E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Misteri Kehadiran Arwah - Bagian 1

  
Misteri Kehadiran Arwah
==================================================
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.
==================================================
Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336 
==================================================

 Satu



Branden terpaku melihat istrinya. Dilihatnya wanita itu tampak begitu cantik. Rambutnya yang sepinggang dibiarkannya tergerai. Gaun cokelat yang dikenakannya pun tampak begitu serasi. Kini Wanita itu duduk di sebelah Branden seraya meletakkan koper besar yang dibawanya. Koper itu diletakkan di lantai teras, bersebelahan dengan tempat duduknya.
"Kau cantik sekali, Sayang..." puji Branden seraya mengecup kening istrinya dengan mesra.
"Terima kasih, Bran!" ucap Yana seraya tersenyum.
"O ya, pukul berapa bismu akan berangkat?" tanya Branden.
"Pukul 10.30 WIB," jawab Yana.
Branden melirik arlojinya, dilihatnya jam baru menunjukkan pukul 9.00 WIB. "Ngomong-ngomong, kapan Nak Jodi akan menjemputmu?" tanyanya kemudian.
"Sebentar lagi," jawab Yana singkat.
Pada saat itu, putri mereka yang bernama Rani Dewina datang membawa tiga cangkir teh dan langsung meletakkannya di atas meja. Bersamaan dengan itu, sebuah sedan biru metallic tampak memasuki pekarangan dan berhenti persis di muka rumah. Pengemudinya yang bertubuh tegap terlihat turun seraya tersenyum kepada keluarga Branden. Dialah Jodi Darmawan, pemuda tampan yang akan menjemput Yana. Sejenak pemuda itu melihat ke sekelilingnya—memperhatikan pekarangan yang tampak begitu asri, lalu dengan segera pemuda itu menghampiri mereka. "Selamat pagi, Pak, Bu!" ucapnya seraya berjabatan tangan dengan keduanya.
"Selamat pagi, Nak Jodi! Mari, Nak! Silakan duduk dulu!" tawar Branden ramah.
"Iya, Nak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar. Masih ada cukup waktu kok," timpal Yana seraya memandang pemuda itu sambil tersenyum tipis, kemudian pandangannya segera beralih ke arah Rani. "Nak, sana ambilkan minum!" pintanya kepada gadis itu.
Rani yang sejak tadi berdiri di samping ibunya langsung bergegas ke dapur. Sementara itu, Jodi, Branden, dan Yana sudah duduk kembali. Kini mereka tengah berbincang-bincang, mengisi suasana ceria yang tampak menyelimuti keluarga itu. Beberapa menit kemudian, Rani sudah kembali. Setelah menyuguhkan minuman yang dibawanya, dia pun ikut berbincang-bincang.
Tak terasa 30 menit telah berlalu. "Wah, sudah pukul 9.30. Ayo, Nak Jodi! Sudah saatnya kita berangkat," ajak Yana tiba-tiba.
Jodi melirik arlojinya, "Iya benar. Kalau begitu... mari, Bu!" ucap Jodi seraya beranjak bangun dan bergegas membawa koper Yana ke mobil. Pada saat yang sama, Yana langsung berpamitan dengan suami dan putrinya, kemudian menyusul Jodi dan duduk di jok belakang. Bersamaan dengan itu, Branden dan putrinya tampak melambaikan tangan—melepas kepergian orang yang begitu mereka cintai. Saat itu, Yana pun segera membalas lambaian mereka sambil tersenyum lebar.
Kini Jodi dan Yana sedang dalam perjalanan, keduanya berbincang-bincang dengan begitu akrabnya. Membicarakan soal kuliah Jodi dan mengenai hubungannya dengan Rani. Lama mereka berbincang-bincang, hingga akhirnya mereka tiba di terminal Lebak Bulus.
Kini mereka sedang melangkah ke ruang tunggu terminal. Setibanya di tempat itu, tiba-tiba Yana menghentikan langkahnya. "Nak Jodi, kau tunggu di sini ya! Ibu mau ke toilet sebentar," pamitnya kepada pemuda itu.
Jodi mengangguk, setelah itu dia duduk di kursi yang berada dekat tiang penyangga.
Beberapa menit kemudian, Yana sudah kembali, saat itu dia melihat Jodi sedang berbicara melalui HP-nya. Ketika Yana hendak menemuinya, tiba-tiba dia menangkap pembicaraan yang membuatnya sangat penasaran. Yana pun tidak segera menemui pemuda itu, dia justru berdiri di balik tiang penyangga untuk mendengarkan pembicaraan itu lebih lanjut.
Lama juga Yana mendengarkan percakapan Jodi yang bicara lewat HP, hingga akhirnya...      "Ya… iya… terus...? ...baiklah kalau begitu! Aku janji, besok pagi aku pasti pulang ke Tokyo. Sudah ya! Bye…" ucap Jodi seraya memutuskan sambungan dan segera menyimpan  HP-nya.
Sementara itu, Yana masih berdiri di tempatnya, dalam hati dia terus bertanya-tanya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia bergegas menemui pemuda itu. "Maaf ya, Nak Jodi! Ibu agak lama," ucapnya kemudian.
"Tidak apa-apa kok, Bu. Mari...!" ajak Jodi seraya mengangkat koper yang tadi diletakkannya.
Tak lama kemudian,  keduanya sudah tiba di bis yang akan mengantar Yana.
"Terima kasih ya, Nak. Kau sudah mau mengantarkan Ibu," ucap Yana seraya tersenyum ramah.
Jodi pun tersenyum, "Sama-sama, Bu. O ya, Bu. Kalau begitu, saya pulang sekarang," pamit pemuda itu kemudian.
"Iya Nak, hati-hati ya!" pesan Yana seraya memperhatikan kepergian pemuda itu.
Kini Yana tampak menaiki bis dan duduk menunggu. Beberapa menit kemudian, bis yang ditumpangi Yana tampak mulai bergerak meninggalkan terminal.
Selama di perjalanan, Yana terus bertanya-tanya mengenai percakapan Jodi beberapa menit sebelumnya. Dia bisa menduga apa yang telah diperbuat Jodi kepada putrinya. Sepanjang perjalanan, wanita itu selalu terngiang dengan percakapan Jodi di terminal, hingga akhirnya dia bisa menyimpulkan kalau Jodi bukanlah pemuda baik seperti yang dikenalnya selama ini.
Kini wanita itu sedang mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal penting itu kepada putrinya. Dan ketika dia sedang berpikir keras, tiba-tiba di sebuah tikungan terjadi benturan hebat. Bis yang ditumpanginya ditabrak oleh truk gandeng yang melaju kencang dari arah berlawanan. Tak ayal, saat itu juga maut merenggutnya.

