Sembilan
Semenjak pertemuannya dengan Bintang, kehidupan Bobby pun mulai berubah. Maklumlah, selama ini mereka sering bertemu di tepian telaga dan berbincang-bincang seputar kehidupan. Dengan begitu, segala keresahan yang semula sangat membebaninya kini dengan perlahan sirna dan berganti menjadi pelajaran yang sangat bermakna. Gadis itu memang sudah memberikan cahaya yang menerangi hatinya, cahaya terang yang bersumber dari segala sumber cahaya, dialah Allah SWT, yang kembali menerangi hatinya melalui cahaya Bintang untuk kembali mengingat-Nya.
Kini Bobby sudah kembali produktif dengan tanpa melanggar aturan Tuhan. Dan dampak dari melakukan itu adalah dia bisa mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang selama ini tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Kini dia merasa betul-betul bahagia karena kepintaran dan kerja kerasnya telah dimanfaatkan oleh orang-orang di sekelilingnya. Dia bahagia melihat mereka bahagia, dan dia bahagia karena telah menjadi manusia yang produktif sesuai dengan aturan Tuhan. Dia pun semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjalani kehidupannya dengan hanya mengharapkan ridha dari-Nya. Namun, setelah agak lama berada di jalur yang benar, tiba-tiba sebuah cobaan lain menghadang. Kini dia mulai bersikap sombong dan angkuh, seakan-akan dia telah berbuat banyak untuk mereka, padahal apa yang sudah diperbuatnya itu tidaklah seberapa. Maklumlah, setan memang lihai memperdayanya, sehingga dia selalu teringat akan setiap perbuatan baik yang pernah dilakukan. Dan karenanyalah sedikit demi sedikit setan telah berhasil membuatnya semakin angkuh dan semakin menjauh dari-Nya, sehingga kini dia merasa orang yang terbaik di antara mereka, dan dia merasa orang yang paling tahu segalanya.
Kini pemuda itu tampak sedang berdiri memperhatikan para pengemis dan pengamen jalanan yang ada di lampu merah. “Dasar manusia pemalas, seharusnya mereka mengikuti jejakku dengan menjadi manusia yang produktif yang tidak menyusahkan orang lain.”
“Kasihan, Den… minta sedekahnya…!” kata seorang pengemis kepada Bobby.
“Maaf, Pak! Minta sama yang lain saja ya!” kata Bobby ringan seraya memaki dalam hati. “Huh, dasar pemalas! Masih segar-bugar seperti itu kok minta-minta. Jika aku memberinya sama saja dengan membuatnya bertambah malas,” gerutu Bobby seraya melangkah menuju ke sebuah halte dan duduk di tempat itu.
Kini pemuda itu tampak memperhatikan seorang pengamen yang baru saja turun dari bis kota. Pengamen yang masih muda itu lantas duduk di sebelah Bobby. “Rokok, Bang,” tawarnya kepada Bobby.
“Maaf saya tidak merokok,” jawab Bobby sopan seraya menggerutu dalam hati, “Huh, sok banyak uang. Padahal dia sendiri boleh mengamen dengan menjual suaranya yang aku yakin tidak bagus. Aduh, dasar manusia tidak punya otak… masak merokok di tempat umum begini. Itu kan sama saja dengan menzolimi orang lain, sebab dia bisa membuat orang-orang di sekitarnya menjadi perokok pasif. Andai saja dia mau mengikuti jejakku menjadi pemuda baik yang produktif untuk kebahagiaan banyak orang, dan tidak membuang-buang uang dengan cara dibakar seperti itu tentu kehidupannya akan menjadi lebih baik.“
Karena tak mau menjadi perokok pasif, akhirnya Bobby melangkah menuju ke sebuah rumah makan. Di tempat itulah dia menikmati santap siangnya sambil sesekali memperhatikan pengunjung yang datang. “Hmm… Siswi SMA itu pasti bukan gadis baik-baik, dia pasti mau menggadaikan kehormatannya pada pria hidung belang itu,” duga Bobby ketika melihat seorang siswi SMA yang tampak bersikap manja kepada pria paruh baya. “Hufff… Sungguh kasihan sekali dia karena telah menyia-nyiakan masa mudanya demi kesenangan duniawi. Beruntung jika dia masih punya kesempatan untuk bertobat, sebab kalau tidak tentu dia akan masuk neraka.”
