E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Duka Lara - Bagian 6

Enam


Setelah keberangkatan Randy, Lara memutuskan untuk menetap di Yogyakarta. Dia memang sudah berniat untuk memulai hidup baru di kampung halamannya. Sambil menunggu Randy kembali, dia akan mengembangkan keahliannya sebagai seorang penari. Saat ini dia sedang duduk di tengah-tengah pendopo, menunggu teman-temannya yang akan berlatih tari bersama. Tak lama kemudian, tempat itu sudah dipenuhi oleh gadis-gadis cantik yang akan menari. Setelah semuanya berkumpul, mereka pun mulai latihan. Suara gamelan terdengar merdu mengiringi gadis-gadis itu. Lenggak-lenggok tubuh indah semampai tampak begitu gemulai, membawakan sebuah cerita Ramayana.
Lara yang berada di tengah-tengah tampak begitu riang. Senyumnya yang menawan mengembang bersamaan dengan gerakannya yang begitu indah. Sementara itu, dari balik pepohonan sepasang mata tampak terus mengawasinya. “Hmm... Indah sekali. Gadis itu memang pandai menari,” kata orang itu kagum.
Setelah puas mengawasi, akhirnya orang itu pergi meninggalkan tempat persembunyiannya. Sementara itu di tempat lain yang begitu jauh jaraknya, seorang pemuda tampak sedang meniup bola teka-tekinyamencari irama yang sesuai agar bola itu bisa terbelah. “Hmm... seperti apa bunyi irama yang harus kubuat itu, apakah harus sedih atau riang?” tanya Bobby sambil terus berpikir mengenai Bola teka-tekinya. Bahkan saking seriusnya, sampai-sampai dia tidak menyadari kalau Li Qin sudah berada di sisinya.
“Alat musik apa itu, Kak?” tanya gadis itu heran.
Seketika Bobby menoleh, memperhatikan wajah manis yang kini menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Ini bukan alat musik, Sayang. Namun sebuah bola teka-teki,” jawab Bobby seraya menjelaskan perihal bola teka-teki itu lebih jauh.
“Kalau begitu, boleh aku mencobanya?”
“Silakan saja,” kata Bobby seraya menyerahkan bola itu pada kekasihnya.
Tak lama kemudian, Li Qin sudah meniup bola itu. Kini dia tampak mengenali nada-nada yang dihasilkan dari setiap lubang. Dan setelah agak lama, akhirnya dia bisa menciptakan irama yang terdengar indah. Namun karena yang dihasilkan bukan irama yang sesuai, maka bola itu pun tetap tak bisa terbelah. Karena sesungguhnya urutan nada itu adalah kunci kombinasi yang secara mekanik bisa membuka pengunci yang ada di dalamnya.
“Indah sekali kedengarannya, Sayang...” komentar Bobby kagum.
“Itu terjadi karena aku memainkannya dengan penuh perasaan, Kak.”
Mengetahui itu Bobby langsung berpikir. “Emm... jadi harus dengan perasaan. Tapi... perasaan seperti apa, perasaan senang atau sedih?” tanyanya masih belum mengerti. “Sayang... coba kau memainkannya dengan perasaan sedih!” pintanya kemudian.
Li Qin pun menurut, dia segera memainkannya dengan perasan sedih, sehingga irama yang dihasilkan pun terdengar begitu memilukan.
“Cukup, Sayang.... sekarang coba dengan perasan senang.”
Lagi-lagi Li Qin menurut. Kini dia memainkannya dengan perasaan senang sehingga terdengarlah irama  yang terdengar begitu riang.
“Cukup, Sayang!” pinta Bobby. Kemudian pemuda itu kembali berpikir, “Emm... keduanya terdengar sangat indah. Hanya saja iramanya belum sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pembuatnya.  Kalau begitu, mau tidak mau bola itu harus dimainkan setiap saat dan dengan irama yang berbeda-beda.”
