E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Cahaya Bintang - Bagian 7

Tujuh



Setahun telah berlalu. Di stasiun kereta api Tugu Jogyakarta, seorang pemuda tampak duduk termenung di peron sambil memandang ke rangkaian gerbong yang sedang dibersihkan. Kini pemuda itu tampak menyeka rambut kusut yang menutupi sebagian wajahnya. Hingga akhirnya tampak jelaslah seluruh goresan air muka yang menggambarkan kepedihannya selama ini, sungguh terlihat lusuh bagaikan kain tua yang tak terawat. Tiba-tiba wajah lusuh itu tertunduk, lantas dari kedua matanya yang tak lagi bersinar tampak mengalir air mata kesedihan. “Winda... ke mana lagi aku harus mencarimu? Sudah seluruh pelosok kota aku jelajahi, namun hingga kini aku tak jua menemukanmu. Haruskah aku menghentikan pencarian yang sia-sia ini?” tanya Bobby dalam hati seraya kembali memandang ke arah rangkaian gerbong yang sedang dibersihkan itu. “Hmm... sebaiknya aku memang harus menyerah dan segera pulang ke kampung halamanku. Sebab, di sanalah aku bisa menjalani kehidupanku dengan penuh makna. Biarlah aku tak bisa bersamamu, biarlah aku terus menderita di dalam kesendirianku, yang selama ini memang terasa begitu sepi, walau kini aku sedang berada di tengah hiruk-pikuknya kehidupan kota yang tak pernah tidur. Walaupun demikian, aku akan terus berusaha bertahan. Sebab aku yakin, suatu saat aku pasti akan menemukan kebahagiaan lain yang direncanakan Tuhan.”
Sungguh penampilan pemuda itu sangat berbeda dengan penampilannya setahun yang lalu. Kini dia sudah menjadi seorang gelandangan karena semua miliknya sudah dijual selama pengembaraan. Kini yang tertinggal hanya pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya.
“Ka-Kak, Bobby! Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang wanita yang tampak begitu terkejut melihatnya.
Mendengar namanya dipanggil, seketika pemuda itu menoleh. “Le-Leni? Ka-kau...” ucap pemuda itu tergagap sambil terus memperhatikan wajah cantik, milik seorang wanita yang dikenalnya ketika menginap di villa dulu.
“Iya, Kak. Ini aku. Se-sebenarnya apa yang telah terjadi?” tanya Leni prihatin.
“A-aku mencari Winda, Len. Dan karenanya aku menjadi seperti ini. Namun, kini aku sudah menghentikan pencarian. Sebab aku menyadari, kalau dia memang bukanlah jodohku. Ka-kau sendiri sedang apa di sini?“ Bobby balik bertanya.
“A-aku berjualan nasi gudeg, Kak,” jawab Leni tersipu.
“Ka-kau sudah meninggalkan pekerjaan lamamu?” tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
“Iya, kak. Masih ingatkah ketika kau memberikan uang Rp. 2.000.000 kepadaku?”
“Ya, aku memberikan uang itu sebagai ucapan terima kasihku karena kau sudah mau menjadi tempat curahan hatiku,” jawab Bobby.
“Nah, dengan uang itulah akhirnya aku memutuskan untuk pulang kampung dan membuka usaha nasi gudeg ini. Saat itu aku menyadari kalau kau telah memberikan peluang padaku untuk kembali ke jalan yang lurus, dan dengan uang halal yang kau berikan itu, akhirnya aku memutuskan untuk menjalani kehidupan baru, yaitu hidup dengan nafkah halal yang diridhai Tuhan. Saat itu aku betul-betul yakin, jika aku memang mau berusaha keras aku pasti bisa bertahan hidup walaupun dengan penghasilan yang kecil.”
“Syukurlah, Len. Sungguh aku sangat bersyukur karena ternyata doaku sudah dikabulkan-Nya,” kata Bobby gembira. “Len...” lanjutnya lagi seraya menatap mata wanita itu dalam-dalam.
“Iya, Kak. Ada apa?”
