E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Duka Lara - Bagian 4

Empat



Setahun kemudian, di negeri nan jauh di sana, di atas dermaga kayu yang berdiri di tepian sebuah danau. Seorang pemuda tampak duduk melamun. Matanya yang bening menatap ke tengah danau yang begitu indah, sedang kedua tangannya tampak saling meremas. Tiba-tiba pemuda itu tertunduk, merasakan keresahan hati yang teramat sangat, yaitu kepada gadis yang begitu dicintainya, yang mana selama ini sudah begitu dirindukannya. “Sayang... ternyata aku tidak bisa melupakanmu. Sudah lama juga kita berpisah, namun dirimu masih terus saja terbayang. Ingin rasanya aku menemuimu dan mencurahkan rasa rinduku ini. Namun, aku tak mempunyai daya upaya untuk bisa melawan bisikan nuraniku akan arti persahabatan.”
“Hi, Bob! Sedang apa kau di situ?” tanya seseorang tiba-tiba.
Seketika Bobby menoleh, memperhatikan seorang pemuda yang kini melangkah ke arahnya. “Maaf, Riz! Aku belum punya uang.”
“Hahaha...! Kau pikir aku kemari mau menagih hutang. Tidak, Bob. Sebenarnya aku kemari mau mengajakmu bekerja.”
“Mmm... bekerja? Kerja apa Riz?”
“Sudahlah…! Nanti kau juga akan tahu.”
“Kau tidak akan mengajakku kerja yang illegal kan?”
“Kenapa kau berpikiran begitu?”
“Eng… Bukankah kau pernah ditahan lantaran menipu.”
"Itu kan dulu, Bob. Sekarang aku sudah insyaf dan tidak mau berbuat seperti itu.”
“Kalau begitu, katakanlah apa pekerjaan yang akan kita lakukan itu!”
“Kita akan bekerja sebagai kurir, Bob.”
“Kurir?”
“Ya, sebagai kurir yang mengantar barang.”
"O, kalau itu sih aku mau. Terus terang, aku bosan juga jika harus terus-menerus mencari uang dengan mengumpulkan dedaunan itu,” kata Bobby yang kini memang sudah tidak berminat lagi mencari dedaunan yang dijual untuk keperluan rangkaian bunga. Walaupun pada mulanya dia menganggap pengerjaan itu menyenangkan dan bisa menggantikan karirnya sebagai arsitek yang kini tak mau dilakoninya lagi karena suatu sebab. “O ya, ngomong-ngomong barang apa?” lanjut pemuda itu kemudian.
“Ya, namanya juga kurir, Bob. Yang diantar itu bisa barang apa saja, dan kita tidak mungkin membongkar dan melihat isinya dulu.
Kedua orang itu terus berbincang-bincang mengenai pekerjaan itu. Sementara itu di tempat lain, di sebuah negeri yang jaraknya bermil-mil jauhnya. Sepasang muda-mudi tampak sedang berbincang-bincang, duduk di dalam sebuah mobil yang berhenti di bawah rindangnya sebuah pohon besar. “Kau merindukannya, Ra?” tanya Randy kepada kekasihnya.
“Betul, Kak. Entah kenapa belakangan ini aku ingin sekali berjumpa dengannya.”
“Ra, sebenarnya bukan kau saja yang rindu. Aku pun sudah rindu sekali padanya.”
“Andai dia mau mengirim surat atau menghubungi kita lewat telepon tentu rindu kita bisa sedikit terlepaskan.”
“Aku tahu benar sifat Bobby, walaupun dia begitu rindu denganmu dia tidak akan mengirim surat, apa lagi sampai menelepon. Kau tahu kenapa dia pergi keluar negeri?”
“Untuk bekerja kan?”
“Kau salah, Ra. Sebenarnya dia pergi karena ingin mengubur semua masa lalunya.”
“Hmm... kalau begitu, pantas saja dia tidak pernah menghubungi kita.”
“Dan karenanyalah, selama ini aku pun tidak pernah mencoba menghubunginya. Aku yakin sekali, jika hatinya sudah betul-betul tenang dia pasti akan datang menemui kita.”
