E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 5

Lima



Seminggu kemudian, di sebuah desa terpencil di bumi Parahiyangan. Seorang gadis tampak sedang mengendap-endap mendekati jendela kamar Bobby. Lalu dengan perasaan was-was, gadis itu segera mengetuk jendela yang masih tertutup rapat. "Kak Bobby! Buka, Kak! Ini aku... Dewi," pinta gadis itu pelan.
Bobby yang saat itu sedang terbaring melamun langsung terkejut dibuatnya, lantas dengan segera dia membuka jendela kamarnya. "Aduh Dewi! Kenapa malam-malam kau kemari? Kalau ayahmu tahu, beliau pasti akan marah besar," katanya khawatir. Kemudian pemuda itu menatap mata kekasihnya, saat itu dia melihat sebuah pancaran mata yang seolah meratap, meminta pertolongannya.
Kini pemuda itu tampak memberhatikan sebuah ransel yang ada di punggung kekasihnya. "Lho, kenapa kau membawa tas segala, Wi?" tanya pemuda itu heran.
"Kak? Cepat bawa aku pergi dari desa ini! Sebab, tadi sore aku melihat pria yang ingin memperistriku sudah datang. Besok pagi dia pasti akan menikahiku dan langsung memboyongku ke Jakarta."
"A-Apa! Ka-kau akan dinikahkan?"
"Benar, Kak. Aku akan dinikahkan dengan Pak Wangsa, pengusaha kaya dari Jakarta. Karenanyalah malam ini aku datang ke sini agar kau mau membawaku pergi."
"Kalau begitu, sebaiknya kau masuk, Wi! Kita harus membicarakan masalah ini di dalam, sebab aku takut ada orang yang melihat," pinta Bobby seraya membantu kekasihnya menaiki jendela, dan setelah menutup jendela itu rapat-rapat, akhirnya pemuda itu sudah kembali berkata-kata. "Wi apa kau sungguh-sungguh ingin minggat?" tanyanya pada Dewi.
"Benar, Kak. Hal itu sudah kupikirkan masak-masak. Walaupun sebenarnya aku merasa berat meninggalkan kedua orang tuaku, tapi... biar bagaimanapun aku harus pergi."
"Wi... kalau Pak Wangsa itu memang pilihan orang tuamu, kenapa kau tidak menurut saja?"
Mendengar itu Dewi langsung terkejut, kemudian dia memandang Bobby dengan penuh kekecewaan. Sungguh dia tidak menyangka, kalau orang yang begitu dicintainya bisa berkata seperti itu. "Kak… Ke-kenapa kau membiarkan aku menikah dengannya? A-apakah kau sudah tak mencintaiku lagi?" tanyanya lirih.
"Bu-bukan begitu, Wi... Se-sebenarnya aku sangat mencintaimu, dan aku tidak mau berpisah denganmu. Tapi... karena ini keinginan orang tuamu, terpaksa aku harus merelakannya. Sebab, biar bagaimanapun juga mereka adalah orang tuamu, Wi. Orang yang selama ini dengan penuh kasih sayang telah merawat dan membesarkanmu. Sekali lagi aku sarankan, sebaiknya kau mau menuruti kehendak mereka, walaupun sebenarnya hal itu sangat menyakitkan hatiku."
"Kak… Sebetulnya bukannya aku tak mau berbakti kepada orang tua, namun ada hal lain yang begitu membebani hatiku.”
“Apa itu, Wi?” tanya Bobby penasaran.
“Ketahuilah, Kak. Selain aku tidak mencintainya, ternyata Pak Wangsa itu sudah mempunyai tiga orang istri."
"Be-benarkah yang kau katakan itu? Lalu, dari mana kau tahu kalau dia sudah mempunyai tiga orang istri?"
"Dari ayahku sendiri, Kak. Dan beliau sama sekali tidak mempermasalahkannya."
"Lalu, bagaimana dengan Ibumu? Apakah beliau juga setuju?"
