E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Sayap Bidadari Bagian 9 [ Cinta Sejati ]

SEMBILAN
Cinta Sejati


Trinting! Ting! Ting! Ting! Suara denting piano dari lagu melankolis yang sengaja diputar, terdengar merdu  menemani sepasang muda mudi yang kini sedang duduk berhadapan di sebuah ruang tamu yang kecil. Rupanya di Minggu yang cerah, Raka yang sudah sembuh dari sakitnya sengaja datang menemui Angel untuk memberi kabar perihal orang tua Bobby yang minggu depan akan melamar Wanda.
"An... Aku betul-betul bingung. Sebenarnya ada apa antara kalian berdua? Kenapa tiba-tiba Bobby memberi tahu kalau orang tuanya akan datang melamar gadis yang bernama Wanda?" tanya Raka yang selama ini memang tidak mengetahui hubungan Bobby dengan Wanda.
"Kakak tidak usah bingung! Sebab, sudah lama aku mengetahui mengenai hubungan mereka. Jika orang tua Bobby memang berniat melamar Wanda dalam waktu dekat ini, aku rasa itu adalah hal yang wajar."
"A-apa??? Ja-jadi... Selama ini kalian tidak pacaran?"
"Tidak, Kak. Sesungguhnya semua itu karena salahku juga. Bobby menjadi kekasih Wanda karena mengikuti anjuranku. Semula aku pikir dia tidak mungkin bisa berpaling dariku karena dia begitu mencintaiku. Tapi, ternyata aku salah duga. Dia sama sekali tidak mau menungguku, seperti halnya yang pernah kulakukan saat menunggumu lantaran aku begitu mencintaimu."
Kini kedua muda-mudi terdiam, di hati masing-masing muncul beragam perasaan dan dugaan yang membuat keduanya bimbang untuk mengutarakan isi hati masing-masing. Lama keduanya saling membisu hingga akhirnya Raka memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan, pemuda itu terus memikirkan Angel yang sepertinya masih bisa dimiliki. Sungguh sebuah harapan yang menggembirakan, walaupun dia menyadari kalau harapan itu sangatlah tipis. Raka memang seorang pemuda yang sabar, dan dia sangat percaya, jika Tuhan memang menghendaki maka tidak ada yang bisa menghalangi niatnya untuk bisa bersatu dengan Angel. Kini pemuda itu tampak berdiri di atas sebuah jembatan sambil memperhatikan riak air yang keruh, juga pepohonan lebat yang tumbuh di sekitarnya. Saat itu perasaannya betul-betul sejuk lantaran melihat keindahan yang telah memikat hatinya, bahkan keindahan itu sempat membangkitkan angannya yang selama ini terpendam. Dalam benaknya, pemuda itu benar-benar terlena dengan khayalan indah yang diciptakannya, yaitu khayalan mengenai dirinya yang sudah menjadi suami Angel. Lama juga Raka berdiri di tempat itu, hingga akhirnya dia mendengar suara azan magrib yang berkumandang. Sejenak diperhatikannya lembayung merah yang sudah kian memudar,  kemudian dengan penuh semangat pemuda itu melangkah menuju ke  Mushola yang tak jauh dari tempatnya melamun tadi.
  

Esok harinya udara terasa panas sekali, saat itu di kamar Angel yang tak ber-AC jadi ikut-ikutan panas. Angel yang saat itu sedang asyik menulis benar-benar merasa tidak nyaman, bahkan peluhnya tampak bercucuran dan masuk mengenai bola matanya. Seketika gadis itu terpejam merasakan perih, kemudian berkedip sebentar dan kembali memandang ke arah kata-kata yang sedang ditulisnya. Ingin rasanya saat itu dia menghentikan kegiatannya sejenak dan melanjutkannya di beranda depan yang terasa lebih sejuk lantaran dinaungi pepohonan rindang. Namun karena merasa tanggung dan juga khawatir kalau buah pikirannya akan hilang, lantas gadis itu meneruskan kegiatan menulisnya di tengah panas yang terus mendera.
"Huff...! Akhirnya Bab Sembilan ini bisa kuselesaikan juga," kata Angel lega seraya melangkah menuju beranda.
