E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Duka Lara - Bagian 9

Sembilan



Tiga bulan kemudian, di sebuah ruang tamu, Bobby dan Lara tampak serius menonton televisi. Saat itu mereka sedang menyimak berita tentang ‘teroris’ Internasional yang diduga bersembunyi di Indonesia. Jaringan ‘teroris’ itu pun diduga berkaitan dengan para ‘teroris’ yang belakangan sedang gercar dicari aparat karena kasus beberapa peledakan bom yang terjadi di Indonesia. Ketika nama Bobby dikait-kaitkan dengan ‘teroris’ dan masyarakat dimintai pendapat tentangnya sungguh membuat Bobby sedih. Opini orang-orang yang diwawancarai saat itu sudah menuduhnya yang tidak-tidak, bahkan ada yang begitu menginginkan kematiannya.
Andai praduga tak bersalah mereka hormati dengan tidak menciptakan opini publik yang bisa membuat masyarakat membencinya mungkin dia akan sedikit lega. Dalam hati, pemuda itu sangat mengkhawatirkan teman-teman dan saudara-saudaranya mungkin juga ikut membencinya. Andai saat ini dia sudah mempunyai bukti perihal ketidakterlibatannya tentu dia akan segera menyerahkan diri. Sebab, tanpa bukti bagaimana mungkin dia bisa dipercaya. Pemuda itu sangat khawatir kalau dia menyerahkan diri mungkin akan diintrograsi dan dipaksa untuk mengaku bersalah.
Ini memang sebuah dilema, pihak berwajib dan tersangka saling tak percaya, dan itu semua karena hukum yang prematur. Jika demikian bisa saja orang yang semula tidak tahu apa-apa lantaran dituduh terlibat akhirnya menjadi terlibat. Apalagi jika ada tekanan dari pihak luar, tentu bisa fatal akibatnya. Orang yang semula tidak tahu apa-apa bisa jadi malah sengaja melibatkan diri karena menganggap musuh ‘teroris’ adalah musuhnya juga. Dan jadilah dia seorang ‘teroris’ baru yang siap mengorbankan jiwa dan raganya demi melawan kesewenangan dan ketidakadilan. Siapa pun yang mendukung dan berpartisipasi dengan pihak-pihak yang menjadi musuhnya adalah musuhnya juga.
“Kak bagaimana jika kau tertangkap sedang kau sendiri belum mempunyai bukti?”
“Jika demikian mungkin aku hanya bisa pasrah dan menyerahkan semuanya pada hukum yang berlaku.”
“Tapi, bagaimana jika hukum di negeri ini sudah tak berpihak lagi pada kebenaran. Terus terang aku khawatir, bagaimana jika mereka memaksamu mengaku.”
“Aku cuma bisa pasrah.”
Saat itu Lara langsung menyandarkan kepalanya di dada suaminya. Dan di dalam benaknya terangkai peristiwa yang membuatnya meneteskan air mata. “Aku tidak mau itu menimpa dirimu, Kak,” ungkap gadis itu sedih.
“Sudahlah, Sayang... kau jangan berpikir macam-macam! Semua itu kan belum tentu seperti yang kau khawatirkan. Tuhan pasti melindungi orang-orang yang baik, dan atas kehendak-Nya hukum pasti akan berpihak padaku, yang terpenting sekarang aku harus berusaha semaksimal mungkin untuk membuktikan kalau aku tidak bersalah. Andaipun sesuatu yang buruk menimpaku disaat proses itu aku akan menerimanya sebagai ujian Tuhan yang akan membuatku lebih mengenal-Nya. Dan seandainya aku sampai dihukum mati, berarti itu memang sudah kehendak Tuhan. Dan aku harus menerimanya sebagai bukti ketaatanku kalau aku ini memang sudah tidak diizinkan lagi untuk melaksanakan tugas-tugasku sebagai manusia di muka bumi ini.”
“Kak, aku tidak mau kau meninggalkanku.”
“Hal itu kan belum terjadi, Sayang... Kau tidak perlu merisaukannya! Lagi pula, andai Tuhan memang sudah menghendaki aku mati, maka tidak seorang pun yang bisa mencegahnya. Lihat saja setiap hari pasti ada saja yang mati, dan kematian itu bisa terjadi di mana saja. Jika aku mati dalam memperjuangkan kebenaran maka matiku adalah mati syahid, dan jika kita terus konsisten menjalani ajaran agama Insya Allah atas Izin-Nya kita pasti akan dipertemukan kembali.”
