E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Sayap Bidadari Bagian 4 [ Pertemuan ]

EMPAT 
Pertemuan




Cesss! Cesss! Cesss! Harum minyak wangi tercium hampir di sekujur tubuh Bobby. Rupanya di malam Kamis yang mendebarkan ini, Bobby terpaksa datang menemui Wanda guna memenuhi keinginan orang tuanya. Dia sengaja datang sendiri lantaran tidak mau jika perjodohannya sampai tersebar luas dan menjadi gosip tak sedap yang beredar di kampungnya. Maklumlah, sebelumnya Bobby juga pernah dijodohkan dengan seorang gadis manis. Belum juga mereka saling bertemu, ternyata gosip sudah merebak hingga ke pelosok kampung. Kontan Bobby dan gadis itu menjadi malu dibuatnya, apalagi setelah pertemuannya waktu itu, yang membuat Bobby terpaksa menolak si Gadis lantaran tak mencintainya. Akibatnya, mereka pun terpaksa menanggung malu dua kali lebih berat lantaran batalnya perjodohan. Bobby tak mencintai gadis itu lantaran dia terlalu serius, bahkan tingkahnya pun terlalu kaku dan suka dibuat-buat. Padahal, Bobby lebih suka kepada gadis manja yang bertingkah apa adanya. Maklumlah, dia itu seorang pekerja keras yang sering bergelut dengan urusan serius. Karenanyalah, dia mendambakan seorang wanita yang tidak terlalu serius dan bisa menghiburnya dengan segala tingkahnya manjanya. Saat itu Bobby betul-betul kasihan dengan gadis yang terpaksa menanggung malu lebih berat dari yang dipikulnya. Sebab, gadis itu sempat cerita kepada beberapa temannya kalau Bobby adalah calon suami yang sangat dicintainya. Karena pengalaman itulah, akhirnya Bobby lebih berhati-hati dan tak mau sampai mengulangi untuk yang kedua kali.
Setibanya di rumah Wanda, Bobby langsung dipersilakan duduk dan segera dipertemukan dengan gadis yang selama ini hanya dilihat fotonya dan didengar suaranya saja. "Hmm... Ternyata dia lebih manis daripada fotonya, dan jika dibandingkan dengan Angel jelas dia itu lebih manis," ungkap Bobby dalam hati.
"Kok diam saja, Kak?" tanya Wanda kepada Bobby.
"Aku bingung, Wan," jawab Bobby singkat.
"Kalau bingung, kenapa tidak pegangan saja, Kak?"
Mengetahui anjuran itu Bobby langsung membatin, "Heran...? Memangnya tidak ada kalimat yang lain, apa? Kenapa harus kalimat itu yang dipakai untuk anjuran orang yang sedang bingung?"
"Kenapa, Kak?" tanya Wanda heran karena Bobby tak merespon kelakarnya.
"Tidak... Aku cuma heran saja. Kita ini kan baru bertemu, tapi kenapa kau justru menganjurkanku untuk memegang tanganmu," jawab Bobby asal.
Mendengar itu Wanda langsung merespon, "Enak saja... Bukan pegang tanganku, tahu. Tapi apa saja yang bisa dibuat pegangan."
"Apa coba. Memang di dekatku ada yang bisa dibuat pegangan selain tanganmu itu?"
"Hmm... Memangnya Kakak sering berpikiran negatif ya?"
"Negatif? Bukannya kau yang berpikiran begitu, masa baru bertemu sudah memintaku untuk memegang tanganmu."
"Sudah ah, Kak! Aku tidak mau membahas soal itu. Lebih baik kita bicara yang lain saja!"
"Hmm… Enaknya bicara apa ya?" tanya Bobby bingung.
"Eng... Apa ya…? O ya, kenapa Kakak mau saja dijodoh-jodohkan? Memangnya Kakak tidak bisa cari sendiri ya?"
“Enak saja tidak bisa cari sendiri. Eh, Wan? Kalau kau mau tahu, sebenarnya…” Bobby tidak melanjutkan kata-katanya.
“Sebenarnya kenapa, Kak?” tanya Wanda penasaran.
"Mmm... Sebenarnya aku mau dijodoh-jodohkan karena aku percaya kalau pilihan orang tuaku-lah yang terbaik. Ya benar, kalau itu memang yang terbaik, kenapa tidak. O ya, ngomong-ngomong… Kau sendiri kenapa mau saja dijodoh-jodohkan?"
"Aku ini kan anak yang berbakti kepada orang tua, Kak. Jadi, apa pun yang menurut mereka baik, tentu baik untukku."
"Kok jawabannya nyontek sih?”
“Tidak kok, memang begitu kenyataannya.”
“Benarkah begitu? Eng… Sekarang aku tanya padamu. Seandainya kau itu bukan dijodohkan denganku, namun dengan seorang lelaki separuh baya yang jelek. Apa kau tetap mau berbakti?"
"Kak... Orang tuaku tidak mungkin menjodohkanku dengan lelaki seperti itu."