“Kak, apa yang kau pikirkan?” tanya Li Qin.
Mendapat pertanyaan itu, Bobby langsung memberitahu. Hingga akhirnya, Li Qin pun bisa memahami.
“Emm... Kalau begitu, bolehkah aku meminjam bola ini agar setiap saat aku bisa memainkannya!”
“Tentu saja, Sayang... mainkanlah bola itu sesukamu. Terus terang, kau lebih mahir memainkannya ketimbang diriku.”
Betapa senangnya Li Qin saat itu, dan tak lama kemudian terdengarlah irama riang yang sangat sesuai dengan perasaannya saat itu. Sementara itu di tempat lain, Lara sedang memperhatikan foto Randy yang ada di liontinnya, saat itu dia tampak tersenyum sendiri, teringat dengan ciuman Randy. “Oh Randy... bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu, kenangan indah kita tak mungkin kulupakan.”
Kini dia kembali memandang foto Randy yang terpasang di liontinnya, kemudian melekatkannya di bibir dan menciumnya mesra. Sejenak kembali ditatapnya foto itu, lalu segera didekapnya erat. “Kak... kapan kau akan kembali? Sesungguhnya aku sudah begitu merindukanmu. Hmm... Aku heran, kenapa belakangan ini kau jarang memberi kabar padaku. Bahkan sekarang, sudah dua bulan lebih kau belum juga memberi kabar apa-apa. Terus terang, aku begitu tersiksa, siang dan malam aku selalu merindukanmu. Apakah kau memang terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, atau...”
Tiba-tiba di benak gadis itu sudah terbayang sebuah peristiwa yang sangat mengkhawatirkan dirinya. Dalam bayangannya itu, Lara melihat Randy tampak sedang asyik berbincang-bincang dengan seorang sekretarisnya yang cantik. Dan karena gadis itu juga sangat memikat hati, lantas Randy pun tergoda. Apa lagi saat itu Randy sedang jauh darinya, tentulah ia merasa rindu dan kesepian. Sungguh tidak mustahil jika seorang pria yang mengalami kondisi demikian menjadi khilaf dan akhirnya menjadikan wanita itu sebagai pelampiasannya. Kini Lara sudah membayangkan bagaimana kekasihnya itu sudah berbuat melebihi batas, dia melakukan hubungan intim di ruang kantornya setiap ada kesempatan. Sungguh saat itu Lara sangat kecewa dengan sikap Randy yang berada di fantasinya.
Seketika Lara menarik nafas panjang dan mengelus dadanya, “Itu tidak mustahil dilakukannya. Bukankah selama kami berduaan dia memang terkadang suka tak terkendali dan mengajakku berbuat begitu, namun karena aku masih bisa menjaga diri maka perbuatan itu tak pernah terjadi. Andai waktu itu aku menurutinya, mungkin sekarang aku sudah tidak suci lagi. Tapi, jika kejadian serupa terjadi di sana dan gadis sekretarisnya itu mau saja, tentu mereka akan melakukannya.“
Lagi-lagi Lara menarik nafas panjang dan mengelus dada karena membayangkan orang yang dicintainya melakukan hal yang tak sepatutnya. Belum reda kecemasan gadis itu akibat fantasinya sendiri, tiba-tiba saja dia mendengar suara ketukan di pintu kamar. “Siapa?” tanyanya kepada orang mengetuk pintu.
“Ini aku, Ra. Winda...”
"O, kau!” kata Lara seraya bergegas membukakan pintu. “Ada apa?” tanyanya kemudian.”
“Ini, pesananmu.”
"O, jadi sudah selesai. Kok tumben bisa secepat ini?”
“Kau jangan meremehkan aku, Ra. Jelek-jelek begini aku bisa juga profesional loh.”
“Kau jangan marah dong, aku kan cuma bercanda.”
Gadis yang bernama Winda itu tampak tersenyum, sebuah pertanda kalau ia sama sekali tidak marah. “Sudah ya, Ra. Aku pergi dulu karena masih banyak kerjaan lain,” pamit gadis itu kemudian.