Mendengar itu hati Lara menjadi tenang, di dalam hatinya sudah tak ada lagi kerisauan yang semula sangat membebani hatinya. “Kak, sebelum orang-orang di kampung ini ada yang mengenalimu, bagaimana kalau kita pindah saja ke tempat yang jauh?”
“Sayang... di mana pun kita tinggal bagiku sama saja. Malah aku merasa lebih aman di pemukiman kita ini, di mana tetangga kita tidak saling mengenal satu sama lain. Lagi pula, aku kan sudah merubah penampilanku sehingga sangat berbeda dengan gambarku di selebaran itu.”
"O ya, Kak. Aku...”
Belum sempat Lara menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba HP yang menggantung di lehernya terdengar berbunyi. ”Sebentar, Kak. Aku terima telepon ini dulu,” kata gadis itu seraya menerima telepon yang masuk.
Tak lama kemudian, dia sudah bicara kembali dengan suaminya. “Kak, polisi sudah menggeledah rumah orang tuaku.”
“Untung saja kau tidak jadi memberi tahu kepada orang tuamu perihal tempat tinggal kita ini. Kalau saja saat itu kau melakukannya mungkin mereka sudah menuju kemari.”
“Kau betul, Kak. Andai saat itu kau tidak melarangku dengan tegas mungkin aku sudah memberitahukannya.”
"O ya, ngomong-ngomong apa yang ingin kau katakan tadi?” tanya Bobby penasaran.
“Mmm... Aku cuma mau memberitahumu kalau sekarang aku kepingin sekali makan tongseng.”
“O…, kalau begitu baiklah.... dengan senang hati aku akan membelikannya untukmu.”
“Tapi, Kak...”
“Kau jangan khawatir, Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa.”
Tak lama kemudian, Bobby sudah mengendarai sepeda motornya menuju ke penjual tongseng yang terkenal enak. Setiba di sana, pemuda itu segera memesan dua porsi dan duduk menunggu. Saat itu, dia mendengar dua orang pengunjung tampak sedang membicarakan dirinya.
“Aku betul-betul tidak menyangka. Dia itu kan dulunya arsitek yang pernah membangun gedung terkenal itu. Dan kata orang-orang yang mengenalnya, dia itu pemuda yang baik dan sama sekali tidak pernah terlibat kasus kriminal.”
“Ya mungkin saja dia telah dicuci otak oleh para ‘teroris’ yang merekrutnya, sehingga dia jadi berubah dan tega berbuat sekejam itu.”
“Menurutmu apakah orang seperti itu bisa dikatakan bersalah.”
“Menurutku dia itu cuma korban yang diperalat dengan menggunakan doktrin agama yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.”
“Ya aku rasa juga begitu. Kasihan orang-orang seperti mereka, maksud hati ingin mencari kebenaran tapi malah diperalat begitu.”
Bobby terus mendengarkan pembicaraan kedua orang itu, hingga akhirnya tongseng yang dipesannya selesai dibuat. Setelah membayar tongseng, pemuda itu segera pergi meninggalkan tempat itu dan akhirnya tiba kembali di rumah dengan selamat.
“Ini tongsengnya, Sayang...” kata Bobby seraya memberikannya kepada istri tercintanya, kemudian dia segera melangkah ke dapur untuk mengambil piring dan sendok.
Tak lama kemudian, pemuda itu sudah kembali ke ruang tengah dan segera menikmati tongseng yang masih hangat itu bersama istrinya.
“Tongseng ini enak sekali, Kak. Di mana kau membelinya?”
“Di tempat biasa”
“Tapi, kenapa kali ini terasa lebih enak?”
“Mungkin karena saat ini kau sedang lapar dan nafsu makanmu yang lain dari biasanya itulah penyebabnya.”
“Mmm... memangnya selama ini aku banyak makan ya, Kak.”
“Tentu saja, kalau tidak masa pipimu bisa jadi tembam begitu.”
