E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Cahaya Bintang - Bagian 1



Cahaya Bintang

 ==================================================
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.

 ==================================================

Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336
 ==================================================

Satu



Di tengah hamparan rumput yang luas, seorang pemuda tampak asyik terlentang di atas jok sepeda motornya. Kedua matanya yang bening tampak memandang ke langit lepas, memperhatikan pesona malam yang begitu indah. Saat itu, ribuan bintang yang dilihatnya seolah menghibur, memberi ketenangan pada hatinya yang lara. Dalam renungannya dia tak mengerti, kenapa gadis yang begitu dicintainya lebih memilih pemuda lain? Padahal dia sendiri begitu tampan, bahkan sifatnya pun penuh dengan kasih sayang.
“Duhai bintang yang gemerlap, duhai malam yang menyelimutiku. Kalian adalah teman sejatiku, yang senantiasa menemaniku di dalam keresahan ini. Ketahuilah... Hatiku hancur berkeping-keping ketika dia mengatakan tak bisa bersamaku. Saat itu juga harapanku punah seketika, berganti dengan segala penderitaan yang amat sangat. Kini aku tak punya gairah untuk hidup, sepertinya kehidupanku ke depan akan selalu dipenuhi dengan segala kesepian yang kian hari memang sudah terasa sepinya.
Kini pemuda itu teringat kembali dengan gadis pujaannya, betapa dia tak mungkin sanggup jika hidup tanpanya. Tiba-tiba saja, ingatan pemuda itu buyar seketika lantaran deru motor yang kian bertambah dekat. Dilihatnya sorot lampu yang menyilaukan terus melaju, menuju ke tempatnya berada. Namun pemuda itu mencoba tak mempedulikannya, dalam hati dia sudah bertekad, siapa pun yang datang tidak akan membuatnya bergeming dari posisinya sekarang, yang kini sedang asyik merenung dan mengadu pada malam berbintang. Kini pemuda itu sudah tak mendengar lagi deru motor yang semula mengganggunya, bahkan ingatan sudah kembali tertuju ke berbagai peristiwa yang kian membuatnya bertambah sedih.
“Malam yang indah ya?” ucap seorang gadis tiba-tiba.
Seketika pemuda itu menoleh, memperhatikan seorang gadis yang kini duduk bersantai di atas sepeda motornya seraya terus memandangnya. Wajah gadis itu tak kelihatan jelas, hanya berupa siluet yang disebabkan oleh efek sinar rembulan. Kini pandangan gadis itu sudah beralih ke langit lepas, memperhatikan keindahan gemerlap bintang yang bercahaya.
“Aku sungguh tidak menduga, ternyata ada juga manusia yang berprilaku sama sepertiku,” kata gadis itu lagi.
Saat itu, pemuda yang bernama Bobby tidak mempedulikan kata-katanya, dia malah memalingkan pandangannya pada bintang-bintang seperti semula.
“Kau sedang ada masalah?” tanya gadis itu padanya.
 Bobby tidak menjawab, dalam hati dia sempat bertanya-tanya, ”Emm... Apa sebenarnya keperluan gadis itu datang ke mari? Apakah dia juga sedang sedih dan mengadu pada malam berbintang?”
“Kau salah, aku memang sedang sedih. Namun aku tidak mengadu pada malam berbintang, melainkan pada Tuhan yang menciptakannya,” jawab gadis itu tiba-tiba.
Bobby terkejut mengetahui gadis itu menjawab apa yang ada di pikirannya, “Ka-kau bisa membaca pikiranku?” tanyanya tergagap.
“Entahlah, aku juga tidak tahu? Kenapa tiba-tiba aku ingin bicara seperti itu,” jawab gadis itu lagi.
 “Hmm... Siapa sebenarnya dia?” Tanya Bobby dalam hati. “Eng… Ja-jangan-jangan...”
“Kau tidak perlu takut!” pinta gadis itu tiba-tiba, kemudian dia melanjutkan kata-katanya. “Aku ini juga manusia sepertimu, hanya jenis kelamin kita saja yang berbeda.”