Kedua muda-mudi itu berbincang-bincang, hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi tampak melaju meninggalkan tempat itu.


 

Pada suatu hari, di sore yang cerah, Bobby dan Rizky tampak sedang berbincang-bincang di dalam sebuah rumah yang ada di pinggiran kota kecil. Sejenak Bobby memperhatikan isi ruangan yang ada di rumah itu, semuanya didominasi warna putih yang tampak kusam. Dan di ruangan itu tak ada perabotan yang bisa dilihatnya dengan jelas. Dalam hati, pemuda itu menduga kalau ruangan itu sudah lama tidak digunakan, terbukti dengan semua perabotan yang kini tampak tertutup oleh kain putih yang berdebu.
“Kok lama sekali, Riz?” tanya Bobby yang saat itu sedang menunggu barang yang akan mereka antar.
“Entahlah... tidak biasanya seperti ini.”
"O ya, Riz. Ngomong-ngomong...” belum sempat Bobby menyelesaikan kalimatnya. Tiba tiba, “Perhatian!!! Kami polisi, rumah ini sudah kami kepung, menyerahlah kalian semua!!!” saat itu dari luar rumah terdengar perintah yang menggunakan pengeras suara, dan orang itu berbicara dengan menggunakan Bahasa Inggris Amerika yang sangat kental.
Betapa terkejutnya Bobby dan Rizky saat itu, namun keterkejutan Bobby berbeda dengan temannya yang kini dilihatnya sudah mengeluarkan senjata api. “Bob, cepat kau berlindung!” seru Rizky seraya berlari ke arah jendela.
“Riz, apa-apaan ini?” tanya Bobby heran.
Belum sempat Bobby mendapat jawaban, berapa orang yang semula berada di dalam kamar tampak keluar dengan membawa senjata lengkap. Mereka juga tampak bersiaga di dekat jendela seperti yang dilakukan Rizky. Kemudian dengan tiba-tiba salah satu dari mereka berteriak dan seketika itu juga orang yang bersiaga di dekat jendela tadi segera memecahkan kaca jendela dan langsung melepaskan tembakan. Tak ayal, baku tembak pun terjadi dengan serunya. Bobby yang saat itu tidak mengerti apa-apa langsung tiarap berlindung. Baku tembak itu terus berlangsung hampir selama satu jam.
Tiba-tiba, dari luar rumah kembali terdengar peringatan,” Perhatian! Jika kalian masih tidak mau menyerah, kami terpaksa akan meratakan rumah itu dengan tanah!”
Mendengar itu, salah seorang yang menjadi pimpinan kelompok itu tiba-tiba menghentikan tembakan. “Ayo cepat kita tinggalkan tempat ini!” perintah orang itu
“Ayo, Bob!  Ikuti aku!” Ajak Rizky seraya merayap menuju ke sebuah kamar.
Saat itu Bobby langsung menurut, dia tampak merayap mengikuti Rizky.
“Riz, sebenarnya siapa mereka ini? Kenapa tiba-tiba polisi mengepung tempat ini?”
“Bob, sebenarnya kami ini para pejuang keadilan.”
“Apa maksudmu dengan para pejuang keadilan?” tanya Bobby tidak mengerti.
“Kami ini yang dibilang ‘teroris’, Bob,” jelas Rizki mempermudah pemahaman pemuda itu.
“A-apa! Ja-jadi kalian ini ‘teroris’?” Bobby tampak terkejut. Pada saat itu, jantungnya pun langsung berdegup kencang.
“Sudahlah, Bob! Ayo cepat kita masuk ke dalam lubang itu!” perintah Rizky sambil memasuki lubang yang ternyata sebuah jalan rahasia.
Bobby pun segera masuk ke jalan rahasia itu, dan dalam waktu singkat mereka sudah berada di sebuah rumah yang letaknya jauh di seberang rumah yang sedang di kepung itu. Lantas dengan tergesa-gesa, mereka segera menaiki sebuah van yang diparkir di dalam garasi. Tak lama kemudian, van itu pun melaju kencang menerjang pintu garasi yang terbuat dari kayu. Sambil terus melaju bersama van yang mereka tumpangi, para ‘teroris’ itu tak henti-hentinya melepas tembakan ke arah polisi-polisi yang sama sekali tidak menduga kalau buruan mereka keluar dari rumah yang berada di belakang mereka. Hingga akhirnya, van itu berhasil meloloskan diri.