Saat itu Lara langsung memegang pipinya sendiri, “Aduh, sepertinya aku memang mengalami kegemukan, Kak.”
“Wajarlah, mungkin karena selama ini kau sering tertekan sehingga menjadi agak stress. Dan sebagai pelampiasannya, kau pun jadi banyak makan.”
“Kau betul, Kak. O ya, ngomong-ngomong kenapa tongsengmu tidak kau habiskan?” tanya Lara ketika mengetahui Bobby tidak menghabiskan tongsengnya.
“Aku sudah cukup kenyang, Sayang....”
“Kalau begitu, biar aku yang habiskan ya?”
Bobby mengangguk, sedang di bibirnya tampak tersungging sebuah senyuman. Pemuda itu terus memperhatikan istrinya yang kini tampak bersemangat, menghabiskan sisa tongseng miliknya.
“Habis sudah! Hmm... tongseng ini memang benar-benar enak, Kak. Emm... kenapa kau senyam-senyum sendirian, Kak?” tanya Lara heran ketika mengetahui suami seperti itu.
"Tidak kenapa-napa, Sayang.... Terus terang, aku senang sekali karena kau mau menghabiskan tongseng itu. Sebab kalau tidak, kan bisa jadi mubazir.”
"O, begitu.... tentu saja aku mau menghabiskannya, karena tongseng itu memang betul-betul enak. O ya, Kak. Besok kau belikan aku lagi ya!”
“Kenapa harus besok? Jika sekarang kau masih merasa kurang aku bisa membelikan lagi.”
“Tidak usah, Kak! Terima kasih! Sekarang ini aku sudah merasa cukup kenyang. Lagi pula, jika aku menuruti keinginanku mungkin tongseng itu akan jadi tidak enak.”
“Kau betul, Sayang... dengan begitu, selain agar makanan tetap terasa nikmatnya, tubuh pun akan menjadi sehat. Lagi pula, bukankah Rasulullah menganjurkan untuk berhenti makan sebelum kenyang.”
Bobby dan istrinya terus berbincang-bincang hingga akhirnya malam pun semakin larut. Dan ketika istrinya mengajaknya tidur, Bobby tampak menolak. “Maaf sayang! Aku masih memikirkan sesuatu. Jika kau sudah mengantuk, tidur saja duluan. Nanti aku akan menyusul.”
“Tapi, Kak. Aku ingin...” Lara menggantung kalimatnya, sepertinya saat itu dia berat untuk mengatakannya.
“Ingin apa, Sayang...?” tanya Bobby tidak paham.
“A-anu, Kak. A-aku mau...”
“Ayolah, Sayang... katakan saja! Aku ini kan suamimu. Jadi, jika kau memang menginginkan sesuatu, katakan saja terus terang!”
“Eng, sebenarnya… a-ku mau dikeloni olehmu.”
Mengetahui sifat manja Lara, Bobby pun segera merespon, “Sayang... ketahuilah! Saat ini aku mau memikirkan sesuatu yang penting. Dan karenanyalah, aku mohon kau mau mengerti!”
 “Iya, Kak... Sebenarnya, tadi pun aku sudah tidak mau bilang. Tapi karena Kakak mendesak, maka aku pun terpaksa mengatakannya.”
“Hmm... Benarkah! Kalau begitu baiklah… sekarang ayo kita tidur...!” ajak Bobby seraya menggandeng istrinya ke kamar.
“Tapi, Kak…”
“Sudahlah… tidak apa-apa. Kan aku bisa berpikir sambil mengelonimu,” kata Bobby meredakan rasa tidak enak di hati istrinya.
Kini suami istri itu sudah berada di tempat tidur, saat itu Bobby tampak sedang membelai istrinya yang tampak manja berada di dalam dekapannya. Dalam hati, pemuda itu agak menyesal juga karena lagi-lagi harus memanjakan istrinya, dan dia pun sempat khawatir jika hal itu sampai menjadi kebiasaan. Sebab jika terlalu memanjakannya, mungkin saja suatu saat nanti istrinya itu akan sulit tidur sendirian. Apa lagi jika suatu saat dia dipanggil Tuhan, apa mungkin istrinya itu bisa bertahan hidup tanpa kehadirannya, kehadiran seorang suami yang senantiasa menyayanginya dan selalu memanjakannya.




