E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Cahaya Bintang - Bagian 2

Dua



Kini Bobby mulai melupakan gadis pujaannya, namun dikesehariannya dia lebih sering berandai-andai. Andai dia jadi orang kaya, andai ia jadi orang terkenal, andai ia punya istri cantik, andai ia punya anak-anak yang menggemaskan, sungguh membahagiakan. Memang asyik jika berandai-andai seperti itu, bisa senyam-senyum sendiri, terlena dengan angan yang melambung tinggi, bahkan hingga lupa diri. Maklumlah, selama ini dia merasa kalau dirinya adalah orang yang tidak mempunyai keahlian, ditambah lagi dengan dampak narkoba yang telah membuatnya menjadi seorang pemalas. Sungguh dia tidak tahu harus bagaimana menjalani kehidupannya yang dirasakannya begitu monoton, tak ada warna-warni, hanya berupa beribu penderitaan yang membuat batinnya merintih, merasakan beratnya persaingan hidup di dunia yang menjemukan. Namun setelah pertemuannya dengan Randy, semuanya pun  mulai berubah, ada sebuah harapan akan masa depannya. Sayangnya, harapan itu terlalu tinggi dan membuatnya justru jadi sering berandai-andai.
Untunglah keadaan itu tak berlangsung lama, sebab sahabatnya yang bernama Randy kembali mengingatkan akan makna hidup yang telah dikaruniakan kepadanya, yaitu mengenai misi kekhalifahannya yang mana harus dijalani guna mengubah kehidupannya sesuai dengan keinginan Allah. Dan karena itulah akhirnya Bobby sadar untuk tidak lagi berandai-andai, melainkan berusaha merelisasikannya dengan langkah nyata. Bahkan dia menjadi begitu bersemangat untuk merubah dirinya menjadi lebih baik, yaitu menjadi orang yang mengisi hidupnya dengan seproduktif mungkin guna mengemban misi kekhalifahannya. Sungguh dia merasa hidupnya menjadi begitu indah jika dia mau mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat dan tak menyia-nyiakan waktunya sedikit pun.
Sebagai langkah awal, dia pun tak mau menyia-nyikan kesempatan yang ditawarkan Randy. Kini dia sudah bekerja di sebuah perusahaan percetakan, yaitu di bagian finishing. Pekerjaannya adalah menyelesaikan setiap hasil cetakan. Dari menyusun halaman buku sampai dengan mengelemnya menjadi bentuk buku yang utuh. Dari menyatukan potongan kertas sehingga menjadi sebuah map yang siap pakai. Dan masih banyak lagi jenis pekerjaan finishing yang mesti dia lakoni.
Bos Bobby adalah seorang keturunan Tionghoa yang baik hati, dan dia sangat senang jika ada karyawannya yang mau meningkatkan kemampuan. Karenanyalah, ketika bosnya mengetahui kalau Bobby mempunyai ketertarikan menjadi seorang graphic designer, akhirnya dia diberi kesempatan untuk mempelajarinya. Kata Bosnya, selama Bobby tidak ada kerjaan dan komputer juga sedang bebas, Bobby diizinkan untuk menggunakan komputer. Mengetahui itu, Bobby pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Pokoknya setiap ada waktu luang digunakannya untuk belajar dan belajar, hingga akhirnya dia dipercaya untuk menjadi seorang setter yang pekerjaannya membantu seorang designer dalam menyelesaikan tugas. Pekerjaannya setiap hari adalah berbagai hal yang berkenaan dengan setting materi. Dari men-tracing logo, meng-cropping foto, dan masih banyak lagi. Hingga akhirnya dia semakin mahir dan diperkenankan untuk mulai mendisain.  