"Lho, kenapa tidak mungkin? Jika orang tuamu meyakini kalau orang itu baik dan bisa membuatmu bahagia, kenapa tidak?"
"Jelas saja tidak… Sebab, mana mungkin aku bisa bahagia dengan orang seperti itu."
"Apa kau sudah pernah mencobanya?"
"Belum sih... Tapi kan, aku sudah bisa memprediksi."
"Prediksi? Itu artinya kau masih ragu, dan keraguan itu tidak bisa dijadikan sebuah pegangan."
"Kau betul, Kak. Itu memang tidak bisa dijadikan pegangan. Tapi, bukankah yang terbaik itu meninggalkan sesuatu yang masih meragukan. Soalnya hal itu kan berisiko tinggi. Beruntung jika aku bisa bahagia. Kalau tidak, bagaimana coba?"
"Kau benar. Jawabanmu itu memang tepat sekali. Andai saja kau bisa menerapkan hal itu dalam urusan akhirat, tentu kau akan menjadi wanita yang beruntung."
"Lho... Apa hubungannya?"
"Begini, Wan. Bukankah sekarang ini banyak orang yang berani melakukan hal-hal yang masih meragukan. Misalkan pacaran, dusta putih, bunga bank, dan masih banyak lagi. Bukankah hal seperti itu masih meragukan karena adanya berbedaan pendapat, bahkan kini sudah menjadi polemik yang terus berkepanjangan. Ketahuilah…! Hal seperti itu jelas sangat berisiko untuk urusan akhirat. Bukankah kau bilang, yang terbaik itu meninggalkan sesuatu yang masih meragukan, dan hal itu pulalah yang menjadi salah satu penyebab aku tidak mau pacaran. Ketahuilah…! Selama ini, setiap kali aku mencintai seorang gadis, maka aku akan berusaha untuk segera menikahinya. Namun karena mereka memang tidak siap, akhirnya aku pun terpaksa terus menjomblo. Karena itulah, akhirnya orang tuaku tidak sabar lagi dan berusaha menjodohku dengan pilihan mereka. Dan karena aku tidak mempunyai pilihan terbaik, terpaksa aku menurut saja, itung-itung demi baktiku pada mereka. Lagi pula, aku percaya kalau orang tuaku tidak akan membuatku menderita, mereka pasti mencarikan gadis yang terbaik untukku. Bukankah kau juga demikian, mempercayai kedua orang tuamu?"
"Ya, aku pun begitu, Kak. Karenanyalah, aku pun tidak menolak ketika dijodohkan dengan Kakak. Hingga akhirnya, malam ini kita sengaja dipertemukan agar bisa lebih saling mengenal."
"Ya, kau benar. Semoga kita bisa saling mengenal dengan cara yang benar, yaitu tidak berkembang menjadi proses pacaran yang di luar batas kesusilaan, seperti yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan orang. Akibatnya, banyak sekali wanita yang menjadi korban, yaitu hamil di luar nikah. Bahkan tidak sedikit yang menjadi pembunuh lantaran tidak menghendaki anak yang dikandungnya. Sungguh semua itu adalah bukti kalau pacaran sangatlah berbahaya. Beruntung bagi mereka yang masih mempunyai iman, kalau tidak tentu akan bernasib sama."
"Kak… Aku pun tidak mau jika pertemuan ini akan berkembang menjadi seperti itu. Karena itulah, aku harap Kakak mau jujur dalam mengungkap jati diri Kakak yang sebenarnya. Setelah itu, aku pun akan melakukan hal yang sama. Jika kita sudah saling mengenal, walaupun cuma sebatas kulitnya, lalu mau berkomitmen untuk menerima berbagai hal yang kita sepakati bersama, tentunya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak segera menikah. Namun, jika ternyata kita tidak bisa berkomitmen karena adanya perbedaan yang sangat prinsipil, tentunya tidak ada alasan pula bagi kita untuk terus melanjutkannya."
"Ya, aku setuju. Sekarang pun aku akan memulai dengan memberitahu beberapa sifatku yang mungkin tidak kau sukai. Ketahuilah! Aku ini orang yang agak keras kepala dan pemarah. Tapi kau jangan khawatir, kekerasan kepalaku dan kemarahanku itu adalah Insya Allah sesuatu yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits Rasul, atau boleh dikatakan aku memegang teguh prinsipku dalam upaya menegakkan kebenaran. Sebab manusia yang tidak mempunyai prinsip itu bagaikan air di daun talas, yang tidak mempunyai pendirian yang kuat sehingga bisa mudah terombang-ambing oleh pengaruh lingkungan."
"Ya... Sepertinya memang begitu. Dari semula aku sudah bisa menduga, kalau Kakak memanglah orang yang demikian. Ketahuilah, Kak! Aku pun sebenarnya orang yang seperti itu. Dan bukan itu saja, aku juga seorang yang kekanakan dan bisa membuat kesal banyak orang. Sesungguhnya yang memberikan penilaian begitu bukanlah aku, tapi orang tua dan juga teman dekatku yang selama ini sudah begitu mengenalku."
"Benarkah demikian?"
