E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Merah Muda & Biru - Bagian 2

Dua



Pada suatu hari, disaat Bobby sedang berjalan seorang diri, tiba-tiba DUG CRAAAKKK!!! terdengar suara mobil yang bertabrakan. Sebuah bis kota menabrak bumper belakang sedan mewah yang berada di depannya. Pada saat yang sama, beberapa pasang mata langsung melihat ke asal suara, termasuk seorang petugas polantas yang saat itu sedang tidak begitu sibuk. Lalu, dengan segera dia menghampiri kedua pengemudi yang sudah beradu mulutmembela kebenarannya masing-masing.
“Tenang… tenang !” kata petugas polantas itu melerai mereka, suaranya pun terdengar begitu berwibawa, kemudian petugas itu menyuruh mereka untuk merapatkan kendaraan masing-masing di sisi jalan.
Tak lama kemudian, kedua pengemudi tadi sudah kembali adu mulut. “Andalah yang salah! Anda sudah menabrak mobil saya hingga rusak begini…!” tuduh pengemudi sedan mewah kepada pengemudi Bis kota.
Tampaknya sopir bis kota tidak menerima tuduhan itu, dia justru menuduh pengemudi sedan mewahlah yang telah bersalah. Namun pengemudi sedan mewah itu terus saja ngotot, “Pokoknya, anda tetap salah! Bukankah tadi Pak Polisi sudah memberi tanda untuk berhenti,” jelas pengemudi sedan mewah menangkis serangan mulut pengemudi bis kota.
Pak Polantas kembali melerai mereka, kemudian dengan berwibawa dia kembali berkata-kata. “Daripada bapak-bapak saya bawa ke kantor, lebih baik bapak-bapak tidak saling menyalahkan! Cobalah berperilaku sopan di tempat umum! Ini jalan raya, masa mau ribut di sini. Kalau kalian ribut kapan selesainya, iya kan ?” jelas petugas itu tegas.
Kemudian Pak Polantas segera menangani perkara itu dengan menganalisa kronologi kejadian. Dan tak lama kemudian, dia sudah mengetahui duduk perkaranya. “Begini, bapak-bapak...” Pak Polantas segera memberikan penjelasan panjang lebar kepada keduanya. Setelah memberikan penjelasan itu, akhirnya putusan pun diambil. Pengemudi bis kota dinyatakan bersalah karena sudah melakukan kecerobohan, yaitu telah lengah tidak menginjak pedal rem tepat pada waktunya. Saat itu sopir bis kota tampak kecewa dan terpaksa menerima putusan itu, sedangkan pengemudi sedan mewah tampak senangdia tersenyum akan kemenangannya.
“Nah, sekarang sebaiknya Bapak selesaikan masalah ini dengan cara damai,” kata Pak Polantas sambil menepuk pundak pengemudi bis kota, “Eng… Bapak berikan saja alamat perusahaan Bapak kepada Bapak ini, agar nantinya bisa dihubungi! O ya, sekarang sebaiknya kalian saling bersalaman!” anjur Pak Polantas kemudian.
Pengemudi sedan dan pengemudi bis kota saling berpandangan, kemudian dengan berat hati pengemudi bis kota mengulurkan tangannya. “Saya minta maaf, saya akan ganti kerusakan mobil Bapak itu,” kata pengemudi bis kota dengan wajah lesu.
“Lain kali hati-hati ya!” kata pengemudi sedan mewah merasa benar sendiri.
Lantas dengan terpaksa, pengemudi bis kota itu tampak menuruti anjuran Pak Polantas, dia segera memberikan alamat perusahaannya kepada pengemudi sedan mewah. Di benaknya timbul segala perasaan khawatir, khawatir jika bosnya tidak mau mengerti dengan kejadian yang telah menimpanya. “Aduh, bos pasti akan besar dan akan memecatku. Soalnya yang kutabrak itu mobil mewah. Kalau dilihat dari kerusakannya, pasti  akan memakan biaya perbaikan yang tidak sedikit,” keluh pengemudi bis kota membatin.
Bobby yang menonton kejadian itu cuma geleng-geleng kepala, dan dia betul-betul kasihan melihat pengemudi bis kota yang terpaksa harus mengganti kerusakan. Padahal, ketika mengikuti penjelasan kronologi dari kejadian tadi, dia berpendapat kalau kecelakaan itu bukanlah semata-mata kesalahan si Pengemudi bis kota, namun karena kesalahan dari beberapa pihak yang menurutnya perlu juga dimintai pertanggungjawaban. Pada saat yang sama, dia sempat bertanya-tanya perihal pengemudi sedan mewah yang sepertinya dikenal.
“Bobby!” seru pengemudi sedan mewah seraya menghampirinya.
Saat itu Bobby mencoba tersenyum sambil terus berusaha mengingat-ingat pemuda itu.
“Bob, kau lupa padaku? Aku Johan, teman SMP-mu dulu.”
“Johan? O ya, aku ingat. Kau kan yang pertama kalinya mengajariku merokok dan memperkenalkan narkoba.”