“Iya, Win. Terima kasih ya!”
“Sama-sama,” ucap Winda seraya bergegas pergi.
Kini Lara mencoba gaun yang dipesannya itu, dan dia tampak begitu cantik ketika mengenakannya. “Winda memang hebat, gaun ini pas sekali di tubuhku.”
Lara tampak berputar di depan cermin, dan dia bangga sekali memakainya. Tubuhnya yang semampai begitu serasi dengan gaun biru yang dikenakannya. “Apa ya komentar teman-teman jika melihat gaun ini, apakah mereka akan memujiku. Hmm.. aku rasa memang begitu.”
Lara terus bergaya di depan cermin, dan dia tak henti-hentinya mengagumi diri sendiri. Terbayang sudah bagaimana para pria nanti akan terkagum-kagum melihat keindahan tubuhnya yang semampai dengan gaun yang juga indah. Bagaimana mata mereka akan terbelalak dan memuji dirinya sebagai gadis yang paling cantik. Sungguh saat itu dia sama sekali tidak memikirkan perasan Randy, yang bila saja tahu mengenai isi hatinya itu tentu akan membuatnya cemburu. Bagaimana mungkin dia bisa rela jika keindahan tubuh kekasihnya dibagi-bagi dengan pria lain, walaupun cuma sebatas pandangan. Idealnya sebagai pria yang merasa terhormat, tentu menginginkan gadis pujaannya itu seutuhnya hanya untuk dirinya. Layaknya putri raja yang terhormat, yang tak sembarang pria boleh melihatnya.




Malam harinya, di tempat pesta. Lara tampil bagaikan seorang putri yang begitu cantik. Pada saat itu, hampir semua mata pria terpana dengan kecantikannya. “Selamat, ya! Semoga panjang umur. O ya, aku minta maaf karena datang terlambat sehingga tak menyaksikanmu meniup lilin,” ucap Lara kepada teman satu sanggarnya yang  berulang tahun.
“Terima kasih, Ra. Tidak apa-apa kok. O ya, ngomong-ngomong ada yang mau berkenalan denganmu.”
“Siapa?” tanya Lara penasaran.
“Tunggu sebentar, ya!” pinta teman Lara seraya melangkah pergi.
Tak lama kemudian, teman Lara sudah kembali bersama dua orang pria tampan. “Kenalkan, Ra. Ini Pak Sasongko, beliau ketua sanggar tari yang terkenal itu. Dan yang ini seorang choreographer, namanya Rahman.”
“Saya Lara, senang berkenalan dengan kalian.”
"O ya, maaf! Aku harus menemui tamu-tamu yang baru datang itu. Silakan kalian berbincang-bincang dan nikmatilah suasana pesta ini dengan penuh suka cita.”
Kini Lara dan kedua pemuda yang baru dikenalnya itu tampak berbincang-bincang mengenai tari tradisional yang menjadi dunia mereka, hingga akhirnya mereka mulai akrab dan perbincangan pun semakin jauh berkembang.
“Begitulah, Dik Lara,” jelas Pak Sasongko mengakhiri ceritanya mengenai kesibukannya sehari-hari sebagai pimpinan sanggar. "O ya, Dik. Kebetulan hari ini aku ada pertemuan penting dengan seseorang, dan karenanyalah aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Nah, sebaiknya sekarang aku mohon diri. O ya, di lain waktu aku harap kita bisa berbincang-bincang lagi mengenai dunia kita ini!”
“Tentu saja, Pak. Dengan senang hati,” kata Lara seraya tersenyum.
“O ya, Rahman. Jangan lupa untuk mempresentasikan tarian barumu besok pagi.”
“Baik, Pak,” jawab Rahman.
“Sudah ya, aku mohon diri sekarang.”