“Ma-maukah kau menikah denganku?”
“Me-menikah...!” ucap Leni terkejut.
“Iya, Len. Dengan begitu, aku bisa membantumu berjualan nasi gudeg itu. Atau kalau perlu kita pergi ke Jakarta dan membuka usaha di sana. Len... apakah kau bersedia?”
Leni tidak segera menjawab, dia malah meneteskan air matanya. Lalu dengan air mata yang masih terus berlinang, gadis itu menatap mata Bobby dalam-dalam. Dipandangnya kedua bola mata pemuda itu dengan penuh penyesalan. “Kak, maafkan aku! Belum lama aku sudah menikah dengan seorang pemuda baik-baik yang mau menerimaku apa adanya.”
“Be-benarkah itu?” tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
Leni mengangguk, “Terima kasih atas niat baikmu itu, Kak. Namun sekali lagi aku minta maaf karena tak mungkin bisa menerimanya.”
“Tidak apa-apa, Len. Aku bahagia kalau ternyata kau sudah mempunyai suami yang baik. Aku menyadari, kalau kau memang bukanlah jodohku. Kau hanyalah gadis yang sengaja dipertemukan oleh Tuhan untuk menjadi bagian dari upayaku dalam meningkatkan nilai keikhlasan dan juga kesabaranku. Rupanya inilah yang dimaksud oleh sahabatku Randy, kalau setiap episode yang aku jalani adalah untuk membuatku menjadi lebih dewasa dan lebih bijaksana. Jika aku ikhlas dan sabar dalam menjalaninya, maka Insya Allah aku akan menjadi lebih baik. Kini aku bukan hanya tahu, namun juga bisa memahaminya,” ungkap Bobby yang tampaknya sudah mulai memahami akan hikmah tersembunyi yang ada pada setiap episode. Namun sebetulnya bukan itu saja hikmah yang bisa ia dipetik, melainkan ada hikmah lain yang belum dia sadari, yaitu bahwa ia telah dilindungi untuk tidak menikahi gadis pezina lantaran ketidaktahuannya. “O ya, Len. Terima kasih karena kau sudah menjadi bagian terpenting di dalam kehidupanku. Aku doakan, semoga keluargamu bisa menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Amin…”
 “Terima kasih, Kak. Aku doakan juga semoga Kakak segera bertemu dengan belahan jiwa Kakak. Amin…. O ya, Kak. Ngomong-ngomong apa rencana Kakak selanjutnya? Apakah Kakak akan menetap di sini?”
“Tidak, Len. Aku akan kembali ke Jakarta. Sebab, di sanalah aku telah dilahirkan dan dibesarkan. Dan di sana pulalah aku berharap akan meninggal dan dimakamkan. Namun, sebelum aku menemui ajal, aku akan berjuang dan ikut berpartisipasi semampuku dalam membangun kampung halaman tercintaku.”
“Kalau begitu, aku doakan semoga Kakak tiba di sana dengan selamat. Dan aku juga mendoakan semoga apa yang selama ini Kakak cita-citakan dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amin…”
“Amin… Terima kasih, Len. Kalau begitu, sebaiknya aku pergi sekarang.”
“Iya, Kak. Hati-hati di jalan!”
Setelah melempar sebuah senyum, lantas dengan segera Bobby mengejar sebuah kereta barang yang baru saja bergerak meninggalkan stasiun. Dan tak lama kemudian, dia sudah naik di atas sambungan gerbong sambil melambaikan tangannya kepada Leni. Pada saat itu, perempuan yang bernama Leni itu cuma bisa terpaku seraya membatin, ”Kakak... kenapa kau tak bilang kalau kau tak punya ongkos? Andai kutahu, aku pasti akan memberikannya dengan suka rela.”