Lagi-lagi Bobby terkejut, sebab gadis itu kembali mengetahui apa yang ada di benaknya. Namun karena gadis itu mengatakan kalau dia tidak perlu takut, akhirnya dia berani untuk tidak mempedulikannya. “Hmm… Biarpun gadis itu hantu atau dedemit, pastilah dia itu hantu atau dedemit yang baik hati. Tapi... Apa iya ada hantu atau dedemit yang sedih dan mengadu pada Tuhan? Tuhan...???” tiba-tiba Bobby tersentak menyadari sesuatu. “Ya, pantas saja selama aku tidak pernah mendapat jawaban. Sungguh aku telah salah memilih tempat mengadu. Padahal, sejak kecil aku sudah dikenalkan perihal Tuhan, namun entah kenapa Tuhan selalu aku nomor dua kan. Sejak kecil aku juga sudah diajarkan ilmu agama, namun entah kenapa ilmu yang kudapat itu selalu kupandang dengan sebelah mata. Apakah semua ini karena pengaruh lingkungan yang senantiasa mempengaruhiku dengan berbagai ajaran materialistis sehingga nilai spiritual menjadi aku kesampingkan?“ Tanya Bobby tersadar.
Kini Bobby teringat kembali akan bayang-bayang gadis yang begitu dicintainya. Parasnya cantik dan begitu manis. Tubuhnya pun tampak indah dan menggugah selera. “Ya Tuhan, kenapa aku selalu memikirkannya. Apakah aku memang sudah begitu terobsesi dan sulit untuk keluar dari jerat cinta yang begitu mendalam. Cinta... Terdengar manis dan membahagiakan. Itulah yang selalu kubayangkan bersama gadis yang begitu aku cintai, aku bahagia bersamanya di dalam kesepian yang memang selalu hadir. Bahkan di dalam anganku dia selalu memanjakanku dengan segala kasih sayangnya, kemudian membelaiku dengan begitu mesra. Padahal pada kenyataannya, dia itu sudah menjadi kekasih orang. Ya Tuhan, sungguh aku tak sanggup lagi hidup tanpanya?”
Kini pemuda itu terbayang kembali dengan narkoba yang dulu pernah menjadi sahabat setianya. Dia sempat berpikir untuk menggunakannya kembali, dengan alasan untuk mengembalikan gairahnya yang kini terkubur.
“Jangan biarkan dirimu termakan oleh godaan setan yang senantiasa hadir di benakmu. Betapa setan sangat menginginkanmu untuk selalu murung dan terus merana. Dan jika kau sampai menggunakan benda laknat itu sebagai jalan keluar, maka setan akan bersorak di atas penderitaanmu,” kata gadis yang sejak tadi selalu berhasil membaca pikiran Bobby.
Mendengar itu, Bobby langsung tersadar. Semua itu memang sebuah bisikan sesat yang akan membawanya kembali menggunakan barang haram itu. Untuk sementara Bobby bisa menyingkirkan pikiran sesat yang semula begitu menggebu-gebu. Namun tak lama kemudian keinginan itu sudah kembali lagi, dia benar-benar sulit menahan sugesti yang sudah sekian lama mendarah-daging.
“Menyesallah kalau kau pernah menggunakan barang haram itu, dan berdoalah kepada Tuhan agar kau segera dijauhkan dari pikiran sesat yang terus menghantuimu!” kata gadis itu kembali memperingati.
Bobby pun segera menurut, hingga akhirnya pikiran itu kembali lenyap dan berganti dengan pikiran yang lain. Saat itu di benaknya ada sebuah harapan yang begitu gemilang. Bahkan dia sempat terperanjat ketika hal itu mampu membuka pintu hatinya, dan  hal itulah yang membuatnya ingin terus bertahan hidup. Sebuah keinginan untuk menjadi manusia yang menjalankan misinya dengan penuh keridhaan Illahi.
Tiba-tiba Bobby mendengar deru motor yang kembali membuyarkan pikirannya. Kemudian dengan segera pemuda muda itu duduk dan memperhatikan apa yang sedang terjadi. Dilihatnya gadis yang tadi bersamanya kini telah pergi bersama tunggangannya dan akhirnya menghilang di kejauhan.