Begitulah Bobby sekarang yang sudah merasa menjadi orang baik, yang senantiasa prihatin melihat kondisi sosial masyarakat yang katanya beradab. Rasa kepeduliannya terhadap masa depan mereka sungguh membuatnya mengusap dada. Haruskah ia berbuat sesuatu untuk menyelamatkan mereka, padahal dia sendiri masih kesulitan memperbaiki budinya sendiri. Haruskah ia menghilangkan rasa kepedulian di hatinya itu demi melapangkan perasaannya sendiri, yang mana selalu miris jika melihat orang-orang di sekitarnya berbuat dosa. Haruskah ia menyendiri dan menutup diri, tidak peduli terhadap urusan orang lain yang memang bukan urusannya. “Ah, sudahlah…. Biarlah mereka melakukan apa saja sekehendak hati mereka. Toh jika mereka berbuat dosa, mereka sendiri yang akan menanggung akibatnya. Bukankah lebih baik mengurusi budiku sendiri, yang masih dipenuhi dengan banyak kekurangan,” gumam Bobby seraya mengambil tissue dan membersihkan lemak yang melekat di bibirnya. “Hmm… tapi, benarkah mereka sendiri yang akan menanggung akibatnya? Aku rasa tidak demikian, sebab orang baik-baik tentu akan terkena dampaknya. Jika Tuhan sudah menurunkan sebuah bencana dasyat, yang terkena bukan hanya mereka yang berdosa, tapi juga mereka yang tidak peduli, dan mereka yang sudah dianggap gagal dalam menyampaikan kebenaran. Sebab bencana adalah sebuah peringatan karena sebab Tuhan begitu sayang dan peduli kepada hamba-hambanya. Untuk mereka yang berdosa, supaya mereka mau menghentikan perbuatan dosa, untuk mereka yang tidak peduli, supaya mereka mau lebih peduli lagi, dan untuk mereka yang gagal supaya mereka mau berjuang lebih keras lagi.
Lagi pula, bukankah aku ini makhluk sosial yang mempunyai tugas mulia. Aku ini makhluk yang tak mungkin bisa mulia jika tanpa mempedulikan kemuliaan manusia lain. Tanpa itu, manusia tak mungkin sempurna kemuliannya, tak lengkap nilai kemanusiaannya yang sudah ditugaskan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Jika tidak melakukan tugas mulia itu, aku ini sama saja seperti hewan yang diciptakan hanya sekedar untuk berkembang biak dan memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan ada hewan yang sama sekali tidak peduli dengan hewan lain yang menjadi mangsa atau pemangsa, sebab yang terpenting bagi hewan adalah bagaimana ia bisa mempertahankan kehidupannya sendiri dengan tanpa mempedulikan kehidupan hewan lain. Karenanyalah, aku tidak mau seperti hewan. Aku ini manusia yang sudah dikaruniakan akal pikiran, yang dengannya aku bisa menjalani kehidupanku sebagai manusia.”
Setelah berpikir begitu, akhirnya Bobby bergegas meninggalkan rumah makan itu. Selama perjalanan pulang, ada saja hal-hal yang membuatnya miris. Sungguh saat itu dia tidak tahu harus bagaimana lagi bersikap, apakah dia memang harus menjadi manusia sejati, ataukah malah menjadi seperti hewan.
Esok harinya, di tepian telaga. Bobby kembali berjumpa dengan Bintang. Seperti biasa, sambil memandang keindahan telaga mereka bercakap-cakap seputar kehidupan. Saat itu Bobby menceritakan perihal realita yang dilihatnya selama ini, yaitu perihal orang-orang malas yang tak mau berusaha keras guna memperbaiki kualitas kehidupannya, juga mengenai rendahnya moral manusia yang sudah tergilas oleh pesatnya kemajuan zaman.
“Sebaiknya kau jangan seperti itu, Kak. Sebab jika terus seperti itu kau akan menjadi orang yang otoriter. Ingatlah, jangan sampai kau memaksakan nilai kemanusiaanmu kepada orang lain. Manusia hanya wajib menyampaikan dan harus belajar hidup dari kesalahan dan kekurangan manusia lain. Ketahuilah, bahwa apa yang kau lihat itu belum tentu sama seperti dugaanmu. Mungkin saja mereka itu merupakan orang-orang yang malas, atau manusia yang tak bermoral, tapi mungkin juga tidak. Untuk bisa mengetahuinya kau harus melakukan penyelidikan lebih jauh, apa sebenarnya yang membuat mereka jadi demikian. Tapi bukankah itu tidak mungkin, bagaimana mungkin kau mampu untuk menyelidiki kehidupan setiap orang. Karenanyalah, kau jangan pernah menilai sesuatu yang kau sendiri belum mengerti betul perihal kebenarannya, yaitu dengan menilai berdasarkan dengan apa yang kau lihat saja. Jika sampai melakukannya, berarti kau itu manusia yang sombong. Sebab, hanya Tuhanlah yang bisa mengetahui segalanya, bahkan yang tersembunyi di dalam hati makhluk ciptaan-Nya sekalipun. Karenanyalah kau tidak boleh membenci mereka, namun cintailah mereka apa adanya dengan kepedulian sejatimu, walaupun itu akan membuat hatimu miris. Bencilah hanya kepada perbuatan mereka saja, yang mana sudah betul-betul kau ketahui kalau perbuatan itu memang salah. Dan berjuanglah terus untuk menyampaikan kebenaran hingga akhir hayatmu. Sekali lagi, jangan sampai kau membenci manusianya, namun bencilah kepada perbuatan mereka dan berusahalah untuk memperbaiki sistem yang telah membuat mereka jadi demikian.