Setelah beberapa tahun bekerja, akhirnya Bobby menjadi seorang graphic designer yang cukup mahir. Karena keinginannya mengembangkan karir, akhirnya Bobby meminta izin untuk mencari pengalaman di tempat lain. Saat itu Bosnya yang begitu pengertian sama sekali tidak keberatan, dia memang begitu memaklumi jiwa muda Bobby yang masih penuh semangat. Setelah keluar dari perusahaan itu, Bobby terus mendalami ilmunya dari perusahaan satu ke perusahaan lain. Hingga akhirnya dia betul-betul menjadi seorang graphic designer yang professional. Pendapatannya saat itu pun terbilang besar untuk orang yang hanya tamatan SMK, yaitu sekitar lima juta rupiah per bulan. Apalagi jika dia mendapatkan order sampingan dari perusahaan asing, yang hanya dengan sekali desain bisa mendapatkan uang puluhan juta rupiah. Sungguh semua itu telah membuatnya terpedaya dengan urusan dunia, dimana kini dia lebih sering menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang tidak penting. Bahkan dia sudah tidak ingat dengan tekadnya yang ingin mengemban misi khalifahannya sesuai dengan keinginan Tuhan.
Kini Pemuda itu sedang asyik berduaan dengan seorang gadis yang dikenalnya saat clubbing. Mereka duduk berdua di dalam mobil yang diparkir di bahu jalan sambil menikmati udara malam yang semakin dingin.
"Mmm… Ternyata kau ini memang gadis yang tahu segalanya, ya.” Puji Bobby kepada lawan bicaranya.
“Ah tidak juga. Aku sungguh tidak menduga, kalau kau ternyata pemuda yang pandai merayu,” balas gadis itu.
Bobby tersenyum, “Merayu…? Kenapa kau pikir aku sedang merayu?” tanyanya seraya membelai rambut gadis yang kini bersandar di bahunya.
“Sudahlah, Kak! Aku tahu betul kok mana yang merayu dan yang tidak,” kata gadis itu sambil memainkan kancing baju Bobby.
“Ya sudah, kalau begitu terserah kau saja.”
Nita tersenyum, “Kau memang pandai, Kak.”
“Pandai…?” Bobby tampak mengerutkan keningnya.
“Ya, kau pandai mengambil hati wanita, Kak,” jelas Nita tersipu.
"Sudahlah, Nit…! Kau jangan terlalu memuji begitu. O ya, ngomong-ngomong sekarang enaknya kita ke mana ya?” tanya Bobby seraya kembali membelai rambut gadis itu.
“Terserah Kakak saja,” jawab Nita manja.
“Lho, kok terserah aku. Kalau aku ajak ke kantor polisi, apa kau mau?”
“Ah, Kakak ada-ada saja. Hmm… Bagaimana kalau kita menginap di hotel saja?”
“A-apa!!!” Bobby terkejut.
“Kenapa kau begitu terkejut, Kak? Bukankah itu yang biasanya pria inginkan.”
“Maksudmu?” tanya Bobby seraya memandang mata Nita dalam-dalam.
“Ya, mau apa lagi? Kalau kita sudah saling suka, bukankah sebaiknya kita ML.”
“ML…? Ta-tapi…”
“Ayolah, Kak…! Terus terang, sudah lama juga aku tak merasakan nikmatnya bercinta.”
Saat itu Bobby benar-benar dalam ujian yang cukup berat lantaran digoda wanita cantik yang bersedia tidur bersamanya. Sungguh tawaran itu benar-benar membuatnya serba salah, di satu sisi dia takut akan dosa, namun di sisi lain dia memang sangat menginginkan tubuh molek milik Nita. Setelah berpikir keras, akhirnya Bobby mau juga menuruti ajakan Nita. “Mmm… Baiklah. Kalau begitu kita ke hotel sekarang,” kata Bobby setuju.
Mengetahui itu, Nita pun senang bukan kepalang. Terbayang sudah kebahagiaan yang akan dialaminya, bersama pemuda tampan yang menurutnya tampak perkasa. “Nah, begitu dong. Kau memang pria yang mengerti wanita, Kak,” katanya seraya mencium Bobby mesra.
