Enam
Seminggu kemudian, dihari minggu yang cerah. Bobby, Nina, dan anak mereka Laras tampak berwisata ke Ancol. Keluarga kecil itu tampak begitu bahagia, bercanda dan bersantai di tepian pantai. Saking gembiranya, mereka tidak menyadari kalau ada sepasang mata yang tengah mengawasi. “Hmm… rupanya Bobby punya istri simpanan. Pantas selama ini dia jarang pulang. Kasihan sekali Reni, dia telah diduakan,” gumam wanita itu sambil terus mengawasi Bobby.
“Ros! Kau sedang memperhatikan apa?” tanya seorang pemuda tiba-tiba.
Wanita yang bernama Rosa itu langsung menoleh, “O… kau, Ted. Mengagetkanku saja. O ya, sudah dapat tissue-nya?”
“Ini,” jawab pemuda yang ternyata kekasihnya.
“Terima kasih, Ted. Kalau begitu ayo kita pergi!” ajak Rosa seraya melingkarkan tangannya di lengan Teddy, kemudian keduanya terlihat melangkah menuju tempat yang agak sepi. Sementara itu, Bobby masih berada di pantai dengan keluarganya.
“Nin, kita makan dulu yuk!” ajak Bobby kepada istrinya.
“Ayo, Bang. Aku juga sudah lapar,” kata Nina setuju. “Laras!” teriaknya memanggil Sang Putri.
Laras yang saat itu tengah memperhatikan seekor ikan aneh yang baru saja di dapat oleh seorang pemancing serta-merta menoleh karena mendengar namanya dipanggil, kemudian dengan segera dia berlari menghampiri ibunya. “Iya, Bu. Ada apa?”
“Kita makan dulu, yuk! Setelah itu kau boleh main lagi.”
Tak lama kemudian, keluarga kecil itu sudah bergerak menuju ke sebuah restoran cepat saji. Di tempat itulah mereka santap siang, mengisi perut yang sudah keroncongan karena beraktivitas di pantai. Sementara itu di tempat lain, istri Bobby yang bernama Reni tampak sedang menyuapi anaknya.
“Ayo dong, Sayang… dimakan sayurannya!”
“Tidak mau, Bu. Lia tidak suka, sayurannya tidak enak. Tidak seperti ketika aku makan di rumahnya Shifa, sayurannya enak deh, Bu.”
“Iya, nanti ibu akan buatkan sayuran yang seperti itu ya. Tapi, sekarang kau makan dulu sayuran yang ada ini.”
“Benar ya, Bu. Ibu akan membuatkan sayuran yang seperti itu.”
“Iya, ibu janji. Nah, sekarang ayo dimakan!”
Akhirnya Lia pun mau menurut pada ibunya, dia memakan juga sayuran yang hanya di olah dengan cara biasa itu. Maklumlah, Reni itu memang tidak pandai mengolah makanan, sehingga ia tidak bisa mengolah sayuran agar disukai anak-anak. Dalam hati, ibu muda itu berkeinginan juga untuk belajar mengolah makanan pada ibunya Shifa yang terkenal pandai memasak.
“Sudah habis, Bu. Sekarang Lia boleh main kan?”
“Iya Sayang… Tapi jangan nakal ya!”
Lia mengangguk, kemudian anak itu pergi menemui Shifa yang tinggal di sebelah rumahnya. Tak lama kemudian anak itu sudah kembali bersama temannya dan mengajaknya main di terasmain masak-masakan. Pada saat yang sama, Reni tampak sibuk berbenah, dalam benaknya wanita itu terus memikirkan suaminya. “Bang… Aku rindu padamu. Besok kalau kau pulang, aku akan memasak makanan yang enak buatmu.”
“Bu, Ibu!” teriak Lia tiba-tiba membuyarkan lamunan Reni.
“Iya, ada apa, Sayang?” tanya Reni seraya memperhatikan anaknya yang berlari menghampirinya.
“Lia minta teko mainan ini diisi teh manis, Bu!”
“Eng… Sebentar ya!” kata Reni seraya membuatkan teh untuk anaknya. Tak lama kemudian wanita itu tampak mengambil teko mainan milik anaknya dan langsung mengisinya dengan teh manis yang dibuatnya. “Nah, Ini tekonya. Sana main lagi!” ucap Reni seraya memberikan teko itu, kemudian dia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu, Lia yang tampak gembira segera berlari hendak menemui temannya. Saking gembiranya, anak itu tanpa sengaja menyenggol sebuah gelas yang ada di pinggir meja. Tak ayal, gelas itu pun langsung pecah berkeping-keping.