Ketahuilah, sebenarnya dulu aku juga seperti itu. Namun pada akhirnya aku menyadari kalau apa yang kulakukan itu adalah salah. Dulu aku begitu sombong karena menjadi orang yang baik, sehingga setan dengan mudahnya memperdaya aku dengan hal-hal yang aku anggap baik. Andai dulu aku bisa menyadari kalau kebaikan itu berasal dari-Nya tentu aku tidak akan seperti itu.“
“Kau benar Bintang. Kini aku menyadari kalau semua kebaikan itu adalah dari Allah, dan tanpanya aku tidaklah mungkin menjadi orang yang baik. Dan orang yang kuanggap hina, mungkin saja dia justru lebih mulia di sisi-Nya daripada diriku. Aku betul-betul menyesal karena sudah menjadi sombong, yaitu merasa menjadi orang yang baik. Selama ini aku tidak mau memberikan uangku sepeser pun untuk orang yang memang membutuhkannya dengan alasan yang seakan-akan baik. Aku selalu menghina mereka yang kulihat masih segar-bugar tapi meminta-minta pada orang lain, aku berpikir jika aku memberikannya mungkin akan membuatnya semakin malas. Padahal.... aku tidak tahu keadaan dia sebenarnya, mungkin dia memang sedang mengalami kesulitan, yaitu dia sudah berusaha, namun dia mengalami kegagalan. Dia melakukan itu hanyalah terpaksa dan untuk sementara saja. Dan perokok yang kuhina itu pun, mungkin dia ingin sekali berhenti merokok. Namun karena dia belum tahu ilmunya, maka dia pun kesulitan untuk menghentikannya. Bahkan putusan pemerintah daerah yang melarang merokok di tempat umum merupakan kezoliman yang tampaknya baik namun pada kenyataannya tidak. Sebab pemerintah membuat peraturan seperti itu tanpa memikirkan mereka yang sudah terlanjur terjerat oleh benda berbahaya itu. Bukankah para perokok itu adalah korban kebijakan pemerintah yang mengizinkan berdirinya perusahaan rokok, dan memberikan izin atas peredarannya di tengah masyarakat. Jika mereka bijaksana, seharusnya selain mengeluarkan peraturan yang melarang, juga menyediakan fasilitas yang memadai dan tentu sangat dibutuhkan oleh para perokok itu. Kalau perlu, pemerintah menyediakan layanan gratis untuk mereka yang ingin berhenti merokok, dan dikampanyekan sehingga semua orang tahu dan tergerak hatinya untuk berhenti merokok. Juga mengenai siswi SMA yang kulihat itu, mungkin saja saat itu ia sedang bersama ayahnya. Dan karena ia anak yang sangat perhatian pada ayahnya, maka ia pun bersikap demikian, walaupun aku tahu selama ini banyak juga siswi SMA yang sudah salah jalan seperti yang pernah kulihat di berbagai tayangan TV.“
“Syukurlah kalau kau memang betul-betul menyadarinya. O ya, Kak. Ketahuilah! Sebetulnya kita di dunia ini adalah untuk mengenal Tuhan dan menghamba pada-Nya. Bukan untuk menghakimi manusia lain yang kita sendiri belum tahu sebab musababnya. Sebab, hanya Dialah, Zat yang Maha Tahu Segalanya. Biarlah Dia saja yang menjadi hakim mutlak, yang pantas menentukan dosa-dosa seseorang. Sebab, jika kau sampai menghakimi manusia lain tanpa bukti yang jelas, apalagi sampai membencinya, itu berarti kau sudah merusak nilai kemanusiaanmu sendiri. Sebab, nilai kemanusiaan hanya dapat dibina dengan mencintai, dan bukan dengan membenci. Ikutilah teladan Rasulullah yang dengan rasa cintanya justru mendoakan umatnya agar tidak salah jalan, bahkan Beliau pun mau mendoakan orang-orang yang telah menzolimi dan membencinya agar kembali ke jalan yang lurus.