Sementara itu di atas kereta api, Bobby tampak sudah duduk di ruang sempit yang ada di dekat sambungan gerbong. Saat itu dia tampak berbincang-bincang dengan seorang pengamen yang juga mau ke Jakarta. Keduanya tampak begitu akrab karena menjadi teman seperjalanan, sebuah perjalanan panjang yang pastinya akan sangat melelahkan. Benar saja, setelah menempuh perjalanan beberapa puluh kilometer, kedua pemuda itu tampak mulai kelelahan. Maklumlah, memang lelah sekali rasanya berjam-jam duduk di tempat yang tidak nyaman seperti itu, apa lagi ketika hari sudah semakin larut, dimana hawa dingin dan rasa lelah membuat rasa kantuknya hampir tak tertahankan.
“Kau jangan tidur, Bob!” larang Manto, teman baru Bobby yang pengamen itu.
“Aku tak kuat lagi, To.”
“Jika kau tertidur, kau bisa jatuh, Bob. Kalau begitu, pakai tali gantungan gitarku ini! Jika kau tertidur, kau akan sedikit lebih aman.”
Lantas, Bobby pun segera mengikat dirinya dengan menggunakan tali gantungan gitar itu. Benar saja, ketika Bobby tertidur, tali itu bisa menahannya agar tidak terjatuh.
“Bob, bangun!” seru Manto tiba-tiba sambil menepuk pundak pemuda itu. Seketika Bobby terjaga dan berusaha memperbaiki posisi duduknya. “Maaf To! Aku telah tertidur.”
“Berusahalah untuk tetap terjaga, Bob!”
“Iya, To. Aku akan berusaha, sebab tadi kantukku memang sudah tak tertahankan. Tapi sekarang, sepertinya sudah agak berkurang.”
Agar rasa kantuk tak kembali menyerang, akhirnya kedua pemuda itu memutuskan berbincang-bincang menceritakan pengalaman hidup masing-masing. Benar saja, setelah saling berbagi pengalaman hidup, mereka pun sudah tak mengantuk lagi.
“Bob, bersiap-siaplah menjadi tuli!” kata Manto memperingati.
“A-apa, tuli…?”
“Ya, sepertinya kereta ini mulai memasuki terowongan. Dengarlah suara bising di depan kita itu!”
“Kau benar, To. Sepertinya kereta ini memang memasuki terowongan.”
“Kalau begitu, bersiaplah untuk menerima kebisingan yang menyiksa!”
Benar saja, ketika gerbong yang mereka tumpangi memasuki terowongan, suara bising pun terdengar begitu memekakkan telinga. Saat itu Bobby ingin sekali menutup telinganya, namun dia tidak bisa, sebab sebelah tangannya sudah digunakan untuk membantu memegang gitar Manto, dan yang satunya lagi digunakan untuk berpegangan agar tak jatuh. Lalu dengan terpaksa, pemuda itu terus mendengarkan bunyi bising yang menyiksa itu, hingga akhirnya kereta sudah kembali keluar terowongan.
“Apa?” tanya Bobby tak mendengar ucapan temannya yang kini sedang berbicara padanya. “Gawat, aku jadi tuli,” kata Bobby dalam hati.
“Bob!” seru Manto.
“Apa, To?” tanya Bobby refleks seraya menyadari sesuatu. “A-aku bisa mendengar,” ungkap pemuda itu senang ketika menyadari kalau ia bisa mendengar ucapan Manto barusan. “To, tadi aku pikir aku akan tuli selamanya. Tapi untunglah kini aku sudah bisa mendengar,” kata pemuda itu senang bukan kepalang.
“Itu namanya kau masih beruntung, Bob. Sebab, jika tidak kau tentu tuli selamanya.”
Dalam hati, Bobby merasa kapok untuk menumpang kereta dengan cara seperti itu karena memang sangat berbahaya. Kalau saja dia tahu akan seperti itu, tentu ia akan mengesampingkan rasa tidak enaknya terhadap Leni, yang karena rasa sayangnya tidak mau membebani gadis itu dengan meminta hasil usahanya yang tak seberapa sebagai ongkos pulang. Tapi, semua sudah terlambat. Akibat rasa tidak enak itu, maka nyawa dan pendengarannya pun menjadi taruhan.
