Tujuh
Semenjak peristiwa perceraian dan kebakaran itu, Bobby semakin memperdalam ilmu agamanya. Setiap ada pengajian rutin di kampungnya, dia usahakan untuk selalu hadir. Berbagai buku agama dipelajarinya dengan sungguh-sungguh, baik yang didapat dari meminjam maupun dia belinya sendiri. Hingga akhirnya dia menjadi lebih sabar dan lebih bijaksana.
Ternyata bukan cuma Bobby yang mau berubah, Reni pun melakukan hal serupa. Bahkan hampir setiap hari wanita itu merenungi perjalanan hidupnya dan mencoba menggali hikmah dari berbagai peristiwa yang telah dialaminya, hingga akhirnya dia berniat menemui mantan suaminya yang masih sangat dicintainya. Kini wanita itu tampak sedang membatin di beranda bambu rumahnya, “Oh, Bang Bobby... Apakah kau masih mau menerimaku? Terus terang, aku benar-benar menyesal karena telah mengambil keputusan itu, ingin rasanya aku rujuk kembali untuk membina rumah tangga bersamamu. Sekarang aku sudah tidak mempersoalkan istri-istrimu yang lain, yang terpenting buatku adalah aku bisa membesarkan anak kita bersama-sama. Kini aku menyadari bahwa aku terlalu egois karena mengharap kebahagiaan untuk diriku sendiri, yaitu dengan mendapat kasih sayang dan perhatian lebih darimu. Padahal, sebenarnya anak kita pun membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang sama. Ya, siapa lagi yang bisa memberikan kasih sayang dengan sepenuh hati padanya kalau bukan kita berdua.”
Reni terus membatin merenungi kesalahannya. Sementara itu di tempat lain, putrinya yang bernama Lia tampak sedang menangis sedih. Maklumlah, selama tinggal bersama Ibu tirinya, anak itu benar-benar merasa tidak diperlakukan dengan adil. Bagaimana tidak, jika dia dan Intan bertengkar, maka ibu tirinya selalu membela Intan. Padahal, jelas-jelas Intanlah yang selalu sering membuat kesalahan.
“Huhuhu...! Ayaaah...! Lia tidak mau tinggal di sini lagi. Lia mau tinggal sama ibu Reni saja, soalnya di sini Lia sering dimarahi sama ibu Dewi. Ibu Dewi jahat, Ayah. Lia sering dicubitin sama ibu Dewi, Ayah. Huhuhu...! Sakit, Ayah... Ibu Dewi bukan cuma mencubit Lia, tapi juga memukul Lia, Ayah. Huhuhu...! Dulu, waktu Lia tinggal sama Ibu Reni, Lia tidak pernah dicubit kayak gini, Ayah. Huhuhu...!“ Lia membatin sambil terus terisak.
Mengetahui Lia masih menangis, Dewi yang saat itu sedang istirahat semakin naik pitam. Kemudian dengan amarah yang meluap-luap, dia datang menghampiri anak itu, “Dasar anak cengeng. Baru dicubit segitu sudah menangis seperti itu. Lihat tuh, si Intan. Jika dicubit tidak pernah menangis seperti kamu, lama dan keras seperti itu. Dasar anak manja!!! Diam!!! Kalau kamu masih menangis juga, aku akan mencubitmu lagi, dan akan lebih keras dari yang tadi. Mengerti!!!”
Karena takut dicubit lagi, akhirnya Lia pun berusaha berhenti menangis. “Ihik...” sesekali masih terdengar isak tangis yang tak mampu ditahan. Sungguh tega si Dewi, dia sudah membuat anak itu tampak tersengal-sengal karena menahan tangisnya agar tidak terdengar. Begitulah Dewi, biarpun suaminya sudah sering menasihati, namun dia masih tetap mengulanginya lagi dan lagi. Sepertinya nasihat suaminya itu, masuk telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. Ketika dinasihati dia tampak begitu menyesal, namun setelah agak lama perbuatan itu pun kembali dilakukannya. Sepertinya alam bawah sadarnya memang sudah sulit untuk diprogram ulang lantaran program pendidikan yang diterapkan oleh ibunya dulu juga seperti itu.