Sebaiknya kau pasrahkan saja rasa kepedulianmu kepada Tuhan, dengan berharap kau akan mendapat petunjuk untuk melakukan suatu perbuatan yang baik dan berkah. Percayakan saja pada-Nya, jika itu memang perbuatan baik dan berkah, yang bertujuan untuk membantu manusia lain untuk menjadi lebih baik, tentu dengan seizin-Nya kau akan rela untuk menjalaninya. Dengan begitu, segala sesuatu yang datang padamu hanyalah yang baik saja, dan yang buruk tentu akan pergi dengan sendirinya. Ingatlah untuk selalu memohon segala petunjuk dan pertolongan-Nya di mana saja kau berada. Dan senantiasa berprasangka baik kepada-Nya, sehingga kau akan mendapat kebaikan sesuai dengan prasangkamu itu. Dengan demikian, segala perjuanganmu yang bertujuan untuk mengemban misi kekhalifahanmu tentu akan diridhai-Nya.”
Saat itu Bobby terdiam memikirkan kata-kata Bintang barusan. “Ya Allah.... yang Maha mendengar lagi Maha Bijaksana, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kepada siapa lagi aku meminta dan kepada siapa lagi aku memohon selain hanya kepada-Mu, Tuhan yang Maha Pemurah dan yang Mahatahu segalanya. Ampunkanlah segala perbuatanku yang membuat-Mu murka dan yang membuat-Mu menjauhi aku! Aku tahu Engkau adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karenanyalah aku yakin Engkau akan senantiasa mengampuni segala dosa-dosaku. Dan aku yakin, jika aku senantiasa berbuat baik sesuai dengan kehendak-Mu, tentu Engkau juga akan selalu mencintai dan menyayangiku. Kini aku memohon, berilah aku petunjuk-Mu untuk senantiasa berada di jalan-Mu yang lurus. Amin....”
“Lihat, Kak! Brayak!” Seru Bintang tiba-tiba, memberitahukan perihal kehadiran anak-anak ikan gabus yang sedang bergerombol.
“Wah, banyak sekali. Pasti asyik jika dipancing dengan serat pelepah pisang. Kita bisa dapat banyak,” kata Bobby senang.
“Hmm… lalu untuk apa anak-anak ikan itu?” tanya Bintang heran.
“Ya untuk dipelihara di aquarium. Bukankah anak ikan gabus itu mempunyai garis kuning yang bagus di badannya. Tentu akan menjadi indah jika mereka ada di aquarium. Tunggu sebentar ya, aku mau mencari serat pelepah pisang dan cacing untuk umpannya,” jelas Bobby seraya melangkah pergi.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Bobby sudah kembali dengan membawa pancing serat pelepah pisang dan ember yang diambilnya dari bagasi mobil. Di dalam ember itu ada sekantong plastik cacing kecil yang tadi dicarinya di bawah kedebong pisang yang tumbang. “Ini untukmu, Bintang,” kata Bobby seraya menyerahkan pancing yang terbuat dari lidi daun kelapa yang dipasangi dengan benang serat pelepah pisang.
Kini keduanya sudah mulai memancing, dan tanpa terasa satu per satu anak ikan yang semula ada di telaga kini telah pindah ke dalam ember yang di isi air setengahnya. Kedua muda-mudi itu tampak gembira dengan hasil pancingan mereka yang lumayan banyak, hingga akhirnya Bintang menghentikan kegiatan itu. “Cukup, Kak! Bukankah ini sudah terlalu banyak.”
“Terus saja, Bintang! Mumpung mereka masih ada di sini. Bukankah kita jarang mendapat kesempatan seperti ini.”
“Tapi, Kak. Lihatlah anak-anak ikan yang ada di ember itu!”
Bobby pun segera melihatnya, di dalam ember beberapa anak ikan tampak sedang kepayahan. Dan beberapa yang lain tampak tenggelam di dasar ember tak bergerak sama-sekali.
“Mereka semua bisa mati jika kondisinya seperti itu, Kak.”
“Eng… Kau betul, Bintang. Suhu dan keasaman air di ember jauh berbeda dengan di telaga, dan oksigennya pun tidak cukup untuk mereka semua. Kalau begitu, sebaiknya kita lepaskan mereka. Sungguh aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya.”
Setelah berkata begitu, Bobby segera melepaskan anak-anak ikan yang malang itu. Hingga akhirnya mereka bebas berlarian menuju saudara-saudara mereka yang lain.
“Sungguh berat perjuangan makhluk ciptaan Tuhan itu dalam mempertahankan kehidupannya,” Bintang berkomentar.
“Berat? Mereka itu kan hanya anak ikan, Bintang. Janganlah kau terlalu menyesalinya,” kata Bobby yang menduga Bintang sangat menyesal karena menyebabkan matinya beberapa anak ikan.
“Bukan soal itu, Kak. Aku memang menyesal akan kematian anak-anak ikan itu. Namun, aku mendapat pelajaran akan kejadian yang baru kita alami ini.”
“Pelajaran apa itu, Bintang?” tanya Bobby penasaran.