“Hmm... Sebenarnya siapa gadis itu? Kenapa dia datang dan pergi begitu saja? Ah, sudahlah.... Aku tidak mau pusing, yang terpenting setelah kedatangannya itu aku merasa mempunyai harapan baru. Sebuah harapan yang tidak pernah terpikirkan olehku.“
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Bobby memutuskan untuk pulang. Kini dia sedang menghidupkan sepeda motornya dan bersiap untuk pergi. Namun belum sempat dia melaju, tiba-tiba pandangannya tertuju kepada sebuah benda yang tampak mengkilattersorot lampu motornya yang terang-benderang. Lantas dengan segera pemuda itu turun dari motor dan melangkah mengambil benda yang menarik perhatiannya itu.  “Hmm… Apakah benda ini milik gadis tadi?” tanya Bobby seraya mengamati benda yang kini ada digenggamannya.
Benda yang terbuat dari perak itu tampak unik, bentuknya seperti limas yang tersusun dari empat bagian terpisah, tersusun mulai dari bagian bawah hingga ke puncaknya. Setiap bagian yang membangun limas tersebut bisa diputar hingga 360 derajat, dan pada setiap sisi bagian yang terpisah itu mempunyai sebuah simbol yang berbeda, sehingga total keseluruhan simbolnya berjumlah 16 buah. Pada bagian terbawah yang merupakan susunan pertamanya mempunyai simbol Lafaz Allah, nama Muhammad, Al-Quran, dan Hadist Rasul. Kemudian pada susunan keduanya mempunyai simbol hati, dua tangan menadah, orang sujud, dan bayi. Lalu pada susunan ketiganya mempunyai simbol tangan yang memberi, tangan yang menggenggam, bibir, dan  pedang. Pada susunan terakhir yang merupakan puncaknya mempunyai simbol Lafaz Allah yang bercahaya, matahari yang bercahaya, bintang yang bercahaya, dan bulan yang bercahaya.
“Hmm… ini pasti limas teka-teki, sebab jika aku memutar setiap bagian dari limas ini tentu akan membuat kombinasi simbol yang berbeda. Dan aku yakin, jika kombinasinya tersusun dengan benar pasti akan terjadi sesuatu yang tak disangka-sangka. Hmm… mungkin gadis tadi memang bukan manusia seperti apa katanya, mungkin dia itu Jin yang menyerupai manusia dan sengaja meninggalkan benda ini untukku. Bukankah kehadiran gadis itu memang sangat tidak lazim, bahkan dia bisa membaca pikiranku. Hmm… Apa ya kira-kira yang akan terjadi? Apa mungkin benda ini seperti lampu aladin, yang jika aku berhasil menemukan kombinasinya, maka aku boleh meminta tiga hal yang kuinginkan. Kalau begitu, aku akan meminta kekayaan, kemudian aku akan meminta kedudukan, dan terakhir aku akan meminta agar Winda jatuh kepelukanku. Hmm… Jika memang seperti itu, aku akan berusaha untuk menemukan kombinasinya. Sebab aku menduga, ini adalah cara Tuhan untuk menolongku, yaitu dengan perantara benda yang diberikan oleh Jin itu. Namun Tuhan tidak begitu saja memberikan pertolongan-Nya padaku, melainkan aku harus berusaha keras dulu untuk memecahkan teka-teki ini.“
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Bobby memutuskan untuk pergi. Dan tak lama kemudian, dia sudah melesat menembus gelapnya malam, hingga akhirnya menghilang di kejauhan.

 

Esok harinya, Bobby tampak duduk mengutak-atik benda teka-teki yang ditemukan semalam. Dia duduk di atas langkan balkon rumahnya sambil sesekali memandang ke arah kolam yang dipenuhi oleh ikan mas berwarna-warni. Setelah pusing tujuh keliling lantaran tak berhasil memecahkan teka-teki itu, akhirnya dia memilih untuk termenung, memikirkan gadis pujaannya yang tanpa disadari sudah membuka jalan kepada setan untuk menyesatkannya. Oleh karena itu, kepalanya yang semula dipenuhi berbagai rencana gemilang mendadak lenyap seketika, dan hal itu benar-benar membuatnya tak mampu lagi menuangkan ide-ide yang semula begitu banyak. Bahkan energinya dirasakan turun dengan sangat drastis, tubuhnya pun terasa begitu lemas dan tidak bergairah. Tiba-tiba pemuda itu terbayang kembali dengan narkoba yang pernah digunakan. Ingin rasanya dia menggunakannya benda haram itu demi untuk mengembalikan gairahnya yang lagi-lagi terkubur. “Tidak! ini sebuah bisikan sesat yang akan membawaku kembali menggunakan barang haram itu. Ya Tuhan lindungilah aku dari pikiran yang menyesatkan ini!” kata Bobby kembali tersadar.