Kini di tempat itulah Angel kembali membaca bagian yang baru ditulisnya tadi, beberapa kata yang menurutnya tidak pas segera diganti dengan kata baru yang lebih baik. Pemilihan kata itulah yang seringkali membuatnya agak kesulitan, apalagi jika ada kalimat yang dirasanya janggal, bisa lama sekali dia membulak-balik setiap kata yang ada di kalimat itu agar lebih enak dibaca. Bahkan jika ada kalimat yang pada mulanya dianggap bagus, namun ketika dibaca kembali mendadak berubah jelek dan sama sekali tak enak dibaca. Begitulah beberapa kendala yang dihadapi Angel dalam upayanya menjadi seorang penulis yang baik. Terkadang dia merasa tidak berbakat menjadi seorang penulis lantaran susahnya melewati proses itu. Maklumlah, bukankah bagus tidaknya sebuah kalimat itu sangat relatif—tergantung dari mood dan juga nalar orang yang membacanya. Begitu pun ketika seorang penulis sedang membaca naskahnya sendiri, sewaktu menulis dia merasa kalimat yang ditulisnya sudah bagus lantaran mood-nya memang lagi sesuai dengan apa yang ditulisnya, namun ketika dibaca kembali tiba-tiba berubah menjadi jelek lantaran mood-nya saat itu tidak sama dengan mood-nya sewaktu menulis. Begitu pun sebaliknya, kalimat yang semula dianggap jelek, namun ketika dibaca kembali justru menjadi bagus.
"Aduh, kok jelek sekali sih. Begini salah, begitu juga salah. Hmm... Bagusnya bagaimana ya?" tanya Angel dalam hati ketika menemukan sebuah kalimat yang dirasanya janggal. "Ah, masa bodolah. Pusiiing...! Sebaiknya biar kutulis begini saja. Jika kelak naskah ini disetujui, biar editornya saja yang memperbaiki."
Gadis itu terus membaca dan merefisi setiap kalimat yang tak berkenan di hatinya, hingga akhirnya dia bisa menyelesaikan pekerjaan itu dan mulai menyalinnya ke dalam buku catatan yang sebenarnya. Usai menyalin, gadis itu segera kembali ke kamar dan duduk di tepi tempat tidur. Saat itu udara di dalam kamar sudah terasa lebih sejuk lantaran sang Mentari sudah semakin condong ke Barat. Kini gadis itu tampak mengambil surat cinta pertama dari Bobby dan membacanya kembali.
Usai membaca, airmata Angel langsung berderai, mengalir di pipi, kemudian menetes dan meresap di sela rajutan bajunya. "Bodoh...! Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Kak Bobby... Aku ini memang gadis yang malang. Entah kenapa setelah semuanya terlambat baru aku menyadari, kalau sebenarnya kaulah cinta sejatiku yang hakiki. Bukankah kau pernah berkata kalau kau mencintaiku karena cintamu kepada Tuhan, dan kau mau menikah karena kau ingin beribadah. Ketahuilah... Sebetulnya kini aku mencintaimu pun karena hal itu. Aku merasa kau itu adalah pria yang bisa membimbingku menjadi wanita shalihah, dan jika aku bisa bersamamu, tentu aku bisa menjalani hidup sesuai dengan tuntunan agama. Perasaan cintaku ini berbeda dengan perasaan cintaku kepada Raka, sebab aku mencintai Raka karena sekedar ingin mendapatkan kesenangan dunia. Selama menjalin cinta bersamanya aku tidak pernah berpikir soal tujuan pernikahan sebenarnya, yang terpikirkan hanya berupa hal-hal indah yang justru membutakan mata hatiku."
Begitulah Angel, yang baru menyadari dan meyakini kalau cinta sejatinya yang hakiki adalah Bobby. Namun karena dia sudah mengetahui perihal lamaran itu, maka dia pun merasa tidak mempunyai harapan lagi. Sebagai ungkapan atas kekecewaannya, Angel pun segera menumpahkan isi hatinya ke dalam buku harian.


Ketika cinta menoreh luka, bahagiaku menjadi duka. Hampa sudah asa di dada, sirna pula cita mulia. Sungguh... Karena kebodohankulah aku jadi begini. Cinta sejatiku seakan menari di atas lukaku, seakan tertawa menutup tangisku. Sungguh membuat hatiku sakit tiada terkira, bagai dihujam jarum neraka. Sungguh malang tiada diduga, petaka datang begitu saja. Menenggelamkan anganku, menenggelamkan harapanku, harapan akan sebuah kebahagiaan.