Esok harinya, Bobby tampak sedang bersiap-siap mengantar Lia menemui ibu kandungnya, rupanya pemuda itu tidak tega juga melihat putrinya yang dulu dikenal ceria kini lebih sering kelihatan murung. Dia tahu betul, semua itu karena ulah Dewi yang memperlakukannya tidak seperti apa yang dilakukan Reni. Sehingga anak yang selama ini selalu mendapat perlakuan baik dari Reni, terpaksa harus menerima perlakuan kasar dari Dewi. Karenanyalah, mau tidak mau dia harus mengembalikan Lia pada ibu kandungnya.
Setelah semuanya beres, akhirnya Bobby dan Lia berangkat ke kampung dengan menggunakan bis cepat. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. “Alhamdulillah…! Kami tiba dengan selamat,” ucap Bobby bersyukur.
Namun ketika dia hendak memasuki pekarangan, dilihatnya Reni tengah keluar rumah dengan menjinjing koper di tangannya. “Ren! Kau mau ke mana?” seru Bobby terkejut seraya buru-buru menghampirinya.
Mengetahui itu seketika Reni berpaling, “Bang Bobby!” Pekiknya gembira. “Syukurlah, akhirnya kau mau datang kemari,” katanya dengan mata yang tampak berbinar-binar. Saat itu Reni langsung mendekapnya erat, dan tak kemudian dia pun memeluk putrinya dan menciuminya berkali-kali. “Anak manis, sana temui kakekmu di dalam! Beliau pasti sudah sangat merindukanmu, Sayang…” katanya lembut.
“Iya Bu, Lia juga rindu sekali sama Kakek,” ucap anak itu seraya berlari menemui kakeknya. Pada saat yang sama, Bobby dan Reni tampak melangkah menuju beranda bambu. Kemudian di tempat itulah keduanya berbincang-bincang dengan kepala dingin hingga akhirnya Reni berani mengungkapkan isi hatinya. “Bang, karena kebodohankulah yang telah membuatku mengambil keputusan itu. Kini aku sudah sadar dan ingin kembali membina rumah tangga bersamamu? Apakah kau bersedia, Bang?” tanyanya penuh harap.
“Alhamdulillah… Itulah yang selama ini aku dambakan, Ren. Kita rujuk dan kembali membesarkan anak kita bersama-sama. Kalau begitu, aku akan segera merujukmu.”
Setelah mengucapkan kalimat rujuk, Bobby pun mengajak istrinya masuk menemui Sang Ayah. Sementara itu di tempat lain, Dewi tampak termenung menyesali perbuatannya selama ini. Akibat ketidakmampuannya menahan amarah telah membuat anak-anaknya hidup menderita. “Maafkan Ibu, Lia. Sebenarnya Ibu sayang sama Lia, namun karena selama ini Ibu sudah biasa mendidik dengan cara itu, akhirnya kamu pun jadi menderita. Kamu memang berbeda dengan Intan, mungkin selama ini Intan sudah terbiasa kuperlakukan begitu sehingga dia bisa tabah menjalaninya. Sedangkan kamu, yang ketika tinggal bersama ibu kandungmu selalu diperlakukan baik tentu hal itu merupakan siksaan yang berat bagimu. Lia... Sekali lagi, Maafkan Ibu, Nak! Karena Ibu memang sulit untuk bisa menjadi seperti ibumu.”