Setelah pamit dengan Lara dan Rahman, Pak Sasongko segera melangkah menemui teman Lara yang sedang berulang tahun, dan setelah itu dia pun bergegas meninggalkan ruang pesta. Pada saat yang sama, Lara dan Rahman tampak sedang membicarakan sesuatu yang menarik.
“Hmm... Jadi gerakan tari modern yang kau ciptakan itu semuanya terinspirasi dari tari tradisional?“ tanya Lara perihal tarian baru yang diciptakan Rahman.
“Betul, Ra. Karenanyalah aku sangat suka berkecimpung di dunia tari tradisional ini, yang mana dari setiap gerakan yang sudah bagus itu bisa aku modifikasi sehingga menjadi gerakan baru yang lebih modern. Terus-terang, aku melakukan ini karena merasa terpanggil untuk membuat tarian modern yang indah namun tidak membuat yang melihatnya menjadi berpikiran macam-macam.”
“Eng... maksud Kakak dengan berpikiran macam-macam itu apa?”
“Begini, Ra. Setiap orang mempunyai sudut pandang berbeda terhadap sesuatu yang dilihatnya, dan itu tergantung dari pengetahuan yang didapatnya. Misalkan aku sendiri yang selama ini sudah mempelajari seni tari dengan sangat mendalam, sehingga aku bisa memandang gerakan tari itu sebagai suatu hasil kreasi seni yang patut dilestarikan. Sebab setiap kali aku menyaksikan tari, aku betul-betul mendapatkan pesan yang positif yang membuatku menjadi lebih baik. Dan semua itu dikarenakan pesan yang ingin disampaikan oleh pencipta tarian itu bisa aku tangkap dengan baik. Namun tidak demikian halnya dengan orang-orang yang tidak mengerti seni tari, mereka tentu hanya melihat dari sudut pandang yang dangkal, yaitu hanya sebatas gerakan indah yang menghibur. Dan gerakan indah yang menghibur itu pun bisa dimaknai berbeda tergantung dari persepsi orang yang melihatnya. Jika persepsi itu positif tentu tidak menjadi masalah, namun jika itu negatif tentu akan menjadi sebuah masalah. Karena itulah sebagai seorang choreographer aku merasa berkewajiban menciptakan kreasi seni yang betul-betul bisa dinikmati secara positif oleh orang yang tidak mengerti seni sekalipun. Intinya adalah aku tidak mau orang menjadi menyalahgunakan seni untuk hal-hal yang tidak baik. Sebab lahirnya seni itu bertujuan untuk menumbuhkan kebaikan, bukan justru malah sebaliknya.“
"O, jadi begitu. Aku kira cuma narkoba saja yang bisa disalahgunakan, tapi ternyata seni juga bisa disalahgunakan ya.”
“Ya begitulah kehidupan di dunia. Selama orang masih belum bisa mendapatkan informasi yang baik dan benar tentu penyalahgunaan terhadap hal apapun tentu masih akan terus terjadi. Dan karenanyalah, sebagai orang yang mengetahui informasi itu aku merasa berkewajiban menyampaikan apa yang kutahu itu kepada mereka yang belum mengetahuinya. Dengan harapan, suatu hari kelak mereka bisa menikmati seni sebagaimanamestinya. Dan selama ini pun, aku terus berusaha keras untuk bisa menciptakan kreasi seni yang juga dibarengi dengan informasi yang baik dan benar.”
“Kau betul, Kak. Tanpa itu semua bagai mana mungkin orang yang tak mengerti seni akan bisa memahami sebuah karya seni sebagai seni. Contohnya ketika aku menyaksikan pagelaran tari modern, aku sama sekali tidak mengerti maksud dari semua gerakan itu. Choreographer-nya cuma bilang itu adalah kreasi seni, namun sayangnya dia sama-sekali tidak menjelaskan seninya itu bagaimana. Tidak seperti tari tradisional yang kugeluti selama ini, kalau sesungguhnya setiap gerakan di dalamnya punya makna yang mendalam. Sehingga aku pun bisa merasakan gerakan itu adalah sebuah seni, seninya adalah kepiwaian penciptanya dalam menyampaikan sebuah pesan melalui gerakan yang indah.” Kedua muda-mudi kini tampak terdiam, sepertinya mereka benar-benar sedang merenungkan apa yang baru mereka bicarakan itu. Hingga akhirnya, mereka pun kembali bercakap-cakap dengan perbincangan yang kali ini jauh lebih berbobot.