 

Tiga minggu kemudian, di malam yang sunyi sepi. Sinar bulan purnama memancar hingga menembus kain jendela. Di sebuah kamar yang temaram, seorang lelaki berusia 42 tahun tampak duduk di kursi goyangnya. Bersantai melepas lelah sambil menikmati goyangan kursi yang terus bergoyang dengan perlahan. Sesekali lelaki itu tampak mengepulkan asap rokoknya, menikmati berbagai racun yang dapat merusak kesehatannya. Dialah Branden yang sedang menunggu putrinya pulang dari Mal.
"Hmm... Kenapa Rani belum pulang juga?" tanya lelaki itu penuh kekhawatiran.
Kemudian Branden kembali menggoyangkan kursi goyangnya yang sudah kian pelan bergoyang. Pada saat itu, tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan manusia yang melintas di jendela kamarnya. "Rani!" serunya memanggil. "Hmm... kenapa dengan anak itu? Kenapa dia tidak langsung masuk?" Branden membatin.
"Rani, sedang apa kau di luar? Ayo masuklah, Nak!" serunya memanggil.
Lama Branden memanggil, namun tidak juga ada sahutan. Akhirnya lelaki itu terpaksa berdiri seraya mematikan bara rokoknya, kemudian melangkah ke jendela kamar dan memperhatikan sekitarnya. "Hmm... tidak ada siapa-siapa," gumamnya heran.
Belum sempat berpikir jauh, tiba-tiba lelaki itu mendengar dering telepon yang berasal dari ruang tengah. Lalu dengan segera dia mengangkatnya. "Hallo…!" serunya dengan suara yang agak parau. Sejenak dia menunggu, namun tak juga ada jawaban. "Hallo...! Siapa ini?" tanyanya agak kesal.
Karena tidak juga ada jawaban, akhirnya Branden menutup telepon itu. Namun belum sempat dia melangkah, tiba-tiba telepon kembali berdering. Dengan kesal Branden kembali mengangkatnya, tapi kali ini dia tidak memberi sapaan, dia sengaja menunggu dan menunggu. Karena tak juga terdengar suara, akhirnya Branden kembali menutup telepon itu dan langsung bergegas ke ruang tamu.
Sambil terus melangkah, Branden tampak bertanya-tanya. "Siapa ya yang menelepon malam-malam begini? Apakah tadi itu Rani? Ah, rasanya tidak mungkin. Masa iya dia berbuat begitu. Hmm... mungkin saja tadi cuma orang iseng," duganya dalam hati.
Ketika Branden hendak duduk di sofa, tiba-tiba dia mendengar suara ketukan di pintu depan. "Siapa!" serunya lantang. Karena tak ada jawaban, akhirnya lelaki itu bergegas menuju pintu dan membukanya lebar-lebar. Betapa terkejutnya dia ketika tahu di situ tidak ada siapa-siapa.
Kini Branden tampak celingukan, mencari orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya. "Hmm... siapakah yang telah mengetuk pintu rumahku tadi? Kalau Rani, jelas tidak mungkin. Dia kan punya kunci sendiri, untuk apa dia pakai ketuk pintu segala." Branden membatin.
Branden benar-benar heran dengan kejadian itu. Kini dia sudah menutup pintu dan sedang melangkah ke sofa. Ketika baru duduk sejenak, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. Branden tidak segera bangkit, dia tampak memfokuskan pendengarannya dan menunggu suara ketukan itu berbunyi lagi. Beberapa saat kemudian, dia mendengar suara anak kunci yang diputar pada lubang kuncinya. Kemudian disusul dengan kemunculan seorang gadis yang kini berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kepadanya.
 "Loh, Ayah kok belum tidur?" tanya gadis itu kepada Branden.
"Belum, Sayang... Ayah kan sedang menunggumu."
"Maaf, Ayah! Rani pulang kemalaman," ucap gadis itu lagi seraya menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat.
"Nak... kau kah yang mengetuk pintu barusan?" tanya Branden.
Rani tampak mengerutkan keningnya. "Tidak, Ayah...  Memangnya..."