Derai air mata Angel kembali mengalir, terbayang sudah cinta sejatinya yang tengah bersanding dengan wanita lain di atas singgasana cinta yang membahagiakan. Hanya kepasarahan dan keikhlasanlah yang bisa meredakan kegundahan dihatinya, kegundahan yang ditimbulkan oleh takdir yang telah dipilihnya sendiri. Sementara itu di tempat berbeda, Bobby yang baru saja pulang dari rumah temannya agak heran karena saat itu kedua orang tuanya terlihat kompak ingin membicarakan sesuatu yang penting. Kini mereka sudah duduk bersama, membicarakan perihal lamaran yang ternyata dibatalkan. Mengetahui itu, Bobby langsung terkejut dan segera menanyakan sebab musababnya.
"Memangnya apa yang telah terjadi, Ayah... Ibu... ? Kenapa kalian membatalkan lamaran itu?" tanya Bobby dengan nada kecewa.
"Wanda hamil, Bob," jelas sang Ibu kepadanya.
“Wa-Wanda hamil…?” Bobby tersentak mendengarnya. "Be-benarkah yang Ibu katakan?" tanya bobby sulit untuk mempercayainya.
"Yang dikatakan ibumu itu betul, Bob,” jawab sang ayah menimpali, ”Begitulah yang orang tua Wanda katakan. Namun kami percaya bukan kaulah yang menghamilinya, sebab tidak mungkin kau berani melakukan perbuatan yang terkutuk itu. Karena itulah kami terpaksa membatalkan lamaran itu. Sebab, Ayah tidak mau kau menjadi penanggung aib orang lain."
Setelah mengetahui itu, Bobby pun langsung sedih. Namun begitu, dia masih tidak mau percaya begitu saja. Karena itulah, dia segera pamit untuk menemui Wanda di rumahnya. Sesampainya di sana, dilihatnya Wanda dan ibunya sedang bercakap-cakap di teras muka. Begitu melihat kedatangan Bobby, si ibu segera beranjak menghampirinya. "Nak Bobby… Bagaimana mungkin kau masih mau datang kemari?"
Bobby tidak menjawab, saat itu pandangannya terus tertuju kepada Wanda yang masih saja terduduk lesu di kursi teras. Diperhatikannya wajah wanita itu dengan penuh seksama, saat itu di wajahnya tergambar jelas sekali akan suasana hatinya yang sedang dilanda kesedihan. Sungguh Bobby merasa betul-betul iba melihatnya, bahkan dia bisa merasakan apa yang sedang dirasakan Wanda.
Kini pandangan pemuda itu sudah beralih menatap wajah sang Ibu, "Eng… Memangnya apa yang telah terjadi, Bu? Ceritakanlah kepadaku! Sebab, aku benar-benar ingin mengetahui perkara sebenarnya," pinta Bobby demi untuk mendapat jawaban yang lebih meyakinkan.
Saat itu sang Ibu tidak menjawab, dia malah menatap mata pemuda itu dengan mata yang berkaca-kaca "Bukankah kau sudah mengetahuinya, Nak. Lebih baik, kau bicara saja padanya!"
Kini Bobby kembali menatap Wanda yang saat itu masih terduduk lesu tak kuasa menyembunyikan wajah murungnya. Lalu, dengan perlahan pemuda itu menghampiri Wanda dan duduk di sisinya. Saat itu, Wanda tampak menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, dan hal itu semakin membuat Bobby bertambah sedih. "Wanda… ceritakanlah padaku!" pinta Bobby kepada wanita yang masih dipercaya sebagai cinta sejatinya.
Lantas dengan air mata berderai, Wanda pun segera menceritakan peristiwa yang telah menimpanya. "Kak… Ketahuilah! Sebetulnya aku bukanlah wanita baik-baik yang seperti yang Kakak duga selama ini. Terus terang, selama ini diam-diam aku sudah terlibat dengan bergaulan bebas yang akhirnya menjurus ke… ke arah seks bebas? Dan karena itulah, ki… kini aku harus menanggung semua akibatnya." Seketika Wanda tertunduk, saat itu penyesalan yang amat sangat tampak terpancar diwajahnya, dan isak tangisnya pun terdengar kian memilukan.