“Lia, apa itu???” teriak Reni terkejut seraya bergegas ke asal suara.
Saat itu, dia melihat Lia tengah berdiri ketakutan sambil melihat ke pecahan gelas yang berserakan. “Ma-maaf, Bu! Li-Lia ti-tidak sengaja,” ucap anak itu menyesal.
“Ya, sudah. Tidak apa-apa, tapi lain kali hati-hati ya. Nah, anak baik, sekarang kamu main saja sana! Biar ibu yang membersihkan pecahan ini.”
“Iya, Bu,” ucap anak itu seraya melangkah ke teras menemui Shifa.
Pada saat yang sama, Reni langsung membersihkan pecahan gelas yang membahayakan itu. Di tempat berbeda, istri Bobby yang bernama Dewi tampak sedang memarahi anaknya. “Dasar! Kamu anak nakal, dibilang jangan main ke rental, eh masih juga main,” kata Dewi seraya mencubit kaki anaknya.
“Udah, Bu. Sakit. Huhuhu…! Huhuhu…!” Intan menangis tersedu-sedu.
“Awas! Kalau Ibu tahu kamu masih main di tempat itu, Ibu akan mencubitmu lebih keras lagi.”
“Huhuhu…! Tidak, Bu. Intan tidak main di tempat itu lagi, huhuhu… huhuhu…!”
“Ya sudah…! Sekarang Intan diam ya…, jangan menangis lagi…! Cup.. cup… cup… diam Sayang…” ucap Dewi sambil mengusap-usap kaki Intan yang dicubitnya tadi.
Akhirnya Intan berhenti menangis, dan tampaknya dia sudah melupakan kejadian barusan. Kini Anak itu sudah kembali bermain, namun tiba-tiba… DUG! PRAAANG!!!
“Intan! Apa yang baru kamu pecahkan, hah?”
Betapa terkejutnya Dewi ketika melihat vas bunga yang baru dibelinya pecah berserakan, kemudian pandangannya segera beralih kepada Intan yang dilihatnya tengah berdiri dengan raut wajah ketakutan.
“Kamu ini, dibilang jangan nakal, eh masih juga nakal! Dasar anak nakal,” ucap Dewi seraya mencubit kaki anaknya lagi.
Tak ayal, karena cubitannya lebih keras dari yang tadi, Intan pun menangis sekerasnya. “Huhuhu… Ampun, Bu! Ampun…! Intan tidak sengaja, Bu… Huhuhu…!” Intan terus menangis sambil mengusap kakinya yang agak kebiruan.
“Sudah, diam! Sekarang sana masuk kamar dan jangan coba-coba berani keluar!”
Akhirnya dengan penuh ketakutan, Intan pun bergegas ke kamar. Sambil terus terisak, anak itu tampak merebahkan diri di tempat tidurnya dan meratap sedih. “Ayah… Kapan ayah pulang? Ibu jahat, Ayah. Intan mau bertemu ayah, intan mau ikut ayah, soalnya di sini Intan sering dicubitin sama ibu,” ratap anak itu.
Reni yang mendengar ratapan anaknya merasa menyesal juga, namun karena dia masih belum mampu menahan emosi akhirnya perbuatan itu pun dilakukannya lagi dan lagi. Begitulah setan mengendalikan manusia dengan kemarahannya, sehingga dia khilaf menyakiti anaknya sendiri.
Esok harinya, ketika Bobby hendak menggilir istri ketiganya. Pemuda muda itu tampak terkejut lantaran kedatangannya disambut dengan tangisan Reni yang begitu tersedu-sedu. “Ada apa, Sayang?” tanya pemuda itu kepada istrinya.
“Kau tega, Bang. Rupanya selama ini kau telah membohongiku. Pokoknya, sekarang juga aku minta cerai!”
“Sayang... Kau bicara apa? Kenapa malah minta cerai?”
“Bang... Ternyata kau juga menikahi mereka kan?”
“Sayang... Kau bicara apa? Aku sama sekali tidak mengerti.”