Setelah mendapat ciuman yang terasa hangat itu, Bobby pun segera memacu mobilnya menuju hotel yang tak begitu jauh. Hingga akhirnya sepasang muda-mudi itu sudah berada di kamar yang lumayan besar. Kamar itu tampak bagus, dindingnya yang berwarna putih kebiruan adalah wallpaper bermotif bunga yang dihiasi dengan beberapa lukisan yang begitu indah. Tempat tidurnya pun tampak besar, bergaya classic dengan ukiran kayu yang dihiasi ornamen emas. Dan ketika Bobby duduk di atasnya, dia pun merasakan kasur yang didudukinya itu terasa begitu empuk. Pemuda itu sejenak merebahkan diri, merasakan kelembutan bed cover-nya yang berwarna cokelat muda. Saat itu, Nita yang agak binal tampak membuka kancing baju Bobby satu per satu sambil terus menciuminya mesra. Dan ketika dia hendak membuka retsleting celana pemuda itu tiba-tiba, “Hentikan Nit!” tahan Bobby seraya kembali mengancingi bajunya yang sudah terlepas semua.
Sesaat Nita sempat melongo dibuatnya, lalu tak lama kemudian gadis itu sudah kembali berkata-kata. “Kenapa, Kak. Apa ada yang salah?”
“Ya… Ini sangat salah, Nit. Kita tidak sepantasnya melakukan ini.”
“Kau jangan munafik, Kak. Kau sangat menginginkannya kan?”
“Ya, aku tidak memungkiri itu. Tapi…”
“Kau takut dosa kan? Dari gelagatmu aku sudah bisa menduga kalau kau memang takut. Kini aku yakin kalau kau memang masih perjaka, dan karenanya kau merasa takut.”
 Bobby tidak menjawab, karena saat itu dia yakin kalau Nita sudah memahaminya.
“Kak… Pertama kali aku melakukannya juga sepertimu, takut akan dosa. Tapi setelah aku merasakan nikmatnya bercinta, akhirnya aku tidak mempedulikannya lagi. Kak, kita masih muda, masih banyak kesempatan untuk bertobat.”
“Benarkah masih banyak kesempatan?” tanya Bobby ragu.
“Iya lah. Kita ini kan masih muda dan sehat. Kalau kita sudah tua dan mulai sakit-sakitan barulah kita bertobat.”
“Nit… Aku tidak yakin. Sesungguhnya aku takut sekali, bagaimana jika belum sempat bertobat aku keburu mati? Kecelakaan mobil atau apalah…”
Nita tampak terdiam, sungguh dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
“Ya sudah kalau begitu. Terus terang, aku menyesal telah mengenalmu, Kak. Ternyata kau bukan pemuda seperti yang kuduga. Kau terlalu naif…”
“Maafkan aku, Nit! Sungguh bukan maksudku membuatmu kecewa. Selama ini aku memang telah salah langkah, sehingga harus membuatmu kecewa. Andai dari awal aku sudah menyadari kalau perbuatanku ini salah, tentu aku tidak akan melibatkanmu.”
“Sudahlah, Kak! Kalau memang tidak bisa, sebaiknya kau antar aku pulang.”
“Baiklah, Nit. Sekali lagi aku minta maaf karena telah mengecewakanmu!”
“Iya, aku mengerti. Kau memang tidak seperti pemuda kebanyakan yang kukenal.”
Akhirnya Bobby mengantarkan Nita pulang. Saat itu Bobby benar-benar lega karena tidak jadi melakukan perbuatan yang sangat tidak patut itu. Dia bersyukur karena masih mau mendengarkan hati nuraninya, yang andai saat itu tidak dituruti mungkin akan membuatnya semakin sulit untuk memadamkan hasrat birahi yang saat itu sudah begitu bergelora.