"Ah, kau ini. Masa yang diingat cuma itu, memangnya tidak ingat apa ketika kita sama-sama mengejar Nina. Walaupun pada akhirnya aku mengaku kalah, karena ternyata Nina memang mencintaimu.”
“Nina?” Bobby kembali teringat dengan cinta pertamanya, cinta yang telah membuat masa SMP-nya agak berantakan karena tidak konsen belajar. Bagaimana tidak, setiap hari dia pergi sekolah hanya karena ingin bertemu Nina, dan ketika jam pelajaran sedang berlangsung, dia pun ingin cepat selesai lantaran ingin bertemu Nina. Pulang sekolah adalah saat yang paling dia tunggu-tunggu. Dengan sang Pujaan hatinya, dia berduaanngobrol di taman hingga sering pulang terlambat.
“Bob!” seru Johan membuyarkan ingatan Bobby.
“Eh, apa Han?” tanya Bobby agak terkejut.
"Eng... ngomong-ngomong apa kau pernah bertemu Nina?”
“Tidak pernah, Jo! Bahkan, hingga saat ini aku tidak tahu di mana rimbanya.”
"Mmm... apa kau masih mencintainya?”
“Tentu saja, Jo. Dia kan cinta pertamaku.”
“Eh, Bob! Sebenarnya...” Johan menggantung kalimatnya, saat itu dia tampak berat mengatakan hal yang sebenarnya.
“Apa, Jo?” tanya Bobby.
“Sudahlah... lupakan saja! O ya, ngomong-ngomong sekarang kau bekerja di mana?” tanya Johan mengalihkan pembicaraan.
"Mmm... aku masih menganggur, Jo,” jawab Bobby. “O ya, kalau kau sendiri kerja di mana?” Bobby balik bertanya..
“Eng, a-aku bekerja di sebuah perusahaan, Bob.”
“Iya, tapi perusahaan apa?”
“Perusahaan Elektronik.”
“Eng... kalau begitu, boleh aku minta kartu namamu! Mungkin kapan-kapan aku bisa main ke kantormu.”
Saat itu, Johan seperti enggan memberikan kartu namanya. Namun karena Bobby terus mendesak, akhirnya dia pun terpaksa memberi.
“Gila! Ternyata kau seorang direktur, Jo?” kata Bobby seakan tidak percaya ketika membaca kartu nama yang dipegangnya.
“Sebenarnya itu perusahaan ayahku, Bob.”
“Sama saja, Jo. Walaupun perusahaan itu punya ayahmu, suatu saat perusahaan itu juga bakal milikmu. O ya, Jo. Apa mungkin aku bekerja di kantormu?” tanya Bobby berharap.
"O ya, ngomong-ngomong kau lulusan apa?”
“Aku cuma lulusan SMK, Jo.”
“Aduh, sayang sekali, Bob. Coba kalau kau S1, aku pasti bisa membantumu. Maafkan aku, Bob. Bukannya aku tidak mau memberikan pekerjaan untukmu. Tapi, demi untuk keprofesionalan, yang bisa bekerja di kantorku itu minimal berpendidikan S1.”
“Walaupun untuk seorang cleaning service?” tanya Bobby lagi.
"Wah, perusahaanku tidak merekrut cleaning service, Bob. Soalnya selama ini cleaning service di perusahaanku adalah karyawan kontrak yang disalurkan oleh perusahaan lain.”
"O, begitu ya?”
“Maaf ya, Bob! Aku tidak bisa membantumu,” ucap Johan yang sebenarnya tidak mau menerima Bobby bekerja di kantornya bukan lantaran hal itu, melainkan ada hal lain yang sebenarnya enggan diberitahukan.
“Sudahlah, Jo! Mungkin untuk saat ini, aku memang harus menganggur.”
"O ya, Bob. Kalau begitu, sebaiknya sekarang aku pamit. Soalnya aku harus segera membawa mobil itu ke bengkel.”
“Iya, Jo. Sampai bertemu lagi,” ucap Bobby seraya memperhatikan kepergian pemuda yang semula begitu diharapkan mau membantunya. Akhirnya dengan agak kecewa Bobby kembali melanjutkan perjalanannya. Hingga akhirnya dia terlihat duduk beristirahat di sebuah taman yang tak begitu jauh dari rumahnya. Kini dia tengah mengamati benda yang ditemukannya waktu itu, yaitu dua buah simbol kelamin yang saling terkait. “Hmm... benda ini pasti tidak sekedar dibuat sebagai souvenir seperti apa kata Randy, soalnya kedua warna yang ditulis pada masing-masing simbol ini tentu ada maknanya. Hmm... tapi apa ya?” Ketika Bobby tengah berpikir keras tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang sudah sangat dikenalnya, wanita itu sedang mengendarai sebuah sedan mewah didampingi seorang anak yang masih berusia 11 tahun.
“Ninaaa!” teriak pemuda itu memanggil.
Wanita yang bernama Nina itu serta-merta menoleh. “Bobby?” kata wanita itu dalam hati seraya menghentikan mobilnya dan memarkirnya di tepian jalan, kemudian bergegas menghampiri Bobby yang kini tengah beranjak bangun.