Kini van itu tengah melaju kencang menembus gelapnya malam, melewati jalan berliku yang membelah hutan pinus. Pada saat itu, perasaan Bobby sungguh tak karuanketakutannya akan keselamatan jiwa membuatnya betul-betul cemas. Sungguh dia tidak menyangka kalau nasibnya akan menjadi seburuk itu, yaitu terlibat dengan orang-orang yang memperjuangkan keadilan dengan cara yang menurutnya salah. Ketika van itu melewati jalan di lereng perbukitan, tiba-tiba. “Lihat! Apa itu?”
“Celaka...! Kita dikejar helikopter.”
“Lebih cepat lagi, Frank!”
“Iya, ini juga sudah paling cepat.”
Kejar-kejaran antara van dan helikopter itu pun tak terelakkan. Kedua jenis kendaraan itu terus berpacu di dalam gelapnya malam, pada saat itu yang terlihat hanya lampu-lampu dari kedua kendaraan itu, namun terkadang sesekali juga terlihat van yang melaju kencang tersorot lampu tembak dari helikopter yang mengejarnya. Tiba-tiba dari helikopter itu terdengar kembali peringatan yang kali ini menyatakan kalau mereka akan menembak jika van itu tidak mau berhenti. Benar saja, ketika melewati tepian jurang, helikopter itu langsung melepaskan missile-nya yang kini meluncur cepat menuju van yang masih terus melaju dengan kencang. Dan dalam waktu singkat, misil itu pun menghantam van yang di tumpangi oleh para ‘teroris’ dan menciptakan ledakan yang begitu dasyat. Tak ayal, van itu pun langsung hancur berkeping-keping.
Bobby yang berhasil melompat sebelum missile mengenai sasaran sempat terkena serpihan yang beterbangan itu. Seketika Bobby meringis merasakan panas dan nyeri yang bukan main sakitnya, kemudian dia tidak sadarkan diri. Tubuhnya yang saat itu sedang berada di tepian jurang langsung meluncur jatuh ditelan jurang yang begitu dalam. Berkali-kali tubuh pemuda itu menghantam batang pohon yang ada di bawahnya, hingga akhirnya tubuh itu jatuh di atas sungai yang mengalir deras.



 
Esok harinya, di sebuah bilik yang terbuat dari kayu, seorang pemuda tampak terbaring tak sadarkan diri. Di beberapa bagian tubuhnya tampak terbalut kain putih yang bernoda hijau kecokelatan. Pada saat yang sama, tak jauh dari orang yang terbaring itu terlihat seorang kakek yang sedang menumbuk ramuan obat. Sesekali mata kakek itu tampak memperhatikan keadaan pemuda yang terbaring itu dengan penuh iba.
“Agh...!!! Di-di mana aku?” tanya Bobby tiba-tiba sambil meringis dan berusaha bangun.
Mengetahui itu, orang tua yang berada di sisinya serta-merta meletakkan alat penumbuk obat dan berusaha menenangkannya. “Tenanglah anak muda, kau jangan bangun dulu!” larang orang tua itu lembut dengan menggunakan Bahasa Inggris yang berdialek asia.
“Si-siapa kau? Dan di-di mana aku?” tanya Bobby lagi, juga dengan bahasa yang sama.
“Aku Changyi. Kini kau sedang berada di pondokku. Ketahuilah kalau aku sedang berusaha untuk memulihkan kesehatanmu. Karenanyalah, aku mohon kau jangan banyak bergerak!”
Mengetahui itu, Bobby kembali merebahkan diri. Dalam hati, pemuda itu sangat bersyukur ketika menyadari dirinya masih hidup. Sungguh dia tidak menyangka kalau kuasa Tuhan begitu besar sehingga membuatnya tetap hidup.