Untuk sementara, Bobby bisa menyingkirkan pikiran sesat yang kembali menerpanya. Namun tak lama kemudian, keinginan itu sudah kembali lagi dan hampir saja membuatnya terpedaya. Untunglah pemuda itu cepat tersadar dan segera memohon kepada Tuhan agar menghilangkan pikiran sesat yang terus menghantuinya. Hingga akhirnya pikiran itu pun lenyap dan berganti dengan pikiran yang lain, yaitu mengenai gadis pujaannya. “Ups! Apa yang baru saja kupikirkan tadi sudah merupakan bisikan setan yang kembali menggodaku. Padahal masih banyak yang bisa aku kerjakan selain memikirkan gadis yang sama sekali tak mempedulikan aku. Aku tahu dia memang sudah menjadi kekasih orang, dan aku sadar bahwa aku hanya bertepuk sebelah tangan. Tapi aku sudah terlanjur sayang. Kedengarannya memang seperti judul lagu, tapi itulah aku. Sudah terlanjur sayang kepada orang yang salah. Padahal semula aku tak mencintainya, bahkan tak begitu menghiraukannya. Dia itu hanya gadis biasa, bahkan tubuhnya pun kurang proporsional. Tapi entah kenapa sekarang justru sebaliknya, dia itu tampak begitu cantik, bahkan tubuhnya pun terlihat sempurna. Apakah ini karena aku masih menjalani hukuman atas penghinaanku dulu, yaitu telah mencela mahluk ciptaan-Mu. Oh Tuhan, jika demikian ampunilah semua dosaku itu. Bukanlah selama ini aku sudah menyesalinya. Dan aku pun sudah berjanji untuk tidak mencela mahluk ciptaan-Mu lagi. Namun, entah kenapa Engkau masih terus menghukumku. Tidak layakkah aku mendapat kebahagiaan dengan menjalani kehidupan bersama gadis yang pernah kuhina itu?”
Kini Bobby kembali terkenang akan masa lalunya, yaitu disaat dia jatuh cinta dengan gadis pujaannya. Dulu, ketika dia sedang nongkrong bersama teman-temannya, gadis itu sengaja datang menghampiri. Karena tidak mau dianggap sombong, Bobby pun mencoba untuk menerima kehadirannya. Saat itu, segala pikiran tidak nyaman terus menghantamnya bertubi-tubi, ungkapan hati atas penampilan fisik gadis itu terus tersirat di benaknya. Saat itu Bobby memang jahat karena telah menghina mahluk ciptaan Tuhan begitu. Hal itu memang sulit, sebab dia tidak mungkin bisa membohongi pengelihatannya sendiri. Sebagai pemuda tampan, rasanya mustahil dia bisa berpikir positif atas penampilan fisik si Gadis yang menurut penglihatan lahirnya memang kurang cantik. Apalagi saat itu teman-temannya berusaha menjodohkan. Dan karena itulah, lagi-lagi Bobby kembali berpikiran jahat. “Kenapa gadis seperti itu dijodohkan denganku?” tanya Bobby waktu itu. Dalam hati dia sungguh tidak menerima, jika gadis yang kurang cantik itu berdampingan dengan dirinya yang tampan.
“Sungguh jahat aku waktu itu,” ungkap Bobby menyesal.
Tiba-tiba Bobby kembali teringat dengan peristiwa yang mengubah penilaiannya. Waktu itu, si gadis sempat bicara padanya, kalau dia mendekati Bobby bukan lantaran ingin menjadi pacarnya, namun sekedar mau berteman dengan Bobby yang dinilainya begitu enak untuk diajak curhat. Dia pun menyadari kalau dirinya memang tidak pantas berdampingan dengan Bobby yang tampan. Saat itu dia justru minta maaf lantaran kehadirannya telah membuat Bobby ikut diolok-olok.
“Sungguh teman-temanku memang jahat... Ternyata mereka menjodohkan aku dengan maksud mengolok-oloknya,” saat itu air mata Bobby kembali menetes bersamaan dengan hatinya yang kembali merasakan kepiluan.
