E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Merah Muda & Biru - Bagian 10

Sepuluh


Setahun kemudian, di sebuah apartemen mewah. Bobby dan istrinya Olivia sedang asyik bercengkrama di atas sofa yang empuk, namun tanpa diduga keduanya dikejutkan oleh hadirnya beberapa wartawan infotaimen yang atas undangan rekan bisnis Bobby tega membocorkan rahasianya. Tak ayal, berita tentang keberadaan Bobby di tempat itu pun menjadi gunjingan banyak orang. Seorang publik figur yang selama ini dikenal taat beribadah kini tercoreng oleh berita miring yang terang-terangan telah menyudutkan dirinya. Bobby pun tidak tinggal diam, dia berupaya menepis semua fitnah yang dialamatkan kepadanya. Namun, di lain sisi dia tidak mau membocorkan rahasia mengenai pernikahannya. Hingga akhirnya berita miring pun lambat laun sirna seiring dengan tepisan Bobby yang dengan jujur menjelaskan dengan argumen yang masuk akal.
Kini pemuda itu tengah berbicara dengan istrinya yang belakangan gencar dikejar wartawan karena kasus yang menimpanya. Istrinya itu telah dituduh mencemarkan nama baik seorang artis yang saat itu sedang naik daun, dan karena pencemaran itulah si artis merasa dirugikan karena pendapatannya menurun.
“Dengarlah, Sayang…! Mulai saat ini kau jangan bicara lagi di depan publik. Setiap kali kulihat wawancaramu, kau selalu dipancing untuk membongkar rahasia kita. Terus terang, sekarang ini aku dan istri-istriku belum siap untuk itu. Apalagi, anak-anakku. Mereka tentu belum siap mendengar tudingan miring mengenai ayah mereka yang tidak sedap didengar telinga, aku khawatir hal itu akan membuat batin mereka terbebani.”
“Tapi, Bang… Aku kan juga seorang publik figur. Apa kata mereka jika aku selalu lari dari kejaran wartawan, mereka mungkin malah jadi sewot dan malah membenciku karena menutup-nutupi kebenaran.”
“Ini memang seperti buah simalakama. Padahal, tidak semua masalah pribadi kita harus diketahui publik. Apalagi pada saat ini, ada beberapa infotaimen yang kurang bertanggung jawab. Bukannya mengajak pemirsanya untuk selalu berprasangka baik, tapi terkesan malah mengajak berburuk sangka. Dengan alasan menguak kebenaran, mereka mencoba menghakimi kita dengan menciptakan publik opini yang menyesatkan. Karenanyalah, mulai saat ini kau jangan pernah lagi menemui para wartawan. Apalagi wartawan infotaimen yang kumaksudkan itu, karena ketidaktahuan mereka soal masalah pribadi kita bisa membuat mereka mereka-reka dan akhirnya salah menyimpulkan sehingga menjadi salah pengertian. Apalagi jika kau sampai tergoda dan memanfaatkan situasi ini demi untuk meningkatkan popularitasmu, aku tentu sangat tidak menyukainya. Jika kau tidak mengindahkan kata-kataku ini, maka dengan berat hati dan demi kebaikan semua aku akan menceraikanmu.”
Saat itu Olivia cuma bisa menangis, dia benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana. Apalagi dia itu wanita normal yang memang masih menyukai sanjungan dan ketenaran. Keawamannya soal agama membuatnya mudah untuk diperdaya. Selama ini, ada saja godaan yang memancingnya untuk berbuat yang aneh-aneh. Tapi untunglah dia mempunyai suami yang dengan penuh kasih sayang selalu membimbingnya untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Sehingga sedikit banyak dia masih mempunyai tameng yang bisa menghindarkannya dari perilaku menyimpang.




Pada suatu hari, karena pengertian istri-istrinya, serta anak-anaknya yang dengan besar hati mau menerima apapun gunjingan publik yang bakal dialamatkan kepada orang yang mereka cintai, akhirnya Bobby mau juga menggelar jumpa pers dan mengumumkan soal pernikahannya. Benar saja, setelah peristiwa itu. Banyak tudingan miring yang dialamatkan kepada pemuda yang mereka cintai, namun karena keluarga Bobby sudah siap, mereka pun bisa bersabar dan tidak mempedulikan apapun gunjingan orang. Mereka sudah pasrah, walaupun terasa pahit dengan harus mengorbankan perasaan, kebenaran memang harus diungkap. Karena kebenaran itu bukanlah merupakan aib yang memang harus ditutup-tutupi. Bobby dan keluarganya sadar, kalau pernikahan itu adalah hal mulia yang tidak perlu ditutup-tutupi. Mereka percaya, kalaupun ada gunjingan orang yang berburuk sangka kepada Bobby namun hal itu tidak sesuai dengan kenyataan, maka Bobby tentu akan mendapat kebaikan yang banyak.
Kini Bobby dan istrinya Olivia sudah tidak lagi hadir di layar kaca sebagai bintang sinetron, mereka lebih memilih berada di belakang layar dengan alasan ingin menenggelamkan status bintang yang semula mereka sandang. Bagi mereka, ketenaran yang didapatkan itu benar-benar telah membuat mereka susah. Bagi mereka, di dalam ketenaran itu banyak sekali lubang-lubang yang bisa membuat keduanya terjerumus oleh tipu daya setan yang menyesatkan. Walaupun pada mulanya salah satu dari mereka tidak pernah bercita-cita menjadi orang yang tenar, namun ternyata ketenaran itu datang tanpa disangka-sangka dan ternyata merupakan ujian yang amat berat.
Kini Bobby sudah mempunyai waktu lebih untuk keluarganya, tidak seperti kemarin-kemarinketika dia begitu sibuk dengan urusan syuting sehingga membuat anak-anaknya merasa kurang diperhatikan. Salah satu anaknya yang bernama Intan, yang sebelumnya begitu patuh dengan nasihatnya kini sudah berani melawan. Maklumlah, usia anak itu sekarang sudah 16 tahun, yang mana pola pikirnya sudah mulai kritis. Semakin banyak dia menerima input yang berbeda dan tidak adanya komunikasi yang lancar membuatnya berani mengambil sikap untuk menentang apa pun yang sudah diajarkan ayahnya.
“Sudahlah, Ayah! Intan mohon Ayah bisa lebih bijaksana! Jelas-jelas yang Intan lakukan ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Waktu itu, pada acara televisi yang jelas-jelas mengklaim kalau acara itu adalah acara yang Islami tidak mempermasalahkan jika seorang wanita berbusana seperti Intan kenakan sekarang, dimana jilbab yang dikenakannya dililitkan ke leher atau yang lebih populer dengan sebutan jilbab gaul. Bahkan wanita itu menyanyi dan memperlihatkan kegemulaiannya,” jelas intan panjang lebarmembantah larangan ayahnya yang diketahuinya terlalu ekstrim, yaitu berbusana muslim dengan menggunakan cadar dan tidak diperkenankannya wanita menyanyi di muka umum.