“Sudahlah...! Kau tidak perlu mungkir! Kemarin Rosa melihatmu bersama wanita lain, kalian berdua bermain di pantai bersama seorang anak kecil, dan kalian tampak begitu akrab layaknya sebuah keluarga.”
“Hmm... Mungkin Rosa salah lihat, Ren.”
“Cukup, Bang. Kau jangan berkelit lagi! Oh Bang... Kenapa kau tega membohongiku, kenapa kau memaduku?”
“Ren, dengarlah! Sungguh aku tidak membohongimu, dan aku sama sekali tidak memadumu.”
“Lalu wanita itu?”
“Baiklah... Aku akan katakan yang sebenarnya.”
“Kalau begitu, cepatlah katakan!”
“Begini, Ren...” Bobby pun menceritakan hal yang sesungguhnya. Dan setelah mendengarnya Reni pun semakin tersedu-sedu. “Itu sama saja, Bang. Apa bedanya madu dan yang dimadu? Kau memang egois, kau tidak mau mengerti perasaanku.”
“Ren... Selama ini kan kita hidup bahagia. Cobalah untuk melupakan kalau aku memang mempunyai istri lain, anggaplah aku milikmu sendiri.”
“Tidak bisa, Bang. Itu sama sekali tidak mungkin. Kau memang keterlaluan, hal yang sudah kuketahui tidak mungkin bisa kulupakan begitu saja.”
“Ya, ini semua gara-gara Rosa... dialah penyebab semua ini, kalau saja dia tidak mengatakan hal ini tentu kita akan terus berbahagia.”
“Sudahlah, Bang! Kau tidak perlu menyalahkan dia. Pokoknya, sekarang juga aku minta cerai!”
“Tidak, Ren. Aku tidak akan menceraikanmu. Terus terang, aku sayang padamu, dan aku begitu mencintaimu. Lagi pula apa kau tidak kasihan dengan putri kita, dia membutuhkan kasih sayang kita berdua, Ren.”
“Biar anak kita itu aku yang urus, kau urus saja kedua istrimu itu. Pokoknya secepatnya aku minta cerai”
“Baik... baik... kalau itu memang permintaanmu, sekarang juga aku menceraikanmu.”
Begitu Bobby berkata seperti itu, jatuhlah sudah talak perceraian. Dan mereka pun telah resmi bercerai.
“Bang, sekarang aku akan pergi ke rumah orang tuaku di kampung,” kata Reni seraya bergegas mengemas barang-barangnya.
Saat itu Bobby tidak berkata apa-apa, dia tampak diam memperhatikan mantan istrinya itu berkemas. Tak lama kemudian, dia melihat Reni sudah siap pergi bersama anaknya Lia.
“Ren, bagaimana dengan sekolah Lia?” tanya Bobby tiba-tiba.
Reni terdiam, sepertinya dia begitu bingung menjawab pertanyaan itu.
“Baiklah, Ren. Untuk sementara biar dia ikut denganmu. Terus terang, saat ini aku belum bisa memikirkannya. O ya, ini ada sedikit uang untuk keperluan Lia, dan tolong jaga anakku baik-baik. Jika nanti ada rezeki, aku akan selalu mengirimkan uang untuknya.”
Setelah menerima uang itu, Reni segera melangkah pergi. Saat itu Bobby hanya memperhatikan kepergian mereka dengan kesedihan di hatinya. Sebagai seorang ayah, dia merasa berdosa karena putrinya terpaksa ikut menanggung akibat perceraian itu, kini anak itu tidak bisa pergi ke sekolah lagi lantaran harus mengikuti ibunya pulang kampung. Sementara itu di tempat lain, istri pertama Bobby yang bernama Dewi tampak sedang berbicara dengan temannya yang sengaja datang jauh-jauh untuk menyampaikan sebuah berita penting.
“Kau jangan bohong, Ver!”
“Benar kok, Wi. Aku tidak bohong, waktu itu aku memang melihat suamimu datang ke dokter bersama seorang wanita. Dan entah kenapa tiba-tiba dia pergi begitu saja dari ruang tunggu, sepertinya saat itu suamimu itu begitu ketakutan. Hal itulah yang membuatku curiga, jangan-jangan wanita itu istri simpanannya.”