Sejak mengetahui hal itulah, akhirnya Bobby tidak risih lagi jika berada di dekatnya. Bahkan setelah sekian lama mengenal pribadinya, akhirnya Bobby justru merasa sangat nyaman dan tidak peduli lagi dengan segala kekurangannya. Semua itu dikarenakan kecantikan hati si Gadis yang benar-benar sudah merubah pandangannya. Walaupun akhirnya si Gadis pergi meninggalkannya karena dia merasa tidak enak melihat Bobby yang terus diolok-olok.
 “Dia memang gadis yang baik. Kecantikan hatinya itu telah membuatku tersadar, kalau dia itu memang patut kucintai,” ungkap Bobby mengakui kalau gadis itu telah mengubah kehidupannya.
Kini Bobby kembali teringat disaat dia mulai jatuh cinta. Waktu itu, setelah sekian lama tak berjumpa, hatinya pun senantiasa dilanda kerinduan. Sungguh saat itu Bobby sendiri tak mengerti akan perasaannya, yang jelas saat itu dia benar-benar sangat mendambakan kehadirannya. Bahkan di setiap saat dia selalu teringat dengan segala budi baiknya. Bagaimana dulu gadis itu memberinya pengertian mengenai dampak narkoba yang membahayakan, hingga akhirnya dia mau meninggalkan prilaku buruk itu dan kembali ke jalan yang lurus. Dan kata-kata terakhir yang masih diingatnya adalah doa dari gadis itu, yang mana telah mendoakan dirinya agar mendapatkan gadis yang diidam-idamkannya.
“Sungguh aku tidak menyangka, ternyata kini aku sudah begitu mencintainya. Entah kenapa, pada saat itu semua yang pernah kubenci dari dirinya sirna begitu saja? Mungkinkah semuanya itu karena sudah terkubur oleh kebaikan hatinya yang begitu tulus?” tanya Bobby mengenai ketidakmengertian akan perasaan cinta yang telah merasuki hatinya.
Tiba-tiba pemuda itu kembali meneteskan air matanya. Rupanya dia kembali teringat dengan kejadian yang membuat hatinya hancur berkeping-keping, yaitu disaat gadis itu menolak cintanya lantaran dia sudah mempunyai kekasih. Sungguh pengalaman itu telah menjadi kenangan pahit yang tak akan pernah dilupakan. Dan dia betul-betul menyesal, kenapa baru menyadari itu setelah semuanya terlambat. Haruskah ia membenci gadis yang sangat dicintainya itu, atau haruskah ia terus mencintainya dengan sepenuh jiwapadahal dia tahu cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Kata penyair, bukankah cinta itu tak harus memiliki, namun ketulusan mencintai itulah yang terpenting. Sungguh klise kedengarannya, sama sekali tidak masuk di akal. Apa mungkin ia bisa mencintai gadis yang telah membuat hatinya begitu terluka, yang telah membuat kehidupannya begitu menderita. Sakit… Sungguh sakit jika harus terus mencintainya. Benci… Sungguh benci kala cintanya harus tertolak. Kecewa… sungguh kecewa karena tak bisa memiliki. Benci! Benci! Benci! Semakin benci semakin terus terbayang, membuat hati semakin sakit… sakit… dan sakit… Sungguh dilema, mencintai salah, benci apalagi. Begitulah perasaan pemuda itu selama ini, sehingga dia memutuskan untuk tetap mencintainya, walaupun ia harus menderita karenanya.
Kini pemuda itu memutuskan untuk melupakan gadis pujaannya sesaat, dia menyadari kalau ada hal lain yang lebih penting dari itu, yaitu mengenai benda yang ditemukannya waktu itu. “Hmm… Sebetulnya apa maksud dari semua gambar di benda ini? Sungguh sangat membingungkan,” kata Bobby sambil terus memperhatikan setiap simbol yang ada dan berusaha memahami maksudnya.
Kini pemuda itu kembali memutar-mutar setiap bagian limas hingga membuat kombinasi baru yang sesuai dengan pikirannya, ”Aduh, kenapa masih salah juga. Hmm… Kira-kira apa maksud dari gambar yang satu ini?” tanya Bobby berusaha menerka sebuah simbol bergambar bayi.