Wanda mengangguk. "Eng... Apa menurut Kakak, aku ini bisa menjadi pendamping yang baik buat Kakak?"
"Kenapa tidak. Jika kau memang mau mengikuti petunjuk Al-Quran dan Hadits aku percaya kau pasti bisa menjadi pendamping yang baik untukku."
"Eng… Kalau ternyata aku tidak mau mengikuti petunjuk kedua kitab itu, bagaimana?"
"Lho... Bukankah kau itu orang Islam. Sebagai orang Islam, kau wajib untuk mengikuti petunjuk keduanya. Kalau tidak, tentu keislamanmu itu perlu dipertanyakan. Ketahuilah! Dulu aku ini termasuk orang yang tidak mau mengikuti petunjuk Al-Quran dan Hadits. Namun begitu, aku tidak mau menyerah kalah. Karenanyalah aku terus belajar untuk menjadi lebih baik, dan aku akan terus berusaha untuk bisa menyempurnakannya, yaitu dengan berpegang teguh kepada ajaran Rasulullah, yaitu hidup hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Dan ukuran lebih baik itu bukanlah materi, melainkan takwa dan keimanan. Itulah kenapa manusia dikaruniakan dengan akal pikiran, yang dengannya manusia dituntut untuk terus belajar dan belajar sehingga ia bisa memahami tujuan hidup yang sesungguhnya.
Ketahuilah! Hidup itu adalah memilih takdir, dan jika manusia memilihnya berdasarkan Al-Quran dan Hadits Rasul, maka nilainya adalah ibadah. Namun jika tidak, maka nilainya adalah durkaha. Buah dari ibadah adalah pahala, dan buah dari durkaha adalah dosa, maka hasil timbangan dari keduanya itulah yang akan menentukan takdir manusia masuk surga atau neraka. Untuk lebih jelasnya aku akan menggambarkan sebuah diagram yang berhubungan dengan hal itu. Kalau boleh, bisakah aku meminjamkan ballpoint dan selembar kertas!"
"Kalau begitu tunggu sebentar ya, Kak!" kata Wanda seraya melangkah ke kamar. Tak lama kemudian, dia sudah kembali. "Ini, Kak," kata Wanda seraya menyerahkan selembar kertas dan ballpoint kepada Bobby.
 "Terima kasih, Wan. Sekarang coba kau perhatikan baik-baik diagram yang kugambar ini!" pinta Bobby seraya menggambarkan sebuah diagram sederhana. Saat itu Wanda tampak memperhatikan dengan penuh seksama. "Nah... Selesai sudah. Kini aku akan menjelaskannya padamu.







 Lantas, Bobby pun mulai menjelaskannya, "Ketahuilah! Kalau manusia dan jin itu dipersilakan untuk memilih berbagai takdir yang sudah tersedia dan tertulis jelas pada kitab Lauhul Mahfuzh. Kitab itu adalah "Listing Program" kehidupan manusia dan jin di Jagad Raya, dan juga keadaan Jagad Raya itu sendiri. Sebab, dari awal penciptaan hingga kematiannya, segala tingkah laku dan perbuatan manusia memang sudah ditentukan di dalam kitab tersebut, baik itu segala yang baik maupun segala yang buruk, bahkan segala potensi yang dimilikinya pun sudah tertulis dengan jelas. Begitu pun dengan keadaan Jagad Raya ini, yang dari awal penciptaannya adalah bermula dari sebuah ledakan Dahsyat (Big Bang) hingga akhirnya menjadi Jagad raya yang sempurna dan terus mengikuti Hukum Sunatullah (Hukum ketentuan Allah) yang kesemuanya sudah ditentukan pada kitab Lauhul Mahfuzh. Bahkan dari partikel debu hingga keadaan Jagad Raya seluruhnya, semua sudah ditentukan. Juga dari sebuah huruf hingga ensiklopedia, semuanya juga sudah ditentukan. Subhanallah... Coba kau bayangkan! Sebuah daun kering yang sedang gugur! Daun kering itu tampak terbang melayang dengan berliuk-liuk, kemudian jatuh di atas aliran sungai, lalu hanyut bersama aliran air yang terus mengalir, hingga akhirnya daun itu tenggelam di dasar sungai, kemudian membusuk dan terurai. Sungguh semua peristiwa itu—dari mulai gugurnya daun hingga sampai mengurainya sudah tertulis jelas di kitab Lauhul Mahfuzh.
Lantas untuk bisa memilih dengan baik, Allah pun menurunkan kitab suci dan juga para rasul yang bisa dijadikan teladan oleh umat manusia. Bukan hanya manusia, tapi juga oleh bangsa jin yang hidup di alam gaib. Untuk lebih jelasnya, aku pun akan menggambarkan diagram berikut ini," kata Bobby seraya kembali menggambar sebuah diagram. "Nah... selesai sudah. Sekarang Coba kau perhatikan baik-baik!" pinta Bobby kepada Wanda.