"Sudahlah... lupakan saja." Branden memotong. "O ya, kenapa kau bisa sampai kemalaman?" tanyanya kemudian.
"Maaf, Ayah! Soalnya, Rani main ke rumah teman dulu," jawab gadis itu seraya melangkah ke sofa.
"Ya, sudah... ngomong-ngomong, mana sepatunya?" tanya Branden.
Rani segera duduk dan mengeluarkan barang yang baru dibelinya, kemudian meletakkannya di atas meja.
"Itu sepatunya?" tanya Branden seraya mengambil sepatu itu dan mengamatinya dengan penuh seksama.
"Betul,  Ayah. Bagaimana, bagus tidak?"
 "Hmm... bagus. Berapa harganya?"
"Tidak mahal kok, cuma Rp. 250.000," jawab Rani.
"Harga segitu... kau bilang ‘cuma’." Branden tampak geleng-geleng kepala.
"Ayah, harga segitu kan tidak mahal. Lagi pula, uang yang tadi siang Rani ambil dari Bank masih sisa Rp. 250.000."
Lagi-lagi Branden tampak geleng-geleng kepala, "Dasar anak gadis, maunya belanja melulu. Mentang-mentang tidak merasakan susahnya cari uang," katanya dalam hati. "Ya, sudah. Besok, sisa uang itu kau tabungkan kembali, ya!" pesannya kemudian.
"Iya, Ayah." Rani berjanji. "O ya, Ayah. Rani minta maaf! Ayah pasti lelah menunggu Rani terlalu lama."  
"Tidak apa-apa, Sayang… yang penting kan kau sudah tiba dengan selamat," ucap Branden seraya tersenyum.
Rani pun tersenyum, kemudian segera menyimpan kembali sepatu barunya. Pada saat itu, tiba-tiba Branden teringat kembali akan kejadian aneh yang tadi dialaminya, dahinya tampak agak berkerut.
"Ada apa, Ayah?" tanya Rani tiba-tiba.
Branden terkejut mendengar pertanyaan itu. "Mmm... ti-tidak ada apa-apa, Sayang..." jawab Branden gugup. "O ya, sebaiknya sekarang kaumakan, setelah itu istirahat!" sambungnya kemudian.
"Tadi Rani sudah makan, Ayah. Sekarang Rani mau langsung istirahat," kata Rani seraya membereskan barang-barangnya. "Selamat malam, Ayah!" ucapnya kemudian seraya mencium pipi Branden.
"Selamat tidur, Sayang...!" ucap Branden seraya memperhatikan kepergian putrinya.
Kini lelaki itu sudah mengalihkan pandangannya ke arah pintu, sedangkan pikirannya kembali memikirkan kejadian aneh yang baru dialaminya, kejadian itu benar-benar telah menghantuinya.
Sementara itu, Rani sudah berada di kamarnya. Kini dia sedang mencoba sepatu barunya. Sejenak matanya yang sayu menatap ke arah sepatu yang baru dikenakannya, sungguh terlihat cantik melekat di kakinya yang jenjang. Setelah puas mencoba, gadis itu segera melepas sepatunya dan meletakkannya di sebuah rak kayu—di antara koleksi sepatunya yang lain.
Kini gadis itu sedang duduk di depan cermin sambil memperhatikan wajahnya yang cantik, kemudian menggerai rambutnya yang sebahu dan menyisirnya perlahan. Senyumnya yang manis tampak mengembang, mengagumi keindahan rambutnya yang ikal mayang. Setelah itu dia melangkah ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya yang seksi. Kini kedua matanya tampak memandang ke langit-langit, sedangkan giginya yang putih bersih terlihat menggigit jari telunjuknya yang lentik. Lalu dengan mata berbinar, gadis itu menatap foto Jodi yang tadi diambilnya dari meja rias. "Jo, kau tampan sekali. Terus terang, aku sudah begitu merindukanmu," ucap Rani dalam hati seraya mengecup foto itu dengan bibirnya yang tipis. "Jo... kapan kau pulang ke Jakarta?" tanya gadis itu kemudian.
Kini gadis itu bangkit dari tempat tidurnya, kemudian melangkah—mengembalikan foto itu ke tempat semula. Setelah itu, dia pun segera berkemas tidur.
Pada saat yang sama, Branden tampak sedang berbaring di tempat tidurnya. Rupanya dia masih saja memikirkan peristiwa yang baru dialaminya, sebuah peristiwa yang di luar akal sehatnya.