Pagi harinya, sinar mentari yang keemasan tampak mulai menerangi stasiun Jakarta Gudang. Pada saat itu, Bobby dan Manto terlihat menuruni gerbong dan melangkah menuju ke tempat truk-truk besar sedang diparkir. “Hati-hati, Bob!” pesan Manto seraya menjabat tangan pemuda itu dengan erat. “Terima Kasih, To. Sampai berjumpa lagi,” pamit Bobby seraya naik ke atas truk yang kebetulan memang satu tujuan dengannya.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya Bobby sampai juga di perkampungan tempat tinggalnya. Dan setibanya di rumah, dia langsung terkapar di tempat tidurnya yang berdebu. Lama pemuda itu tertidur karena kelelahan yang teramat sangat.

 

Esok harinya, Bobby sudah lupa dengan tekadnya untuk menjalani kehidupan dengan penuh makna. Kini dia justru sedang meratapi nasibnya yang dirasakan tidak adil. Sungguh perkataan yang mengatakan kalau ia sudah memahami mengenai arti ikhlas dan kesabaran hanyalah berupa isapan jembol belaka. “Ini tidak mungkin, Tuhan sudah terlalu berat memberikan ujian kepadaku. Padahal selama ini aku sudah berusaha keras, namun entah kenapa semua usahaku itu sia-sia. Kalau terus begini aku tidak sanggup lagi. Padahal, selama ini aku sudah berusaha baik, namun tampaknya Tuhan masih juga tidak peduli, sungguh Dia tidak adil dan tak sayang padaku. Sebaiknya aku mati saja, sebab percuma aku hidup jika terus seperti ini. Persetan dengan kehidupan nanti, biarlah Tuhan yang menentukan menurut kebijaksanaannya. Selamat tinggal Dunia, selamat tinggal penjara yang menyesakkan.”
Ketika Bobby hendak menenggak obat serangga yang ada digenggamannya, tiba-tiba ia kembali teringat dengan ayat yang sudah sangat dihafalnya, bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian yang melebihi kesanggupan hamba-Nya. “Hmm… apa benar aku masih sanggup sehingga Tuhan masih terus memberikan ujian yang berat ini,” pikir Bobby seraya meletakkan obat serangga yang dipegangnya.
“Ya, Tuhan… ampunkanlah apa yang sudah kuniatkan tadi. Sesungguhnya Engkau masih peduli dan sayang padaku, sehingga disaat aku hampir putus asa. Kau pun segera mengingatkanku akan firman-Mu. Sungguh kau Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Andai Kau tidak bertindak demikian, tentu aku akan terus berada di dalam kesesatan.”
Karena tak ingin setan kembali memperdayainya lagi, akhirnya Bobby memutuskan untuk pergi berjalan-jalan agar pikiran yang semula kusut bisa menjadi segar kembali, sehingga dengan demikian dia bisa berpikir lebih jernih dan bisa mengambil putusan dengan tepat. Begitulah pasang surut keimanan manusia yang terkadang turun dengan sangat drastis, sehingga dia tidak lagi bisa berpikir panjang. Untunglah Tuhan masih mencintainya dengan cara memberikan petunjuk, sehingga ia tidak terus terjerumus. Sungguh ini bukan perkara yang mudah, sebab manusia yang mengerti agama saja masih bisa seperti itu, apalagi yang tidak, tentu ia akan mudah untuk diperdaya oleh bisikan setan yang menyesatkan.
Kini pemuda itu berniat pergi ke telaga, sebuah tempat yang menurutnya cukup indah dan bisa menyegarkan pikirannya. Dan setelah menempuh perjalanan yang lumayan menyita waktu, akhirnya pemuda itu sampai juga di tepian telaga. Kini pemuda itu sedang duduk memperhatikan keindahan pemandangannya yang cukup menentramkan jiwa. Dengan khusuk dia memperhatikan pohon-pohon yang menghijau, dan juga riak gelombang air telaga yang tenang. Hijaunya ganggang dan kejernihan air telaga itu betul-betul membuat hatinya merasa sejuk. Bukan itu saja, dia pun begitu terhibur dengan kehadiran capung-capung yang dilihatnya bak pesawat canggih, bermanufer memamerkan kemampuan terbangnya. Saat itu Bobby begitu takjub dengan serangga yang satu itu, bahwa sesungguhnya tubuh serangga kecil itu memang memiliki disain yang lebih unggul dari rancangan manusia. Dan teknologi penerbangan capung yang disain sayapnya tampak begitu canggih itu telah mengemukakan suatu fakta bahwa ciptaan Allah itu sangatlah sempurna.