“Sayang... Ketahuilah! Sebenarnya acara itu bukan untuk kamu, melainkan untuk mereka yang masih sangat awam. Dengan adanya kemasan seperti itu, mereka (penyelenggara) mengira akan menarik hati orang-orang yang masih sangat awam itu, dengan demikian diharapkan mereka bisa menerima acara inti yang mana diharapkan bisa membawa kebaikan kepada pemirsanya. Kalau kamu yang sudah berpakaian dengan benar terus mengikuti apa yang salah pada acara itu (menurut ukuran sempurna), berarti kamu telah mundur karena telah menurunkan tingkat kualitas berpakaian kamu. Sekali lagi Ayah tekankan, kalau acara itu bukanlah untuk kamu, namun untuk mereka yang masih sangat awam. Sayang... Ketahuilah! Jika mereka yang belum berbusana dengan benar, terus mengikuti apa yang kamu sebutkan tadi. Tentu hal itu akan menjadi lebih baik, karena mereka telah maju yaitu dengan bisa meningkatkan kualitas cara berbusana mereka. Kalau kamu masih mau menyimak acara itu, Ayah sih tidak keberatan. Asal, jangan sampai kamu menurunkan kualitas kebaikan kamu, ambillah yang sekiranya jelas-jelas bisa meningkatkan kualitas ahlak kamu. Terus terang, Ayah sendiri tidak mungkin melarang kamu untuk menyaksikannya, karena Ayah sendiri masih perlu mengkaji lebih dalam mengenai acara itu, apakah benar kalau cara penyampaian kebaikan itu memang mencampurkan sesuatu yang hak dan yang batil. Seperti kamu bilang, wanita itu menyanyi dan dengan busana yang di luar ketentuan berhijab, bahkan memperlihatkan kegemulaiannya.
Jika benar demikian, mau tidak mau ayah pun harus membuat program-program acara seperti itu sebagai tandingannya, yang tentu saja lebih bermanfaat namun tanpa mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil, yaitu mengemas acara itu menjadi menarik namun tanpa melanggar aturan Al-Quran. Walaupun tantangan yang akan Ayah hadapinya tidaklah mudah, namun Ayah optimis. Jika Ayah dan orang-orang kepercayaan ayah mau menggali berbagai kemungkinan mengenai ketertarikan itu. Dan juga mau memperlajari berbagai bidang ilmu, seperti psikologi, biologi, fisika, kimia, dan lain-lain. Ayah yakin suatu saat kami pasti akan menemukan petunjuk untuk memecahkan semua itu. Ayah menduga sebenarnya ketertarikan itu karena adanya beberapa hormon dan zat-zat yang ada pada tubuh. Seperti endorphin misalnya, yang berperan penting dalam menimbulkan rasa senang. Juga mengenai adrenaline, yang membuat orang begitu keranjingan memacunya, sehingga kegiatan yang dapat memacu adrenaline itu begitu disukai. Ayah duga itu semua karena adanya tantangan, rasa penasaran dan jiwa petualangan. Dengan memperlajari hal-hal semacam itu, tidak mustahil kami akan mendapat jawaban kenapa orang tertarik akan sesuatu hal. Kami pun akan mempelajari soal ketertarikan berdasarkan faktor usia, faktor pengalaman, dan faktor tingkatan ilmu yang dimiliki seseorang. Seperti halnya Film Dora, ayah menduga balita tertarik pada film itu bukan saja karena karakter atau gambarnya yang bagus, tapi lebih dikarenakan pengulangan kata-kata yang ada pada film tersebut, karena pada dasarnya balita memang menyukai pengulangan seperti itu.”
“Cukup Ayah! Aku tidak mau mendengar Ayah bicara soal itu lebih lanjut!” larang Intan yang agak kesal karena ayahnya sudah bicara terlalu jauh dari konteks yang  mereka bicarakan. Lantas dengan segera gadis itu pun mengembalikannya ke konteks semula, ”Ayah, aku mau tahu jawaban Ayah sejujurnya. Kenapa sih selama ini Ayah masih juga berkeras hati dengan mengatakan kalau wanita itu harus mengenakan cadar dan tidak boleh menyanyi. Padahal menurut jumhur ulama kedua hal itu tidak diharamkan.”
“Sayang... Ketahuilah, kalau wajah dan suara wanita itu bisa menjadi fitnah. Karenanyalah, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan karena sebab wajah dan suara wanita, ketika di muka umum lebih baik wanita mengenakan cadar dan tidak menyanyi, karena hal itu akan menghindarkan wanita itu sendiri dari fitnah dunia.
Bukhari dan Muslim 1592 Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Tidak ada fitnah yang paling membahayakan kaum lelaki selepas zaman aku kecuali fitnah dari kaum wanita
Jangankan menyanyi, ketika berbicara pun harus berhati-hati. Al-Quran memberikan wejangan kepada istri-istri Nabi dengan wejangan berikut ini, ...Janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya (Al-Ahzab: 32).
Maksud kalimat tunduk ketika berbicara adalah perkataan itu dibuat-buat, manja, atau dilembutkan ketika berbicara kepada pemuda yang bukan muhrimnya. Apalagi jika kata yang dilembut-lembutkan itu disertai nada suara, irama, dan gaya yang memikat perhatian lawan bicaranya.
Bukhari dan Muslim 235 Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Membaca tasbih adalah untuk lelaki dan menepuk tangan adalah untuk wanita.
Nah, jika suara wanita memang diperkenankan, lalu kenapa ketika sholat berjamaah wanita tidak diperkenankan mengeluarkan suaranya? Tidak lain dan tidak bukan karena suara wanita itu bisa menimbulkan fitnah,“ jelas Bobby panjang lebar.
“Ayah! Benarkah yang ayah katakan itu?”
“Tentu saja, Sayang... Kalau kau tidak percaya silakan kamu analisa sendiri dengan rujukan Al-Quran dan Al-Hadist. Lagi pula, apa kau tidak melihat realitanya. Seberapa banyak wanita yang bisa menyanyi dengan tanpa melanggar aturan yang ada di Al-Quran. Dan seberapa banyak pula fitnah yang telah terjadi akibat wanita mempertontonkan perhiasannya.”
“Baiklah, Ayah. Selama ini aku percaya begitu saja dengan nasihat Ayah. Namun, sekarang semua nasihat ayah itu akan kubuktikan sendiri kebenarannya, yaitu dengan merujuk kepada Al-Quran dan Al-Hadist.”
“Bagus, itulah yang Ayah harapkan. Kau tidak hanya sekedar membacanya, namun juga perlu mengkaji dan merenungi setiap kandungan yang ada di dalamnya. Jika ada kalimat yang tak kau pahami, carilah tafsir atau referensi yang berkenaan dengan hal itu. Insya Allah dengan usahamu itu kau akan dapat menguak kebenaran. Dan yang terpenting, dengan begitu kau bisa betul-betul tahu, bukan karena sekedar ikut-ikutan atau karena menghormati orang tua. Dan karenanyalah, keyakinanmu pun tidak akan mudah digoyahkan begitu saja. ”
Bobby terus memberikan nasihat kepada putrinya yang kini sudah tidak mau percaya begitu saja dengan kata-katanya. Maklumlah, sekarang banyak sekali perbedaan pendapat yang begitu simpang-siur, sehingga mereka yang awam menjadi bingung dibuatnya. Apalagi sekarang, banyak sekali orang yang tidak bertanggung jawab dan dengan segala tipu dayanya berusaha memperuncing kebingungan itu dengan mengeluarkan produk yang Islami tapi tidak Islami, yang jika dikonsumsi oleh mereka yang awam dan mempercayainya tentu akan menjadikannya sebagai referensi yang tanpa disadari justru menjauhkannya dari nilai-nilai Islam. Beruntung jika dia mendapat perlindungan Tuhan, yang dengan kasih sayang-Nya akan senantiasa membimbingnya menemukan kebenaran yang hakiki.