“Bagaimana, Kek? Apa dia sudah sadarkan diri?” tanya seorang gadis tiba-tiba seraya duduk di sebelah sang Kakek.
“Sudah, Li,” jawab sang Kakek singkat. "O ya, apa dedaunan itu sudah kau dapat?” tanyanya kemudian.
“Sudah, Kek. Ini...” jawab gadis itu seraya menyerahkan beberapa dedaunan obat yang baru diambilnya dari hutan.
Tak lama kemudian, sang Kakek sudah menambah dedaunan yang baru didapat itu dengan ramuan yang sedang ditumbuknya. Pada saat yang sama, Bobby tampak sedang memperhatikan wajah manis milik gadis yang kini sedang mengajaknya bicara.
“Apa yang kau rasakan?” tanya gadis itu kepadanya.
“Eng… dadaku terasa agak sesak, dan aku juga merasakan nyeri di beberapa bagian.”
“Emm... kalau begitu, sebaiknya kau jangan terlalu banyak bergerak dulu! Istirahatlah hingga lukamu itu betul-betul sembuh!”
“Iya, tadi kakekmu juga sudah bilang begitu.”
"Benarkah? O ya, Kak. Ngomong-ngomong apakah kau... ?”
"Ehem!” ucap sang kakek tiba-tiba memotong perkataan cucunya. “Li... tolong kau persiapkan tungku untuk memasak ramuan ini!” pintanya kepada Sang Cucu.
Mendengar itu, Sang Cucu segera menuruti perkataan kakeknya. Sementara itu, Bobby tampak memperhatikan kepergiannya dengan harapan agar gadis itu cepat kembali. Pada saat yang sama, di tempat yang jauh sekali dari tempat Bobby berada, sepasang muda-mudi tampak sedang berbincang-bincang dengan emosi yang kian memuncak. Sungguh perasaan mereka itu sangat bertolak belakang dengan suasana ruang tamu yang terlihat begitu nyamanyang mana dipenuhi oleh benda-benda seni yang indah dan menentramkan.
“Kau egois sekali, Kak.” kata Lara ketus.
“Kau yang egois. Sekarang ini kan aku sudah menjadi pacarmu. Tapi, kenapa kau masih saja memperlakukanku seperti dulu? Sepertinya kau ini memang tidak pernah mau mengerti perasaanku, kau hanya mementingkan perasaanmu sendiri saja,” tuduh Randy dengan raut wajah yang begitu kesal.
“Kau yang tidak mau mengerti perasaanku, kau yang selalu memikirkan perasaanmu sendiri,” Lara balik menuduh.
"Grrr... kau ini memang wanita yang keras kepala.” Randy kian bertambah geram.
“Kau yang keras kepala. Kau pemuda yang picik dan selalu mau menang sendiri,” balas Lara.
"Huh, andai saja kau bukan wanita yang kucintai sudah kutampar mulutmu yang lancang itu.” Randy mengancam.
“Ayo! Tampar saja aku. Memang setelah kau tampar, aku akan menurut padamu,” tantang Lara. Tiba-tiba saja gadis itu menangis.
“Lho, kenapa sekarang malah menangis? Dasar perempuan, kalau sudah buntu bisanya cuma menangis.”
“Kau sudah membuat hatiku sakit, Kak. Kupikir kau pria yang mencintaiku, tapi ternyata...”
“Ternyata apa?”
“Sudahlah, aku tidak perlu menjelaskannya padamu. Pikir saja sendiri, kau kan punya otak!”
Mendengar itu, Randy tampak menarik nafas panjang. “Kau dari dulu selalu begitu. Bagaimana mungkin aku bisa mengerti kalau disuruh mikir sendiri. Kenapa sih kau selalu menyembunyikan perasaanmu, kenapa tidak langsung bilang saja biar semua jadi jelas.”
Lara tidak menjawab, dia cuma bisa memalingkan wajahnya sambil terus menangis.
“Baiklah... kalau kau masih seperti ini sebaiknya aku pergi saja. Tidak ada gunanya aku berlama-lama di sini.”