Mengetahui itu, Wanda pun segera memperhatikan diagram itu dengan penuh antusias. Diperhatikannya alur takdir yang sama sekali belum dimengertinya, dahinya pun tampak berkerut penuh tanda tanya. Pada saat itu, kepalanya pun langsung pening tujuh keliling. Namun begitu, dia tidak mau mengungkap hal itu kepada Bobby lantaran takut membuatnya tersinggung. Karenanyalah, Wanda pun terus memperhatikan diagram itu sambil terus berusaha memahami maksudnya. "Maaf, Kak. Aku masih belum mengerti. Bisakah Kakak menjelaskannya padaku!" pinta gadis itu menyerah.
"Eng... Baiklah... Aku akan menjelaskannya padamu. Kalau begitu, tolong perhatikan baik-baik!" kata Bobby seraya mulai menjelaskan diagram yang telah membuat kepala Wanda jadi pening.



 

"Ketahuilah! Sebelum manusia, Allah mempercayakan kalau dunia yang diciptakan-Nya agar ditempati, dinikmati, dan dirawat baik-baik oleh bangsa jin. Namun ternyata bangsa jin justru merusaknya dan tidak mau menikmatinya sebagaimana mestinya, yaitu menikmatinya sesuai dengan keinginan Allah. Karena itulah lantas Allah membuat sebuah skenario baru, yaitu agar manusia bisa menggantikan peran jin di dunia. Untuk tujuan itulah lantas Allah menciptakan Adam dan Hawa yang dengan perantara Iblis akhirnya harus tinggal di dunia. Penciptaan Adam pun sebetulnya juga sebagai ujian untuk golongan jin, apakah mereka memang masih pantas menyandang gelar kekhalifahan di muka bumi. Namun ternyata, bangsa jin memang sudah tidak pantas lagi. Terbukti, saat itu jin yang paling taat dan paling cerdas di antara golongannya ternyata malah membangkang ketika disuruh melakukan sujud penghormatan kepada Adam, dan itu akibat dari kesombongannya. Dialah jin yang bernama Iblis, pemimpin dari golongan jin yang memang tak pantas menyandang gelar khalifah lantaran kesombongannya. Coba kau bayangkan! Pemimpinnya saja sudah seperti itu, lantas bagaimana dengan yang dipimpinnya? Sungguh mereka memang sudah tidak pantas lagi untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Begitulah cara Allah bekerja, yaitu dengan menciptakan berbagai takdir yang harus dipilih oleh makhluk ciptaan-Nya. Lantas agar manusia bisa memilih dengan baik, Allah pun membekali manusia dengan akal dan hati nurani agar bisa melindungi manusia dari pilihan yang salah. Karena kedua hal itu masih belum cukup, lantas Allah pun menurunkan Nabi dan Rasul yang membawa pesan kebenaran. Hingga akhirnya pesan kebenaran itu menjadi kitab-kitab suci yang kita kenal sekarang, yaitu Zabur, Taurat, Injil, dan yang telah disempurnakan yaitu Al-Quran, yang diturunkan sebagai Mukjizat untuk Rasul yang paling dicintai-Nya yaitu Muhammad SAW.
Ketahuilah! Sewaktu di alam roh, setiap jiwa sudah menandatangani kontrak perjanjiannya dengan Allah, yaitu manusia bersedia untuk menjadi khalifah di muka bumi ini—yaitu untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa membuat kehidupan di dunia menjadi seperti keinginan Allah. Jika setiap jiwa tidak melanggar perjanjian itu, maka ia akan dihadiahkan Surga. Namun jika dia melanggar, tentu saja dia akan mendapat sangsinya, yaitu Neraka. Itulah salah satu hakikat tujuan diciptakannya manusia, yaitu menjadi khalifah yang bertakwa kepada Allah—Tuhan Semesta Alam, yang senantiasa menyembah dan beribadat hanya kepada-Nya."
"Benarkah begitu?" tanya Wanda ragu.
"Ya begitulah yang selama ini telah kupelajari, dan semua itu memang ada di dalam Al-Quran."
"Tapi kenapa aku tidak ngeh."
"Mungkin itu karena selama ini kamu cuma membacanya saja, namun tidak menghayatinya dengan sepenuh hati."
"Wajar saja aku cuma bisa membacanya, aku kan tidak mengerti bahasanya."
"Lho bukankah Al-Quran terjemahan Bahasa Indonesia yang dilengkapi dengan tafsir sudah banyak beredar. Dan jika kau masih bingung, kau pun bisa menanyakannya kepada orang yang kau anggap pandai. Ketahuilah! Jika orang memang bersungguh-sungguh mau belajar, aku yakin… dengan kuasa-Nya, Allah akan membukakan pintu taufik dan hidayah kepada hamba-Nya yang memang mau bersungguh-sungguh. Dengan begitu, orang itu pun akan semakin giat untuk mau belajar dan belajar, hingga akhirnya dia bisa menemukan apa yang sedang dicarinya, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan kebahagiaan itu sendiri bersifat relatif, tergantung bagaimana ia bisa menyikapinya. Kaya, sederhana, maupun miskin bukanlah ukuran dan tidak bisa menjamin seseorang akan bahagia. Sebab, biarpun kaya, jika manusia tidak bersyukur, maka ia akan menderita. Tapi, biarpun miskin, namun jika ia senantiasa bersyukur, maka ia pun akan bahagia. Untuk lebih jelasnya, aku akan menggambarkan sebuah diagram lagi untukmu," jelas Bobby seraya mulai menggambar. "Nah selesai sudah. Sekarang coba kau perhatikan baik-baik!" pinta Bobby kepada Wanda.
