dan Bobby masih suka mabuk-mabukan.
"Hallo..! Bisa bicara dengan Johan!" pinta Randy.
"Ya ini aku sendiri, ini siapa ya?" tanya Johan.
"Ini aku, Han… Randy."
"O… kau, Ran. Tumben nih… kau lagi butuh sama daganganku ya," tebak Johan.
"Kau benar, Han. Aku memang lagi butuh?"
"OK, Ran! Kau mau pesan apa?"
"Biasa, Han. Obat yang bisa membuatku hevoria and biar gampang tidur. 5 papan ya Han!"
"Sip, Ran. O ya ngomong-ngomong, kita akan bertemu di mana?"
"Bagaimana kalau di warungnya Pak Ade."
"Ok deh, Broer. Aku segera meluncur."
"Aku tunggu ya, Han. Thanks!" Randy pun segera menutup telepon dan berangkat ke warung untuk bertransaksi.
Sementara itu di warung, Bobby yang baru datang tampak asyik memetik gitar kesayangannya. Setelah satu lagu selesai, pemuda itu tampak memandang ke arah jalan. "Hmm... apa mungkin Randy mau membicarakan soal Lisa. Kalau bukan hal penting, rasanya tidak mungkin dia mau menungguku begitu lama. Kata Pak Ade, dia menungguku sampai pukul 12.00 siang. Ya, aku rasa memang begitu—dia pasti mau membicarakan hal itu," duga Bobby seraya kembali memetik gitarnya dan mulai menyanyikan sebuah tembang lama.
"Di kantin depan kelasku... di sana kenal dirimu… yang…" Tiba-tiba Bobby menghentikan nyanyiannya, di kejauhan dia melihat Randy yang sedang menuju ke arahnya dengan tergesa-gesa.
Tak lama kemudian, "Hai, Bob! Ke mana aja sih, kok baru kelihatan?" tanya Randy seraya duduk di sebelahnya.
"Wah, Sorry, Ran! Aku disuruh mengantarkan nyokap ke rumah temannya. Memangnya ada apa?"
"Ah, tidak…! Tidak ada apa-apa kok. Aku cuma mau nongkrong bareng," jawab Randy tidak berterus terang.
"Benar nih... tidak ada apa-apa? Kata Pak Ade, kau menungguku sampai jam 12.00 siang."
"Benar kok, Bob. Tidak ada apa-apa. Aku cuma mau mendengarmu menyanyi, itu saja."
"Nyindir nih. Kalau tidak ada apa-apa, ya sudah. Tidak usah bilang mau mendengarku menyanyi segala!”
“Sori, Bob. Gitu aja diambil hati.”
“O ya, Ran. Aku mau bicara sesuatu," kata Bobby ingin menceritakan perihal orang tua Lisa yang ternyata berteman dengan ibunya. Namun belum sempat pemuda itu bercerita, tiba-tiba terdengar deru Motor besar 2 silinder yang berhenti persis di depan warung.
"Hi, Broer!" sapa Johan seraya turun dari sepeda motornya dan segera menghampiri Randy. " Ini Ran pesananmu, 5 papan kan?" katanya berbisik.
Randy segera berdiri dan mengeluarkan dompetnya "Ok, Han. Ini uangnya," ucap Randy seraya mengambil bungkusan koran dari tangan Johan.
Bobby yang sejak tadi bertanya-tanya tentang kedatangan Johan langsung bangkit dan angkat bicara, "Ran? Apa-apaan nih! Kenapa kau mau menggunakan barang haram itu lagi?"
Randy tampak diam—dia tidak menjawab pertanyaan Bobby sepatah kata pun. Sementara itu, Johan yang tidak mau ikut campur segera pergi meninggalkan tempat itu.
"O… begitu caramu menyelesaikan persoalan. Hanya gara-gara diputusin Lisa, kau jadi cengeng begitu."