Setelah berkata begitu, Randy langsung melangkah pergi entah ke mana. Sementara itu Lara tampak merenung memikirkan perihal kekasihnya. “Kak Randy... kenapa sih kau selalu keras kepala, kenapa kau tidak mau mengalah walau sedikit saja. Andai kau mengalah, tentu aku tidak akan bersikap seperti itu. Kau benar, aku memang egois. Aku memang selalu mau menang sendiri. Namun jika kau menyuruhku untuk mengakuinya tentu aku tidak akan mau, tidak akan pernah!”
Lara terus memikirkan kekasihnya. Sementara itu di tepian sebuah telaga yang sepi, Randy tampak sedang duduk termenung di bawah sebuah pohon besar yang begitu rindang. Kedua matanya tampak memandang ke liuk-liuk air telaga yang kehijauan dan berkilat memantulkan sinar mentari. “Ra, maafkan aku! Tidak seharusnya aku bersikap kasar padamu. Terus terang, aku betul-betul menyesal karena telah membuatmu menangis. Aku ini memang pemuda bodoh yang tak mengerti akan perasaan wanita, aku ini memang pemuda keras kepala yang tak pernah mau mengalah. Andai saja kau mau mengalah, tentu aku akan bersikap baik padamu, dan aku akan sangat sayang padamu, sehingga apapun yang kau pinta pasti akan kuturuti.” Setelah merenung agak lama, akhirnya Randy kembali ke mobil dan pergi meninggalkan tempat itu. Kini sedan mewah yang dikendarainya tampak melaju menyusuri jalan yang menuju ke tengah kota.


 

Tiga hari kemudian, Randy datang menemui Lara. Saat ini kedua muda-mudi itu sedang duduk berdua di ruang tamu, membicarakan perihal kejadian tempo hari yang membuat mereka jadi marahan.
“Maafkan aku ya, Ra. Saat itu aku betul-betul emosi.”
“Aku juga, Kak. Aku minta maaf karena aku sudah begitu emosi.”
"O ya, sebagai pelengkap ucapan maafku, aku pun membawakan ini untukmu,” kata Randy seraya memberikan kado kecil yang dibungkus kertas bermotif hati dan diikat dengan pita berwarna merah muda.
“Apa ini, Kak?”
“Bukalah Sayang…! Nanti kau juga akan tahu.”
Lantas Lara pun segera membuka kado itu, dan ketika mengetahui isinya mata gadis tampak berkaca-kaca.
“Kenapa, Ra? Apa kau tidak menyukainya.”
“Bukan begitu, Kak. Justru aku merasa terharu, ternyata kau memang begitu menyayangiku. Sungguh liontin ini indah sekali, Kak. Eng… Maukah kau memakaikannya untukku!”
“Tentu saja, Sayang...” jawab Randy seraya mengambil benda itu dan memakaikan di leher kekasihnya.
“Bagaimana, Kak? Pantas tidak?” tanya Lara seraya tersenyum.
“Tentu saja sangat pantas. Dan kau pun tambah cantik dengan liontin itu,” komentar Randy. "O ya, jika kau kangen denganku, bukalah liontin itu!”
Mengetahui itu, Lara segera membuka liontin itu dan memperhatikan foto Randy yang tampan, kemudian dia melihat bagian sebelah yang dipasangi fotonya sendiri. “Kau dapat dari mana fotoku ini, Kak? Pantas saja waktu itu kucari-cari tidak ada. Rupanya kau yang mencurinya ya?” tanya Lara kemudian.
“Maaf, Ra. Aku terpaksa, foto itu kuambil ketika Nina memperlihatkan foto-fotomu padaku. Karena saat itu aku suka sekali dengan fotomu itu, aku jadi terpaksa mengambilnya. Tapi kan sekarang sudah kukembalikan, jadi kau tidak perlu marah karenanya!”
“Bukan apa-apa, Kak. Kau mengambil foto ini kan sebelum aku mencintaimu. Ja-jangan-jangan, aku mencintaimu karena...”