“Kau kagum?“ kata seorang gadis tiba-tiba.
Mendengar itu, Bobby segera menoleh, memperhatikan seorang gadis bercadar yang kini sedang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. “Si-siapa kau…?” kata pemuda itu tergagap.
“O ya, kenalkan. Namaku Bintang.”
“Eng… A-aku,  Bobby. O ya, kalau boleh kutahu, sedang apa kau di tempat seperti ini?”
“Sama sepertimu… memikirkan setiap ciptaan Tuhan,” jawab gadis bercadar itu.
Bobby tampak mengerutkan keningnya. “Ya… entah kenapa kini aku baru menyadari, bahwa sesungguhnya masih banyak hal penting yang bisa kupikirkan selain memikirkan gadis yang tak mempedulikan aku,” ucap Bobby terus terang.
“Hmm… Itu tandanya Tuhan masih menyayangimu, yaitu dengan membuka mata hatimu agar bisa lebih mengenal-Nya, yaitu melalui berbagai ciptaan-Nya. Sesungguhnya ayat-ayat Al-Quran pun menyatakan bahwa tujuan diwahyukannya Al-Quran adalah untuk mengajak manusia berpikir dan merenung.
Dalam surat Ibrahim ayat 52 Allah menyatakan: (Al-Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Illah Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.
Yaitu Allah mengajak manusia untuk tidak mengikuti secara buta kepada kepercayaan dan norma-norma yang diajarkan masyarakat. Akan tetapi memikirkannya dengan terlebih dahulu menghilangkan segala prasangka, hal-hal yang tabu dan yang mengikat pikiran mereka.
Manusia harus memikirkan bagaimana ia menjadi ada, apa tujuan hidupnya, mengapa ia suatu saat akan mati dan apa yang terjadi setelah kematiannya. Ia hendaknya bertanya mengenai bagaimana dirinya dan seluruh alam semesta menjadi ada dan bagaimana keduanya terus-menerus ada. Ketika melakukan hal ini, ia harus membebaskan dirinya dari segala ikatan dan prasangka.
Dengan berpikir menggunakan akal dan nurani yang terbebaskan dari segala ikatan sosial, ideologis dan psikologis, seseorang pada akhirnya akan merasakan bahwa seluruh alam semesta termasuk dirinya telah diciptakan oleh sebuah kekuatan Yang Maha Tinggi. Bahkan ketika ia mengamati tubuhnya sendiri atau segala sesuatu di alam ia akan melihat adanya keserasian, perencanaan dan kebijaksanaan dalam perancangannya.
Al-Quran memberikan petunjuk kepada manusia dalam masalah ini. Dalam Al-Quran Allah memberitahu kepada kita apa yang hendaknya kita renungkan dan amati. Dengan cara perenungan yang diajarkan dalam Al-Quran, seseorang yang memiliki keimanan kepada Allah akan merasakan secara lebih baik kesempurnaan, hikmah abadi, ilmu dan kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya. Ketika orang yang beriman mulai berpikir menurut cara yang diajarkan Al-Quran, ia segera menyadari bahwa keseluruhan alam semesta adalah sebuah isyarat karya seni dan kekuasaan Allah, dan bahwa "alam semesta adalah sebuah hasil kreasi seni, dan bukan pencipta kreasi seni itu sendiri." Setiap karya seni memperlihatkan keahlian yang khas dan unik serta menunjukkan pesan-pesan dari sang pembuatnya.