"Mulanya sih beliau tidak setuju, namun setelah ayahku memberi pengertian, akhirnya ibuku setuju juga. Karena kata Ayah, dia seorang pengusaha yang kaya. Kalau aku menikah dengannya, hidupku akan terjamin, dan aku pun akan hidup senang. Malah orang tuaku telah dijanjikan sepuluh puluh ekor sapi sebagai mas kawinnya."
"Wi, apa yang dikatakan ayahmu itu ada benarnya. Ketahuilah…! Walaupun Pak Wangsa sudah mempunyai tiga orang istri, tentu kau tidak akan ditelantarkannya. Dia kan orang kaya, tentu dia bisa bertindak adil dalam memenuhi nafkah lahir-batin istri-istrinya. Selain itu, kau juga bisa membahagiakan kedua orang tuamu, dan kau juga akan merasa senang karena hidup serba berkecukupan."
"Justru itulah yang memberatkanku, Kak. Pada mulanya sih aku rela menikah dengannya, demi baktiku kepada kedua orang tua. Tapi, setelah aku tahu kalau Pak Wangsa itu orang yang tidak bertanggung jawab, lantas aku pun jadi berpikir dan memutuskan untuk tidak menikah dengannya."
"Maksudmu dengan tidak bertanggung jawab itu apa, Wi?"
"Kak... biarpun dia itu orang yang kaya raya, tapi dia tidak mempergunakan uangnya di jalan Allah. Selama ini dia selalu mempergunakannya untuk hal yang tidak baik, bahkan dia sering membuat istri-istrinya hidup menderita. Memang... pada mulanya dia begitu sayang dan perhatian kepada istrinya. Tapi... setelah tiga bulan menikah, istrinya akan dicampakkan begitu saja—tanpa sedikitpun memberikan perhatian dan kasih sayang, bahkan dia tidak segan-segan bertindak kasar pada istri-istrinya. Selama ini, istri-istrinya hanya dijadikan pemuas nafsu birahi yang harus siap melayaninya kapan saja, layaknya seorang budak yang dibeli untuk melakukan itu."
"Kau tahu dari mana, Wi?"
"Dari Pak Amir, Kak. Dia itu kenal betul siapa Pak Wangsa, dan dia memperingatiku untuk tidak menikah dengannya."
"Eng… Memangnya Pak Amir itu siapa?"
"Dia itu supir pribadinya, Kak. Dan dia sangat benci dengan prilaku tuannya yang tega berbuat begitu."
"Aneh... jika dia memang tidak suka, kenapa dia masih mau bekerja dengannya?"
"Karena salah satu istri Pak Wangsa adalah orang yang paling Pak Amir cintai, dan dia pun dipaksa menikah dengan Pak Wangsa menggunakan alasan yang sama. Lantas untuk membalas sakit hatinya, Pak Amir pun rela menjadi supir pribadinya demi untuk menggagalkan usaha Pak Wangsa dalam mencari daun muda di desa-desa. Dan terbukti, selama ini Pak Amir memang selalu berhasil menggagalkannya."
"Eng… Kalau begitu, kenapa dia tidak bicara dengan ayahmu?"
"Dia tidak berani, Kak. Dia takut kalau ayahku malah akan mengadukan hal itu. Maklumlah, ayahku pasti akan lebih mempercayai Pak Wangsa yang sudah begitu baik padanya.
"Kalau prilaku Pak Wangsa itu memang demikian, tidak sepantasnya dia menikah denganmu, Wi."
"Kau benar, Kak! Karenanyalah aku berharap agar kau mau membawaku pergi dari desa ini!"
"Tapi, Wi. Aku sendiri tidak tahu harus membawamu ke mana. Aku kan tidak mempunyai uang, dan aku takut kalau kau akan menderita. Jika aku membawamu ke Jakarta rasanya tidak mungkin, apa kata ibuku nanti."