Setelah memberikan nasihat, Bobby tampak menemui putrinya yang bernama Eka, yang dengan manja minta ditemaninya tidur. Dialah adiknya Intan yang dua belas tahun lalu masih di dalam kandungan, salah satu anak sah Bobby yang menurut Hukum Islam berhak mewarisi seluruh harta kekayaannya. Sebab, Intan, Lia, dan Laras hanyalah anak biologis (anak haram) yang menurut Hukum Islam tidak berhak mendapat harta warisan. Kelak mengenai harta warisan, semuanya akan diserahkan kepada anak-anak Bobby yang sah menurut agama, yaitu Eka, Linda, Fasya, dan Randyseorang anak lelaki Bobby yang diberi nama sesuai dengan nama sahabatnya yang telah banyak berjasa kepadanya, siapa lagi kalau bukan Randysahabatnya yang penuh keikhlasan mau menolongnya. Dan mengenai mereka mau membagikannya kepada ketiga kakak biologis mereka atau tidak, semuanya diserahkan kepada kebijaksanaan anak-anak sah Bobby itu. Atau jika ia masih mempunyai kesempatan, maka ia akan berwasiat untuk menghibahkan 1/3 hartanya kepada mereka. Sebetulnya bisa saja Bobby langsung membuat wasiat, namun dikarenakan dia tidak tahu apakah anak-anak haramnya itu memang pantas menerima, maka dia pun tak mau gegabah memberikannya begitu saja.
“Eka sayang... Sekarang kan usiamu sudah dua belas tahun, masak sudah besar begini masih takut tidur sendiri.”
“Iya, Ayah... soalnya tadi Eka habis melihat film seram. Jadi, Eka takut tidur sendirian.”
“Ya sudah, kalau begitu kamu tidur sama kakakmu saja ya.”
“Tidak mau, Ayah. Kak Intan sering marah-marah kalau Eka tidur dengan Kakak, katanya kalau Eka tidur suka grasak-grusuk.”
“Hmm... Mungkin waktu itu kakakmu sedang ada masalah, dan kamu jadi korban emosinya. Tapi, sekarang sepertinya kakakmu itu lagi baik-baik saja. Ayah rasa kali ini dia tidak akan memarahimu. Kalau tidak percaya, sekarang ayah akan panggil kakakmu itu,” jelas Bobby seraya berteriak memanggil Intan.
Tak lama kemudian, “Iya Ayah, ada apa?” tanya Intan.
“Ini adikmu, katanya lagi takut tidur sendirian, malam ini dia tidur bersamamu ya!”
“Tapi, Ayah...”
“Sudahlah! Sekarang kau kan sudah mulai dewasa. Berilah kesempatan pada adikmu itu.”
Akhirnya dengan wajah yang sedikit kecut, Intan pun menyetujui permintaan ayahnya itu. “Baiklah, Ayah. Tapi untuk malam ini saja ya,” katanya kemudian.
“Iya, untuk malam ini saja.”
Setelah berkata begitu, Bobby kembali berbicara kepada Eka, bahwa kakaknya telah setuju tidur bersamanya. Sementara itu di tempat lain, istri ketiga Bobby yang bernama Reni tampak sedang berbicara dengan anak tirinya yang bernama Laras, yang kini sudah berusia 24 tahun. “Kamu lari dari rumah lagi ya?” tanya Reni kepada Laras.
“Iya, Bu. Habis Ibu Nina melarangku untuk bertemu Arman, bahkan beliau menghendaki agar aku putus dengannya.”
 “Hmm... Jadi kau masih pacaran dengan Arman?”
“Benar, Bu. Soalnya Arman itu baik, dan aku sudah tidak mungkin berpindah ke lain hati.”
"O ya, ngomong-ngomong. Apa ayahmu setuju?”
“Kalau Ayah sih tidak keberatan dengan pilihanku sendiri. Malah Ayah menghendaki agar aku cepat-cepat menikah dengannya. Kata Ayah, selama pemuda itu seorang yang beriman dan jelas asal-usulnya dia boleh menikahiku. Katanya lagi, yang terpenting aku bisa menjaga kepercayaan yang Ayah berikan, yaitu tidak pacaran seperti orang kebanyakan. Dan hingga kini aku masih memegang teguh kepercayaan yang Ayah berikan itu, selama ini aku tidak pernah pacaran berduaan di tempat sepi, atau pergi berduaan ke tempat-tempat hiburan. Selama ini, Ibu Nina pun selalu mengawasiku ketika Arman datang ke rumah. Terus terang, Bu. Jika Ibu Nina lagi pergi, terkadang ada saja godaan yang kuhadapi ketika bersama Arman, yang jika tanpa iman tentu akan membuatku celaka. Karenanyalah, sebelum aku sampai tergelincir, aku berniat untuk minta dinikahinya.“
“Kalau memang begitu, kenapa kamu tidak segera menikah. Bukankah dengan demikian kamu bisa selalu bertemu dengan Arman, dan Ibu Nina mau tidak mau pasti akan setuju juga jika Ayahmu memang menghendaki demikian.”
“Tapi, Bu. Sebetulnya bukan itu persoalannya?”
“Lalu apa?”
“Soalnya kata Ibu Nina, si Arman itu sudah mempunyai istri. Dan katanya lagi, selama ini Arman sudah menelantarkan istrinya itu.”
“Hmm... Benarkah itu?”
“Entahlah, Bu. Tapi, aku tidak mempercayai itu. Soalnya selama ini kuketahui Arman itu orang yang baik, rasanya tidak mungkin dia seperti yang Ibu Nina katakan.”
"O ya, apa Ayahmu sudah tahu mengenai hal ini?”
“Itulah yang aku khawatirkan, Bu. Jika ayah mempercayai Ibu Nina, tentu beliau juga tidak akan setuju.”
Mendengar jawaban itu, akhirnya Reni berusaha keras mencarikan jalan keluarnya. Sebagai ibu tiri yang menyayangi Laras seperti putrinya sendiri, tentu dia akan mencarikan jalan yang terbaik demi untuk kebahagiaan anak tirinya itu.

 
Esok harinya, disaat Bobby tengah bersantai bersama istrinya yang bernama Nina. Dia sempat dibuat kaget oleh cerita Nina mengenai Arman yang sudah mempunyai istri. “Benarkah yang kau katakan itu, Nin?” tanya Bobby.
“Tentu saja, Bang. Aku bukan asal bicara, namun aku juga mempunyai bukti yang kuat kalau Arman memang sudah beristri.”
Setelah menunjukkan bukti-bukti yang meyakinkan, akhirnya Bobby percaya juga. “Kalau begitu, tidak sepantasnya dia menjadi suami Laras. Karena dia bukanlah pria yang bertanggung jawab, seenaknya saja dia berbuat begitu terhadap tanggungannya. O ya, ngomong-ngomong  di mana Laras?”
“Entahlah, Bang. Sejak kemarin dia tidak ada di rumah.”
“Apa! Kenapa kau baru bilang sekarang?”
“Maaf, Bang! Sebenarnya ketika kau datang aku mau langsung cerita, tapi karena kulihat saat itu kau begitu lelah aku pun terpaksa menundanya.”
“Hmm.. Sudahlah lupakan soal itu! Sekarang sebaiknya kita cari Laras! O ya, apa mungkin dia menginap di rumah ibunya yang lain, atau di rumah temannya?”
“Pertama kali aku sudah menelepon ke rumah istri-istrimu, setelah itu aku langsung telepon ke rumah teman-temannya, dan ternyata Laras tidak ada di sana.”
“Hmm... Apakah...?”
Belum sempat Bobby melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dia mendengar suara dering telepon. Lantas dengan segera dia pun mengangkatnya. “Hallo! Assalamu’alaikum!” ucap Bobby.
“Wa’allaikum salam,” jawab orang di seberang sana. ”Ini, Bang Bobby ya?” tanya orang itu kemudian.