Dalam Al-Quran, manusia diseru untuk merenungi berbagai kejadian dan benda-benda alam yang dengan jelas menunjukkan kepada keberadaan dan ke-Esaan Allah beserta Sifat-sifat-Nya. Di dalam Al-Quran segala sesuatu yang menunjukkan kepada suatu kesaksian (adanya sesuatu yang lain) disebut sebagai "ayat-ayat", yang berarti "bukti yang telah teruji (kebenarannya), pengetahuan mutlak dan pernyataan kebenaran." Jadi ayat-ayat Allah terdiri atas segala sesuatu di alam semesta yang memperlihatkan dan mengkomunikasikan keberadaan dan sifat-sifat Allah. Mereka yang dapat mengamati dan senantiasa ingat akan hal ini akan memahami bahwa seluruh jagad raya hanya tersusun atas ayat-ayat Allah.
Sungguh, adalah kewajiban bagi manusia untuk dapat melihat ayat-ayat Allah…Dengan demikian orang tersebut akan mengenal Sang Pencipta yang menciptakannya, dan akan menjadi lebih dekat kepada-Nya, serta mampu menemukan arti kehidupannya, dan akhirnya menjadi orang yang beruntung (dunia dan akhirat).
Itulah hal penting yang Allah sampaikan kepadaku dengan perantara manusia yang bernama pena Harun Yahya, seorang penulis yang karya-karyanya mengajak kepada kebaikan.”
Setelah mendengar penuturan Bintang, Bobby pun langsung merenung dan merenung. Betapa saat itu dia merasakan seolah mendapat cahaya bintang di malam yang kelam. “Kini aku menyadari kenapa hidupku selama ini terasa hampa dan tidak berarti apa-apa, walaupun selama ini aku sudah mencoba untuk mengisinya dengan hal-hal yang sekiranya bermanfaat. Ternyata aku telah salah menilai, karena bukan itulah tujuan hidup yang sesungguhnya. Ya Tuhan.... lagi-lagi Aku telah melupakan-Mu. Selama ini aku terlalu sibuk dengan urusan dunia, dan sangat sedikit waktu yang aku berikan untuk bermunajad kepada-Mu. Selama ini aku telah menyia-nyiakan hidupku dengan jarang beribadah kepada-Mu. Selama ini kehidupanku selalu kuisi dengan hal-hal yang kuanggap bermanfaat, tapi nyatanya aku salah duga. Ternyata hal itu tidaklah membawa manfaat kepada orang-orang di sekitarku. Kerja kerasku selama ini tidaklah membawa manfaat apa-apa. Aku baru sadar, kalau produktif itu adalah untuk orang lain, bukan untuk diriku semata. Selama ini aku memang terlalu egois sampai-sampai melupakan orang-orang di sekitarku. Aku terlalu asyik dengan pekerjaan yang aku anggap bermanfaat itu. Dan aku terlena dengannya hingga tidak sadar kalau aku hidup tidaklah sendirian. Untunglah Engkau masih sayang kepadaku sehingga Engkau mau memberi rahmat dan hidayah-Mu kepadaku. Rupanya inilah hikmah yang bisa kupetik dari pertemuanku dengan Leni, bahwa uangku bisa menjadi sangat berguna untuk kehidupannya.”
“Kak Bobby, apa yang kau pikirkan?” tanya Bintang membuyarkan renungan pemuda itu.
Bobby tersentak seraya memandang kepada gadis yang dianggapnya sudah berjasa itu, yaitu telah menyampaikan suatu nilai kebenaran kepadanya. “Terima kasih, Bintang… kau adalah gadis yang baik dan peduli kepada manusia sepertiku,” ucapnya tulus.
“Kau bicara apa, Kak? Bukankah setiap manusia itu memang berkewajiban untuk menyampaikan nilai kebenaran.”
“Kau benar, Bintang… namun, jika tanpa keikhlasan, kerendahan hati dan rasa kepedulianmu, apakah kebenaran itu bisa sampai kepadaku?“
Bintang segera mengalihkan pandangannya ke arah telaga, “Sesungguhnya Allah-lah yang telah membuatku menjadi demikian. Dan karena izin-Nya pulalah kebenaran itu bisa sampai kepadamu,” katanya kemudian.