Esok harinya di siang yang terik, Bobby tampak sedang menerima telepon dari istrinya yang kini berada di tempat praktek dokter. Saat itu dia tampak sedikit kesal lantaran istrinya itu pergi tanpa seizinnya, dan menurut alasan istrinya itu, dia sengaja pergi sendiri lantaran suaminya takut dikenali orang.
“Iya, iya... aku mengerti.”
“Tapi, Kak.”
“Sudahlah, Sayang... pokoknya aku tidak mau kau pulang sendirian, biarlah aku yang akan datang menjemputmu.”
“Kak, terus terang aku khawatir. Bagaimana jika nanti ada yang mengenalimu?”
“Percayalah! Tidak akan ada yang mengenaliku. Aku kan mengenakan helm.”
“Eng, baiklah... kalau begitu aku akan menunggumu, Kak.”
“Nah, begitu dong. Itu baru namanya istri yang menurut pada suami. Terus terang, aku tidak mengizinkanmu ke mana-mana sendirian karena aku sangat menyayangimu. Kau tahu kan, kondisi di negeri kita sekarang. Sungguh aku sangat mengkhawatirkanmu, Sayang...” 
 Tak lama kemudian, Bobby terlihat sudah melaju dengan sepeda motornya. Dan setibanya di tempat tujuan, pemuda itu terlihat langsung menemui istrinya.
“Apa penyakitmu parah, Sayang...?” tanya Bobby khawatir.
Lara menggeleng.
“Hmm... kau sakit karena tongseng semalam, ya?”
Lagi-lagi Lara menggeleng, kemudian gadis itu malah duduk di atas jok motor dan meminta suaminya untuk segera jalan. Bobby pun segera menjalankan sepeda motornya, pada saat itu hatinya semakin tambah penasaran. “Kalau begitu, katakanlah! Apa yang menyebabkan sakitmu itu?” tanya pemuda itu lagi.
“Eng, sebenarnya...” Lara tidak melanjutkan kata-katanya.
“Ayolah, Sayang… katakanlah!”
“Maafkan aku, Kak! Sebaiknya kita bicara di rumah saja. Terus terang aku takut mengganggu konsentrasimu mengendara, lagi pula di rumah kan aku bisa menjelaskannya dengan tenang!” kata Lara seperti menyembunyikan sesuatu. 
Saat itu Bobby tampak bertanya dalam hati, “Mmm... apa mungkin istriku menderita penyakit yang parah sehingga dia tidak berani langsung berterus terang. Kalau begitu, biarlah kuturuti keinginannya itu.”
“Awas, Kak!” teriak Lara yang melihat seekor kucing tampak menyeberangi jalan.
“Astagfirullah....! Hampir saja makhluk yang tak berakal itu aku tabrak,” ucap Bobby terkejut.
“Makanya, Kak. Sebaiknya kau lebih berkonsentrasi berkendara.”
“Iya, Sayang...”
Suami istri itu terus melaju pulang. Selama perjalanan, Bobby terus bertanya-tanya dalam hati dan sangat mengkhawatirkan istrinya yang mungkin saja sedang menderita penyakit parah. Ketika mereka sedang melewati jalan yang sepi, tiba-tiba motor yang mereka tumpangi disalip oleh sebuah kendaraan roda empat dan langsung menghadangnya. Seketika Bobby terkejut dan langsung menghentikan sepeda motornya, kemudian dengan jantung yang masih berdebar, pemuda itu tampak mewaspadai apa yang bakal terjadi.
“Mo-mobil itu, Kak! Mobil itulah yang telah membawaku pergi ketika Randy akan menjemputku di stasiun,” jelas Lara panik.
Mengetahui itu, Bobby buru-buru turun dari motor dan datang menghampiri. Pada saat yang sama, empat orang pemuda yang baru turun dari mobil juga terlihat menghampiri Bobby. Kini mereka sudah berdiri saling berhadapan dan dengan tanpa senyum sama sekali.
“Hmm... ternyata memang kalian. Apa tidak kapok setelah kuhajar malam itu?”
“Bedebah! Ternyata kau yang telah menggagalkan kami. Hahaha! Tidak mengapa, waktu itu kami memang kalah, tapi... kali ini kami punya ini,” kata seseorang dari ke empat penjahat itu seraya menodongkan pistolnya.