“Coba kau pikir dan renungkan. Mereka itu jumlahnya banyak, namun dari mereka ada yang beruntung dan yang tidak. Yang beruntung adalah mereka yang tak memakan umpan kita, dan yang tidak beruntung adalah mereka yang masuk ke dalam ember itu. Itulah yang dinamakan takdir, dimana anak-anak ikan itu sama-sekali tidak bisa menduga akan takdir yang harus mereka jalani. Sungguh aku salut akan perjuangan mereka yang dengan begitu gigih mempertahankan kehidupannya, walaupun takdir pada akhirnya memutuskan mati di dasar ember,” jelas Bintang panjang lebar.
“Ya kau betul, Bintang. Bukankah ketika kita masih berupa sperma juga seperti mereka, ada yang beruntung ada juga yang tidak. Dan yang beruntung adalah kita, sperma yang berhasil membuahi sel telur. Sungguh hingga saat ini aku tidak mengerti kenapa terkadang aku bisa mudahnya putus asa terhadap ujian yang diberikan Tuhan. Bukankah ketika masih menjadi sperma aku bisa menang dalam menghadapi persaingan, namun setelah aku bisa berpikir kenapa justru malah menjadi pecundang. Apakah semua itu karena aku belum betul-betul mencintai Tuhan, sehingga setiap ujian yang diberikan-Nya hanya kurasakan sebagai beban berat yang harus kupikul. Terus terang, selama ini aku sudah berusaha keras memikirkan perihal Tuhan dan mencoba untuk mencintai-Nya dengan sepenuh hatiku, tapi anehnya hingga saat ini cinta itu tak kunjung hadir.”
“Hmm.. sebentar! Dulu aku pernah membaca jawaban dari surat pembaca di internet, yaitu mengenai Mencintai Tuhan. Sepertinya surat itu berhubungan dengan hal ini. Untungnya aku sempat mencetak surat itu dan selalu membawanya kemana-mana, yaitu agar aku bisa senantiasa mengingatnya. Inilah surat itu,“ kata Bintang seraya memberikan beberapa lembar surat yang diambilnya dari dalam tas.
Saat itu, Bobby pun langsung membacanya.
Ibu Ummul. Untuk mencintai Allah janganlah pakai rasa, karena rasa apapun tidak akan pernah bisa merasakan cinta Allah. Untuk memikirkan Allah, maka janganlah gunakan pikiran, karena berpikir bagaimanapun Allah itu tidak akan pernah terpikirkan.
Begitu kita TIDAK menggunakan rasa kita, maka di dada kita akan dikaruniakan rasa yang hakiki nantinya. Begitu kita TIDAK menggunakan pikiran kita, maka di otak kita akan dikaruniakan pikiran yang hakiki nantinya.
Untuk realitasnya, lihatlah anak dari umur bayi sampai dengan umur 2 tahun. Dia tidak terikat dengan pikirannya, tapi bisa cerdas, dan bisa berkreasi walau dengan kapasitas seorang anak saja. Dia tidak terikat dengan rasa, buktinya kalau dia kehilangan apa saja dia tidak tergoncang dengan kehilangannya itu dalam waktu yang lama. Paling cuma sebentar saja. Saat dia diberi mainan baru pun dia tidak terikat dengan mainan baru itu dalam waktu yang lama. Hanya sebentar saja dia seperti asyik dengan mainannya itu. Tapi kosongnya rasa dia, bisa membuat orang mengalirkan rasa sayang kepadanya hampir tanpa batas. Siapa pun yang melihat anak bayi, maka orang akan mengalirkan rasa cinta ke bayi itu. Siapa saja.
Kenapa bisa begitu....?. Ya..., karena sang bayi itu pada hakekatnya TIADA. FANA. Sang Bayi tidak tahu namanya, tidak tahu jenis kelaminnya, tidak tahu apakah dia lapar atau haus, tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan, tidak tahu apa yang dia rasakan. TIDAK TAHU saja dia itu sebenarnya. Total keberserahan bayi itu. Tapi coba lihat, saat bayi itu dialiri rasa haus, maka dengan tergopoh-gopoh ada yang datang menyusuinya. Sang Ibu. Sang bayi tidak tahu sedikit pun apakah dia itu haus atau tidak. Tapi saat air mulai kurang dalam tubuhnya, maka ada dorongan kuat (kehendak) yang tidak bisa dia tahan untuk menangis. Dan dorongan kuat (kehendak) itu juga mengalir tak bisa diabaikan sedikit pun oleh sang ibu untuk menyodorkan susunya. Si bayi juga tidak tahu sedikit pun apakah yang diberikan kepadanya itu darah atau cairan busuk atau racun sekalipun. Dia tidak sedikit pun tahu. Tapi keberserahan sang bayi yang sangat total itu telah menyebabkan sang ibu TIDAK KUASA pula untuk tidak memberikan yang terbaik buat sang bayi. Selalu yang terbaik yang diberikan oleh sang ibu kepada si bayi, walau dengan itu sang ibu harus menderita dan pontang-panting untuk mendapatkannya. Karena sang ibu saat itu juga tengah FANA, TIADA. Sang ibu hanya patuh kepada sebuah aliran kehendak yang murni dari Tuhan. Aliran cinta kasih Tuhan. Sang bayi menerima dan sekaligus memberi cinta kasih kepada ibunya. Dan sang ibu pun demikian pula adanya.