Pada saat yang sama, Bobby tampak terpaku, kedua matanya pun langsung berlinang, dan tak lama kemudian sebulir air mata tampak meluncur jatuh di sebelah pipinya. Sungguh penuturan Wanda yang sangat menyedikahkan itu telah membuat hatinya begitu tersayat, dan segala gambaran indah mengenai masa depan yang semula begitu indah, hidup berdampingan dengan Wanda yang dipercaya sebagai gadis yang baik dan sholehah seakan sirna sektika. Dalam hati, pemuda itu langsung membatin, "Duhai Allah... Kenapa disaat aku sudah menerima dia di hatiku, lantas kini aku dihadapkan dengan pilihan yang semakin sulit? Apakah pilihanku yang bersedia dijodohkan oleh orang tuaku adalah salah sehingga aku harus dihadapkan dengan perkara yang sesulit ini?"
Kini Bobby berusaha untuk menerima takdir yang sudah digariskan kepadanya, dan pilihan berikutnya tentu bukanlah pilihan yang mudah. "Sudahlah, Win… Tabahkanlah hatimu," ucap Bobby kepada gadis yang tetap lekat di hatinya.
Wanda pun menangis tersedu-sedu seraya memandang Bobby dengan air mata yang terus berderai, "Kak… A-apakah Kakak masih mencintai Wanda, dan a-apakah Kakak masih mau menikahi Wanda?" tanyanya dengan suara yang terdengar begitu pilu.
Bobby terdiam, saat itu hatinya betul-betul berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Kalau sesungguhnya dia memang tidak mau menikahi Wanda, sebab dia percaya kalau menikahi wanita pezina adalah perbuatan yang dilarang agama. Namun di lain sisi, pemuda itu sudah sangat mencintai Wanda. Sungguh hal itu adalah pilihan yang sangat sulit, dan jika tanpa ilmu pengetahuan yang cukup tentu ia bisa terjerumus pada pilihan yang salah. Namun begitu, Bobby berusaha untuk bisa menemukan jalan keluar yang baik. Setelah berpikir keras, akhirnya dia menemukan sebuah jalan keluar yang diyakininya baik. "Wan... Apakah kau mau bertobat dan menjalani hukuman sesuai dengan Syariat Islam, yaitu disebat rotan sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun. Jika kau bersedia, maka aku akan berusaha meyakinkan kedua orang tuaku kalau kau itu memang pantas untuk kunikahi," ungkap Bobby mencoba mencarikan jalan keluar. Sebab, dia percaya kalau wanita yang sudah bertobat dengan cara demikian, maka ia tidak lagi menyandang status sebagai seorang pezinah, dan wanita yang seperti itu tentu layak untuk dinikahi.
Namun karena saat itu keimanan Wanda masih sangat lemah, maka dia pun sulit untuk memberikan jawaban. Maklumlah, saat itu Wanda memang masih merasa berat untuk bisa menjalani hukuman yang baginya terlalu ekstrim. Karena itulah, akhirnya Bobby semakin mantap untuk mengambil putusan yang tak menyimpang dari tuntunan agama, yaitu tidak menikahi wanita pezina seperti Wanda. 
Sepulang dari rumah Wanda, Bobby langsung merebahkan diri di tempat tidur dan merenungkan semuanya. "Hmm… Sepertinya aku memang sudah tidak bisa mengharapkannya lagi, biarpun aku sangat mencintainya, bukan berarti aku harus nekad menikahinya, itu sama saja aku telah cinta buta kepadanya. Hmm… siapa sesungguhnya yang akan menjadi pendampingku?” tanya pemuda itu membatin. Entah kenapa, tiba-tiba saja pemuda itu teringat kepada seorang gadis yang lekat dihatinya, siapa lagi kalau bukan Angel—gadis manis yang diduganya telah cinta buta kepadanya. “Eng… A-apa mungkin jodohku yang sebenarnya itu Angel, sebab sejak semula aku telah percaya kalau dia memang bisa membahagiakanku. Lagi pula, bukankah dia itu juga mencintaiku, sekalipun aku tahu kalau cintanya kepadaku hanyalah cinta buta. Namun begitu, aku yakin suatu hari kelak dia pasti bisa mencintaiku karena cintanya kepada Allah. Tapi... Dia itu kan cinta sejatinya Raka. Walaupun kutahu mereka itu sulit bersatu, tapi harapan untuk itu akan selalu ada. Sungguh aku bisa merasakan bagaimana sedihnya Raka jika gadis yang dicintainya ternyata memang tidak bisa dimiliki. Kini aku semakin yakin, kalau selama ini Raka tidak mau pacaran, itu karena dia sedang menunggu kesempatan untuk bisa menikahi Angel. Dan itu artinya, dia masih mengharapkannya. Ya, tidak salah lagi. Di hatinya tentu masih ada sedikit harapan kalau suatu hari kelak orang tuanya akan setuju, dan jika saat itu Angel belum menikah tentu Angel bisa menjadi istrinya. Duhai Allah... Haruskah aku menyakiti hati sahabatku sendiri demi untuk kebahagiaanku," ungkap Bobby dalam hati karena pilihan berikutnya memang bukanlah perkara yang mudah.