Mengetahui itu, Bobby segera mengolah pernafasan dan memproteksi dirinya dengan tenaga dalam. “Hmm... Aku harus menyingkirkan pistol itu dulu, setelah itu baru kulumpuhkan mereka semua,” kata Bobby dalam hati.
Setelah yakin apa yang akan dilakukannya, tiba-tiba Bobby bergerak menyerang. Pada saat yang sama, orang yang memegang pistol berusaha menembak. Namun bukannya menembak, dia malah terjengkang karena efek proteksi tenaga dalam yang dimiliki Bobby. Pada saat itulah Bobby langsung menendang senjata itu hingga terpental jauh, kemudian dilanjutkan dengan menghajar ke empat penjahat itu dengan sekuat tenaga. Namun karena energinya sudah banyak terkuras, serangan pemuda itu pun jadi tidak maksimal, dan akibatnya ke empat penjahat itu masih bisa melakukan perlawanan dengan begitu gigih.  "Agh...!!!” tiba-tiba Bobby mengerang, saat itu lengan kanannya sempat terkena sabetan sangkur.
Baku hantam terus berlanjut, hingga akhirnya para petarung itu sama-sama kelelahan dan dengan tubuh yang sama-sama penuh luka. Tak beberapa lama kemudian, Bobby sudah berhasil melumpuhkan tiga orang lawannya. Namun pada saat yang sama, salah seorang yang belum berhasil dilumpuhkan berhasil melukai pahanya. Tak ayal, Bobby pun langsung terjatuh dan sulit untuk berdiri. Mengetahui itu, si penjahat tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera mencekiknya dan berusaha mengarahkan sangkurnya ke lambung Bobby. Menyadari apa yang akan terjadi, Bobby tidak tinggal diamdia segera menangkap tangan lawannya dan berusaha keras mengambil alih sangkur itu. Dan setelah perjuangannya yang gigih, akhirnya Bobby berhasil juga merebut sangkur itu dan segera mengarahkannya ke ulu hati lawannya. “Terimalah ini sebagai pembalasan dari sahabatku... ” kata Bobby seraya bersiap-siap hendak menikamkan sangkur yang berada digenggamannya.
“Kak! Sudahlah...! Kau jangan membunuhnya!” tahan Lara tiba-tiba.
“Tidak, Ra. Orang ini harus menerima ganjarannya, dia memang sangat pantas untuk mati. Selain sudah membunuh Randy yang sudah kuanggap sebagai saudaraku, dia pun sudah berani melukaiku. Karenanyalah dia memang tidak pantas untuk diberi pengampunan.”
“Kak... dengarlah! Dia itu sudah tak berdaya, dan jika kau sampai menzoliminya karena dendammu, maka hal itu merupakan perbuatan dosa.”
“Kau tidak mengerti, Ra. Kalau sesungguhnya nyawa harus dibalas nyawa.”
“Sudahlah, Kak! Aku Mohon! Bukankah agama kita mengajarkan kalau memaafkan adalah hal yang lebih utama. Lagi pula, aku sangat mencintaimu, Kak. Aku tidak mau kau masuk penjara. Sebab, a-aku tidak mau mengurus anak kita sendirian.”
Mendengar itu, Bobby seketika tersentak. “Ra... benarkah yang kau katakan itu?”
“Benar, Kak. Saat ini aku sedang mengandung anak kita.”
“Itukah kenapa kau merahasiakannya? Rupanya kau ingin memberi kejutan padaku.”
Lara mengangguk. Saat itu juga Bobby langsung melepaskan sangkur yang dipegangnya, kemudian dengan segera pemuda itu memeluk istrinya dan menciumnya berkali-kali. “Aku bahagia sekali, Ra. Aku akan menjadi seorang ayah.”
Sementara itu, penjahat yang semula tampak tak berdaya kini tampak berusaha bangkit seraya mengambil sangkur yang dijatuhkan Bobby, kemudian dengan serta-merta dia menikamkannya ke punggung lelaki yang kini sedang berbahagia itu. Tak ayal, lelaki itu pun langsung roboh dan tak bergerak lagi, sedang di punggungnya sebuah sangkur masih terus menancap.