"Lagi-lagi diagram," keluh Wanda dalam hati seraya menuruti apa yang Bobby katakan.
Kini gadis itu tampak memperhatikan diagram itu dengan penuh keterpaksaan, dan karena keterpaksaan itulah, akhirnya Wanda menjadi tidak ikhlas mendengar semua perkataan Bobby.
"Nah... Sekarang kau akan menjelaskannya padamu," kata Bobby seraya mulai menjelaskan maksud diagram itu.


 "Ketahuilah! Pada awalnya, takdir manusia sudah di tentukan sama. Namun akan menjadi berbeda setelah dia mulai memilih. Manusia hidup kaya bisa bahagia dan juga bisa menderita, manusia hidup sederhana bisa bahagia dan juga bisa menderita, manusia hidup miskin bisa bahagia dan juga bisa menderita. Semuanya tergantung kepada pamahaman manusia itu sendiri tentang agama dan juga nilai ketakwaannya kepada Allah. Itulah yang akan menentukannya akan hidup bahagia atau tidak. Sebab dengan adanya pemahaman agama yang baik dan juga nilai ketakwaan yang baik, maka manusia bisa mengambil putusan dengan cara yang baik dan benar pula. Pemahaman agama yang baik berguna untuk bahan pertimbangan akal, sedangkan takwa berguna untuk membersihkan nurani. Takwa itu adalah mau mengamalkan semua perbuatan baik (Perintah Allah) dan mau menjauhi semua perbuatan buruk (Larangan Allah). Akal manusia membutuhkan yang namanya petunjuk, dan petunjuk yang lurus itu adalah Al-Quran dan Hadits. Nah, untuk lebih jelasnya aku akan menggambarkan sebuah diagram lagi.

 Pada mulanya akal bertanya, manakah yang terbaik dari ketiga pilihanku ini. Lantas akal segera menimbangnya. "Hmm... yang mana ya?" tanya akal bingung. Saat itulah Ego bermain, ia menganjurkan akal untuk memilih berdasarkan kesenangan dunia. Mengetahui itu, Nurani pun tidak tinggal diam, ia menyarankan untuk memilih berdasarkan pertimbangan akhirat. Saat itulah Ego dan Nurani semakin gencar bertarung membenarkan pendapatnya masing-masing, dan dari pertarungan pendapat antara Ego dan Nurani itulah, akhirnya akal kembali melakukan penimbangan. Dan disaat menimbang itulah dibutuhkan petunjuk yang berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits.
Jika saat itu nilai ketakwaan manusia masih kurang, maka akal akan lebih condong menuruti ego. Namun jika saat itu nilai ketakwaan manusia baik, maka akal akan lebih condong menuruti nurani. Jika manusia menuruti ego risikonya lebih besar ketimbang menuruti nurani. Sebab jika menuruti ego karena bisikan syetan tentu ia akan celaka, namun jika menuruti ego dan masih dilindungi oleh Allah tentu ia masih bisa selamat. Karenanyalah, lebih aman adalah dengan mengikuti nurani. Namun sayangnya, kemampuan nurani dalam upaya memberi petunjuk tergantung kepada kebersihannya. Ia bisa diibaratkan dengan gelas bening yang berisi air jernih yang secara otomatis bisa menjadi kotor. Jernih dan kotornya air dalam gelas tergantung tingkat ketakwaaan seseorang. Semakin tinggi nilai ketakwaan manusia, maka akan semakin jernih air dalam gelas. Begitu pun sebaliknya, semakin rendah nilai ketakwaan manusia, maka akan semakin kotor air dalam gelas. Jika air dalam gelas sangat jernih, maka setitik pasir pun akan mudah terlihat. Namun jika air dalam gelas kotor, maka segenggam batu pun tak mungkin terlihat.
Karenanyalah, orang yang nuraninya bersih akan mudah untuk membedakan, mana perbuatan baik dan mana yang buruk, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan, mana yang jujur dan mana yang bohong, mana yang jahat dan mana yang baik. Begitu pun sebaliknya, jika nurani kotor maka dia akan sulit untuk bisa membedakan. Jika sudah begitu, nurani tidak bisa diandalkan untuk memberitahukan akalnya. Hanya kasih sayang Allah saja yang bisa menyelamatkan manusia dari nurani yang kotor, yaitu Allah menundukkan ego dan memberi kesempatan pada nurani agar mau menasihati akal guna mencari hidayah-Nya.