Pemuda itu terus berusaha memecahkan teka-teki yang membingungkan itu, bahkan ia sampai mencatatnya di selembar kertas agar kemungkinan yang sudah dicobanya tak diulangi lagi. Hingga akhirnya dia sudah mencoba 64 kali kemungkinan. “Aduh, kenapa belum ketemu juga? Hmm… Bagaimana jika kombinasinya bukan hanya satu arah, tetapi juga dua arah seperti yang ada pada brankas. Gila…! Kalau begitu kemungkinannya bisa banyak sekali dan tidak mungkin bisa dipecahkan hanya dengan cara menebak-nebak seperti yang kulakukan sekarang. Huh! Mau tidak mau aku memang harus memecahkan makna dari setiap simbol itu. Kalau begitu, ini sama saja artinya dengan menambah penderitaanku. Sebab aku sendiri tidak tahu, entah sampai kapan aku bisa mengerti makna dari semua simbol itu. Hmm… Sebaiknya aku menyerah saja, percuma jika aku terus memikirkannya. Biarlah aku tak menjadi orang kaya, biarlah aku tak mempunyai kedudukan, biarlah aku… Tidak! Winda harus bisa menjadi milikku. Ya Tuhan… kenapa harus sesulit ini? Kenapa tidak kau berikan saja cara yang mudah agar aku bisa memilikinya? Kenapa…? Aku kan sudah mengaku salah, dan aku pun sudah menyesalinya. Tapi… Kenapa Engkau masih juga mempersulitnya?” tanya pemuda itu berkali-kali.
Kini pemuda itu melangkah menuju ke kolam ikan yang ada di taman rumahnya. Setibanya di tempat itu dia langsung duduk di tepian kolam dan memanggil ikan-ikannya untuk mendekat. Tak lama kemudian, ikan-ikan yang ada di kolam itu tampak menghampiri tangannya, kemudian berkelilingmengharap mendapat makanan. Sejenak Bobby memperhatikan keindahan warna-warninya, kemudian memperhatikan prilakunya yang tampak begitu gembira menyambut kehadirannya. Karena tak mau mengecewakan ikan-ikan yang sudah bergembira itu, Bobby pun segera mengambil pelet dan memberikannya kepada mereka. Sungguh senang hati pemuda itu ketika melihat ikan-ikannya yang makan dengan begitu lahap. Sejenak ia terlena dengan kesenangan itu sehingga ia pun lupa akan penderitaannya.

 

Esok harinya, seusai mandi dan sarapan pagi, Bobby kembali memikirkan soal Winda. Sungguh setiap kali dia memikirkan gadis itu, setiap kali itu pula dia merasakan sakit yang tak terkira. Namun karena dia menyadari kalau semua itu bisa menghambat kemajuannya, akhirnya dia memilih untuk menemui teman-temannya.
Kini Bobby sudah melangkah menuju ke suatu tempat dimana teman-temannya biasa berkumpul, yaitu di atas balai bambu yang berdiri di tengah rimbunnya perkebunan singkong dan di bawah rindangnya sebuah pohon asam. Setelah agak lama berada di tempat itu, hati Bobby pun sedikit demi sedikit mulai terhibur lantaran bisa bercanda ria dan bernyanyi bersama teman-temannya yang sama-sama masih pengangguran. Sungguh keadaan itu telah membuat Bobby merasa tentram dan nyaman karena tak melulu diingatkan soal Winda, yang selama ini memang selalu hadir di benaknya dan membuatnya sakit.
Pemuda itu terus bergembira bersama teman-temannya. Namun ketika seorang temannya membawakan lagu yang berjudul Pujangga, hati Bobby pun langsung sedih dibuatnya.
“Hidup tanpa cinta... bagai taman tak berbunga... O... begitulah kata para pujangga,” lantun temannya dengan penuh perasaan.
Seketika Bobby kembali teringat akan bayang-bayang Winda, sang Pujaan Hati yang bak bunga tak menghiasi taman hatinya. Betapa selama ini dia memang begitu mengharapkan kalau Winda mau menjadi pendampingnya. Namun apa daya, selama gadis itu tak mau membalas cintanya, maka semua itu hanya mimpi yang justru membuatnya kian menderita dan sulit melepaskan diri dari cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan.
Tiba-tiba ingatan Bobby buyar lantaran ada seorang pemuda yang datang mengucapkan salam kepada semua orang yang nongkrong. Kini pemuda itu tampak menghampiri Bobby dan duduk di sebelahnya. “Hi, Bob! Ikut aku yuk!” ajaknya kepada Bobby.
“Ke mana, Ran?”