 

 Esok paginya di hari Minggu yang cerah, Bobby tampak duduk di atas balkon rumahnya sambil memperhatikan limas teka-teki yang ditemukannya. Pemuda itu tampaknya masih penasaran dengan benda yang kata sahabatnya bisa menjerumuskannya ke hal-hal yang membahayakan. “Hmm… Bagaimana jika benda ini bukan berisi Jin, melainkan diberikan kekuatan oleh Tuhan. Benda ini tidak memberikan kekuatan, namun diberi kekuatan. Dengan begitu tidak mustahil jika benda ini bisa memberikan pengaruh positif kepadaku, yaitu dengan membuatku mempunyai aura positif yang bisa membuat orang-orang di sekitarku menjadi segan, sehingga segala yang aku inginkan pun bisa diraih dengan mudah. Buktinya, setelah memiliki benda ini kehidupan sosialku menjadi lebih baik. Aku mempunyai pekerjaan yang kusuka, berpenghasilan cukup, dan berbagai hal yang kuinginkan sudah tercapai. Tanpa benda ini, rasanya mustahil aku bisa seperti sekarang. Kini hanya satu yang belum bisa aku dapatkan, yaitu seorang pendamping yang betul-betul mencintaiku. Walau selama ini banyak gadis cantik yang mau padaku, namun tak satu pun yang menarik hatiku. Aku merasa mereka cuma mau uangku saja, yang tentunya akan mudah diperoleh setelah menjadi istriku kelak. Mungkin aku bisa merasa demikian karena pengaruh benda ini pula, yang dengan kekuatannya telah membuatku bisa merasakan perasaan itu. Sungguh benda ini sudah membuatku betul-betul beruntung, padahal aku sendiri belum berhasil memecahkan teka-tekinya. Hmm… Bagaimana jika kelak aku berhasil memecahkannya, tentu aku akan menjadi orang yang bahagia dunia dan akhirat.”
Bobby terus berusaha memecahkan teka-teki yang ada di limas itu hingga akhirnya dia pusing sendiri. “Hmm… Sebaiknya aku pergi berlibur saja. Mungkin setelah otakku fresh, aku akan bisa memecahkannya,” kata pemuda itu seraya berkemas pergi.
Tak lama kemudian, pemuda itu tampak melaju dengan jeep merahnya menuju ke daerah puncak, tepatnya ke sebuah villa mewah yang sangat nyaman. Setibanya di tempat itu, dia merasakan kesejukan udara yang sangat berbeda dengan yang ada di Jakartabetul-betul bersih dan menyegarkan. Kini pemuda itu sedang memandang hijaunya perkebunan teh yang menyejukkan mata, yang tumbuh hampir di setiap lekuk perbukitan. Di kejauhan juga terlihat gunung yang berselimutkan kabut putih, berdiri dengan kokoh memperlihatkan keperkasaannya. Sungguh pesona alam yang indah, ciptakan Tuhan yang membuat dirinya bukanlah apa-apa.
Usai menikmati indahnya pesona alam, kini pemuda itu segera berganti pakaian dan melangkah ke tepian kolam renang yang airnya tampak begitu jernih. Sejenak pemuda itu melakukan pemanasan dengan melakukan gerakan ringan yang dapat melemaskan setiap persendiannya. Setelah itu dia duduk di tepian kolam sambil menggoyangkan kakinya di dalam air, dia melakukan itu agar tubuhnya tak terkejut dengan suhu air di kolam. Setelah dirasa cukup, akhirnya pemuda itu menceburkan diri. Seketika itu rasa dingin langsung menyeruak, membuat tubuh pemuda itu menggigil hebat bagai direndam air yang dipenuhi ribuan balok es. Karena tak sanggup melawan dingin yang tak terkira, akhirnya pemuda itu segera naik dan kembali duduk di tepian. Saat itu rasa dingin tak kunjung lenyap, justru semakin bertambah-tambah. Pada saat itulah, tiba-tiba seorang penjaga villa datang menghampirinya.
“Den, Bobby. Saya lihat anda tampak begitu kedinginan. Apakah anda butuh sesuatu untuk menghangatkannya?”
“Iya, Mang. Tolong carikan minuman yang dapat menghangatkan tubuhku ini!” pinta Bobby seraya memberikan uang kepada penjaga villa itu.
Tak lama kemudian, penjaga villa itu tampak melangkah pergi. Beberapa menit kemudian, dia sudah kembali dengan sebotol whisky di tangannya. “Ini, Den,” kata penjaga villa itu seraya menyerahkan minuman yang dibawanya.
“Terima kasih ya, Mang. O ya, ambil saja kembaliannya untukmu.”
“Terima kasih, Den,” kata penjaga villa seraya melangkah pergi.
“Brrr... Dinginnya. Tentu tidak apa-apa kalau minum sedikit saja. Sebab, aku memang betul-betul sedang kedinginan. Tuhan pasti memaklumi aku yang terpaksa meminum cairan beralkohol ini. Bukankah Al-Quran juga membolehkan makan daging babi yang diharamkan itu, jika ia memang betul-betul sedang dalam keadaan darurat.“
Setelah berpikir begitu, akhirnya Bobby segera pergi ke teras dan duduk menikmati minuman itu seteguk. Hangat sekali rasanya di kerongkongan, dan setelah masuk ke lambung terasa betul-betul hangat. Sayangnya keadaan itu tak berlangsung lama, rasa dingin pun kembali datang. “Hmm... kalau begitu seteguk lagi saja,” kata Bobby seraya meneguknya sekali lagi. 
Keadaan itu terus berlanjut hingga akhirnya sudah setengah botol minuman itu ia habiskan. "Ah, sekarang sudah lebih baikan,” gumam Bobby seraya meneguknya sekali lagi. "Sungguh indah hidup ini, dunia pun seakan terang-benderang. Sungguh tidak sia-sia Tuhan menciptakan semua ini. Aku heran, kenapa agama melarang minuman keras ini, yang nyatanya tidak membuatku mabuk, aku justru merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Saat ini aku betul-betul konsen, bahkan aku merasa justru bisa berpikir dengan jernih dan masih ingat Tuhan.”
“Maaf, Den Bobby!” ucap penjaga villa yang tiba-tiba sudah berada di tempat itu. ”Sekali lagi maaf, Den! Saya lihat anda duduk sendirian saja. Apakah anda butuh teman untuk diajak bicara?” tanyanya kemudian.
"O, kau rupanya. Apakah kau mau menemaniku bicara?”
“Bukan saya, Den. Tapi seorang wanita yang masih muda dan cantik.”
“Eng... Kalau begitu mana wanita itu?”
“Maaf, Den! Saya harus menjemputnya dulu?”
“O…” Kata Bobby mengerti. “Kalau begitu, apa segini cukup?” kata Bobby seraya menyerahkan sejumlah uang kepada penjaga villa itu.
“Cukup, Den.” Jawab penjaga villa dengan raut wajah berseri.
"O, ya nanti temui aku di ruang tamu saja, tampaknya di sini sudah mulai gelap, dan kabut dingin juga sudah mulai turun,” kata Bobby seraya melangkah pergi.
“Baik, Den,” kata penjaga villa seraya memperhatikan kepergian Bobby yang tampak berjalan dengan agak terhuyung. “Hehehe...! Ternyata Den Bobby sudah mabuk berat, jalannya saja sudah tidak lurus begitu, dan bicaranya tadi juga sudah tidak jelas,” duga penjaga villa itu seraya melangkah pergi. Pada saat yang sama, Bobby sudah berada di dalam ruang tamu dan duduk di sebuah sofa cokelat yang empuk.
“Hmm... Seorang wanita muda yang cantik. Tentu tidak apa-apa jika hanya sekedar berbincang-bincang. Aku ini kan masih konsen, bicara dan jalanku saja masih lancar. Tentu aku masih bisa menjaga diri dari hal-hal yang sekiranya bisa membahayakan. Aku tidak akan sampai jauh seperti kejadian kemarin malam, sebab aku memang hanya mau sekedar berbincang-bincang saja.”
Setelah menunggu agak lama, akhirnya penjaga villa sudah kembali bersama seorang wanita muda yang cantik. Usianya baru 20 tahun, dia mengenakan kaos you can see putih dengan jeans biru yang tampak ketat. Sungguh saat itu Bobby dapat melihat keindahan tubuhnya yang tampak sempurna.
Kini wanita itu sudah duduk di samping Bobby dan berbincang-bincang mengenai suasana malam dan keindahannya. Lama mereka berbincang-bincang hingga akhirnya, "O ya, Kak. Ngomong-ngomong, dari tadi kulihat Kakak sering menggoyangkan bahu. Apakah bahu Kakak terasa pegal?” tanya wanita muda itu.
“Ya, kau benar. Saat ini bahuku memang terasa pegal sekali,” jawab Bobby terus terang.
“Eng.. Kalau begitu, biar aku memijatmu, Kak.” Tawar wanita muda itu.
Mendapat tawaran itu, Bobby pun langsung berpikir. “Hmm... Kalau cuma dipijat sih tidak apa-apa, sebab tidak akan membuatku terangsang.”
Setelah Bobby mengijinkan, lantas dengan segera wanita itu mulai memijatnya. “Bagaimana, kak. Apa segini cukup?” tanya wanita muda itu mengenai kekuatan memijatnya.
“Ya cukup. Oh, nikmat sekali rasanya!” ungkap Bobby merasakan jemari gadis itu terus menari-nari di bahunya yang terasa pegal. Bahkan saking nikmatnya membuat Bobby merasa betul-betul mengantuk.
“Kak, bagaimana jika aku memijatmu di kamar saja, sebab aku lihat Kakak tampak mulai mengantuk. Nanti jika Kakak sampai tertidur, aku bisa langsung menyelimutimu dan membiarkanmu tidur dengan nyenyak.”
“Kau benar, kalau begitu mari!”
Lantas anak manusia yang bukan muhrim itu segera menuju kamar yang tampak nyaman. Saat itu Bobby langsung tengkurap di kasur yang empuk, sedangkan gadis yang bersamanya kembali mijat bahunya. Bukan hanya bahu, tapi juga punggung dan pinggangnya. “Oh, benar-benar nyaman sekali,” ungkap Bobby senang. "O ya, dari mana kau belajar memijat seenak ini?” tanya pemuda itu kemudian.
“Dulu aku pernah bekerja di sebuah panti pijat, Kak. Dan karenanya aku bisa memijat seperti yang kau rasakan sekarang.”
"O, jadi begitu. Pantas saja pijatanmu terasa betul-betul enak.”
Saat itu Bobby bukan hanya merasakan enaknya dipijat, tapi ia juga merasakan perasaan lain yang membuatnya benar-benar lupa diri. Saat itu dia sedang merasakan sebuah bentuk perhatian dan kasih sayang dari seorang wanita, yang mana tak pernah dirasakan sebelumnya. Sungguh sebuah bentuk perhatian dan kasih sayang semu yang membahagiakan, bahkan rasa kesepian yang selama ini menerpanya sudah sirna seketikaberganti dengan perasaan syahdu yang terus mengisi relung jiwanya yang haus akan kasih sayang. 

 
 
Esok paginya ketika baru bangun tidur, Bobby dikejutkan oleh keadaan dirinya yang sudah tanpa busana. Apalagi di sebelahnya ada seorang wanita cantik yang juga tanpa busana, gadis itu sedang terlelap di bawah selimutnya. “Ya Tuhan... sudahkah aku melakukan itu?” tanya Bobby merasa takut dan cemas akan dosa yang mungkin sudah diperbuatnya. Seketika Bobby mencoba mengingat kejadian semalam, mengenai apa saja yang telah dilakukannya bersama wanita itudari awal kedatangannya hingga akhirnya dia dipijat, dan setelah itu dia tak ingat lagi. Lantas dengan segala perasaan resah dan gelisah, pemuda itu segera mengenakan pakaiannya kembali dan mencoba membangunkan gadis yang bersamanya. “Len, Leni! Bangun Len!” pinta Bobby  sambil  menepuk-nepuk bahu gadis itu.
“Ada apa, Kak?” tanya Leni seraya bersandar di kepala dipan dengan tubuh yang masih tertutup selimut.
“Len... A-apakah semalam kita melakukan itu?” tanya Bobby cemas.
“Melakukan apa, Kak?”
“A-apakah semalam kita berhubungan intim?”
“Tidak, Kak. Bukankah kau sudah berpesan padaku agar tidak melayanimu.”
“Be-benarkah?” tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
“Iya, Kak. Semalam kau sudah bicara panjang lebar mengenai siapa dirimu. Bahkan mengenai gadis yang bernama Winda pun kau ceritakan pula.”
“A-aku cerita soal Winda?”
“Iya, Kak. Bahkan kau menceritakannya begitu detail, sehingga aku pun bisa merasakan perasaanmu yang sudah begitu mencintainya. Kak... Terus-terang, baru kali ini aku melayani pemuda sepertimu, yang dengan polosnya menceritakan segala masalah pribadinya. Ternyata kau mengundangku lantaran sedang kesepian dan butuh teman untuk curhat.”
“La-lalu kenapa aku bisa sampai tak berpakaian?”
“Se-sebenarnya semalam kau sudah mau melakukan itu, namun karena aku menyadari kalau kau sedang mabuk, aku pun lantas menolak dan berusaha kembali mengingatkanmu. Terus-terang, aku kasihan padamu, Kak. Bukankah kau sudah menceritakan siapa dirimu, dan karenanyalah aku yakin sekalijika pikiranmu sedang sehat, kau pasti tak menghendakinya.”
“Kau benar, Len. Aku memang tidak menghendaki hal itu. Terima kasih, Len. Kau memang gadis yang baik.”
“Sudahlah, Kak. Aku ini bukan gadis baik-baik. Aku ini hanyalah kupu-kupu malam yang dibayar demi mendapatkan cinta sesaat. Namun untukmu ada pengecualian, sebab aku menganggapmu bukanlah sebagai pemuda hidung belang yang harus aku layani demi memuaskan hasrat birahinya. Kau sudah kuanggap sebagai seorang sahabat yang membutuhkanku sebagai tempat curahan hatimu.”
“Tidak, Len. Kau itu gadis yang baik, kau berbeda dengan lain. Aku yakin, kau menjalani profesi ini karena terpaksa. Andai kau berpeluang mendapat pekerjaan yang lebih baik, aku yakin kau tidak mau melakukannya. Kau itu hanya tidak tahu saja bagaimana caranya menemukan peluang.”
“Entahlah, Kak. Mungkin begitu, mungkin juga tidak. Terus terang, aku sendiri bingung, harus bagaimana lagi menjalani hidupku ini. Sesungguhnya aku jadi begini lantaran ulah pacarku yang tidak bertanggung jawab. Semenjak dia merenggut kesucianku, aku merasa hidupku sudah hancur berkeping-keping, dan aku merasa tidak punya masa depan. Dia telah menghancurkan cita-citaku untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, ibu rumah tangga yang bersama suami tercinta membesarkan anak-anaknya di dalam sebuah mahligai perkawinan yang penuh dengan kebahagiaan,” cerita Leni seraya menitikkan air matanya.
  Pada saat itu Bobby betul-betul prihatin dengan cerita Leni yang menyedihkan itu. Dalam hati pemuda itu sempat berpikir, andai saja ia seorang pemuda yang siap mental, tentu ia akan menikahi dan membawanya ke kehidupan yang lebih baik. Namun, saat ini ia hanya pemuda yang juga sedang dilanda berbagai kesusahan yang membebani hatinya. Sungguh dia tak kuasa untuk menolong Leni selain hanya dengan doa yang tulus.