Nah... Begitulah proses akal manusia menentukan pilihan. Jika manusia tidak mau menggunakan akalnya dengan baik dan benar jelas ia akan tersesat. Karenanyalah, jika manusia yakin kalau ia bisa menjadi kaya tanpa menghalalkan berbagai cara dan dengan tujuan yang mulia untuk membantu sesama, maka ia boleh menjadi kaya. Namun jika sebaliknya, maka kaya bukanlah sebuah pilihan yang baik. Begitupun dengan pilihan miskin, jika ia miskin dan menyusahkan orang lain maka pilihan miskin pun bukanlah yang terbaik. Dan sebaik-baiknya pilihan adalah hidup sederhana, sebab Rasullullah pun memang menganjurkan demikian. Sebaik-baiknya pilihan adalah yang pertengahan. Ketahuilah, jika suatu saat ia sudah siap menjadi orang kaya, maka ia akan menjadi orang kaya yang bertakwa dan sangat dermawan. Kenapa bisa begitu? Sebab biarpun dia memiliki harta yang berlimpah ruah, ia tetap akan memilih untuk hidup sederhana dan bersahaja. Lalu secara otomatis harta yang berlebihan itu tentu akan ia hambur-hamburkan untuk tujuan yang mulia. Begitupun jika suatu saat dia sudah siap untuk menjadi orang miskin, maka ia akan menjadi orang miskin yang zuhud, yang senantiasa bertakwa kepada Allah dan tidak pernah menyusahkan orang lain,” jelas Bobby panjang lebar.
“Hmm… Jadi, menjadi orang kaya, sederhana, atau miskin itu adalah pilihan takdir? Dan itu artinya, kita sendiri yang menentukan kita mau kaya, sederhana, atau miskin.” Komentar Wanda seakan mengerti.
“Benar sekali, sebab Allah menghargai setiap usaha yang manusia lakukan. Karena itulah sistem takdir yang sudah Allah tetapkan adalah, setiap manusia yang mau berusaha memilih takdir dengan baik, maka akan mendapat hasil yang baik pula. Tapi jangan lupa, bahwa pilihan seseorang juga dipengaruhi oleh pilihan orang lain. O ya, ada sebuah contoh lagi mengenai pilihan, yaitu seandainya dihadapanmu ada dua buah jembatan gantung yang melintasi jurang, yang satu masih baru dan tampak kokoh, sedangkan yang satunya lagi sudah lama dan tampak lapuk. Nah, dari kedua jembatan itu manakah yang kau pilih untuk diseberangi?” tanya Bobby menambahkan.
“Tentu saja jembatan yang baru itu pilihan terbaik,” jawab Wanda.
“Hmm… Jika kau mengira demikian, maka pilihanmu kurang tepat. Sebab, apa yang tampak baik lewat pandangan manusia, belum tentu baik di mata Allah. Coba kau pikirkan, bagaimana jika jembatan yang menurut pengelihatanmu itu kokoh ternyata menyimpan sebuah kelemahan, ada pengikat tali yang kendor, atau dibuat dengan bahan berkualitas rendah misalnya, sehingga saat jembatan itu dilewati, bisa saja tali jembatan itu terlepas dan akhirnya membuatmu celaka. Dan siapa yang mengira kalau jembatan yang tampak sudah lapuk ternyata justru masih kuat lantaran dibuat dengan bahan yang berkualitas tinggi. Karena itulah, sebaiknya tidak menilai sesuatu dengan mengandalkan perangkat indra manusia saja, namun yang terbaik adalah juga dengan berdoa, memohon petunjuk Allah agar bisa memilih dengan baik. Sesungguhnya sikap kehati-hatian itu tidaklah menjamin manusia akan selamat, namun petunjuk dan pertolongan Allah-lah yang bisa membuatnya selamat.
Begitulah takdir. Sebenarnya semua pilihan yang positif sama saja. Lantas kenapa semua itu bisa menjadi begitu sulit dan membuat kepala jadi pusing tujuh keliling. Sebab, manusia terkadang memang lebih condong kepada ego dan lebih suka menyombongkan diri. Aku pun terkadang masih seperti itu, sebab pemahamanku tentang agama memang masih jauh dari sempurna, dan juga nilai ketakwaanku pun masih jauh dari sempurna. Namun begitu, lagi-lagi aku akan terus berusaha untuk bisa menyempurnakannya, yaitu dengan berpegang teguh kepada ajaran Rasulullah, yaitu hidup hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Karena itulah, aku akan berusaha untuk lebih berhati-hati dalam memilih! Dan aku pun sudah semakin yakin kalau sebaik-sebaiknya pilihan adalah yang berdasarkan petunjuk dari Allah, yaitu Al-Quran dan Hadits. Selain itu, aku pun terus berusaha untuk selalu bertakwa kepada Allah agar nurani senantiasa bersih sehingga ia mampu menjadi penasihat akal yang bisa diandalkan. Terakhir, aku berusaha untuk selalu berdoa memohon petunjuk dan keselamatan hanya kepada Allah, kemudian bertawakal hanya kepada-Nya,“ jelas Bobby lagi panjang lebar.
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, dari ketiga pilihan itu, mana yang Kakak pilih?"