“Sudah… Ikut saja! Nanti kau juga akan tahu.”
“Eng… Kalau begitu baiklah, ayo Ran!”
Setelah pamit dengan teman-temannya, Bobby dan pemuda itu tampak melangkah pergi. Kini keduanya sedang menyusuri jalan sambil bercakap-cakap perihal kegiatan masing-masing. Ketika sampai di sebuah warung makan, mereka pun mampir dan menikmati santap siang bersama. Usai makan, mereka tidak langsung pergi, melainkan melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda.
Kedua pemuda itu terus berbincang-bincang hingga akhirnya. “Benarkah yang kau katakan itu, Bob?” tanya Randy seakan tak percaya.
“Iya, Ran. Aku mau berubah. Aku bosan jadi pengangguran.”
“Kalau begitu kebetulan sekali, Bob. Sebetulnya aku datang memang mau menawarkan pekerjaan padamu.”
“Eng... Kerja apa itu, Ran?” tanya Bobby.
“Kerja di percetakan, Bob. Pada bagian finishing.”
“Wah, Ran. Apa mampu aku menjalani pekerjaan yang menjemukan seperti itu?”
“Coba saja dulu. Barangkali saja kau menyukainya.”
“Ran… Se-sebenarnya aku masih berat untuk bekerja. Boro-boro mau bekerja, mau hidup saja rasanya enggan. Apalagi sekarang, disaat aku sedang tertekan oleh berbagai hal yang membuatku ingin mati saja.”
“Semua itu karena Winda kan?”
“Iya, Ran. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara melupakannya.”
“Karena itulah aku datang menemui, Bob. Dengan harapan kau mau bekerja guna mengalihkan pikiranmu dari Winda.”
“Emm… Bagaimana ya?” Bobby tampak berpikir keras. ”O ya, Ran. Apakah pemilik percetakan itu sedang buru-buru mencari pekerja.”
“Sama sekali tidak, Bob. Malah pemilik percetakan itu belum membutuhkan pekerja baru.”
“Lho, kalau begitu untuk apa kau menawarkan pekerjaan padaku?”
“Ya untuk membantumu agar kau bisa mengalihkan pikiran dari Winda. Bob ketahuilah, pemilik percetakan itu teman baikku sejak kecil, dan dia bersedia menolongmu, asal kan kau memang betul-betul mau bekerja. Katanya jika ia menambah satu karyawan saja, tentu tidak akan menjadi masalah.”
“Eng… kalau begitu, bisakah aku memikirkannya lebih dulu. Terus terang, aku tidak bisa mengambil keputusan sekarang.”
“Baiklah, Bob. Pikirkanlah dengan matang tawaranku itu. Jika kau sudah siap segera hubungi aku!”
“Iya, Ran. Aku pasti akan menghubungimu. O ya, Ran. Ngomong-ngomong, kau tahu arti simbol-simbol ini tidak?” tanya Bobby seraya menyerahkan limas teka-teki yang ditemukannya kepada Randy.
Randy pun segera menanggapi limas itu dan mengamatinya dengan penuh seksama. “Hmm… sebenarnya benda apa ini, Bob?” tanya Randy seraya mengembalikannya kepada Bobby.
“Entahlah… Aku juga tidak tahu. Menurutku ini adalah limas ajaib, yang jika seseorang bisa membukanya, maka ia akan diperkenankan untuk meminta tiga permintaan.”
“Itu syirik, Bob. Ketahuilah, sebaik-baiknya tempat meminta hanya kepada Allah, bukan kepada benda seperti itu.”
“Ran, ketahuilah! Aku tidak meminta kepada benda ini, namun kepada Allah. Benda ini kupercaya hanya sebagai perantara saja, yaitu dengan bantuan jin yang menjadi penghuninya. Sama seperti ketika aku minta tolong kepadamu, yang kuyakini kau menolongku karena sebab Tuhan menjadikanmu sebagai perantara-Nya.”
“Bob, itu berbeda. Sebagai manusia aku memang sudah diberikan kuasa untuk menjadi khalifah, yang mana setiap kebaikan yang aku lakukan hanya mengharap ridha dari-Nya. Sedangkan jin sudah tidak diberikan kuasa untuk menjadi khalifah, sebab semenjak Nabi Adam diciptakan hanya manusia yang diberi tugas mulia itu. Dan sebagai khalifah tidak sepantasnya manusia meminta bantuan dengan perantara jin.”