Akan tetapi, akan sangat berbeda saat anak itu sudah mulai punya "pikiran sendiri", maka seringkali pikirannya itu bertabrakan dengan pikiran orangtuanya. Begitu juga saat anak itu sudah punya perasaan sendiri, maka rasa anak itu kadangkala bertentangan dan tidak klop dengan rasa orang tuanya.
Lalu siapa yang mengalirkan pikir pada anak bayi itu, siapa yang mengalirkan rasa pada anak bayi itu...??.
Nah jadilah seperti bayi itu, maka kita nanti akan tersenyum saja melihat ADA yang menggerakkan segala sesuatunya. Ada yang mengalirkan pikiran ke dalam otak kita, ada yang mengalirkan rasa ke dalam dada kita. Dan kita tinggal bersyukur saja dibuat-Nya. Syukur inilah sebenarnya makna HAKIKI dari cinta kita kepada Allah.
Karena kalau kita tidak bersyukur yang ditandai dengan tidak maunya kita menyiapkan otak kita untuk dialiri HANYA oleh pikiran Tuhan, maka pikiran kita sering atau hampir selalu saja bertabrakan dengan pikiran Tuhan. Saat kita tidak mau menyiapkan dada kita untuk menerima HANYA aliran rasa dan kehendak Tuhan, maka rasa dan kehendak kita nyaris selalu sering bertubrukan dengan rasa dan kehendak Tuhan. Buktinya...?. Tuh lihat..., kita hampir saja selalu protes kepada Tuhan. Kenapa...?. Ya..., karena masih ada sayanya. Ini pikiran saya, ini rasa saya, ini kehendak saya. Kalau ada yang tidak sama dengan atribut saya itu, maka DOOOORRR..., saya kecewa, saya menggerutu, saya mencak-mencak kepada Allah, dan juga kepada sesama manusia. Ya seperti kita-kita sekarang inilah.
Kerjaan kita hanya berdoa, berdoa, dan berdoa, tapi anehnya juga protes melulu ke Allah.
Akan tetapi saat mana kita mau bersyukur, maka Allah menjamin akan menambah apa-apa yang telah kita syukuri itu yang merupakan tanda atau bukti atas cinta Allah kepada kita. Dan bahasa cinta Allah itu adalah sebuah bahasa yang sangat SEDERHANA yang bahkan seorang bayi pun bisa mengerti. Bahasa cinta Tuhan itu adalah dorongan-dorongan untuk menjalankan kehendak Tuhan dengan enak, tanpa beban, dan tidak terpaksa sedikit pun, yaitu untuk menjalankan fungsi kekhalifahan kita masing-masing di dunia ini. Bahasa cinta Tuhan itu bukanlah dorongan untuk melarikan diri dari permasalahan-permasalahan yang ada di depan mata kita.
Kalaupun kita tidak bersyukur, yang bisa diartikan bahwa kita tidak mencintai-Nya, Tuhan pun akan tetap mencintai makhluk-Nya. Tuhan akan tetap mengalirkan kehendak-Nya kepada setiap dada dan otak manusia agar manusia itu bisa menganyam kehidupannya. Karena Dia memang Sang Maha Pemanggul Tanggung Jawab atas semua kelangsungan hidup ciptaan-Nya. Akan tetapi dampak tidak bersyukurnya kita itu adalah munculnya kesombongan demi kesombongan, keangkuhan demi keangkuhan yang akibatnya juga akan ditanggung oleh kita sendiri. Dan akibatnya itu begitu buruknya....!.
Jika orang bersyukur, maka OTAKNYA akan LUAS. Artinya otaknya itu seperti dilalui oleh angin, tembus ke segala arah, dan menerima pula dari segala arah. Tidak ada sekatan sedikitpun di dalam otak itu. Coba perhatikan, orang yang terhenti di wilayah otak saat memikirkan sesuatu, maka sebentar saja kepalanya akan panas. Bahkan tidak jarang orang tersebut akan pusing, akan sakit kepala, akan puyeng, akan bete. Dan untuk keluar dari wilayah sekatan otak tersebut, maka orang biasanya rindu untuk datang ke puncak, ke gunung, atau ke pantai, sehingga dia bisa keluar dari wilayah otaknya dengan melihat suasana LUAS itu. Itulah sebabnya orang selalu rindu untuk jalan-jalan (santai, makan angin) ke wilayah yang berpemandangan luas.