“Jika yang kau katakan itu benar, berarti suamiku itu telah mengkhianatiku. Jika bertemu nanti, aku akan minta cerai.”
“Sabarlah, Wi. Kau jangan gegabah begitu, pikir dulu masak-masak sebelum mengambil keputusan. Mungkin juga yang kulihat itu tidak seperti kelihatannya, mungkin wanita itu temannya, atau saudaranya. Atau mungkin juga saat itu dia ketakutan karena takut hutangnya aku tagih. Sebaiknya kau bicarakan baik-baik dengan suamimu. Lagi pula, jika suamimu itu berkhianat apa dengan bercerai bisa menyelesaikan persoalan.”
Kedua wanita itu terus berbincang-bincang. Vera yang kini menjanda mencoba berbagi pengalaman kepada Dewi kenapa dulu dia bercerai dengan suaminya. Katanya, setelah perceraian itu, Vera betul-betul menyesal karena telah mengambil keputusan yang salah. Karena itulah, sebagai seorang sahabat dia mencoba memberikan masukan untuk Dewi agar jangan bertindak gegabah. Begitulah Vera sebagai sahabat yang baik, walaupun selama ini sikapnya sering membuat Bobby kesal tapi ternyata dia bisa juga bersikap baik padanya, yaitu dengan tidak mengompori istrinya itu agar minta cerai. Sebenarnya dia memberitahukan mengenai apa yang dilihatnya itu semata-mata karena ingin kejelasan saja, apa benar wanita yang bersama Bobby waktu itu istri simpanannya atau bukan. Karena dia merasa kebenaran itu harus diungkap walaupun pahit. Dan bagaimana pun pahitnya kebenaran itu, namun jika disikapi dengan benar tentu akan membawa kepada kebaikan.
Esok harinya, Bobby terlihat datang menemui istri pertamanya. Kali ini dia datang dua hari lebih cepat jadi jadwal yang dibuatnya. Maklumlah, setelah menceraikan Reni dia tidak mau tinggal di rumah kontrakannya seorang diri. Karenanyalah dia segera datang menemui Dewi dengan maksud memberikan waktu lebih kepadanya, dan sekaligus mau melupakan kesedihan hatinya karena ditinggal Reni dan putrinya. Namun sungguh diluar dugaan, ketika dia berjumpa Dewi dia langsung diinterogasi soal kejadian yang dilihat oleh Vera. Karena tidak ada pilihan lain yang terbaik, akhirnya Bobby mau mengakuinya.
“Ja-Jadi benar, kalau selama ini kau punya istri lain?” tanya Dewi seraya menitikkan air matanya.
“Benar, Wi. Dan itu karena kasus serupa,” jawab Bobby pasrah.
“Bang... Sebenarnya aku merasa berat jika harus berbagi dengan yang lain. Tapi... karena sudah kepalang basah, mau tidak mau aku harus menerimanya.”
“Sungguh, Wi? Ja-Jadi... Kau setuju?” tanya Bobby seakan tidak percaya dengan pernyataan Dewi.
“Kamu jangan salah sangka, Bang. Aku bukannya setuju, tapi aku terpaksa.”
“Iya, Wi. Aku mengerti, yang penting kamu tidak minta cerai kan?”
“Tidak, Bang. Lagi pula, apa gunanya bercerai. Apakah dengan bercerai lantas aku akan bahagia, kan belum tentu, Bang. Lebih baik aku terima saja semua ini, dan semoga semuanya akan menjadi lebih baik,” jelas Dewi sambil terus terisak.
“Wi, aku sangat bangga padamu. Ternyata kau seorang wanita yang cukup bijaksana, dan aku semakin sayang padamu. Wi... Aku mohon berhentilah menangis! Kalau kau mau tahu, kemarin aku telah menceraikan madumu itu,” jelas Bobby yang saat itu terpaksa memanfaatkan Reni demi untuk merahasiakan keberadaan Nina.
“Apa! Benarkah yang kau katakan itu, Bang?” tanya Dewi seakan tidak percaya, kemudian wanita itu mencoba menghapus air matanya.
“Benar, Sayang... Kini madumu itu sudah pulang ke rumah orang tuanya di kampung. Dan itu semua karena pilihannya sendiri yang tidak mau bijaksana menentukan sikap.”