"Jelas aku lebih memilih menjadi orang sederhana, sebab aku khawatir jika aku terobsesi menjadi orang kaya bisa-bisa aku menghalalkan berbagai cara, dan jika sudah menjadi orang kaya bisa-bisa malah terlena dengan kekayaanku. Karenanyalah kini aku hanya berniat untuk membuka sebuah usaha kecil yang halal lagi berkah. Semoga dengan begitu, aku pun bisa hidup sederhana dan tidak menjadi orang miskin yang menyusahkan orang lain—menjadi penjahat kelas teri demi untuk sesuap nasi misalnya."
"Kak, terus terang aku salut akan keputusanmu itu."
"Terima kasih, Wan. Alhamdulillah... Itu karena aku mau memilih takdirku dengan berpedoman kepada Al-Quran dan Hadits. Tanpa itu, mungkin kini aku sudah menjadi orang yang suka menghalalkan berbagai cara."
"Hmm... Sepertinya kini aku sudah mulai bisa memahami perihal takdir. Dan sepertinya, hal itu sulit untuk bisa direalisasikan. Sebab jika melihat kondisi sekarang, dimana orang-orang lebih condong untuk menghalalkan berbagai cara. Hal itu sama juga dengan melawan arus. Dan jika kita melawan arus, bukankah itu berarti menyulitkan diri sendiri?"
"Ya, aku akui. Hal itu memang tidak mudah. Namun sebagai manusia, kita wajib untuk berusaha, dan apa pun hasilnya kita pasrahkan kepada sang Pencipta."
"Wah, sungguh sulit bisa kubayangkan kalau aku akan hidup susah lantaran melawan arus.  Dan aku pun tidak yakin, apakah aku bisa tahan melalui semua itu?"
"Percayalah! Kalau Allah sudah mengukur kemampuan setiap manusia. Bahkan dengan petunjuk-Nya, Insya Allah manusia akan mampu melalui semua itu. Karenanyalah,  Allah pun telah menjanjikan surga untuk mereka yang mau berjuang mengikuti kemauan-Nya. Sebab surga itu sendiri adalah sebuah pilihan yang membuat orang awam menjadi termotifasi untuk berbuat baik. Jangan kan surga, jika kau mau mewujudkan impianmu meraih kesenangan dunia, maka kau pun tentu harus bekerja keras untuk bisa mewujudkannya, sekalipun dengan cara menghalalkan berbagai cara. Terkadang aku suka heran, kenapa untuk kesenangan dunia yang hanya sementara orang mau mati-matian untuk bisa mendapatkannya, namun untuk kesenangan akhirat yang kekal orang malah enggan untuk meraihnya."
"Itu karena urusan akhirat tidak bisa langsung dirasakan kenikmatannya. Berbeda dengan urusan dunia, yang jelas-jelas memang bisa langsung dirasakan."
"Siapa bilang seperti itu? Ketahuilah! Bagi orang yang betul-betul sudah bisa memahami arti kehidupan, maka ia bisa langsung merasakan kenikmatannya, sekalipun masih hidup di dunia. Dan motifasinya berbuat baik dunia pun bukanlah lagi karena menginginkan surga, melainkan lebih karena rasa cintanya kepada Allah."
"Hmm... Apakah Kakak sendiri sudah bisa merasakan itu?"
"Jujur saja, belum. Mungkin semua itu karena aku yang selalu gagal pada setiap ujian, sebab aku memang belum sepenuhnya bisa istiqamah."
Mengetahui jawaban itu, Wanda langsung membatin. "Huh, sok alim sekali dia. Dari tadi sok menasihati aku, padahal dia sendiri juga belum apa-apa," keluh Wanda dalam hati. "O ya, Kak. Jika memang benar demikian, kenapa Kakak bisa yakin?"
"Sebab, aku memang sudah membaca riwayat orang-orang yang sudah mengalami hal itu.  Lagi pula, apakah kita harus merasakannya dulu, baru setelah itu percaya. Itu sama saja dengan merasakan nikmatnya makanan tanpa melalui proses masuknya makanan ke dalam mulut. Sungguh sesuatu yang mustahil bisa dilakukan manusia, kecuali ia sedang bermimpi."
"Maaf ya, Kak. Ngomong-ngomong, aku sudah mengantuk sekali, nih. Lagi pula, apa Kakak tidak capek karena dari tadi terus menceramahiku?"
"Menceramahimu? Ketahuilah, aku ini diciptakan adalah untuk menjadi khalifah, dan karenanya aku merasa perlu untuk menyampaikan apa yang menurutku perlu untuk disampaikan. Sekarang aku tanya padamu, apakah menurutmu aku salah karena menunaikan kewajibanku untuk menyampaikan nilai kebenaran. Apakah menurutmu aku harus meninggalkan kewajibanku itu dan menjadi berdosa karenanya? Padahal jelas-jelas kita ini diperintahkan untuk menyampaikan kebenaran walaupun cuma satu ayat."
"Lho... Kenapa Kakak malah marah padaku?"