“Tapi, Ran. Bagaimana dengan kisah Nabi Sulaiman yang meminta bantuan jin untuk membangun istananya, dan juga ketika membawa singgasana Ratu Bilqis.”
“Ketahuilah, Bob! Nabi Sulaiman tidak meminta bantuan, tapi memerintahkan. Dan yang membawa singgasana itu bukanlah jin, melainkan  karena doa seorang manusia yang sholeh, yang mana doanya senantiasa Allah kabulkan. Ketahuilah, Bob. Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah mengajarkan manusia untuk meminta bantuan kepada jin, yaitu dengan perantara jimat atau benda magis. Melainkan dengan mengajarkan doa-doa yang tujuannya adalah meminta langsung kepada Allah.”
“Tapi, Ran…”
“Apa lagi, Bob? Tidak jelaskah apa yang kusampaikan padamu?”
“Entahlah, aku masih bingung,” jawab Bobby seraya membatin, “Kau tidak tahu, Ran. Kalau sebenarnya jimat atau benda magis secara khusus memang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW sehingga tidak masuk ke dalam Syariat Islam yang diajarkan olehnya. Namun kata seorang ahli hikmah, firman Allah terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang tersurat berupa Al-Quran dan yang tersirat yaitu segala kemahakuasaan Allah SWT  yang tampak di mata dan hati manusia.”
“Bob, apa yang kau pikirkan?” tanya Randy tiba-tiba.
“Eh, Tidak. Bukan hal yang penting. O ya, Ran. Sebetulnya aku tidak mau membahas soal boleh tidaknya memiliki benda gaib, melainkan aku hanya mau tahu saja apakah kau mengetahui arti dari simbol-simbol yang ada di limas ini.”
“Bob, sebenarnya hanya ada beberapa simbol saja yang kuketahui. Namun, mengenai makna yang terkandung di dalamnya,  juga mengenai hubungan dengan simbol lainnya sama-sekali tidak aku ketahui.”
“Ya sudah, kalau begitu. Nanti biar aku tanyakan kepada orang lain saja.”
“Bob, sebaiknya kau jangan menyimpan benda seperti itu, sebab aku khawatir kau akan tergelincir. Sekali lagi aku ingatkan, sebaiknya kau ikuti saja apa yang diajarkan Rasulullah, yang mana beliau tidak mengajarkan untuk bergantung pada benda-benda seperti itu. Melainkan hanya kepada Allah, yaitu dengan berdoa kepada-Nya dan berusaha sesuai dengan kemampuanmu. Ingatlah, kalau iman seseorang akan selalu mengalami pasang surut. Karenanya, hindarilah berbagai hal yang sekiranya bisa membahayakanmu!”
“Baiklah, Ran. Aku akan memikirkan dan mempertimbangkan semua perkataanmu itu.”
“Baguslah kalau begitu. O ya, Bob. Sebaiknya aku pamit pulang. Bukankah kau masih mau nongkrong dengan teman-teman di kebun?”
“Tidak, Ran. Aku langsung pulang saja.”
“Kalau begitu, kita bisa jalan sama-sama, Bob.”
“Iya, Ran. Kalau begitu mari!”
Setelah Randy membayar apa yang mereka makan, lantas keduanya segera melangkah beriringan, membicarakan berbagai hal mengenai keagamaan. Selama ini Randy memang sahabat Bobby yang paling baik, sebab pemuda itu selalu memberikan masukan positif dan selalu membantunya dikala susah. Karenanyalah Bobby sangat respect padanya dan mau mendengarkan setiap nasihat darinya, yang terkadang memang suka berseberangan dengan pendapatnya sendiri. Walaupun begitu, Bobby tetap menghormati apa pun yang Randy katakan, dan dia berusaha untuk tidak terjebak di dalam sebuah perdebatan yang tak perlu, yang mungkin saja bisa membuat hubungan keduanya menjadi renggang. Randy pun begitu, walaupun ia tahu Bobby terkadang enggan menuruti nasihatnya karena sebab perbedaan pendapat, namun ia tak pernah bosan untuk terus menasihati sahabatnya itu. Baginya kebenaran harus tetap disampaikan, dan mengenai Bobby mau menerima atau tidak, semuanya dikembalikan kepada budinya sendiri.