“Karena aku memeletmu, begitu? Kau ini masih saja selalu berprasangka buruk, Ra. Dengar ya! Aku ini betul-betul mencintaimu dari lubuk hatiku yang terdalam, dan aku tidak pernah mau melibatkan orang yang kucintai dengan hal-hal semacam itu. Terus terang, aku hanya ingin dicintai oleh sebab cinta yang tulus. Apa rasanya jika aku dicintai oleh gadis yang dipengaruhi oleh hal yang menyesatkan semacam itu. Jangan kan oleh hal semacam itu. Bila kau mencintaiku karena sebab kasihan, aku pun berat untuk bisa menerimanya. Karena cinta yang didasari oleh rasa kasihan bisa membuatmu bertindak semena-mena, dan kau pun bisa menderita karena harus melayani orang yang tak kau cintai. Lain halnya dengan pasangan yang saling mencintai, keduanya saling berbagi dan melayani atas dasar cinta. Karenanyalah, berbagai hal yang tidak menyenangkan bisa saja menjadi sangat menyenangkan. Setiap ada kesempatan keduanya berusaha untuk bisa saling menyenangkan dan tidak ada sedikitpun rasa keterpaksaan, dan demi untuk orang yang dicintainya keduanya rela mengorbankan kepentingannya sendiri, bahkan jika harus mengorbankan nyawa sekalipun,” ungkap Randy panjang lebar.
“Maafkan aku, Kak! Entah kenapa aku begitu mudah berprasangka begitu,” ucap Lara menyesal.
“Ra, aku mau tanya padamu. Apakah selama ini kau mencintaiku atas dasar kasihan?”
“Entahlah, Kak. Aku juga tidak tahu. Mungkin begitu, mungkin juga tidak. Aku ini kan belum begitu mengenalmu, Kak. Bagaimana mungkin aku bisa mencintaimu dengan sepenuh hatiku.”
“Aku mengerti. Selama perasaan dan pola pikir kita belum harmonis, yang mana selama ini sering tak berterus terang dan saling tidak percaya. Aku rasa kita memang akan sulit untuk bisa saling bisa mengenal lebih jauh. Karenanyalah mulai sekarang kau jangan terlalu main perasaan, sampaikanlah isi hatimu yang sebenarnya, sekalipun itu akan sangat menyakitkanku. Percayalah kalau aku akan senantiasa berusaha untuk menerima kenyataan itu, dan mencoba mencari jalan yang terbaik dan bijaksana dalam menentukan sikap.”
“Sungguh kau bisa melakukan itu?”
Randy mengangguk, ”Asal hal itu betul-betul suatu kebenaran yang memang perlu disampaikan demi untuk kebaikan kita. Sebab, jika kita masih takut menyampaikan kebenaran dikarenakan perasaan tidak enak justru bisa merugikan orang lain. Karenanyalah sekarang aku sudah membuang perasaan tidak enak itu demi untuk menyampaikan kebenaran, walaupun aku tahu mungkin akibatnya akan sangat menyakitkan. Namun begitu, aku akan berusaha untuk menyampaikannya dengan cara yang lebih santun. Karena itulah, hingga saat ini aku pun masih terus belajar dan belajar untuk bisa menyampaikan kebenaran dengan cara yang demikian agar perkataanku tidak menyinggung perasaan orang yang mendengarnya.”
Akhirnya sepasang muda-mudi itu sepakat untuk saling terbuka dan saling percaya. Dengan harapan mereka tidak lagi berselisih karena sebab salah pengertian. Kini kedua muda-mudi itu kembali berbincang-bincang, hingga akhirnya Lara bangkit dari duduknya dan melangkah ke dapur. Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan segelas kopi di tangannya.
“Ini Cappuccino-nya, Kak,” kata Lara seraya memberikan kopi itu kepada kekasihnya.
Pada saat itu Randy langsung menanggapi kopi itu dan memperhatikannya sejenak. “Kok tidak pakai es, Ra?” tanyanya kemudian.
“Es nya lagi habis, Kak.” 
“Habis? Kenapa bisa sampai habis?” tanya Randy dengan wajah kecewa.
Saat itu Lara sedikit jengkel dengan pertanyaan Randy yang seperti itu. Dalam hati dia pun jadi menggerutu sendiri, ”Dasar pria tidak tahu diuntung, sudah baik aku mau membuatkannya kopi. Eh, dia malah memprotes.”