"Ti-tidak… Aku tidak marah. Eng… Aku hanya merasa kecewa pada diriku sendiri,  kalau ternyata aku belum mampu untuk menyampaikan nilai kebenaran dengan cara yang tepat dan efektif. Terbukti segala apa yang kusampaikan tidak terserap sesuai dengan harapan. Aku pun merasa kau pasti menilaiku sebagai orang yang sok alim yang kata-katanya tak patut untuk didengarkan, apalagi diikuti. Padahal, sesungguhnya kebenaran itu tetaplah kebenaran walaupun nilai kebenaran itu disampaikan oleh seorang penjahat sekalipun. Dan aku merasa, nasihat-menasihati sesama saudara seiman masih dianggap sesuatu yang menyakitkan. Sungguh aku tidak mengerti, kenapa masih ada orang yang menganggap kalau nasihat itu hanya pantas di sampaikan oleh seorang Da’i atau Alim Ulama saja, padahal sebetulnya tidak demikian. Intinya adalah, siapa pun dia selama yang dikatakannya itu sebuah kebenaran maka kita wajib mendengarkan dan mentaatinya.
Aku tanya padamu. Apakah kau lebih senang jika aku bersikap masabodo dengan tanpa menyampaikan nilai kebenaran padamu. Perlu kamu ketahui juga, sok alim itu adalah sebuah bentuk kesombongan karena manusia merasa sudah berbuat baik. Dan apakah aku memang orang yang seperti itu, padahal aku menyadari betul kalau aku ini hanyalah makhluk lemah yang menggantungkan hidup hanya kepada Allah (dalam hal apa saja, termasuk kebaikan, yaitu taufik dan hidayah), dan aku telah diberikan tugas untuk mematuhi segala perintah-Nya. Pantaskah aku menjadi sombong jika aku menyadari hal yang demikian.
Ketahuilah, aku ini makhluk yang tak mungkin bisa mulia jika tanpa mempedulikan kemuliaan manusia lain. Tanpa itu, manusia tak mungkin sempurna kemuliannya, tak lengkap nilai kemanusiaannya yang sudah ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Jika tidak melakukan tugas mulia itu, aku ini sama saja seperti hewan yang diciptakan hanya sekedar untuk berkembang biak dan memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan ada hewan yang sama sekali tidak peduli dengan hewan lain yang menjadi mangsa atau pemangsa, sebab yang terpenting bagi hewan adalah bagaimana ia bisa mempertahankan kehidupannya sendiri dengan tanpa mempedulikan kehidupan hewan lain. Karenanyalah, aku tidak mau seperti hewan. Aku ini manusia yang sudah dikaruniakan akal pikiran, yang dengannya aku bisa menjalani kehidupanku sebagai manusia. Namun begitu, aku tidak akan memaksakan nilai kemanusiaanku kepada orang lain. Sebab aku sadar, kalau kewajibanku hanya menyampaikan dan harus belajar hidup dari kesalahan dan kekurangan manusia lain. Sekali lagi aku bertanya padamu, apakah yang kulakukan ini salah?"
"Maaf, Kak! Bukan maksudku menilai Kakak seperti itu. Dan kalau aku boleh jujur, sebetulnya aku belum siap mendengar ceramah Kakak itu. Ups! Maksudku, mendengar pesan kebenaran yang Kakak sampaikan itu. Terus terang saja, aku pusing Kak."
"Hmm... Baiklah kalau itu yang kau inginkan, dan kalau kau memang sudah mengantuk sebaiknya aku memang harus mohon diri. O ya, tolong sampaikan salamku untuk kedua orang tuamu. Sudah ya, Wan. Assalamu’alaikum!"
"Wa’allaikum salam!" balas Wanda seraya memperhatikan kepergian pemuda itu.
Setibanya  di rumah, Bobby tidak langsung tidur. Tapi dia malah memikirkan kata-kata Wanda yang membuatnya semakin yakin kalau dia memang bukan cinta sejatinya. "Hmm... Ternyata dia memang bukanlah gadis yang baik untukku. Buktinya dia belum siap dan merasa pusing dengan pesan kebenaran yang kusampaikan, dan itu artinya dia belum mendapatkan taufik dan hidayah dari Allah sehingga apapun pesan kebenaran yang kusampaikan justru menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Sungguh sangat berbeda dengan Angel, yang justru sangat senang jika aku berbicara hal-hal yang menyangkut kerohanian. Hmm... Sepertinya perjodohan ini pun tidak akan berlangsung lama, sebab aku memang masih sulit untuk bisa mencintai wanita seperti itu. Semula aku sempat mengira kalau ia adalah gadis yang baik, sebab dari kata-katanya memang sangat meyakinkan. Namun setelah aku berbicara lebih lanjut, akhirnya sifat aslinya pun mulai kelihatan, kalau dia memang bukanlah gadis yang baik seperti anggapanku semula. Lagi pula kini aku sudah menyadari, kalau berbakti kepada orang tua itu tidak berarti harus mentaati kemauan mereka yang jelas-jelas tak sesuai dengan hati nuraniku."
Begitulah Bobby menilai Wanda hingga akhirnya dia memutuskan untuk tetap mencintai Angel—Gadis yang diyakini sebagai cinta sejatinya.