Untuk keluar dari sekatan otak dengan cara yang sangat primitif adalah dengan merokok. Dengan merokok, orang bisa keluar dari kemelut pikiran (badai pikiran) di otaknya. Coba perhatikan orang yang sedang merokok. Saat-saat yang paling membuat sang perokok ecstasy adalah saat dia menghisap asap rokok dengan perlahan dan dalam, lalu dia mengeluarkannya kembali dengan hembusan perlahan-lahan dan lama pula. Apalagi kalau dibarengi dengan keluaran asap rokok yang berbentuk donat yang melingkar-lingkar dan menghilang perlahan.
Nikmat sekali, sehingga hampir secara otomatis badai pikiran di otak si perokok itu akan hilang. Inilah yang menyebabkan orang ketagihan untuk merokok. Kalau masalah nikotinnya sih itu adalah penyebab yang kesekiannya.
Begitu juga..., jika orang yang bersyukur, maka DADANYA akan LUAS. Dadanya seperti tembus ke mana-mana dan seperti bisa pula dilalui oleh aliran angin dari mana-mana. Cool sekali rasanya. Lembut sekali dada itu, selembut dada bayi, sehingga dada itu bisa dialiri bahasa Tuhan yang juga sangat lembut sekali.
Karena Tuhan itu memang adalah Sang Maha Lembut (Al Lathief). Sedih dan senang, marah dan sabar dan berbagai sifat bolak-balik lainnya yang muncul silih berganti hanya seperti singgah sebentar saja di dada itu, lalu menguap pergi.
Sehingga tidak meninggalkan ruang lagi untuk tumbuhnya rasa kecewa, rasa khawatir, dan rasa ketakutan (laa khaufun 'alaihim walahum yah zanun) baginya. Dada yang luas itu akan mampu menjangkau penderitaan orang lain di belahan bumi mana pun, sehingga simpati dan kehendak untuk membantu penderitaan orang lain itu mengalir dan tak tertahankan untuk dilaksanakan. Dada yang luas itu juga akan mampu menjangkau kebahagiaan orang lain dimana-mana, sehingga dia akan ikut bersyukur atas kebahagiaan orang lain itu.
Untuk keluar dari kesempitan dada itu, maka berbagai macam cara juga telah disediakan oleh Allah. Misalnya dengan menangis. Banyak cara untuk menangis itu, misalnya dengan menciptakan suasana untuk bisa menangis. Tangis simulasi otak. Menyanyi, mengaji, mengingat dosa, mengingat siksa adalah sedikit dari sekian banyak cara untuk bisa menangis. Tapi semua itu tampaknya hanyalah "pseudo crying" saja. Nah carilah tangis yang dikaruniai Tuhan. Cara Tuhan membuat tangis itu ada macam-macam, dengan menurunkan BENCANA yang sedahsyat Tsunami di Aceh, misalnya. Namun ada pula dengan menurunkan tangis yang melapangkan dada karena Tuhan sendiri yang menangiskan kita. Melapangkan dada kita. Nikmat Tuhan saja sebenarnya.
Rasulullah Muhammad SAW, ISA, IBRAHIM AS adalah sedikit dari sekian banyak orang yang mempunyai pikiran dan dada yang luas, sehingga pikiran Beliau dan rasa Beliau mampu menjangkau melintasi zaman demi zaman.
Ah..., cukup segini dululah Bu Ummul, lain kali kita sambung lagi.
Wass
Deka
Usai membaca Bobby tampak berpikir keras, keningnya tampak berkerut berusaha memahami apa yang baru dibacanya.
“Bagaimana, Kak? Apa Kakak mengerti?” tanya Bintang tiba-tiba.
“Aku belum mengerti sepenuhnya,” jawab Bobby terus terang.
“Kau harus membacanya berulang kali, Kak. Pada mulanya aku tidak begitu mengerti, namun setelah aku membacanya berulang kali, dan juga merenungkannya lebih dalam, akhirnya dengan perlahan isi surat itu mulai aku pahami. Bahwa sesungguhnya untuk bisa mencintai Allah tidaklah dengan rasa seperti yang kita rasakan selama ini ketika kita sedang mencintai berbagai bentuk ciptaan Tuhan, sebab rasa itu hanya bergantung kepada indera manusia yang terbatas. Kita mencintai suatu wujud materi karena sebab bentuk, warna, suara, rasa, atau baunya. Yang kesemuanya membutuhkan indera.
Mencintai sifat materi juga begitu. Manusia mencintai sifat manusia lain karena sebab, ia melihat, ia mendengar, ia meraba, ia mengecap, ia mencium, dan akhirnya ia merasakan. Tanpa indera mustahil manusia bisa mencintai suatu materi. Karenanyalah tidak mungkin bisa mencintai Allah dengan rasa yang demikian, sebab Allah itu bersifat ada dan tiada, Allah itu ada, namun juga tiada, adanya Allah karena sebab ketiadaan-Nya. Karenanyalah mencintai Allah tidak bisa dengan rasa melainkan dengan iman.