"Kak? Aku tidak peduli dengan segala penderitaan yang akan kualami, tentunya selama aku berada di sisi orang yang aku cintai"
"Hmm… Bagaimana ya, Wi..." Bobby tampak berpikir keras, saat itu dia benar-benar bingung harus berbuat apa.
Karena rasa cintanya yang teramat besar, akhirnya pemuda itu terpaksa harus mengambil keputusan yang baginya begitu berat. "Baiklah... aku akan membawamu pergi dari desa ini," katanya seraya membelai lembut rambut kekasihnya dan memeluknya erat.
Kemudian tanpa buang waktu, pemuda itu segera berkemas-kemas—mempersiapkan segala keperluan dalam perjalanan nanti. Dan setelah semuanya siap, mereka pun segera keluar kamar dan melangkah mengendap-endap menembus gelapnya malam. Saat itu, angin malam terasa begitu dingin, namun hal itu tidak menghalangi niat mereka untuk meninggalkan desa. Sambil terus bergandengan tangan, keduanya tampak menyusuri jalan setapak, kian menjauhi desa. Untunglah malam itu rembulan bersinar terang, sehingga cahayanya mampu menerangi jalan yang mereka lalui. Di kejauhan, sayup-sayup terdengar suara burung hantu yang membuat Dewi seketika bergidik, sehingga membuat gadis itu semakin mempererat pegangannya.

 

Esok harinya di rumah Dewi terjadi kegemparan, kedua orang tua Dewi sangat kaget begitu mengetahui putri mereka sudah tidak ada di kamarnya.
"Kurang ajar, berani benar anak itu!" kata ayah Dewi seraya mencampakkan surat yang baru dibacanya, "kalau nanti ditemukan, akan kuhajar dia."
Sementara itu, ibu Dewi hanya bisa menangis, saat itu dia benar-benar merasa kehilangan putrinya. Sedangkan Pria yang bernama Pak Wangsa merasa sangat kecewa, saat itu raut wajahnya tampak begitu geram. Mengetahui itu, ayah Dewi berusaha meredakannya. "Maafkan prilaku putriku, Nak Wangsa! Anak itu memang sudah sangat keterlaluan," katanya dengan nada menyesal.
"Sudahlah Pak! Biar aku saja yang menangani masalah ini," kata Pak Wangsa seraya berjalan menuju ke muka rumah.
Saat itu, Ayah Dewi tampak masih mematung, di dadanya berkobar kemarahan yang meluap-luap lantaran ulah putrinya. Tak lama kemudian,  istrinya datang menemui dan langsung mengajaknya bicara. Sementara itu, Pak Wangsa yang sudah berada di muka rumah langsung memanggil seorang anak buahnya, "Gahar! Sini kau!" perintahnya lantang.
"I-iya, tuan!" sahut Pak Gahar seraya berlari tergopoh-gopoh menghampiri tuannya. "A-ada apa tuan?" tanyanya kemudian.
"Lekas kau cari Dewi! Dan jangan kembali sebelum dia ditemukan," pinta Pak Wangsa tegas.
"Ta-tapi Tuan," kata Pak Gahar lagi sambil mesam-mesem.
"Apa lagi, hah!" kata Pak Wangsa dengan wajah yang masih terlihat marah.
"A-anu tuan. Eng... I-itu Tuan," kata Pak Gahar seraya menggesekkan jari telunjuk dan ibu jarinya.
"Apa begitu-begitu? Mmm... uang maksudmu?" kata Pak Wangsa mengerti.
"Be-betul Tuan."
"Huh! Kenapa tidak bilang saja? Pakai bahasa isyarat segala," kata Pak Wangsa seraya mengambil uang dari dalam dompetnya," Ini..." katanya lagi seraya meletakkan uang itu di telapak tangan Pak Gahar yang sudah menadah, namun saat itu Pak Wangsa tak langsung menyerahkannya. "Tapi ingat, jangan kau gunakan uang ini untuk foya-foya! Karena aku tidak akan memberikannya lagi, mengerti?"