Melihat itu Lara berteriak histeris. Pada saat yang sama, Reno segera membungkam mulut Lara dengan sebuah tamparan yang begitu keras. Seketika itu juga, Lara tersungkur dengan bibir yang mengeluarkan darah. Pada saat yang sama, di kejauhan terlihat sebuah mobil yang melaju mendekat.
Mengetahui itu, Reno buru-buru  mengambil tindakan. “Ayo cepat ikut denganku!” Perintah penjahat itu seraya menyeret Lara menaiki mobil. Pada saat yang sama, ketiga teman Reno yang sudah dilumpuhkan Bobby juga ikut naik dengan bersusah payah. Hingga akhirnya, mobil yang mereka tumpangi melaju meninggalkan tempat itu.




Malam harinya, di sebuah rumah peristirahatan. Lara terlihat duduk di sebuah kursi kayu dengan tubuh yang terikat erat, sedangkan di mulutnya masih menempel sepotong lakban yang melekat erat. Saat itu Lara cuma bisa menangis dan menangis. Hingga akhirnya seseorang datang menemuinya dan langsung melepas lakban yang menempel di mulutnya.
“Hmm... jadi, memang kaulah dalang dari semua ini,” kata Lara geram.
“Hahaha...!!! Semua itu karena salahmu sendiri. Coba kalau malam itu kau tidak menolakku. Mungkin aku tidak akan sampai berbuat begini.”
“Kau memang biadab!”
“Silakan maki aku sesukamu! Percayalah... aku tidak akan marah! Lara sayang... aku sangat mencintaimu. Keindahan tubuhmu sungguh telah membuatku ingin menikmatinya. Dan tak lama lagi aku pasti bisa mewujudkannya, walaupun tanpa kerelaanmu. Tapi kusarankan, sebaiknya kau merelakannya. Karena dengan demikian, kau pun bisa menikmatinya bersamaku.”
Setelah berkata begitu, pemuda itu segera menyuruh anak buahnya untuk memindahkan Lara ke atas ranjang dan mengikatnya kuat-kuat. “Nah, sekarang kalian boleh pergi!” perintah pria itu kepada anak buahnya seraya mulai menggerayangi tubuh Lara.
 Ketika penjahat itu akan bertindak lebih jauh, tiba-tiba. “Hentikan perbuatanmu, Jahanam!” perintah seorang pemuda yang kini sedang berdiri di ambang pintu dengan sebilah pisau yang berlumuran darah.
"O, kau rupanya,” kata Pak Sasongko seraya duduk di tepian ranjang.
“Ya, kau tidak menyangka bukan. Sungguh aku tidak habis pikir, ternyata keberadaanmu di dunia tari bukanlah untuk melestarikannya, namun lebih kepada menodainya. Untunglah aku cepat menyadari, kalau tidak tentu akan lebih banyak lagi korban yang berjatuhan.”
“Hahaha...! Memang itulah tujuanku. Soalnya aku sangat menyayangkan jika tubuh-tubuh indah nan gemulai itu cuma untuk dilihat saja, bukanlah lebih baik tubuh-tubuh itu juga dinikmati di atas ranjang. Hahaha...!” kata penjahat itu seraya menunduk dan mengambil sesuatu di bawah ranjangnya. “Nah, pahlawan kemarin sore. Sebaiknya kau buang pisaumu itu dan berlututlah di hadapanku!” kata penjahat itu lagi sambil menodongkan sebuah pistolnya kepada pemuda yang dianggap sudah mengganggu kesenangannya itu.
Karena tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, akhirnya pemuda itu menjatuhkan pisaunya. Bersamaan dengan jatuhnya pisau itu, tiba-tiba... Lara yang saat itu masih terikat tampak membenturkan kepalanya pada lengan si penjahat. Tak ayal, lengan penjahat itu pun langsung terayun dan menembak ke sasaran kosong. Pada saat yang sama, pemuda pemberani itu langsung bergerak cepatmengambil pisaunya dan segera menikam penjahat itu hingga tewas bersimbah darah.
Tak lama kemudian, Lara dan pemuda yang menolongnya segera meninggalkan rumah itu dan melapor kepada pihak berwajib.