Dewi terus merenung dan merenung, hingga akhirnya wanita itu bertekad untuk setahap demi setahap melatih diri menahan amarah, sehingga setan tidak mudah mengendalikannya berbuat kasar. Ketika wanita itu hendak beristirahat, tiba-tiba dia melihat dua simbol kelamin milik suaminya yang tergeletak di atas kepala dipan. “Hmm... Sebenarnya benda apa ini?” tanya wanita itu sambil terus mengamati benda yang kini ada di telapak tangannya. “Aneh... Apa maksud tulisan biru dan merah muda ini?” tanya wanita itu sambil membolak-balik benda tersebut. “Eng... apa ya sebenarnya maksud tulisan merah muda dan biru ini,” tanyanya lagi dengan tanpa sengaja membaca tulisan merah muda lebih dulu. “Hihihi... seperti lirik lagu ‘Balonku’ saja,” pikirnya merasa lucu ketika menyadari kalau barusandisaat dia membacanya merah muda lebih dulu memang seperti lirik lagu ‘Balonku’. “Mmm... sudahlah, yang jelas benda ini pasti kepunyaan suamiku. Hmm... Tapi, untuk apa dia menyimpan benda seperti ini, jika dilihat dari bentuknya sama sekali tidak indah? Ah, sudahlah... Aku tidak mau tahu. Sebaiknya kusimpan saja, mungkin nanti suamiku akan mencarinya?”
Setelah menyimpan benda itu, Dewi segera merebahkan diri di tempat tidur. Saat itu dia sudah tidak memikirkan benda aneh itu, namun wanita itu kembali memikirkan perihal anak tirinya yang kini terpaksa dipulangkan ke rumah ibu kandungnya. Sementara itu di tempat lain, di kediaman istri kedua Bobby yang bernama Nina. Seorang pemuda tampak sedang berbincang-bincang dengan wanita itu. “Sudahlah, Nin! Kau minta cerai saja! Lebih baik kau menikah denganku. Dengan begitu kau akan hidup lebih berkecukupan.”
“Maaf, Pak Johan. Saya mencintai suami saya.”
“Aduh, Nin. Apa yang kau harapkan dari suami seperti itu, apa dengan menjadi penjual koran dan pedagang asongan dia bisa membelikanmu emas permata?” tanya Johan mengejek.
Saat itu Nina langsung menarik nafas panjang. “Sekali lagi, maaf Pak! Suamiku itu sangat menyayangiku. Lagi pula, kehidupanku sekarang ini sudah lebih dari cukup.”
“Hahaha...! Itu kan karena aku menjadikanmu sebagai sekretarisku. Coba kalau kau kupecat, apa kau bisa hidup seperti sekarang.”
Mendengar itu, Nina sempat khawatir juga--bagaimana jadinya jika dia benar-benar dipecat oleh bosnya yang hidung belang itu. Andai saja harta kedua orang tuanya yang telah meninggal tidak habis diporoti oleh mantan suaminya, tentu ia bisa lebih mudah menentukan pilihan. Tapi untunglah, karena rasa cintanya kepada Bobby, akhirnya dia pun berani mengambil sikap. “Maaf, Pak. Kalau Bapak memang mau memecat saya, silakan saja! Saya rela hidup susah bersama suami yang saya cintai.”
“Hahaha...! Cinta... Hahaha....! Rupanya kau belum tahu siapa suami itu ya? Hahaha...! Kalau begitu, terpaksa aku memberitahu kabar yang akan membuatmu berpikir dua kali untuk tetap mencintainya.”
“Apa maksud Bapak? Kabar apa itu?”
“Hahaha...! Kau tidak tahu kan, kalau suamimu itu selama ini mempunyai istri lain. Hahaha...!”
“Pak, saya harap Bapak jangan bicara sembarangan! Atau saya akan mengusir Bapak karena telah berani memfitnah suami saya.”
“Nina... Nina... Coba kau lihat foto-foto ini!”
Dengan penuh penasaran, Nina pun segera melihat foto-foto itu. Sungguh betapa hancur hatinya saat itu, menyaksikan sang Suami yang tampak begitu mesra bersama wanita lain. Tak ayal, saat itu juga air matanya meleleh tak kuasa menahan kekecewaan yang begitu dalam karena telah dikhianati.
“Nah, sekarang bagaimana? Apakah kau masih tetap mencintai pemuda yang jelas-jelas telah mengkhianatimu itu?”
“Pak, saya mohon tinggalkan saya sendiri. Saya butuh waktu untuk memikirkan semua ini.”
“Baiklah, saya akan pergi. Dan saya akan sabar menunggu jawaban darimu.”