Dan untuk mengenal Allah janganlah memikirkan zat-Nya, sebab Zat Allah itu memang tak terpikirkan. Pikirkanlah segala hal yang menjadi ciptaan-Nya, sebab dengan memikirkan ciptaan-Nya itu kita pun bisa mengenal-Nya, yaitu melalui berbagai sifat dan prilaku yang dimiliki oleh semua ciptaan-Nya. Di tambah lagi dengan memperlajari sifat Allah yang tertera di dalam sifat dua puluh, yang secara spesifik dijabarkan dalam ilmu tauhid.
Karenanyalah kita tidak mungkin bisa mengenal Allah dengan cara memikirkan zat-Nya, sebab Allah itu bersifat ada dan tiada, Allah itu ada, namun juga tiada, adanya Allah karena sebab ketiadaan-Nya. Menurut indera kita Allah itu tiada, padahal sesungguhnya menurut indera kita pula Allah itu ada, tentunya jika kita mau menggunakan iman. Sesungguhnya segala ciptaan Tuhan yang ditangkap oleh indera kita adalah bukti keberadaan-Nya.
Begitu kita TIDAK menggunakan rasa kita, maka di dada kita akan dikaruniakan rasa yang hakiki nantinya. Begitu kita TIDAK menggunakan pikiran kita, maka di otak kita akan dikaruniakan pikiran yang hakiki nantinya.
Selain itu, kita pun harus selalu bertakwa kepada-Nya dan tidak pula menghakimi segala rencana-Nya, yaitu dengan mengikuti apa yang sudah nurani kita katakan dengan cara berserah diri secara total. Dan karena keberserahan diri inilah kita bisa menjalankan segala takdir Tuhan yang sudah digariskan kepada kita dengan penuh keikhlasan, sehingga kita pun akan senantiasa bersyukur ketika mendapat nikmat dari-Nya dan senantiasa bersabar ketika mendapat ujian dari-Nya.
Itulah hakekat cinta sejati, yang mana dengan sendirinya kita akan mendapat Cinta Tuhan yang mana berupa kenikmatan-kenikmatan yang tak pernah kita rasakan sebelumnya. Tuhan pun akan menambah setiap kenikmatan yang kita disyukuri, dan akan senantiasa membimbing kita untuk bisa memilih takdir yang akan membawa kepada kebahagiaan, yaitu surga Allah,” jelas Bintang panjang lebar.
“Bintang… Setelah kurenungkan isi surat itu dan juga keterangan darimu, kini aku bisa lebih memahami kenapa cinta Tuhan masih tak hadir. Aku sangat berterima kasih kepada yang menulis surat itu, karena dengan keikhlasannyalah pesan itu bisa sampai kepadaku. Dan aku juga berterima kasih kepadamu karena sudah menyampaikannya padaku.
Kini aku merasa lebih tentram karena aku sudah mulai bisa mengikhlaskan dan mempasrahkan atas segala takdir yang sudah digariskan kepadaku. Ketahuilah, kalau selama ini aku sudah berjuang keras mencari belahan jiwaku. Namun ternyata usahaku itu tak membuahkan hasil. Karenanyalah selama ini aku terus saja merasa kecewa dan menderita, namun entah kenapa setelah aku mengikhlaskan dan mempasrahkannya, hatiku terasa begitu damai dan tentram. Bahkan kini aku mulai bisa mensyukuri atas segala nikmat yang diberikan Tuhan kepadaku. Bukan hanya nikmat, tapi juga hikmah yang kudapat di dalam setiap ujian itu, dan akhirnya aku pun mulai bisa bersabar atas segala macam bentuk ujian yang telah diberikan-Nya.
Kini aku merasakan kalau semua ujian itu adalah jalan untuk meningkatkan nilai kemanusiaanku dan juga nilai kemuliaanku di sisi-Nya. Bahkan, aku pun merasa kalau ujian itu adalah jalan untuk berjumpa dengan belahan jiwaku yang sebenarnya, yaitu kau... Bintang.”
“A-apa! Ka-kau bicara apa, Kak?”
“Bintang, terus terang a-aku mencintaimu.”
“Be-benarkah yang kau katakan itu, Kak?”
“Tentu saja. Sebab, entah kenapa kini aku merasa kalau kau itu adalah belahan jiwaku. Dan karenanyalah, aku kini mencintaimu.”
“Kak, se-sebenarnya. A-aku sudah mencintaimu sejak lama.”
“Be-benarkah?”
“Iya, Kak. Bahkan lebih lama dari perkiraanmu.”
Akhirnya dengan perasaan yang berbunga-bunga kedua muda-mudi itu pun berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing.