Empat
Seminggu kemudian, di pinggiran kota. Seorang pemuda tampak melangkah menyusuri jalan setapak yang berliku-liku. Di kanan-kirinya tampak berjajar rumah-rumah kecil yang saling berdempetan. Dan semakin jauh dia melangkah, rumah-rumah yang ada tampak mulai saling berjauhan, berdiri di antara pepohonan rindang yang tumbuh di hampir sepanjang jalan, hingga akhirnya pemuda itu tiba sebuah persimpangan jalan. Kini dia tampak meneruskan langkahnya melewati jalan yang lebih kecil dan terlihat menurun, hingga akhirnya dia tiba di tepi kali yang berair kecoklatan. Tak jauh dari tempat itu, tampak berdiri beberapa rumah kecil yang saling berjauhan. Sejenak pemuda itu memperhatikan sebuah rumah yang berdiri tepat di sebelah empang yang penuh dengan teratai. Bangunan kecil dengan dinding batako tak diplester itu masih sama seperti dulu.
Seketika Bobby terbayang saat pertama kalinya berkunjung ke tempat itu. Dulu ketika baru menginjak dewasa, dia dan temannya datang mengunjungi Dewigadis gaul yang dikenalnya ketika pertunjukan orkes dangdut. Dan sejak saat itulah, disetiap malam minggu, Bobby dan temannya datang menginap di rumah itu, hingga akhirnya benih-benih cinta tumbuh di hati Bobby. Namun, pada suatu ketika, disaat Bobby dan temannya menginap. Terjadilah peristiwa yang tak disangka-sangka, ternyata gadis yang dicintainya itu tega bercumbu rayu di depan matanya.
Karena peristiwa itulah, akhirnya Bobby meninggalkan Dewi dan tak pernah menemuinya lagi. Namun, kini Bobby terpaksa kembali karena buntut dari peristiwa itu pula. Malam itulah dengan tanpa sadar dia telah melakukan hubungan intim dengan Dewi dan menyebabkannya hamil.
“Bobby!” teriak seorang wanita membuyarkan ingatannya.
“Dewi!” seru Bobby ketika mengetahui siapa yang memanggil.
Kini keduanya sudah saling bertatap mata dengan senyum tersungging di bibir masing-masing. “Ku kira kau tidak akan datang,” kata Dewi seakan tak percaya.
“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Bobby.
“Eng… Soalnya aku masih ragu, apakah kau sudah bisa bersikap dewasa.”
“Hmm... Sekarang, apakah kau masih ragu?”
“Tidak, sekarang aku sudah yakin.”
“Hahaha...! Kau salah, Wi! Aku ke sini bukan mau menikahimu, tapi justru sebaliknya. Setelah kupikir-pikir, ternyata kejadian itu bukanlah kesalahanku. Tapi itu merupakan kesalahanmu, dan karenanyalah aku merasa tidak perlu bertanggung jawab. Lagi pula, aku tidak yakin kalau Intan itu memang anakku.”
“Dia memang anakmu, Bob,” ucap Dewi lirih.
“Aku tidak percaya. Apa buktinya coba?”
“Ya, aku memang tidak bisa membuktikannya. Tapi, aku yakin betul kalau dia itu memang anakmu, sebab setelah haid cuma kau yang berhubungan intim denganku.”
“Maaf, Wi. Aku tetap tidak percaya.”
“Kalau begitu baiklah, Bob. Semua itu memang salahku, dan kau memang tidak perlu bertanggung jawab,” ucap Dewi seraya menitikkan air matanya. “Bob… sebaiknya kini kau pulang saja! Mulai hari ini, aku akan melupakan semuanya. Dan Jika Intan sudah mengerti dan menanyakan perihal ayahnya, aku tidak akan memberitahu kalau kaulah ayahnya,” ucap Dewi lagi seraya berpaling dan siap melangkah pergi.
“Tunggu, Wi!” Tahan Bobby seraya memegang pundak wanita itu.
“Maafkan Aku, Wi! Semua ucapanku tadi semata-mata hanya untuk memantapkan hatiku saja. Kalau aku memang harus menikahimu,” katanya terus terang seraya menatap mata Dewi dalam-dalam.
“Sungguh, Bob?” tanya Dewi seraya mengusap air matanya yang kembali menetes karena bahagia.
“Iya, Wi. Malam ini kita akan menikah”
“A-apa! Secepat itukah?”
“Bukankah lebih cepat lebih baik, Wi.”
“Iya sih. Tapi...”
“Sudahlah, sebaiknya kita bicara di rumahmu saja!”
“Baiklah... Ayo, Bob!” Ajak Dewi seraya melangkah ke balai bambu yang letaknya tepat berhadapan dengan empang yang dipenuhi teratai. Tak lama kemudian, keduanya sudah duduk ditempat itu dan mulai berbincang-bincang.
“Bob, apa kau sudah mendapat pekerjaan?” tanya Dewi.
“Belum, Wi,” jawab Bobby jujur.
“Jika belum, kenapa kau begitu terburu-buru?”
“Mungkin dengan cepat menikah, nasibku pun akan cepat berubah.”
“Eng… Kalau tidak bagaimana?” tanya Dewi ragu.
“Aku optimis, Wi. Tuhan pasti akan memberi rezeki untuk keluarga kita.”
Bobby dan Dewi terus berbincang-bincang, hingga akhirnya Ayah Dewi pulang dari berjualan buah. Mengetahui itu, Bobby pun segera menemuinya dan membicarakan perihal niatnya untuk mempersunting Dewi.
Dua hari kemudian, sepulang dari rumah Dewi. Bobby langsung menemui temannya untuk meminjam uang. Setelah dapat, pemuda itu langsung bergegas menelusuri gelapnya malam menuju ke rumah Nina yang berada di pinggir kota. Setibanya di tempat tujuan, dia tampak terkejut, sungguh dia tidak menduga kalau rumah Nina akan sebesar itu. Kini pemuda itu mulai memasuki pekarangan yang tak berpagar, sekilas kedua matanya sempat memperhatikan indahnya tanaman bunga yang diterangi oleh beberapa lampu taman yang berwarna hijau dan kuning keemasan. Setelah bel ditekan, pemuda itu langsung disambut oleh Nina yang begitu senang atas kedatangannya. Tak lama kemudian, keduanya sudah melangkah ke ruang tamu yang cukup nyaman, lantas di tempat itulah mereka berbincang-bincang dengan penuh keakraban.
“Nin... kau mau kan menikah denganku?” tanya Bobby sungguh-sungguh.
Mendengar itu, Nina pun tersentak. “Be-benarkah yang kau katakan itu, Bob?” tanyanya seakan tak percaya.
“Sungguh, Nin... Aku memang akan menikahimu secepatnya.”
“Oh, Bob... Terus terang, aku bahagia sekali mendengarnya.”
"O ya, Nin. Kau kan tahu kalau aku masih pengangguran, karenanyalah aku akan menikahimu di bawah tangan.”
“Tidak, Bob. Aku tidak mau.”
“Untuk sementara saja, Nin. Jika sudah ada uang, aku pasti akan menikahimu secara resmi di KUA”
“Tapi Bob...”
“Sudahlah, Nin! Percayalah padaku! Aku juga tidak mau jika pernikahan kita tidak diakui oleh hukum di negara ini.”
Sejenak Nina berpikir keras, dan tak lama kemudian dia sudah bisa mengambil keputusan. “Baiklah, Bob. Kalau begitu aku bersedia menikah di bawah tangan. Tapi janji, kau harus secepatnya menikahiku lagi di KUA!”
“Iya, Nin. Aku janji.”
Kini keduanya sedang membicarakan mengenai waktu dan tempat pernikahan. Hingga akhirnya, mereka dapat menetapkan hal itu dengan tanpa keraguan. Yaitu lusa, bertempat di kediaman orang tua Nina.
Seminggu kemudian, di sebuah lembah nan permai. Seorang pemuda tampak begitu ceria, “Oh indah nian tempat ini,” ungkapnya seraya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. Merasakan kesegaran udara pagi yang begitu sejuk. Pada saat yang sama, kedua matanya yang bening tampak memandang ke arah bukit yang masih diselimuti kabut. Saat itu, sinar mentari yang keemasan tampak indah membias di cakrawala. Menampilkan lukisan panorama pagi yang begitu menawan, melebihi maha karya seorang maestro terkenal. Keindahan panorama itu pun terserap oleh mata pemuda yang kini sedang berbahagia karena akan berjumpa dengan sang kekasih yang pernah ia tinggalkan. Ketika keindahan itu meresap di hatinya, maka lengkaplah sudah kebahagiaan yang dirasakannya. Pemuda itu pun tak henti-hentinya mengucap syukur dan memuji kebesaran Tuhan atas kebahagiaan yang dikaruniakan kepadanya.
Sementara itu di tempat lain, di atas sebuah beranda bambu, seorang wanita muda tampak duduk sambil membersihkan kulit gabah dari beras yang baru ditampyahnya. Sambil terus memilah, wanita itu mulai melamunkan sang pujaan hati. “Oh, Bobby. Aku benar-benar bahagia karena kau akan datang menikahiku. Sesungguhnya aku sudah lama mendambakan ini, yaitu semenjak aku mengetahui mengandung anakmu. Dan semenjak itu pula, aku semakin bertekad hanya mencintaimu seorang. Biarpun selama ini banyak pria yang ingin menjadikanku sebagai istri, namun aku tetap menolak karena cintaku hanya untukmu. Andai waktu itu aku bisa sedikit dewasa mungkin kau tidak akan meninggalkanku. Tapi, syukurlah akhirnya Tuhan mempertemukan kita. Hari ini aku betul-betul bahagia karena kau telah berjanji akan menikahiku.”
Lama juga wanita itu terlena dengan lamunannya, hingga akhirnya dia mendengar suara pemuda memanggilnya. Seketika Reni menoleh ke asal suara, memperhatikan wajah tampan yang kini sedang tersenyum padanya. “Bo-bobby!” pekik wanita itu gembira seraya beranjak menghampirinya, dan tak lama kemudian dia sudah berdiri di hadapan pemuda itu sambil menggenggam tangannya erat. Saat itu keduanya tampak berpandangan, mengungkapkan kebahagiaan yang tiara tara. “Oh, Bob. Aku benar-benar bahagia atas kedatanganmu,“ ungkap wanita itu sambil terus menatap mata kekasihnya.
“Sungguh?” tanya Bobby seraya tersenyum.
Wanita yang bernama Reni itu mengangguk, kemudian dengan serta-merta dia mengajak pujaan hatinya itu duduk di sebuah balai bambu. Lalu, dengan agak malu-malu wanita itu kembali mengungkapkan isi hatinya, “Bob... a-aku sangat mencintaimu. Bahkan kini semua kenangan indah ketika bersamamu kembali terbayang, dan semua kenangan itu sepertinya belum lama kita lewati.“
“Aku juga, Ren. Semua kenangan indah itu kini terbayang jelas sekali. Dimana kita selalu bersama berbagi kasih di tempat ini, bercanda riang sambil menikmati singkong rebus dan kopi buatanmu.”
“Oh, Bob. Kau masih ingat semua itu?”
Bobby tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu, tunggu sebentar ya! Aku akan membuatkanmu kopi dan menyediakan beberapa singkong rebus kesukaanmu. ”
Setelah berkata begitu, Reni pun bergegas ke dapur. Sementara itu Bobby tampak memperhatikannya sambil membatin. “Maaf kan aku, Ren. Aku tidak berterus terang kalau aku bukanlah milikmu seorang. Sungguh, itu kulakukan semata-mata demi kebahagiaanmu. Andai peristiwa itu tak terjadi kepada kedua wanita itu, tentu cintaku hanya untukmu.”
Beberapa menit kemudian, Reni sudah kembali. Di tangannya tampak segelas kopi dan sepiring singkong rebus. “Ini, Bob. Silakan dinikmati!” ucapnya seraya duduk dan meletakkan apa yang dibawanya di hadapan Bobby.
“Terima kasih, Ren!” ucap Bobby seraya mengambil kopi yang masih panas itu dan menyeruputnya sedikit. “Enak sekali kopi ini, Ren. Sama persis dengan yang pernah kunikmati lima tahun yang lalu.”
Reni tersenyum, kemudian dia segera mengambil sedikit singkong dan disuapkan kepada pujaan hatinya itu. Saat itu Bobby benar-benar bahagia karena telah dimanjakan begitu, dalam hati dia ingin menangis karena telah membagi cintanya kepada yang lain. “O ya, Ren. Anak kita di mana?” tanya Bobby tiba-tibaberusaha mengalihkan pikiran dari hal yang membebani hatinya.
"O, dia lagi ikut kakeknya berburu burung puyuh di kebun singkong,” jawab Reni.