Esok harinya, di negeri Paman Sam, di tengah hutan di salah satu negara bagian. Sepasang muda-mudi tampak sedang menjelajahi lereng bukit yang terjal, keduanya tampak bergandengan tangan sambil menikmati aroma pohon pinus yang tumbuh di sepanjang jalan. Panorama lembah yang terlihat dari jalan setapak yang mereka lalui tampak begitu indah, birunya danau kecil yang dikelilingi lebatnya pepohonan pinus dan berlatar belakang bukit kecil yang menghijau sungguh menyejukkan mata. Apalagi ditambah dengan kicauan burung yang bernyanyi riang, suara dengung serangga yang menggetarkan sayap, gemercik air terjun kecil yang menentramkan, dan juga nyanyian katak yang riang bermain di aliran selokan yang jernih sungguh menciptakan simfoni alam yang menentramkan.
“Kita istirahat di tempat ini saja, Kak! Lihatlah! Pemandangan dari tempat ini sungguh indah,” kata Li Qin seraya duduk atas sebuah batu yang tak begitu jauh dari terjun kecil itu.
“Kau benar, Sayang... betapa damai hati ini bila setiap saat bisa menikmati keindahan seperti ini.”
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, kapan kita bisa membina hubungan cinta kita ini ke arah yang lebih jauh. Terus terang, aku mendambakan seorang bayi yang nantinya akan melengkapi kebahagiaan kita.”
“Hmm... benarkah yang kau katakan itu? Apakah kau memang sudah siap untuk itu?”
Li Qin menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu, aku akan segera bilang pada kakek untuk menikahimu. Tapi...” Tiba-tiba Bobby teringat dengan sesuatu hal yang penting, dan karenanyalah dia pun menjadi begitu berat untuk mengungkap hal yang sebenarnya.
“Tapi apa, Kak?”
 “Li Qin... maaf  kalau aku belum bisa mengatakannya sekarang,“ katanya terus terang. "O ya, Sayang... bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan!” ajaknya kemudian.
Li Qin mengangguk, kemudian gadis itu segera berdiri dan kembali melangkah bersama kekasihnya. Kedua anak manusia itu terus melangkah hingga akhirnya mereka tiba atas bukit.
“Lihat itu, Kak!” Seru Li Qin gembira ketika melihat sebuah pohon bunga yang tumbuh di dekat bebatuan. Lalu dengan segera gadis itu berlari menghapiri pohon itu dan memetik bunganya yang berwarna biru.
Saat itu Bobby tampak memperhatikan bunga itu dengan penuh seksama, “Hmm… itukah bunga yang dikatakan kakek bisa membuka simpul-simpul energi tersembunyi dalam diriku?” tanya Bobby heran.
Li Qin mengangguk, saat itu di wajahnya tersungging sebuah senyum yang membahagiakan.
“Hmm... aku sungguh tidak menyangka kalau bunga sekecil ini telah diciptakan Tuhan untuk membuat manusia menjadi lebih kuat,” kata Bobby kagum.
“Ini adalah bunga Nafas Dewa, yang mana leluhurku mempercayai kalau bunga ini dulunya tumbuh di sorga, dan ketika di bawa turun ke bumi bunga itu akhirnya mati. Lalu untuk menghidupkan bunga itu kembali, Dewa pun memberikan nafasnya hingga akhirnya membuat bunga itu hidup dan terus berkembang sampai hari ini. Leluhurku percaya karena nafas Dewa yang ada di bunga itulah yang bisa membuat manusia menjadi kuat. Bunga ini tumbuh hampir di semua dataran tinggi, namun sangat sulit ditemukan karena hanya berbunga di saat hari Peh-cun bulan Cia-gwee, dan disaat hawa bumi dan langit (Im-yang) sedang bertemu. Hawa itu pun hanya berlangsung beberapa menit saja.”
Bobby tersenyum saja mendengar penjelasan Li Qin, dalam hati dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kekasihnya. Menurutnya, bunga itu menjadi istimewa bukanlah karena nafas Dewa, namun dikarenakan Tuhan memang telah menciptakan berbagai zat yang secara hukum alam bisa membuka simpul-simpul energi sehingga membuat manusia menjadi lebih kuat. Bunga itu termasuk bunga langka yang regenerasinya sangat lambat, ia membutuhkan berbagai faktor alam demi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Setelah mendapat apa yang mereka cari, akhirnya kedua muda-mudi itu kembali pulang. Dalam perjalanan, mereka terus bercakap-cakap sambil sesekali menikmati panorama senja yang tampak begitu indah. Pada saat yang sama, di kota pelajar negeri zambrut katulistiwa. Beberapa penari tampak gemulai membawakan cerita Ramayana, gerakannya yang lemah lembut tampak begitu harmonis dengan bunyi gamelan yang mengiringinya. Salah satu dari penari itu adalah Lara, yang kini sudah semakin mahir dengan berbagai gerakan yang mengikuti pakemnya. Usai menari, gadis itu tampak berganti pakaian, kemudian melangkah ke sebuah restoran yang tak begitu jauh dari sanggar tarinya.
“Maaf ya kalau lama menunggu!” ucap gadis itu kepada seorang pria yang dikenalnya di saat pesta ulang tahun waktu itu.
“Tidak apa-apa, yang penting sekarang kan kita sudah bertemu,” kata pria  itu seraya bangkit dari duduknya. “Dik Lara, bagaimana kau kita ngobrol di sana saja!” ajak pria itu seraya melangkah bersama menuju meja yang ada di sudut ruangan. Kini keduanya sudah duduk di tempat itu dan segera memesan makanan dan minuman. Tak lama kemudian, keduanya sudah menikmati pesanan itu sambil berbincang-bincang dengan penuh keakraban. “Dik Lara... ternyata dugaanku benar kalau kau adalah gadis yang sangat berbakat. Dulu ketika pertama kali melihatmu menari, aku sudah yakin kalau kau akan menjadi menari yang hebat. Karena itulah kini aku memutuskan untuk mengajakmu bergabung dalam sanggar tari yang kupimpin, yaitu sebuah sanggar tari yang selama ini sudah melanglang buana hingga keluar negeri. Nah, Dik Lara... maukah kau ikut bergabung bersama kami?”
“Tentu saja aku mau, Pak. Sebetulnya hal inilah yang selama ini begitu kuidam-idamkan, yaitu menjadi seorang penari profesional.”
Lara dan orang yang baru dikenalnya itu terus berbincang-bincang dengan penuh antusias.




 Esok harinya di tengah hutan di sebuah negara bagian Amerika Serikat, Bobby dan Li Qin sedang duduk berdua di bawah rindangnya pohon besar yang tumbuh di samping pondok. Pada saat itu di wajah Bobby terlihat ekspresi kesedihan yang mendalam.
“Kak, sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Li Qin.
“Li Qin... ternyata hubungan cinta kita ini telah membuatku sedih.”
“Aku sungguh tidak mengerti, Kak. Bukankah selama ini kita selalu berbahagia?”
“Ya, kita selama ini kita memang senantiasa bahagia, namun setelah kemarin kau mengungkapkan keinginanmu. Aku pun jadi berpikir, dan akhirnya...” Bobby terdiam. Pemuda itu kembali memikirkan perihal yang telah membebani hatinya. Bagaimana mungkin dia bisa menikahi gadis yang tak seiman dengannya.