Betapa bahagianya Dewi saat itu, namun begitu wanita itu masih belum sepenuhnya percaya. “Bang... Kau tidak bohong kan. Kau tidak cuma sekedar ingin menghiburku kan?”
“Sungguh, Sayang... Aku tidak bohong. O ya, agar kau lebih percaya bagaimana jika anakku Lia tinggal di sini. Terus terang, aku tidak mau anak itu berhenti dari sekolahnya di kota ini.”
“Tapi, Bang... Dengan adanya anak itu di sini apa tidak membuat kebutuhan kita akan semakin meningkat. Apalagi jika anak kita ini sudah lahir nanti,” kata Dewi seraya mengusap-usap kandungannya yang kini sudah semakin membesar.
“Kau jangan khawatir, Wi. Tuhan pasti sudah memberikan rezeki untuk mereka, yang terpenting kita mau terus berusaha untuk tidak menyia-nyiakan titipan-Nya itu.”
Ketika Bobby hendak berbicara lebih lanjut, tiba-tiba “Ayah...!” seru Intan seraya berlari menghampiri ayahnya dan memeluknya erat. “Ayah... Ayah jangan pergi lagi ya!” pinta anak itu manja.
Saat itu Bobby langsung memangku anak itu dan menciuminya berkali-kali. “Sayang... Baru bangun tidur kok tidak cuci muka dulu,” kata Bobby seraya membersihkan belek di mata putrinya.
Intan terlihat cengar-cengir, lalu dengan malu-malu anak itu terlihat manja bersandar di dada ayahnya. Saat itulah Bobby sempat melihat bekas biru di kaki putrinya. Kakimu kenapa, Sayang...?” tanya Bobby.
“Di cubit Ibu, Yah.”
“Hmm... Jadi, selama ayah pergi kamu berbuat nakal ya?”
“Tapi, Ayah... Intan kan tidak sengaja memecahkan vas bunga kesayangan ibu itu.”
“Ya, sudah... Lain kali kamu harus hati-hati ya. Nanti ayah akan membelikan vas baru untuk ibu. Nah, sekarang kamu cuci muka dulu sana!”
Intan segera menurut, dia terlihat bersemangat menuruti permintaan ayahnya. Sepeninggal Intan, Bobby tampak menatap istrinya dengan raut wajah kecewa. Melihat suaminya menatap seperti itu, Dewi pun langsung minta maaf. “Maaf, Bang! Aku khilaf,” ucapnya menyesal.
“Ya sudah, lain kali kau jangan seperti itu. Kau harus lebih bijaksana memberi hukuman padanya.”
“Iya, Bang. Aku akan berusaha.”
Pada saat itu Intan sudah selesai mencuci muka, kemudian dia kembali ke pangkuan ayahnya.
“O, ya. Bang. Apa Abang sudah lapar?” tanya Dewi.
Bobby mengangguk.
“Kalau begitu, sekarang aku akan menyiapkannya untukmu, Bang,” kata Dewi seraya melangkah ke dapur.
Pada saat yang sama, Bobby tampak masih memanjakan putrinya. Dengan segenap perasaan sayang, pemuda itu memberikan nasihat di sela-sela perbincangannya dengan Intan. Entah kenapa Intan tampak lebih akrab dengan ayahnya ketimbang dengan ibunya, sehingga tanpa sungkan-sungkan anak itu terus berbicara dengan ayahnya. Bahkan untuk ayahnya, dia mau mempersembahkan sebuah lagu sebagai ungkapan atas kebahagiaannya.
“Balonku ada lima... rupa-rupa warnanya... hijau kuning kelabu... merah muda dan biru...”
Ketika mendengar lirik lagu itu, Bobby kembali teringat dengan kedua simbol kelamin yang saling terkait itu. Sejenak Bobby memikirkan benda itu, benda yang waktu itu ditanyakan Nina karena dikira sebuah jimat, dan karena benda itu pula sempat membuat istrinya jadi berprasangka buruk padanya. Namun setelah Bobby menjelaskan kalau dirinya juga tidak tahu-menahu soal benda itu, akhirnya wanita itu bisa mengerti juga. Justru pada saat itu Nina sempat memberikan masukan padanya, kalau benda itu mungkin saja dua buah anak kunci. Tapi masukan yang didapat dari istrinya itu tetap saja masih membuatnya bingung. Maklumlah, saat itu dia benar-benar heran kenapa ada orang yang membuat anak kunci seperti itu, dan kenapa pula harus membuatnya dua buah dan bertuliskan merah muda dan biru.
Bobby terus memikirkan masalah itu hingga akhirnya dia mendengar panggilan Dewi yang sudah selesai mempersiapkan makan siang. Kini keluarga kecil itu tampak makan bersama menikmati hidangan yang terbilang sederhana, sepiring nasi yang diberi sayur asam dengan lauk tahu dan tempe. Karena lapar dan kehangatan bersama keluarga, membuat waktu makan itu menjadi sangat spesial dan benar-benar terasa nikmat.
Esok malamnya, ketika Bobby hendak menggauli Dewi. Tiba-tiba “KEBAKARAN!!! KEBAKARAN!!!” terdengar orang-orang berteriak histeris di luar rumah.
Mendengar itu, Bobby dan istrinya lekas-lekas berpakaian. Setelah itu Bobby langsung keluar dan melihat apa yang terjadi. Sungguh saat itu dia begitu terkejut lantaran melihat kobaran api tampak membumbung tinggimelalap rumah-rumah yang saling berdempetan dengan begitu cepat. Mengetahui itu, Bobby pun langsung memerintahkan istrinya untuk menyelamatkan Intan. Sementara itu, dia sendiri berusaha menyelamatkan barang-barangnya yang mudah dibawa.
Dalam waktu singkat, api sudah menjalar dan melahap tempat tinggalnya tanpa ampun. Sementara itu, Bobby bersama warga setempat masih berusaha keras memadamkan api dengan menggunakan air apa aja, sekalipun itu air selokan yang bau. Ember demi ember terus disiram pada rumah-rumah yang baru terbakar dan yang belum terbakar. Mereka terus berusaha memperlambat laju api dengan penuh semangat, hingga akhirnya datanglah petugas pemadam kebakaran yang dengan susah payah bisa juga menjangkau tempat itu.
Setelah berjuang dengan gigih, akhirnya warga setempat dan petugas pemadam kebakaran berhasil membinasakan api yang semula begitu kejammelalap tempat tinggal orang-orang miskin yang kini tampak sedang berduka lantaran tidak tahu harus tinggal di mana. Bobby pun merasa sedih atas kejadian itu, dosa apa yang telah mereka perbuat sehingga harus mendapat ujian seperti itu. Begitulah Bobby, yang senantiasa mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi. Selalu berprasangka baik kepada Tuhan, yang telah diyakininya telah memperingati warga setempat untuk lebih bertakwa kepada-Nya, sehingga membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.
“Bang... Barang-barang kita, Bang. Padahal susah payah kita mengumpulkan uang untuk membelinya. Kini semuanya sudah habis terbakar, yang ada hanya tinggal ini Bang, pakaian dan beberapa surat penting yang tadi Abang selamatkan. Bang... kini kita akan tinggal di mana?” tanya Dewi dengan isak tangis yang terdengar cukup memilukan.
“Sabarlah, Sayang...! Kau tidak perlu memikirkan perihal barang-barang yang sudah terbakar itu, dan kau pun tidak perlu khawatir mengenai tempat tinggal kita. Sebab, kita bisa tinggal di rumah kontrakan yang sebelumnya aku dan Reni tempati, dan di sana masih ada perabotan yang bisa menjadi pengganti perabotan kita yang sudah terbakar itu.”
Mendengar itu, Dewi merasa lega. Hingga akhirnya Bobby dan anak istrinya itu lantas bergegas bersama-sama menuju ke tempat tinggal yang baru. Masalah bukanlah masalah, itulah hikmah yang didapat Bobby atas segala peristiwa yang dihadapinya. Ketika dia menceraikan istrinya hal itu merupakan masalah yang membebani hatinya, namun hal itu ternyata telah memberikan solusi atas peristiwa yang baru dihadapinya. Itulah masalah bukan masalah, yang jika dengan benar menyikapinya akan membawa kepada kebahagiaan. Begitulah Tuhan memberikan pelajaran kepada hamba-Nya, yaitu dengan cara memberikan ujian berupa masalah yang mana bila disikapi dengan benar, maka Isya Allah akan menjadi pelajaran yang sangat berharga dan menjadi hikmah yang akan membawanya kepada kualitas keimanan yang lebih baik.