“Hmm… Benarkah! aku jadi ingat ketika kita berburu burung puyuh bersamamu. Saat itu kita berdua sempat jatuh ke dalam parit karena mengejar burung puyuh yang terlepas dari perangkap yang kita buat. Saat itu wajahmu yang cantik jadi belepotan lumpur dan tampak lucu sekali.”
“Iya, Bob. Saat itu kau juga lucu sekali sehingga perutku sampai sakit karena menahan tawa melihat wajahmu yang juga belepotan lumpur.”
Sepasang kekasih itu terus bercakap-cakap hingga akhirnya ayah Reni dan anak mereka datang menghampiri. “Hai, Nak Bobby! Apa kabar?” sapa Sang Ayah.
“Alhamdulillah... Saya sehat-sehat saja, Pak. O ya, Bapak sendiri bagaimana?”
“Alhamdulillah... Bapak juga sehat-sehat saja,” jawab calon ayah mertua Bobby seraya duduk di sebelahnya.
Pada saat yang sama, Reni tampak beranjak dari duduknya. “Bob, aku tinggal dulu ya. Soalnya aku mau memandikan Lia. Kalian bicara saja dulu!”
Ketika Reni hendak melangkah, sang Ayah langsung menahan. “Ren, tunggu! Sebelum kau memandikan Lia, tolong ambilkan air untukku!” pintanya kemudian.
“I ya, Ayah,” ucap Reni seraya bergegas mengambilkan air untuk ayahnya. Setelah itu, dia pun sudah bergegas meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, Bobby dan calon mertuanya tampak berbincang-bincang mengenai niatnya untuk menikahi Reni. “Syukurlah, Nak. Bapak bahagia sekali mengetahui semua ini. Kalau begitu, Insya Allah nanti malam kita bisa melaksanakan pernikahan itu.”
Mengetahui itu, Bobby pun tampak bahagia sekali. Kemudian pemuda itu terlihat mengambil uang dari dalam dompetnya. “Ini, Pak. Tolong Bapak urus semuanya, kalau masih kurang bilang saja jangan sungkan-sungkan.”
“Baik, Nak. Bapak terima ini dan akan Bapak usahakan untuk bisa mencukupi. Nah, itu Reni sudah kembali. Kalau begitu, sekarang Bapak tinggal istirahat dulu ya, soalnya Bapak agak lelah setelah berburu tadi.”
“Silakan, Pak!” ucap Bobby seraya memperhatikan Reni yang kini sudah duduk di sebelahnya.
“Bagaimana, Bob?” tanya Reni.
“Alhamdulillah... Nanti malam kita akan menikah.”
“Benarkah! Syukurlah, Bob. Aku sangat bahagia mendengarnya.”
Sepasang kekasih itu terus berbincang-bincang mengenai persiapan pernikahan malam nanti. Sementara itu di Jakarta, istri pertama Bobby tampak sedang duduk melamun. Dia benar-benar tidak habis pikir kalau suaminya malah pergi keluar kota setelah menikahinya. “Bang Bobby memang aneh. Di mana-mana orang habis menikah itu berbulan madu. Eh, dia malah pergi ke luar kota karena katanya ada urusan penting yang tidak mungkin ditinggalkan. Aneh… Sebenarnya urusan apa ya? Sampai-sampai dia rela mengorbankan saat bulan madunya,” Dewi membatin.
Pada saat yang sama, di tempat lain, istri Bobby yang bernama Nina juga berpikiran sama. Dia benar-benar bingung dengan tingkah suaminya itu. Sambil terus bersandar di kepala dipan, wanita itu tak henti-hentinya memikirkan suaminya. Baginya kelakuan suaminya itu sungguh di luar akal sehat dan tidak sebagaimanamestinya, bagaimana mungkin seorang pria bisa melakukan itu di saat bulan madunya. Jika dibandingkan dengan mantan suaminya, sungguh sangat jauh berbeda. Dulu mantan suaminya hampir tidak pernah mau jauh darinya, dan di setiap harinya mereka selalu berbagi keintiman hingga tak terasa tiga bulan pun berlalu begitu cepat. Kini wanita itu menoleh ke tempat seharusnya suaminya itu berada, yaitu di sebelahnyaberbaring berdua untuk berbagi kasih sayang, saling memanjakan dengan belaian lembut dan ciuman mesra, hingga akhirnya bisa membunuh rasa sepi yang menghantuinya semenjak perceraian.