Padahal selama ini dia sudah begitu mencintainya dan menganggap Li Qin sebagai embun pagi yang senantiasa memberikan kehidupan bagi rumput yang kekeringan. Sungguh selama ini Li Qin sudah membuatnya hidup kembali dan memaknai kehidupan ini dengan penuh arti.
“Kak! Sebenarnya apa yang kau pikirkan?” tanya Li Qin tiba-tiba.
Bobby tidak segera menjawab, dia menatap Li Qin dengan mata yang berkaca-kaca. “Sayang... aku berharap kau bisa menerima ini!” ucapnya kemudian.
“Menerima apa, Kak?”
“Kenyataan pahit yang akan membuat hidup kita bagai tanah tandus yang di atasnya tak mungkin lagi tumbuh rumput hijau yang menyejukkan, indahnya warna-warni bunga yang penuh keindahan, juga keceriaan kumbang dan kupu-kupu yang senantiasa menikmati manisnya sari bunga yang mekar.”
“Maksudmu?”
“Kita harus berpisah...”
Seketika air mata Li Qin meleleh, bola matanya menatap dalam penuh makna. Seolah mengatakan kalau ia begitu berat berpisah dan tak mungkin bisa hidup bahagia tanpanya. Melihat itu Bobby tampak tak kuasa, kemudian pemuda itu beranjak dari duduknya dan memandang ke arah bukit.
“Kak...  kenapa kita harus berpisah?” tanya Li Qin terisak seraya ikut bangkit dan berdiri di samping kekasihnya.
“Keyakinan kita. Nafas kehidupan yang tak mudah untuk dikalahkan hanya oleh sebab hasrat dua hati yang saling mencintai.
Li Qin... apakah kau rela menukar keyakinanmu demi untuk keutuhan cinta kita?” tanya Bobby seraya memandang mata gadis itu dalam-dalam.
“Tidak... itu tidak mungkin, Kak. Sebab, keyakinanku itu adalah anugerah yang membuatku tetap hidup, tanpanya aku bagai orang tersesat yang tak tahu arah tujuan.
Terus terang, aku tidak yakin kalau keyakinanmu itu bisa memberi petunjuk kepadaku untuk menentukan arah hidupku.”
“Demikian juga aku, Li. Karenanyalah aku memutuskan untuk berpisah denganmu. Lagi pula, bukankah cinta itu tidak berarti harus memiliki, namun sebenarnya ketulusan mencintai itulah yang terpenting. Biarpun kau tidak menjadi milikmu, namun aku akan senantiasa menyayangimu. Biarlah keyakinan kita berbeda, namun kasih sayang kita tak akan pernah luntur oleh hanya sebab perbedaan itu.”
Seketika Li Qin memeluk Bobby erat, dia menangis tanpa berkata sepatah kata pun. Pada saat yang sama Bobby tampak membelainya dengan penuh kasih sayang, membesarkan hatinya agar senantiasa kuat menerima kenyataan pahit yang mereka hadapi. Tak lama kemudian Li Qin sudah melepaskan pelukannya, kemudian menatap Bobby dengan air mata yang terus berlinang.
“Kak... maafkan aku karena tidak bisa mengikuti keyakinanmu!”
“Aku juga, Li. Maafkan aku karena telah melibatkanmu dengan cinta yang tak seharusnya kita jalani. Andai dari awal aku menyadari kalau akan sesulit ini jadinya, tentu aku tidak akan melibatkanmu.”
Lagi-lagi Li Qin memeluk Bobby erat, dia kembali menumpahkan kesedihannya yang mendalam dengan terus menangis di bahu orang yang begitu dicintainya. Pada saat itu Bobby tidak lagi mampu berkata-kata, dia hanya bisa membelai sayang dengan mata berlinang.
Kedua anak manusia itu terus larut dalam duka, buah dari ikatan yang tak semestinya mereka jalani, yang sebenarnya bisa dihindari jika dari awal mereka mau mengamalkan jiwa kemanusiaan mereka yang berakal.




 Esok paginya, Bobby sudah siap pergi dengan membawa bekal seadanya. Kini dia tampak berpamitan dengan gurunya yang kini duduk di beranda. Saat itu sang guru tampak sedih, namun sebagai kakek yang bijaksana dia rela melepaskan kepergian sang Murid yang kini baru mengusai sebagian ilmunya.
Setelah berpamitan, Bobby tampak melangkah bersama kekasihnya yang mengantar hingga ke pekarangan. Tak lama kemudian, kedua anak manusia itu saling berpelukan, lalu dari mata keduanya tampak mengalir air mata perpisahan.
“Selamat tinggal, Sayang...!” ucap Bobby seraya melepaskan pelukannya.
"O ya, Kak. Ini bola teka-tekimu.”
“Li, sebelum aku pergi, maukah kau mainkanlah sebuah lagu untukku!”
“Tentu saja, Kak.”
Li Qin pun segera merangkai nada-nada yang keluar dari bola teka-teki itu dengan baik sekali, sehingga saat itu terdengarlah irama yang begitu indah dan membahagiakan. Irama itu terdengar tidak sedih namun juga tidak riang, irama yang saat itu menggambarkan nuansa hatinya yang kini sudah bisa merelakan kepergian kekasihnya.
Tiba-tiba TREK! TEK! Bola teka-teki itu terbelah dua, dan di dalamnya terdapat selembar kulit hewan yang bertuliskan sebuah pesan yang bisa membahagiakan orang yang membacanya dengan penuh penghayatan.
“Kau bisa membukanya, Li!” seru Bobby gembira.
“Ini pesan itu, Kak,” kata Li Qin seraya menyerahkan pesan yang baru dibacanya.
Bobby lantas segera menanggapi dan membacanya dengan penuh penghayatan. \
“Hmm... kini aku mengerti. Itulah makna cinta yang sesungguhnya.”
“Kak, bisakah kau menjelaskannya padaku?”
“Tentu saja, Sayang...”
Bobby pun segera menjelaskan makna yang terkandung di dalam pesan itu, hingga akhirnya Li Qin bisa memahami dan membuat hatinya benar-benar bahagia.
“Ternyata kita memang harus berpisah, Kak,” kata gadis itu mengerti.
“Kau betul, Sayang...”
"O ya, Ini bolanya, Kak.”
“Simpan saja untukmu! Bukankah kau sangat menyukainya. Lagi pula, aku kan sudah tahu isinya, dan bola itu memang sangat pantas kau miliki karena kau pandai memainkannya.”
“Terima kasih, Kak.” ucap Li Qin.
Bobby mengangguk. “Selamat tinggal Li...” ucapnya seraya tersenyum.
“Selamat jalan, Kak...” balas Li Qin ikut tersenyum. Sebuah ekspresi yang menandakan kalau dia pun benar-benar sudah siap berpisah.
Pada saat itu, batin Bobby betul-betul terasa ringan karena melihat Li Qin yang juga bisa tersenyumpertanda kalau dia sudah betul-betul bisa menerima perpisahan itu dengan tanpa beban sedikitpun. Hingga akhirnya pemuda itu melangkah meninggalkan orang yang begitu dicintainya. Bobby terus melangkah dan melangkah. Dalam hati, pemuda itu berdoa kepada Tuhan agar orang yang dicintainya itu diberikan hidayah sehingga bisa meninggalkan keyakinannya.
Sementara itu, Li Qin yang masih terus memperhatikan kepergian orang yang dicintainya itu juga berdoa kepada Tuhannya agar Bobby mau meninggalkan keyakinannya. Begitulah cinta, yang dengan kekuatannya telah membuat kedua anak manusia itu mau saling mendoakan karena rasa saling menyayangi.