“Iya ini aku.”
“Bang, aku Reni. Aku mau bicara denganmu, penting.”
“Bicaralah, Ren!”
“Hmm... Begini, Bang. Saat ini Laras sedang berada di sini.”
“Benarkah!”
“Iya, Bang. Sepertinya anak itu butuh bantuanmu. Kalau bisa, sebaiknya Abang cepat kemari. Aku khawatir, nanti anak itu keburu pergi dari sini.”
“Hmm... Kalau begitu baiklah. Aku akan segera ke sana.”
Setelah menutup sambungan, Bobby segera menemui Nina. “Sayang... Ternyata Laras ada di kediaman Reni.”
"Sungguh! Syukurlah kalau begitu. Tapi, kenapa ketika kutelepon dia bilang Laras tidak ada?”
"Hmm.... Mungkin saja saat itu Laras memang tidak berada di sana. O ya, Nin. Sebaiknya sekarang aku cepat ke sana, karena kata Reni dia mau pergi lagi.”
“Kalau begitu, aku ikut denganmu, Bang.”
“Tidak usah, Nin! Kau tunggu di sini saja!” Bobby melarang.
“Baiklah, Bang. Jika sudah bertemu Laras ajak dia pulang kemari.”
“Tentu saja, Sayang... Sudah ya! Aku berangkat sekarang.”
Setelah mencium kening Nina dan mengucapkan salam, Bobby bergegas ke kediaman Reni. Setibanya di sana, dia langsung menemui Laras. Kini dia sedang berbincang-bincang dengan putrinya di ruang tengah.
“Jadi, Ayah percaya sama Ibu? Dan ayah juga tidak setuju?”
“Betul, Sayang... Karena ibumu sudah menunjukkan bukti-buktinya.”
“Bukti apa, Ayah?”
“Lihat ini!” kata Bobby seraya menunjukkan beberapa foto resepsi pernikahan kepada Laras.
Saat melihat foto itu, Laras hampir pingsan. Maklumlah, di foto-foto itu Arman terlihat sedang bersanding dengan seorang wanita di sebuah pelaminan.
“Da-dari mana Ibu mendapat foto-foto ini, Ayah?” tanya Laras dengan mata berkaca-kaca.
“Entahlah, Ayah juga tidak tahu. O ya, kalau begitu bagaimana kalau kita pulang untuk menanyakan hal itu?”
Karena penasaran, akhirnya Laras bersedia pulang untuk mengetahui perihal foto-foto itu. Tak lama kemudian, Bobby dan Laras tampak melangkah ke mobil. Namun belum sempat mereka memasuki mobil, Lia dan Intan datang ke tempat itu.
“Ayah! Ayah mau ke mana?”  tanya Intan seraya mencium tangan ayahnya.
“Iya, Ayah. Kok sudah mau pergi sih. Padahal, aku ingin sekali berbincang-bincang dengan Ayah,” timpal Lia seraya mencium tangan ayahnya.
“Lia... Intan... Maafkan Ayah ya! Soalnya saat ini Ayah ada urusan penting menyangkut kakakmu Laras, karenanyalah Ayah tidak bisa lama-lama di sini. O ya, Intan. Ayah bersyukur karena hari ini ayah melihatmu sudah pakai cadar lagi.”
Dengan agak malu-malu, intan pun langsung merespon komentar ayahnya. “Maafkan kata-kata Intan tempo hari, Ayah! Setelah Intan pelajari sendiri ternyata busana ini memang yang terbaik.”
Saat itu Bobby tampak tersenyum, “Intan... Terus terang, ayah bangga padamu. Eng... Sudah ya! Sekarang  Ayah harus pergi,  Assalamu’alaikum...!”
“Wa’allaikum salam,” jawab Lia dan Intan serempak seraya memperhatikan Bobby dan Laras masuk ke mobil.
Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi terlihat melaju menuju ke rumah Nina. Dan setibanya di rumah itu, mereka segera memperbincangkan perihal foto yang membuat keduanya  penasaran.
“Jadi, kau mendapat foto ini dari Johan?” tanya Bobby.
“Betul, Bang.”
Bobby memandang Nina dengan pandangan tak senang, “Nin kenapa kau menjumpainya tanpa seizinku.”
“Tidak, Bang. Aku tidak bertemu dengannya, dia mengirimkan foto itu melalui seorang kurir.”
“Hmm... Jika demikian, pasti ada maksud tersembunyi kenapa Johan memberikan foto ini padamu. Kalau begitu, sebaiknya kita undang Arman kemari agar semuanya jadi jelas.”
Setelah berkata begitu, Bobby meminta Laras untuk menghubungi Arman dan memintanya untuk segera datang. Karena dirasa penting, Arman pun segera memenuhi undangan itu. Sambil menunggu kedatangan Arman, Bobby beserta anak dan istrinya kembali membicarakan masalah itu. Hingga akhirnya TING TONG... terdengar bunyi bel yang menandakan kedatangan Arman.
Benar saja, bel itu memang dibunyikan oleh Arman yang kini sedang berdiri di muka pintu dengan seribu tanda tanya. Setelah dipersilakan masuk, pemuda itu pun langsung diintrogasi. Lama juga pemuda itu diintrogasi hingga akhirnya Bobby bisa mengerti dan melenyapkan semua kebingungannya.
“Hmm... Jadi Johan itu saingan bisnis ayahmu. Pantas saja dia ingin menghancurkan hubungan baik keluarga kita dengan cara memfitnahmu, yaitu dengan memanfaatkan saudara kembarmu yang memang tidak bertanggung jawab itu.”
“Kak, kenapa kakak tidak pernah cerita kalau kakak mempunyai saudara kembar?” tanya Laras.
“Aku sendiri juga baru tahu, kalau ternyata aku mempunyai saudara kembar. Ceritanya begini...”
Arman pun segera menceritakan perihal saudara kembarnya itu. Dulu, orang tua mereka sengaja memisahkan keduanya karena alasan menghindari petaka. Maklumlah, pada saat itu orang tua mereka yang masih kurang ilmu, percaya saja dengan ramalan yang mengatakan kalau kedua anak itu akan menimbulkan malapetaka. Peramal itu mengatakan, jika mereka sudah besar maka salah satunya akan membunuh saudara yang lain. Dan hal itu dikarenakan memperebutkan seorang gadis, dan bukan itu saja, anak itu juga akan membunuh kedua orang tuanya.
Karenanyalah, agar peristiwa itu tidak terjadi maka salah satunya harus dipisahkan. Namun setelah sekian lama, akhirnya saudara kembar Arman itu dipertemukan dengan orang tua aslinya. Itu semua karena ulah Johan yang secara kebetulan juga mengetahui perihal pemisahan itu dan mau memanfaatkannya. Ketika saudara kembar Arman itu mengetahui jati dirinya, dia pun menjadi sangat marah. Maklumlah, akibat dari pemisahan itu dia terpaksa hidup susah karena tinggal dengan keluarga miskin.
“Begitulah ceritanya... Namun, aku sama sekali tidak menduga kalau saudara kembarku itu berusaha memfitnahku dengan begitu keji.”
“Hmm.... Mungkin itu karena Johan, dialah yang membuat saudaramu seperti itu. Sebab, selain dia itu saingan ayahmu, dia juga menaruh dendam pada keluargaku.”
“Ya, aku rasa juga begitu. Dia telah mengompori saudaraku itu hingga mau berbuat keji seperti itu.”
Karena sudah tahu duduk perkaranya, akhirnya Bobby dan Nina kembali merestui hubungan mereka. Saat itu, Bobby bertekad untuk segera menikahkan Laras dan Arman agar tidak terjadi hal-hal yang tidak inginkan.




Tiga bulan kemudian, di kediaman Nina. Di atas sebuah sofa yang empuk, Bobby yang kelelahan seusai pesta pernikahan Laras tampak beristirahat sambil memikirkan perkara yang telah terjadi ketika acara pernikahan itu berlangsung. Sungguh… Selain merasa bahagia, pria itu juga sangat kecewa lantaran tidak bisa menikahkan darah dagingnya sendiri. Hal itu dikarenakan Laras bukanlah anaknya yang sah, dan menurut Hukum Islam Bobby tidak berhak untuk menjadi walinya. Padahal, saat itu Bobby yang sangat mencintai Laras ingin sekali menikahkan putrinya itu dengan tanpa perantara wali hakim. Dan untuk menghilangkan rasa kecewanya, Bobby pun berusaha untuk tidak memikirkannya lagi. Kini pemuda itu tampak memainkan kedua kubus miliknya, yang kesemua arti simbolnya sudah mulai dipahami, dan dari semua pertanyaan yang terkumpul dan berjumlah sangat banyak itu, akhirnya sedikit banyak dia mulai bisa menguak arti kehidupan yang sesungguhnya.
Ketika pemuda itu akan pergi tidur, tanpa disangka-sangka, rumah pemuda itu disatroni oleh empat orang yang berperawakan kekar. Bobby yang mengetahui kehadiran mereka tampak terkejut. Namun belum sempat dia melakukan sesuatu, para penjahat itu sudah meringkusnya. Istrinya yang sedang terlelap pun langsung dibangunkan dengan paksa dan diikat bersamanya. Kini keduanya tampak sedang dikelilingi orang-orang itu. Saat itu, Nina tampak ketakutan, dia benar-benar tidak menyangka kalau akan disatroni oleh para perampok. Namun, saat itu Bobby berusaha untuk tenang, dan karenanyalah dia berani membuka suara. “Tolong jangan bunuh kami! Jika kalian memang mau mengambil harta kami, ambillah! Kami Ikhlas dan tidak akan mengadukan hal ini kepada polisi.”
“Hahaha...! Kau pikir kami ini perampok ya?” tanya salah seorang yang berdiri di hadapan Bobby.
“Jika kalian bukan perampok, lalu apa maksud kalian masuk ke mari?” tanya Bobby tidak mengerti.
“Kami datang untuk menghabisi keluargamu. Dan itu karena client kami sudah membayar mahal untuk itu, Hahaha...!”
“Eng, apakah dia bernama Johan?” tanya Bobby memberanikan diri.
“Sudahlah, kau tidak perlu tahu perihal client kami!”
"O ya, ngomong-ngomong berapa yang dia berikan padamu? Aku akan memberikan dua kali lipat dari yang diberikannya.”
“Hahaha...! Sungguh menarik sekali tawaranmu itu, Pak. Hahaha...! Tapi maaf! Kami ini bukan orang yang serakus itu, kami ini penjahat profesional yang tidak mungkin menghianati client kami sendiri. Hahaha...!”
“Hmm... Bagaimana kalau tiga kali lipat?”
“Hahaha...! Kau jangan coba-coba mempengaruhi aku, Pak!”
“Hmm... Bagaimana kalau empat kali lipat.”
“Hahaha... Itu juga tidak akan mempengaruhiku, Pak.”
“Bos! Kau sudah gila. Terima saja tawarannya itu! Kapan lagi kita bisa mendapat uang sebanyak itu,” kata salah satu anak buah orang itu.
Mendengar itu, orang yang ternyata bos para pembunuh itu langsung menampar orang yang barusan bicara itu dengan keras sekali, “Kau mau sok mengajariku, hah???”
Karena ditampar seperti itu, dia pun langsung naik pitam. “Hey, teman-teman! Sepertinya dia tidak pantas lagi menjadi bos kita, dia terlalu bodoh karena menolak tawaran yang menggiurkan itu,” katanya kepada teman-temannya yang lain.
“Kau benar, mungkin dia bisa bicara begitu karena dia sudah mendapat bagian yang lebih besar daripada kita. Karenanyalah dia bisa seenaknya menolak tawaran itu.“
"Huh, kalian memang amatir. Menyesal aku mengajak kalian dalam operasi ini.“
“Betul, Bos. Mereka memang amatir. Bos sih tidak mau mendengarkanku kalau mereka pasti tidak akan bisa diajak kerja sama,” timpal salah seorang yang mendukung bosnya.
“Sudahlah, kau jangan sok menasihati aku!” kata si Bos kesal.
”Maaf, Bos. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” kata orang yang barusan bicara langsung minta maaf.
“Bagus, kau memang anak buahku yang  cerdas,” puji si Bos kepada anak buahnya yang setia itu. “Hey, kalian berdua! Jika kalian memang tidak setuju kalian boleh pergi sekarang,” katanya kepada kedua anak buahnya yang membangkang.”
“Enak saja kau bicara begitu. Kenapa tidak kau saja yang pergi, karena aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini?” tanya salah satu orang yang membangkang itu seraya mengeluarkan senjatanya dan menodongkannya kepada si Bos.
Melihat itu, anak buah si bos yang setia segera menodongkan pistolnya kepada orang yang menodong bosnya itu. Bersamaan dengan itu, teman orang yang membangkang pun tidak mau ketinggalan, dia segera menodongkan pistolnya kepada orang yang menodong temannya. Si Bos pun mengeluarkan pistolnya dan menodongkan kepada orang itu. “Kalian berdua jangan macam-macam! Sebaiknya simpan kembali senjata kalian, dan kami akan pergi dari sini sesuai dengan keinginan kalian!” pinta si Bos tidak mempunyai pilihan terbaik.
“Enak saja, kalian dulu yang simpan senjata kalian! Dan setelah itu kami akan membiarkan kalian pergi,” kata salah satu orang yang membangkang itu.
Krisis kepercayaan, itulah yang terjadi di antara mereka. Sehingga mereka tetap saling todong hingga akhirnya tanpa sengaja salah satu dari mereka menarik pelatuk. Dan sungguh amat tragis akibatnya, mereka saling tembak hingga akhirnya tiga dari mereka terkapar meregang nyawa. Melihat kejadian itu, Bobby sedikit bisa bernafas lega dan berusaha melepaskan diri dari ikatannya. Lalu dengan segera dia melepaskan Nina dan bergegas menghampiri salah seorang yang saat ini tampak sedang meringis kesakitan. Orang itu adalah salah satu anak buah si Bos yang membangkang.
“Nin, cepat hubungi ambulan. Sepertinya orang ini masih bisa diselamatkan!” pintanya kepada sang Istri. "O ya, jangan lupa. Setelah itu cepat hubungi polisi.” Setelah berkata begitu Bobby berusaha memberikan pertolongan pertama kepada orang yang masih hidup itu.
Beberapa menit kemudian, ambulan datang dan langsung membawa penjahat itu ke rumah sakit. Sementara itu, polisi yang datang segera mengamankan TKP dan menindaklanjutinya.


 

Setelah peristiwa itu, kini Bobby sudah bisa bernafas lega. Maklumlah, karena otak dari rencana keji itu sudah berhasil ditangkap aparat, dialah Johan dan saudara kembar Arman yang juga ikut terlibat. Kini Bobby sudah tidak lagi memikirkan hal itu, karena orang yang memusuhinya kini sudah berada di balik terali besi. Namun sekarang, dia tengah memikirkan soal pekerjaannya yang membuatnya resah dan gelisah.
Setelah dipikir dan dikaji lebih dalam, ternyata film yang diproduksinya masih belum Islami. Dimana pada film yang diproduksinya masih menampilkan gambar-gambar wanita seksi karena tuntutan karakter. Baginya, itulah tantangan tersulit dalam membuat film. Dimana sutradaranya dituntut untuk bisa menampilkan karakter seorang gadis seksi, namun tanpa menampilkan keseksian itu. Dulu setan memperdayanya dengan membisikkan dengan alasan darurat. Namun, sekarang dia tidak mau terpedaya untuk yang kedua kali.
“Hmm… Apakah dalam film yang kuproduksi selanjutnya tidak usah menampilkan gambar seksi, namun hanya memperdengarkan suaranya saja. Atau… dibuat kabur sehingga penontonnya lebih mengutamakan mendengar suaranya ketimbang memperhatikan gambarnya. Atau… Mengambil sudut kamera yang tidak menampilkan bentuk tubuh. Atau…  Aku tidak usah memproduksi saja, karena hal itu sangat berbahaya dan bisa melibatkan banyak orang terjerumus ke lembah dosa. Hmm… Bagaimana ya…?”
Bobby tampak berpikir keras untuk memecahkan tantangan itu. Dia menyadari kalau pola pikir, kemampuan menganalisa, moral, dan libido orang tidaklah sama. Jika orang yang mengerti seni, tentu akan melihat dari sudut pandang seni, berbeda dengan orang yang tidak mengerti seni. Mereka bisa menafsirkan macam-macam dari sebuah gambar yang dilihatnya. Sehingga jika yang mereka tangkap itu positif tentu tidak menjadi masalah, namun jika yang mereka tangkap itu negatif maka akan menjadi masalah. Semisal sebuah foto yang dibilang seni oleh seorang photographer, menampilkan gambar wanita seksi dengan pakaian yang agak terbuka. Baginya itu memang betul-betul seni, karena ia melihat dari pencahayaan, sudut pengambilan, fokus gambar, dan photogenic gadis yang ada di depan latar belakangnya yang exotic. Namun, apakah orang awam yang tidak mengerti seni tersebut akan melihat dari sudut pandang demikian. Jawabannya, tentu tidak. Mereka tentu akan melihat dari sudut pandang yang lain, aurat si gadis yang memicu syahwat misalnya.
Nah, oleh karena itulah. Bobby tidak mau jika ada orang yang sampai menyalahgunakan seni untuk hal-hal yang tidak baik, karena kasusnya mirip orang yang menyalahgunakan narkotika. Karenanyalah dia tidak mungkin untuk memukul rata dengan menggunakan satu acuan berdasarkan perbedaan itu, namun harus mengikuti petunjuk Tuhan yaitu dengan merujuk kepada kitab suci Al-Quransebuah acuan yang sudah disempurnakan Tuhan untuk kemaslahatan umat manusia. Karena Dia-lah Tuhan yang memang Maha Mengetahui seluk-beluk kehidupan di dunia ini. Karena pada dasarnya manusia yang masih awam memang mempunyai sifat dasar, hubungan sosial dan kebutuhan biologis yang primitif.
Manusia yang sudah menginjak dewasa akan membutuhkan kebutuhan biologis. Setiap mereka melihat sesuatu yang berbau hasrat seksual, walaupun hanya sekejap mata akan menimbulkan nafsu birahi terutama bagi para pemuda. Siapa pun yang melihat kecantikan atau ketampanan pasti akan tertarik, kecuali mereka yang mengalami kelainan jiwa.
Sebagai manusia yang masih awam tidak mungkin bisa berpaling dari hal-hal tersebut, manusia paling hanya bisa mengendalikannya saja. Namun, Pria dan wanita agak berbeda dalam memandang kecantikan atau ketampanan itu, juga dalam hal memandang keindahan tubuh. Wanita tidak melulu menghubungkannya dengan libido, tapi pria awam yang masih normal justru malah sebaliknya. Terbukti di dunia ini lebih banyak wanita yang dieksploitasi menyangkut hal itu ketimbang para pria.
Bagaimana mungkin seseorang manusia bisa membeningkan hati selama pandangan belum bisa dijaga dari hal-hal keduniawian seperti itu. Dan jika hati belum bening, bagaimana mungkin manusia hidup tentram, nyaman, dan lapang. Jika kehidupannya belum tentram, nyaman, dan lapang, bagaimana bisa menjadi orang yang baik. Hal yang paling mungkin terjadi adalah menjadi sampah masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan mata rantai kegelapan dan terus berkembang menjadi lingkaran setan. Orang tidak tentram menjadi stress, dan orang stress membutuhkan hiburan. Jika hiburan itu tidak Islami maka orang menjadi gelap hati. Jika hati gelap maka pada akhirnya hatinya pun tidak tentram, yang kemudian menjadi stress. Karena stress ia butuh hiburan, sedang hiburan butuh biaya, maka dicarilah uang dengan menghalalkan berbagai cara demi untuk hiburan. Begitulah seterusnya dan seterusnya, bagaikan lingkaran setan yang tak ada ujung pangkalnya. Dan akibatnya pun bisa menimbulkan mata rantai kejahatan, terjadi kesenjangan sosial karena banyaknya uang yang terbuang untuk hal-hal yang tidak perlu, persaingan yang tidak sehat karena orang menghalalkan berbagai cara..
Karenanyalah Bobby berusaha untuk membantu agar orang-orang awam sedikit banyak bisa menjaga pandangan, yaitu dengan membuat film yang tidak akan disalahgunakan untuk hal-hal semacam itu. Setelah berpikir masak, akhirnya Bobby membicarakan masalah pembuatan sinetron yang Islami itu kepada sang Sutradara yang selama ini bekerja untuknya. “Nah, bagaimana Pak Sutradara?” tanya Bobby kepada pria itu.
“Hmm… Baiklah, Pak Bobby. Saya akan membuat sinetron seperti itu. Bagi saya, itu merupakan tantangan yang sangat berat. Jika saya berhasil membuatnya dan laku di pasaran, tentu merupakan sebuah prestasi besar buat saya. Kebudayaan berbusana di negara kita memang masih jauh dari nilai Islami, karenanyalah jika kita mau mengangkat tema yang berlawanan tentu akan mengalami banyak kendala. Pasar yang belum memihak misalnya, apa iya ada stasiun TV yang mau membeli produk yang belum memenuhi selera pasar. Untung saja Bapak seorang pengusaha yang mempunyai kelebihan uang, coba kalau tidak, apa iya Bapak berani membuat film seperti itu.”
“Kau benar, Pak. Hal itu memang tidak mudah, karena untuk bisa merealisasikannya dibutuhkan keikhlasan dan rasa tanggung jawab yang besar. Jika seorang pemimpin sudah menyadari tanggung jawabnya tentu apapun kendalanya akan ia hadapi dengan ikhlas, untung rugi bukanlah masalah, yang terpenting adalah kelak ia bisa mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Tuhan, yang jelas-jelas telah mengamanatkan kepercayaan itu kepadanya. Karena pada dasarnya, pemimpin itu seperti masinis lokomotif yang ditugaskan untuk membawa gerbong-gerbong yang dimanatkan kepadanya. Si masinis tentu akan membawa gerbong-gerbong itu sesuai dengan tujuannya. Kalau ia seorang masinis yang bertanggung jawab, tentu ia akan membawa gerbong-gerbongnya menuju ke tujuan yang sebenarnya. Begitu pun dengan isi gerbong, mereka adalah orang-orang yang sebenarnya mau menuju ke tempat tujuan yang sebenarnya. Karenanyalah, sebagai seorang produser saya pun akan berusaha untuk menjadi masinis yang bertanggung jawab, dan akan membawa gerbong-gerbong saya menuju ke tempat tujuan yang sebenarnya, yaitu sesuai dengan keinginan Tuhan, yang sebenarnya sudah ada pada setiap hati nurani manusia.
Saya percaya, orang-orang yang baik tentu tidak mau mengikuti masinis yang tidak bertanggung jawab. Karenanyalah perlu adanya lokomotif yang dijalankan oleh orang yang bertanggung jawab sehingga mereka pun bisa mendapat kesempatan untuk sampai pada tujuan yang diinginkan oleh hati nuraninya,” jelas Bobby panjang lebar.
“Betul, Pak Bobby. Andai ada banyak orang-orang seperti Bapak. Tentu, rekan-rekan saya sesama sutradara yang baik, juga bisa mendapat kesempatan itu. Terus terang, selama ini banyak dari mereka yang terpaksa ikut di gerbong yang salah karena tuntutan ekonomi.”
“Karena itulah pentingnya rasa cinta terhadap sesama, dan mau mengalahkan nafsu setan demi tegaknya kebenaran. Dunia itu semu, hanya ada merah muda dan biru, yaitu cinta dan sesuatu yang tak disangka-sangka, yang bergelora di kalbu, menciptakan mata rantai kehidupan atas nama cinta dan karena sesuatu yang tak disangka-sangka. Semua hal terjadi karena cinta, tanpa cinta tidak ada kehidupan, tanpa kehidupan tidak ada cinta. Seseorang karena cinta dunia menghalalkan berbagai cara sehingga terciptalah mata rantai kehidupan yang gelap, seseorang karena cinta kepada Tuhan tunduk dan pasrah pada ketentuan-Nya sehingga terciptalah mata rantai kehidupan yang terang. Kejahatan dan kebaikan bermula karena cinta, dan itu semua karena sesuatu yang tak disangka-sangka.”
“Betul, Pak Bobby. Dengan cinta karena Tuhan terciptalah jalinan cinta yang membawa kepada kebaikan, sedangkan cinta bukan karena Tuhan membawa kepada kejahatan. Sebab, kehidupan dikendalikan oleh perangkat akal, ego dan nurani, yang mana jika tidak terkendali akan menghancurkan kehidupan itu sendiri. Ego adalah keinginan, dan dengannyalah manusia bisa bergerak. Pergerakan itu bisa negatif dan positif, tergantung dari analisa akal yang digunakannya. Jika ketika menganalisa, akal menuruti bisikan setan maka hasilnya adalah pergerakan negatif, namun ketika akal menganalisa sedang nurani mendapat petunjuk Tuhan maka pergerakannya adalah positif. Intinya adalah, dimana cinta karena Tuhan dominan, maka buahnya adalah kebahagiaan, namun jika cinta dunia yang memperturutkan nafsu setan itu dominan, maka buahnya itu kesengsaraan. “
Hingga akhirnya, kedua pemuda itu pun bersepakat untuk menjalin kerja sama atas nama cinta karena Tuhan. Dimana mereka lebih memilih mendapat cinta Tuhan, dengan bertakwa kepada-Nya, ketimbang menuruti bisikan setan jika hanya sekedar ingin mendapatkan gemerlapnya dunia karena cinta dunia. Begitulah jika manusia sudah mengerti akan arti kehidupan, yang mana kehidupannya tidak akan disia-siakan untuk melakukan sesuatu yang bisa menjauhkan dirinya dari Tuhan. Bahkan, dia rela mengorbankan jiwa dan raganya jika itu memang untuk mendapatkan cinta-NYa.




Setahun kemudian, Bobby memutuskan untuk berhenti memproduksi film cerita. Kini dia lebih suka memproduksi film dokumenter, seperti film yang menceritakan tentang kehidupan satwa, atau mengenai perkembangan teknologi misalnya. Hal itu dikarenakan tingkat pemahaman agamanya yang jauh lebih baik. Dia merasa berdosa karena selama ini sudah mempertontonkan sesuatu yang tak hak untuk pemirsanya. Maklumlah, karena selama ini tuntutan karakter memang sulit untuk dipecahkan. Andai masyarakat sudah banyak yang memahami Islam dengan benar, tentu hal itu sudah bukan merupakan kendala lagi. Dia bisa membuat film yang mana karakter wanitanya menggunakan hijab yang bercadar, sehingga penonton tidak akan menyaksikan wajah cantik yang senantiasa bisa menimbulkan fitnah.
Pernah waktu itu dia mencoba membuat film seperti itu, yang mana semua peran wanitanya menggunakan cadar, dan karena memang belum memenuhi selera pasar akibatnya film itu tidak laku di pasaran. Bahkan malah menjadi bahan perdebatan untuk mereka yang mengaku paham betul soal Islam, mereka menganggap film itu merupakan suatu kemunduran karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang modern. Mereka berpendapat bahwa suatu negeri tidak akan maju jika tidak mempunyai peradaban yang modern. Padahal, jika mereka mau melihat sejarah. Suatu bangsa yang mempunyai peradaban yang modern justru hancur karena masyarakatnya tidak lagi mempedulikan nilai-nilai agama. Bukan itu saja, bahkan dengan alasan demokrasi dan HAM, mereka terang-terangan menolak nilai-nilai agama karena dianggap tidak sesuai dengan keadaan masyarakat yang heterogen.
Selera... Itulah sebenarnya kelemahan dari sebuah sistem demokrasi. Jika selera mayoritas negatif, maka hancurlah ahlak orang-orang di negeri itu, begitupun sebaliknya. Namun begitu, Bobby tidak berani gegabah mengharamkan demokrasi. Sebab, bagaimana mungkin dia bisa mengharamkan sesuatu yang dia sendiri belum membuktikan kebenaran sejatinya, padahal kebenaran itu hanya milik Allah Tuhan Semesta Alam. Dan setelah dia mengkaji lebih dalam (berdasarkan Alquran dan Hadist) ternyata demokrasi memang tidak haram.
Menurutnya, demokrasi itu adalah sebuah sistem pemerintahan yang sangat baik, tapi sayangnya sistem itu tidak bisa digunakan untuk saat ini. Sistem itu hanya bisa digunakan jika presiden, anggota dewan, dan mayoritas rakyat telah memahami Agama Islam dengan baik dan benar, dan menjadikan ajaran Islam sebagai jalan hidupnya. Dengan demikian, secara otomatis suara rakyat akan menjadi suara Tuhan. Sebab, rakyat tentu akan memilih pemimpinnya berdasarkan petunjuk Tuhan, sehingga para pemimpin yang terpilih pun tentu sudah berdasarkan petunjuk Tuhan. Dengan demikian, maka demokrasi adalah suatu sistem yang berlandaskan kepada kekuasaan Tuhan. Dan secara otomatis, produk hukum yang dihasilkannya pun tidak akan menyimpang dari Syariat Islam. Karenanyalah, mungkinkah dia mengharamkan hal yang demikian?