Seharian ini Bobby terus memikirkan perihal Angel. Sungguh kini dia sedang kesulitan untuk bisa menentukan takdirnya sendiri. Di kepalanya, ego dan nurani terus bertarung membenarkan pendapatnya masing-masing. Dan semakin sengitnya pertarungan itu, maka semakin pusing saja kepala Bobby dibuatnya. Saat itu ingin rasanya dia naik ke puncak gunung dan berteriak keras demi untuk menumpahkan segala beban pikiran yang terus mendera. Namun karena hal itu dirasa menyulitkan, akhirnya dia pun menggunakan cara yang lebih mudah, yaitu dengan banyak-banyak mengucapkan istigfar dan memohon ampun atas segala dosa yang pernah diperbuatnya. Bahkan, dia pun memohon petunjuk Tuhan untuk bisa menentukan takdir yang harus dipilihnya. Setelah melakukan itu semua, lambat-laun hati Bobby pun mulai tenang kembali, hingga akhirnya dia betul-betul bisa berpikir jernih.
"Hmm... Entah kenapa, kini aku merasa yakin kalau Angel-lah cinta sejatiku. Eng... Tapi bagaimana jika Angel sudah tak mencintaiku lagi? Bagaimana jika dia ternyata sudah melaksanakan anjuranku untuk mengejar cinta sejatinya. Duhai Allah, kenapa semuanya bisa menjadi serumit ini? Dan kenapa pula aku baru menyadarinya sekarang, kalau Angel  itu memanglah cinta sejatiku? Dasar aku ini memang bodoh, selama ini aku mengira kalau cintaku kepada Angel adalah cinta buta. Namun ternyata, dia itu memang cinta sejatiku. Ya, aku ini memang bodoh sekali. Bukankah dulu aku pernah mengungkapkannya di surat pertamaku, kalau aku memang mencintainya karena-Mu. Sebab, aku memang betul-betul serius ingin segera menikahinya. Bukankah dengan menikahinya, itu artinya cintaku padanya adalah benar-benar cinta yang suci, cinta sejati yang hakiki. Sebab dengan menikahinya, tentu aku bisa terhindar dari hal-hal yang membahayakan. Dan yang terpenting, menikah itu adalah Sunah Rasul dan membuat imanku menjadi lebih sempurna. Malah bisa menjadi sebuah sarana ibadah yang menjanjikan, sebab jika ternyata pernikahan itu tidak sesuai dengan harapan maka hal itu bisa menjadi ladang amal yang melimpah karena pelakunya sabar dalam menghadapi berbagai konflik, dan jika pernikahan itu ternyata sesuai dengan harapan, maka pelakunya pun akan mendapat pahala yang banyak karena saling membahagiakan.
Terima kasih duhai Allah, kini aku yakin kalau Angel adalah cinta sejatiku, dan aku pun percaya kalau Engkau akan menitipkan dia padaku karena Engkau mempercayaiku, yaitu agar aku bisa membinanya menjadi wanita yang shalehah. Bukankah aku ini sudah tahu tabiatnya, dia itu keras kepala, cemburuan, gampang marah, dan kalau sudah ngambek bisa membuat kepala ini jadi pusing tujuh keliling. Selain itu, aku juga tahu kalau dia itu pemalas dan sangat egois. Dan semua itu karena sifat manja dan kekanakannya yang memang sudah bawaan lahir. Sungguh semua sifatnya hampir sama persis dengan aku, ya... Bukankah dia itu bagian dari diriku juga. Aku sudah kenal siapa diriku, dan aku tentu kenal siapa dirinya. Lagi pula, sekarang kan aku sudah bisa mengendalikan semua sifat buruk itu karena Engkau memang telah mengaruniakan kesabaran padaku. Dan karenanyalah aku percaya, jika kami bersatu maka kami akan bahagia bersama. Sebab dengan kesabaranku, aku tentu dituntut untuk bisa menghadapi berbagai kecenderungan negatif yang dimilikinya dengan penuh bijaksana. Intinya adalah, aku ini memang sudah siap menerima apa pun yang bakal terjadi, sekalipun hal itu akan membuatku menderita. Dan dengan kesiapanku itu, tentu rumah tangga kami akan terbina dengan baik dan kami pun akan senantiasa hidup rukun hingga kehidupan baru," ungkap Bobby saat berdialog kepada Tuhannya.