Lantas lelaki yang bernama Johan itu pun pergi meninggalkan Nina yang masih saja menangis sedih. Pada saat yang sama, Nina tampak menyobek foto-foto yang membuatnya begitu sakit, kemudian dia berteriak histeris sambil melempar sobekan foto-foto itu hingga bertebaran di atas lantai. Sungguh kenyataan pahit yang dihadapinya saat itu telah membuat batinnya begitu tersiksa, terasa bagaikan diiris sembilu hingga sakit tiada terkira. Kini wanita itu tampak terkulai di atas sofa sambil terus meraung histeris bak orang yang sudah kehilangan akal sehatnya.
Seminggu kemudian, ketika Bobby datang menggilir istri keduanya, terjadilah hal yang paling ditakutinya. Kalau lambat laun, Nina pun akan mengetahuinya.
“Jadi, selama ini kecurigaanku memang benar, kalau kepergianmu setiap dua minggu itu untuk menggilir istri-istrimu yang lain. Sungguh aku tidak menduga, kenapa kau begitu tega menipuku, Bang? Kenapa tidak dari awal kau berterus terang tentang keberadaan mereka?”
“Maafkan aku, Nin. Aku terpaksa. Ketika pertemuan di taman dulu, sebenarnya aku ingin sekali mengatakannya. Namun aku tak kuasa, dan saat itu pun kau memberi kesempatan untukku agar tetap merahasiakannya,” jelas Bobby terus terang.
“Bang, Kalau boleh kutahu. Sebenarnya apa yang membuatmu terpaksa?” tanya Nina lagi.
Mendapat pertanyaan itu, akhirnya Bobby mau menceritakan perihal kedua istrinya yang harus dinikahinya lantaran peristiwa yang sama. Semula Nina tak mau menerima kenyataan itu, namun setelah dia merenung dan memikirkannya dengan kepala dingin, akhirnya dia pun mau mengerti juga. Bahwa dia memang tidak boleh egois dan harus bisa mengambil hikmah dari peristiwa itu. Hingga akhirnya, Nina pun menjadi maklum dan mau menerima Bobby walaupun dengan hati yang bak disayat-sayat.
Namun begitu, tampaknya Bobby masih belum percaya, hingga akhirnya dia pun kembali berkata, “Nin, percayalah. Aku akan selalu menyayangimu, karena kaulah cinta pertamaku. Cintaku kepadamu lebih besar daripada cintaku pada mereka berdua. Andai kau menghendaki aku untuk menceraikan mereka, aku pasti akan menceraikan mereka. Semua itu bisa kulakukan dengan mudah, karena aku hanya menikahi mereka di bawah tangan,” kata Bobby menguji.
“Tidak, Bang. Kau tidak perlu melakukan itu. Terus terang, aku tidak menghendaki jika kau sampai menelantarkan mereka, apa lagi anak-anakmu itu masih kecil-kecil. Lagi pula, bukankah istri-istrimu itu telah menerima kehadiranku. Terus terang, aku tidak mau menyakiti mereka, Bang.”
“Benarkah semua yang kau katakan itu, Nin?” tanya Bobby ragu.
“Entahlah, Bang. Semula aku memang begitu kecewa dan sakit hati. Namun, ketika aku menyadari kalau semua itu karena memang suatu keterpaksaan, aku pun mencoba menerimanya. Karena kutahu, ini bukanlah keinginanmu dan juga bukan keinginan mereka. Semua ini terjadi begitu saja dan aku menganggapnya sebagai suatu hukuman atas perbuatan dosa yang pernah kita lakukan dulu,” jawab Nina dengan kedua matanya yang mulai berlinang, menatap Bobby penuh keikhlasan.
“Syukurlah... Kini perasaanku sudah agak lega. Kau memang wanita yang bijaksana, Nin. Aku sungguh sangat mencintaimu,” ucap Bobby seraya mendekap wanita itu dengan penuh kehangatan.
Saat itu Nina pun bertekad untuk tetap mencintai suaminya dan tidak mempedulikan karirnya lagi. Apapun keputusan bosnya, dia akan terima dengan lapang dada.