Karena itulah, untuk saat ini demokrasi memang bukanlah pilihan yang terbaik? Renungkanlah… adakah manusia yang bisa menjamin kalau selera mayoritas adalah positif? Adakah manusia yang bisa menjamin kalau para memilih dan yang dipilih orang-orang yang berhati bersih? Jawabnya tentu saja tidak.  Karenanyalah kita (Umat Islam) harus menerapkan sistem Pemerintahan Islam, yaitu dengan memilih seorang pemimpin yang dipilih oleh orang-orang yang berakal dan berhati bersih, yang selalu merujuk kepada Al-Quran dan Hadist shahih, yang tak lain dan tak bukan adalah para ulama yang perkataan dan perbuatannya sudah sejalan, dan mereka pun tetap berada pada keistiqamahannya. Percayalah kalau ulama yang demikian bisa memilih siapa yang pantas dipilih, sebab ulama yang demikian tentu akan meminta petunjuk Allah lebih dulu dalam mengambil keputusan. Dan karena mereka meminta petunjuk dari Allah lebih dulu, maka secara otomatis pilihan mereka tentu akan berdasarkan petunjuk Allah. Dan petunjuk Allah jelas tidak mungkin keliru.
Hal itu mutlak dilakukan karena tidak ada manusia yang bisa membuat hukum tanpa merujuk kepada kedua kitab tersebut. Lagi pula, Islam adalah rahmat untuk semesta alam, tidak ada sedikitpun ajarannya yang akan merugikan golongan mana pun, kecuali golongan yang tidak baikyaitu para pengikut setan. Dengan demikian, diharapkan akan lahir perundang-undangan yang tidak menyimpang dari Al-Quran dan Hadist shahih tersebut, sehingga bisa memproteksi negeri ini dari penjajahan kaum zionis yang tersamar.
Bobby yakin sekali, semua agama di negeri ini tentu setuju jika anak bangsa ini menjadi manusia-manusia yang taat kepada Tuhan dan bisa membangun negeri ini menjadi negeri yang dirahmati-Nya. Namun, dia mewanti-wanti jangan sampai kasus yang pernah terjadi di Mesir terulang kembali, yaitu orang-orang yang pada saat itu diharapkan bisa membuat kebijakan Islami malah cuma berdebat saja dengan tanpa menghasilkan apa-apa.
Karena itulah, Bobby mengharapkan generasi sekarang bisa memetik hikmah dari kejadian itu dan menemukan cara yang terbaik agar hal itu tidak terulang lagi, yaitu dengan melibatkan para pakar  (dari mazhab apapun) sesuai keahliannya di dalam membuat kebijakan bermasyarakat. Selama para pakar itu mampu menelurkan pemikiran dan jalan keluar yang baik dan tidak menyimpang dari Al-Quran dan Hadist kenapa tidak. Selanjutnya biarlah Khalifah yang memutuskan, sebab khalifahlah yang akan bertanggung jawab kepada Allah mengenai baik tidaknya suatu hasil pemikiran. Sesungguhnya sebuah musibah orang yang terpilih menjadi Khalifah, karenanyalah ia tidak mungkin berani  gegabah dalam menentukan pilihan lantaran pertanggungjawabannya yang sangat berat. Karena itulah, sebagai rakyat kita wajib setia dan taat terhadap apa yang sudah  diputuskannya. Jika kita merasa benar sendiri, tidak mau setia dan taat kepada seorang khalifah yang dipilih dengan cara demikian, maka bersiap-siaplah kemsongan itu mendapat laknat dari Allah yang Maha Mengetahui.
Selain itu, jangan terlalu takut dengan adanya disintegrasi bangsa, karena jika demikian berarti kita (sebagai Umat Islam) sudah tidak percaya dengan apa yang di ajarkan Al-Quran. Islam adalah rahmat untuk semesta alam, karenanyalah tidak ada alasan untuk menakutkan hal itu. Bukankah dalam Islam tidak ada pemaksaan dan sikap diskriminasi, jadi tidak ada alasan untuk merasa terancam.
Ajaran Islam itu penuh cinta dan kasih sayang, bak seorang ibu yang mencintai anaknya, yang terkadang memang suka disalahartikan karena ketidaktahuan anaknya itu. Jika seorang ibu melarang anaknya bermain sesuatu yang membahayakan, itu semata-mata karena ia menyayangi dan mencintainya. Namun, terkadang si anak justru merasakan hal itu sebagai suatu kebencian. Jika saat itu kita (sebagai umat Islam) menjadi ayah, apakah kita akan menyetujui tindakan sang Ibu atau malah membela sang anak dengan memberikan kepadanya sesuatu yang berbahaya itu? Sebagai ayah yang bijak tentu akan menyetujui sang Ibu dan berusaha menjelaskannya dengan cara yang baik dan penuh kelembutan. Namun, terkadang ada juga anak yang tidak bisa diberitahu dengan cara seperti itu. Kalau sudah demikian, mau tidak mau sang Ayah harus memberitahunya dengan cara yang agak keras. Dan hal itu mutlak dilakukan demi keselamatan anak itu sendiri. Intinya adalah aturan dalam Islam perlu ditegakkan demi untuk kebaikan semua.
Begitulah Bobby bercita-cita agar bisa membangun negerinya menjadi negeri yang diridhai Allah. Namun untuk saat ini semua itu baru sebatas wacana, karena dia memang belum mempunyai kekuatan untuk bisa mewujudkannya. Untuk saat ini  Bobby hanya bisa menerapkan untuk dirinya saja, atau mungkin untuk keluarga dan teman-teman dekatnya. Andai pun dia sudah dipanggil Tuhan sebelum cita-citanya itu terwujud, dia percaya Tuhan pasti akan memberinya satu kebaikan atas cita-citanya itu.
Kini pemuda itu dan istrinya yang bernama Olivia tampak bersantai di balkon apartment. Seperti biasa, setelah menunaikan Sholat Ashar mereka memang suka berbincang-bincang di tempat itu. “Emm... Olivia sayang... Kini aku sedikit banyak sudah bisa mengungkap rahasia itu,” katanya kepada Olivia seraya memberikan kedua buah kubus yang simbol-simbolnya kini sudah mulai dipahami seutuhnya kepada sang Istri.
“Apa sebenarnya rahasia itu, Bang?” tanya Olivia penasaran sambil menanggapi kedua kubus yang diberikan kepadanya itu.
“Olivia.... Sesungguhnya rahasia itu adalah...” Bobby menggantung kalimatnya, sepertinya saat itu dia benar-benar berat untuk mengatakannya.
“Apa itu, Bang? Katakanlah padaku!”
“Maaf Olivia...! Ternyata aku masih belum mampu mengungkapkan rahasia itu padamu, biarlah rahasia itu tetap menjadi rahasia. Karena sesungguhnya Tuhan akan mengungkapkan rahasia itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” Setelah Bobby berkata begitu, Olivia pun mengerti. Dia menyadari kalau apa yang bakal dikatakan suaminya itu belum tentu bisa ditangkap oleh akalnya, dan bisa saja hal itu justru disalahartikan sehingga membuatnya merugi. Dan karena pertimbangan itu pula, akhirnya wanita itu mengalihkan pembicaraan dengan hal-hal yang berhubungan dengan cinta mereka. Hingga akhirnya mentari kembali keperaduan ibu pertiwi dengan disertai lembayung yang begitu indah.




Assalam….

Mohon maaf jika pada tulisan ini terdapat kesalahan di sana-sini, sebab saya hanyalah manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Saya menyadari kalau segala kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, dan segala kesalahan tentulah berasal dari saya. Karenanyalah, jika saya telah melakukan kekhilafan karena kurangnya ilmu, mohon kiranya teman-teman mau memberikan nasihat dan meluruskannya. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih banyak.
Akhir kata, semoga cerita ini bisa bermanfaat buat saya sendiri dan juga buat para pembaca. Amin… Kritik dan saran bisa anda sampaikan melalui e-mail bangbois@yahoo.com

Wassalam…


[ Cerita ini ditulis tahun 2006 ]