"Iya Tuan. Aku mengerti," kata Pak Gahar seraya menarik uang dari tangan tuannya itu. "Kalau begitu, aku berangkat sekarang Tuan," sambungnya kemudian.
"O ya, ajak si Amir untuk menemanimu! Nah, sekarang cepat pergi!" perintah Pak Wangsa pada anak buahnya.
Mendengar itu, Pak Gahar segera melangkah pergi. Sementara itu, Pak Wangsa terus memperhatikan kepergiannya. "O ya, Gahar! Jangan kau kembali sebelum menemukan dia!" teriaknya kepada Pak Gahar yang saat itu tampak sudah kian menjauh.
"Ehem…! Bagaimana, Nak Wangsa?" tanya ayah Dewi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sebelah Pak Waksa.
"Tenanglah, Pak! Aku sudah memerintahkan anak buahku untuk mencarinya."
"Nak Wangsa... Sekali lagi Bapak minta maaf. Sungguh Bapak tidak menduga, kalau Dewi akan senekad itu."
"Tidak apa-apa, Pak. Nanti juga si Gahar akan menemukannya."
Kini keduanya tampak duduk di kursi teras, dan tak lama kemudian ibu Dewi tiba di tempat itu dengan membawa dua cangkir teh. Pada saat yang sama, tak jauh dari rumah Dewi tampak dua orang pria yang sedang bercakap-cakap, mereka adalah Pak Gahar dan Pak Amir.
"Ayo Mir, kita berangkat sekarang!" ajak Pak Gahar kepada sopir pribadi Pak Wangsa itu.
"Mari, Har!" balas Pak Amir seraya melangkah mengikuti Pak Gahar yang kini melangkah ke tempat beberapa ekor kuda sedang ditambatkan.
Tak lama kemudian, keduanya tampak sudah menaiki kuda masing-masing dan segera memacunya menyusuri jalan setapak. Sementara itu di rumah Dewi, Pak Wangsa masih bercakap-cakap dengan ayah Dewi. Saat itu dia tampak sedang berpikir keras sambil memutar-mutar cerutunya. “Hmm… kira-kira ke mana Dewi melarikan diri, Pak?” tanya pria itu pada ayah Dewi.
"Hmm... Apa mungkin Dewi bersembunyi di rumah Bobby yang ada di Jakarta?" duga ayah Dewi dengan kening yang tampak berkerut.
"Siapa Bobby itu, Pak?" tanya Pak Wangsa seraya mengisap cerutunya dan menghembuskan asapnya dengan sangat perlahan.
"Dia itu pemuda yang sudah berani memacari anakku. Selama ini dia tinggal bersama pamannya yang bernama pak Haris.”
"Hmm... jika demikian, tidak mustahil jika anak itu membawa calon istriku ke rumahnya," kata Pak Wangsa seraya mengusap-usap kumisnya yang tipis, kemudian dia segera berteriak memanggil seorang anak buahnya, "Dower sini kau!" panggilnya lantang.
Tak lama kemudian, orang yang bernama Dower segera menghampiri, "I-iya Tuan. A-ada apa?" tanyanya terbata.
Saat itu Pak Wangsa tidak menjawab, dia malah menoleh pada ayah Dewi, "Pak? Sekarang tolong Bapak beritahu rumahnya Pak Haris!"
"Baik, Nak Wangsa," kata ayah Dewi seraya menjelaskan keberadaan rumah Pak Haris.
"Nah... Wer? Sekarang bawa beberapa anak buahmu ke rumah Pak Haris. Tanyakan kepada dia perihal rumah Bobby yang berada di Jakarta, kalau dia macam-macam bunuh saja."
"Baik, Pak. Kalau begitu, aku segera berangkat," kata Dower seraya melangkah pergi.
Pada saat yang sama, Pak Wangsa dan Ayah Dewi sudah kembali bercakap-cakap, sesekali mereka tampak meneguk teh yang sudah mulai dingin.