Tiba-tiba Randy beranjak dari duduknya, kemudian menatap Bobby dengan penuh amarah, "Bob! Sori nih…! Kau memang sahabatku. Tapi kalau kau sok mengajari aku tentang masalah pribadiku, lebih baik persahabatan kita sampai di sini saja. ”
"Ran! Dengarkan aku! Aku bukannya sok mau mengajarimu. Selama ini kita bersahabat, terus terang aku tidak mau kalau kau mabuk-mabukan hanya lantaran kecewa dengan Lisa,"
“Sudahlah, Bob. Kini aku jadi curiga, bagaimana mungkin kau bisa mengetahui masalahku? Padahal kan aku belum cerita, jangan-jangan...." Randy tidak melanjutkan kata-katanya dia segera berpaling dan pergi meninggalkan Bobby.
"Ran! Apa maksud ucapanmu itu... Ran!" Teriak Bobby seraya berlari menghampiri.
"Alaaah!!!" ucap Randy seraya mempercepat langkah kakinya.
Saat itu, Bobby langsung menghentikan langkahnya, dia hanya bisa terpaku melihat kepergian Randy. Sedangkan Randy terus berlalu, sepertinya dia ingin segera pulang dan  menikmati barang haram yang baru dibelinya.

 

Dua minggu kemudian, Bobby tampak sedang termenung di warung Pak Ade. Semenjak kejadian petang itu, warung Pak Ade tak seramai dulu. Tak ada lagi tawa dan canda yang penuh dengan keceriaan, penuh dengan gurauan Randy yang selalu mencela Bobby, juga petikan gitar Bobby yang melantunkan lagu-lagu Iwan Fals. Yang tertinggal kini hanyalah kenangan persahabatan yang tak bisa dilupakan. Selama ini, Bobby terus berharap bisa bertemu dengan Randy di tempat itu. Sebab, setiap kali dia datang ke rumahnya, Randy selalu menghindar. Namun begitu, Bobby masih terus berharap semoga Randy sadar dan kembali menjalin persahabatan dengannya.
"Pak! Minumannya satu lagi!" pinta Bobby seraya menyalakan sebatang rokok. Pak Ade pun segera membawakan pesanannya. "Ini, Nak," katanya ramah.
"Terima kasih, Pak! O ya, apa Bapak pernah melihat Randy?"
"Tidak pernah, Nak. Sejak petang itu Bapak tidak pernah melihatnya lagi."
"Hmm... ya sudah kalau begitu. Ngomong-ngomong, semuanya berapa?"
"Tujuh ribu lima ratus, Nak."
Bobby segera mengeluarkan dompetnya, "Ini, Pak. Kembaliannya ambil saja!"
"Terima kasih, Nak!"
"Kalau begitu aku pergi dulu, Pak. O ya, kalau Bapak melihat Randy tolong sampaikan salamku ya!"
"Baik, Nak."
Kini Bobby sedang melangkah ke rumah Nina. Hingga kini hubungan mereka masih lancar-lancar saja, dan terkadang mereka juga main ke tempat Lisa untuk mengetahui kabarnya. Hari ini pun mereka sudah janjian untuk main ke tempat itu. Setibanya di sana, mereka dikejutkan oleh berita yang mengatakan kalau Lisa sudah pulang ke rumah orang tuanya dan tidak akan kembali lagi. Lantas dengan agak kecewa keduanya melangkah pulang. Dalam perjalanan, mereka  bertemu dengan Randy. Tampaknya pemuda itu sudah tidak marah lagi. Buktinya, saat itu Randy langsung melempar sebuah senyuman dan menjabat tangan Bobby erat. “Hai, Bob! Apa kabar?"  “ sapanya kemudian.
"Alhamdulillah… Aku baik-baik saja, Ran! Kau sendiri bagaimana?" sambut Bobby senang seraya tersenyum kepada sahabatnya itu.
"Aku baik-baik juga, Bob. O ya, maaf kalau selama ini aku tidak mau menemuimu! Terus terang, aku ini memang bodoh karena telah menyia-nyiakan seorang sahabat baik sepertimu, yang mana sudah begitu memperhatikanku. Sekarang aku sudah betul-betul sadar, kalau apa yang kulakukan waktu itu adalah salah."
"Sudahlah, Ran! Aku juga memahaminya kok. O ya, ngomong-ngomong kau mau ke rumah Lisa ya?" 