Sungguh apa yang ada di benak Bobby saat itu tampaknya agak naif dan tidak masuk akal. Apa iya kedua sifat yang parah itu bisa klop satu sama lain? Jangan-jangan malah seperti kucing dan anjing yang kalau bertemu bisa saling menggigit. Tapi, entahlah... Terkadang akal manusia memang tidak bisa digunakan untuk menjawab setiap pertanyaan yang ada. Lagi pula, bukankah terkadang ada juga anjing dan kucing yang bisa rukun. Dan bukankah hal itu membuktikan kalau sifat bawaan lahir ternyata memang bisa berubah. Bahkan di dalam sebuah riwayat hadits, salah satu istri Nabi Muhammad SAW ada yang pernah mengaku kalau dia adalah seorang wanita yang cemburuan dan mudah marah, namun apa kata beliau. Insya Allah, semua sifat buruk itu akan hilang. Kenapa bisa begitu, sebab jika manusia sudah mengikuti ajaran Al-Quran dan Hadist Rasul, maka semua bawaan lahir akan hilang dan berganti dengan sifat yang jauh lebih terpuji. Nah, jika mereka berdua memang mempunyai komitmen yang sama, dan mau konsisten mengikuti petunjuk kedua kitab tersebut, tentu mereka akan bahagia selalu. Lantas, bagaimana jika salah satunya tidak mau mengikuti itu? Jawabnya mudah, bukankah manusia itu sudah dikaruniakan dengan akal pikiran, yang dengannya manusia dituntut untuk bisa memecahkan setiap persoalan yang ada. Karena itulah, sebagai mahluk yang senantiasa harus belajar, manusia tentu harus mau berpikir dan selalu berusaha keras untuk menjadi lebih baik, kemudian menyerahkan semuanya kepada Sang Pencipta. Mengenai apa pun keputusan-Nya, itu adalah yang terbaik buat manusia. Intinya adalah manusia harus berusaha keras memilih takdir dengan sebaik-baiknya, dan mengenai apa yang akan terjadi nanti adalah konsekwensi atas segala pilihannya, yang sejak awal memang telah digariskan oleh yang Sang Pencipta.
Kini Bobby tampak sedang berpikir keras. "Hmm... Entah kenapa aku merasa PD sekali, kalau kelak aku bisa menjadi suami idaman Angel. Padahal, aku sendiri tidak yakin apa aku ini bisa terus konsisten atau tidak dalam menjalani ajaran agama. Duhai Allah… Apakah aku ini memang betul-betul sudah menjadi orang yang penyabar sehingga kelak aku bisa tahan menghadapi segala tingkah lakunya yang tak berkenan?" gumam Bobby meragukan dirinya sendiri. "Ah, sudahlah... Aku kan belum menjalaninya. Jika aku memang berniat baik dan memang mau bersungguh-sungguh dalam upaya membinanya menjadi wanita yang shalihah. Insya Allah, dengan sifat kasih sayang-Nya, Allah tentu akan membantuku."
Begitulah Bobby, akhirnya menyadari kalau Angel adalah cinta sejatinya, walaupun saat itu dia menyadari kalau iman manusia akan senantiasa mengalami pasang surut. Karena itulah dia bertekad untuk bisa menjaga iman itu agar tetap selalu pasang, yaitu dengan cara berusaha untuk mengikuti berbagai bimbingan rohani. Seperti dengan mengikuti pengajian rutin di TV, Musholah, atau dimana saja. Atau bisa juga dengan membaca buku-buku agama dan membaca berbagai hal keagamaan di internet. Bahkan jika dia dan Angel memang berjodoh, maka dia akan bertekad untuk lebih rajin beribadah dan senantiasa berdoa. Sebab dia percaya kalau ibadah dan doa adalah sesuatu yang bisa melancarkan usahanya.