“Ra, kenapa diam? Apa kau tidak mendengar pertanyaanku tadi?”
“Aku dengar, Kak. Baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu itu. Emm... sebenarnya es itu habis karena pembantuku lupa mengisinya.”
“Aduh, Ra. Kalau begitu kau harus tegas pada pembantumu itu, bahwa sebetulnya cetakan es itu harus senantiasa terisi.”
“Kakak ini bagaimana sih? Kan sudah kubilang kalau pembantuku itu lupa. Kalau dia ingat, pasti dia akan mengisinya. Lagi pula, jarang kok dia lupa seperti sekarang.”
“Benarkah?”
Lara mengangguk. Dalam hati gadis itu merasa kesal karena lagi-lagi dia harus terpaksa berbohong demi untuk kebaikannya. Maklumlah, Lara memang tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya, kalau es itu habis lantaran bukan karena pembantunya lupa, namun karena dia menggunakannya untuk hal yang tidak penting. Jika dia sampai menceritakannya, Randy pasti akan menceramahinya kalau perbuatan itu tak sepantasnya dilakukan. Begitulah Lara, selama ini dia tidak senang akan segala nasihat Randy yang sebetulnya baik. Dalam hati, gadis itu masih merasa berat jika dia menjadi baik lantaran Randy telah memberinya nasihat. Dan dia tidak mau jika Randy sampai berjasa di dalam kehidupannya. Di dalam benaknya, gadis itu merasa justru dialah yang patut menjadi berjasa di dalam kehidupan Randy. Andai saja Lara sudah memahami arti saling menasehati tentu dia tidak akan merasa seperti itu. Sementara itu di tempat lain, di tengah hutan yang letaknya sangat jauh. Seorang gadis tampak sedang merawat seorang pemuda.
“Mmm... bagaimana dengan keadaanmu, Kak?” tanya gadis itu kepada Bobby.
“Setelah meminum obat yang kau berikan itu, kini tubuhku terasa lebih bertenaga dan rasa sakit di sekujur tubuhku pun mulai menghilang.”
“Baguslah kalau begitu. Jika kau rajin meminumnya, aku yakin dalam satu dua minggu ini kesehatanmu akan pulih kembali. O ya, Kak. Ngomong-ngomong, apa sebenarnya yang telah menimpamu?”
“Eng... ini semua karena aku berada di tempat dan waktu yang salah.”
“Maksudmu?”
“Begini... UHUK-UHUK!!!”
“Sudahlah, Kak! Sebaiknya kau jangan bicara dulu. Maaf kalau aku sudah mengganggu ketenanganmu.”
“Ti-tidak apa-apa, aku cuma batuk sedikit.”
“Sudahlah…! Sebaiknya Kakak istirahat saja, aku mau melanjutkan pekerjaanku dulu.”
Bobby memperhatikan kepergian gadis itu, betapa hatinya saat itu betul-betul merasa tentram karena perhatian dan kelembutan gadis yang baru dikenalnya itu. Sepeninggal gadis itu, sang Kakek datang menemuinya.
“Bagaimana keadaanmu, anak muda?” tanya Sang Kakek ingin mengetahui keadaannya.
“Sudah lebih baikan, Kek.”
“Syukurlah kalau begitu. O ya, agar kau cepat sembuh aku akan menyalurkan tenaga dalamku lagi. Nah, sekarang bersiaplah!”
Mendengar itu, Bobby segera mengambil posisi seperti yang dilakukannya selama tiga hari ini. Setelah dia siap, sang Kakek segera duduk dihadapannya. Kini tangan kirinya sudah menempel di perut Bobby, sedangkan tangan yang sebelah kanan tampak menempel di telapak tangan kiri Bobby. Dan tak lama kemudian, sang kakek pun sudah menyalurkan tanaga dalamnya. Sang Kakek terus melakukan itu hingga akhirnya Bobby mengeluarkan darah kotor dari mulutnya. Dan setelah itu, sang Kakek memintanya untuk beristirahat.