"Iya Bob. Aku mau menjelaskan masalah yang sebenarnya. Mungkin sekarang ini dia mau mendengarkanku."
"Wah, sayang sekali, Ran. Lisa sudah pulang ke rumah orang tuanya dan tidak akan tinggal di sini lagi." 
Mengetahui itu, Randy terdiam, raut wajahnya pun langsung berubah sedih. Dalam hati, pemuda itu merasa tidak mempunyai harapan lagi untuk bertemu dengan Sang Pujaan Hati.
"Tenang, Ran! Kau tidak perlu sedih! Kau masih bisa bertemu dengannya, kok. Eng… bagaimana kalau hari Minggu kita pergi menemuinya, kebetulan aku memang sudah mengetahui rumahnya."
"Sungguh, Bob? Kau benar-benar mengetahui rumahnya?" tanya Randy seakan tak percaya.
Bobby mengangguk, "O ya, bagaimana kalau sekarang kita antar Nina pulang dulu! Setelah itu, kita nongkrong di warung Pak Ade sambil membicarakan rencana kita selanjutnya."
Mengetahui ajakan itu, Randy langsung setuju. Setelah mengantarkan Nina pulang, keduanya lantas menuju warung Pak Ade. Setibanya di tempat itu, mereka langsung berbincang-bincang sambil makan dan minum, hingga akhirnya mereka kembali akrab seperti semula. Kini di warung Pak Ade sudah terdengar lagi tawa dan canda yang penuh dengan keceriaan.
Sementara itu di sebuah kamar yang cukup besar, seorang gadis terlihat sedang berdiri sambil memandang keluar jendela. Rambutnya yang panjang tampak berkibar-kibar tertiup angin yang berhembus pelan. Kini gadis itu tampak memandang ke sebingkai foto yang ada di tangannya, sedang kedua matanya tampak basah oleh air mata kesedihan. "Ran... bagaimanapun juga aku sangat menyesal telah mengambil tindakan ini, walau sebenarnya aku sangat mencintaimu. Ini memang suatu keputusan yang sangat menyakitkan. Terus terang, aku tidak mempunyai pilihan yang terbaik. Kini aku sudah tidak tahan menghadapi perlakuanmu, dan sepertinya kita memang harus berpisah. karena memang itulah yang terbaik buat kita—agar kita tidak lagi saling menyakiti. Besok, aku akan berangkat keluar negeri. Sebab, sudah lama orang tuaku menghendaki aku agar sekolah di sana, namun aku selalu menolaknya lantaran aku ingin selalu dekat denganmu. Kini aku tidak mempunyai alasan yang kuat untuk menolak keinginan mereka, dan aku akan berangkat untuk membahagiakan keduanya."
Gadis yang bernama Lisa itu terus membatin sambil memandangi foto Randy mantan kekasihnya, sampai akhirnya fajar pun menyingsing di ufuk barat.

 

Di hari minggu yang cerah, sebuah sedan biru tampak memasuki halaman rumah Randy. Sesuai janjinya, hari ini Bobby dan Nina datang menjemput Randy untuk mengajaknya menemui Lisa. Tak lama kemudian, ketiganya sudah melaju ke rumah Lisa yang ada di Bogor. Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.
"Nah! itu rumahnya, Ran," kata Bobby memberitahu.
"Wah, Bob. Terus terang, saat ini aku benar-benar bahagia. Aku sungguh tidak menyangka, kalau akhirnya aku bisa bertemu dengan Lisa," ucap Randy dengan paras muka berseri-seri.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah turun dari mobil dan segera melangkah memasuki rumah Lisa. Kini mereka tampak sedang bercakap-cakap dengan ayah Lisa di sebuah ruang tamu yang cukup nyaman. Hingga akhirnya, Bobby, Randy, dan Nina tampak meninggalkan ruangan itu dengan perasaan kecewa. Orang yang paling kecewa di antara mereka adalah Randy, karena keinginannya yang begitu menggebu-gebu untuk bertemu dengan Lisa telah sirna seketika, seiring dengan kepergian Lisa ke luar negeri. Sungguh dia tidak menyangka kalau Lisa sudah meninggalkan Indonesia satu jam yang lalu.