“Bobby!” pekiknya gembira seraya memeluk pemuda itu erat.
Saat itu Bobby membiarkan Nina melepas rindu, dalam hatinya bergejolak segala perasaan yang mengharu biru.
Kini keduanya sudah duduk berdampingan dikursi taman,  saat itu Nina tampak tersenyum bahagia sambil terus memandangi wajah tampan yang tak pernah membuatnya jemu.
“Sudah lama ya kita tidak berjumpa,” ucap Nina membuka pembicaraan.
“Iya, Nin. Hampir 12 tahun kita tidak bertemu, dan itu merupakan waktu yang lama sekali buatku. Eng…” Bobby tampak memperhatikan anak yang bersama Nina tadi, kini anak itu sedang memperhatikan bunga-bunga yang ada di taman. “O ya, siapa anak itu, Nin?” tanyanya kemudian.
“Itu anakku, Bob.”
“A-apa? Ma-masa anakmu sudah sebesar itu. Tidak mungkin lah, Nin.”
“Ya… Mungkin saja, Bob.”
“Bagaimana bisa? Memangnya pada usia berapa kau menikah?”
“Aku menikah pada usia 14 tahun, Bob.”
“Ja-jadi... Setelah kita berpisah, kau menikah? Pantas kau menghilang begitu saja tanpa kuketahui rimbanya. Waktu itu aku pernah datang ke rumahmu, dan orang tuamu bilang kau pindah sekolah ke luar negeri.”
“Ya, Kau benar, Bob. Dan itu semua karenamu.”
“Maksudmu?” tanya Bobby tak mengerti.
“Masih ingatkah ketika orang tuaku sedang pergi ke luar negeri?”
“Ya aku ingat, malam itu aku menginap di rumahmu,” jawab Bobby.
“Dan di malam itu pula kita bercinta,” timpal Nina tiba-tiba.
“A-apa! Ka-kau jangan bercanda, Nin!” Bobby tampak begitu terkejut.
“Aku tidak bercanda, Bob. Akibat perbuatan di malam itu pula, akhirnya anak itu terlahir ke dunia. Dan aku sama sekali tidak heran jika kau sampai begitu terkejut, sebab kau pasti tidak ingat karena waktu itu kau sedang mabuk berat.”
Bobby terdiam, “Lagi-lagi karena obat,” ucapnya membatin, kemudian dengan serta-merta pemuda itu menatap Nina dengan pandangan yang seakan sulit untuk bisa mempercayainya, “Ja-Jadi a-anak itu...”
“Iya, Bob. Dia itu anakmu,” potong Nina.
Lagi-lagi Bobby terdiam, dalam hati pemuda itu kembali membatin, “Ya Tuhan... selama ini aku tidak pernah merasakan hubungan intim dan kenapa hanya dalam hitungan minggu tahu-tahu aku sudah mempunyai dua orang anak, dan yang satu ini malah sudah menginjak remaja,” kata Bobby dalam hati seakan sulit menerima kenyataan itu.
“Bob! Kenapa diam?” tanya Nina menyadarkan.
“Nin...” Bobby menatap wanita itu, raut wajahnya tampak seperti orang kebingungan, “Kau serius, kalau dia itu memang anakku,” lanjutnya kemudian merasa masih sulit untuk mempercayainya.
“Untuk apa aku berbohong, Bob. Dia itu memang anak dari benihmu sendiri.”
“Mmm… apa dia tau kalau aku ayahnya?”
“Tidak, selama ini dia menganggap mantan suamikulah ayahnya.”
“Apa! Ja-jadi kau sudah menjanda?”
“Benar, Bob. Dan semenjak kami bercerai anak ini sering bertanya-tanya. Sebab, mantan suamiku mengatakan kalau dia bukan ayahnya. Dan karenanyalah aku berniat menemuimu.”
“O... Jadi begitu,” ucap Bobby mengerti, ternyata pertemuannya dengan Nina bukanlah karena suatu kebetulan.
“Laras! Sini, Nak!” panggil Nina kepada anaknya yang masih saja asyik melihat-lihat bunga di taman.
Laras segera berlari menemui ibunya, “ada apa, Bu?” tanyanya kemudian.
“Laras, inilah ayahmu yang sebenarnya,” jelas Nina kepada Laras.
Seketika itu juga Laras langsung memperhatikan Bobby, dipandangnya wajah tampan yang sebagian telah diwariskan untuk kecantikannya itu. “A-Ayah…” ucap Laras hampir tak mempercayainya, kalau ayahnya yang selama ini ada dalam hayalan kini ada di hadapannya. Lalu tanpa buang waktu lagi, anak itu segera memeluk sang Ayah sebagai ungkapan atas kerinduannya.
“Ayah, kenapa ayah meninggalkan kami? Sebenarnya selama ini Ayah pergi ke mana?”
“Maaf, Sayang... Ayah tidak bisa menceritakannya sekarang. Semua itu terjadi begitu saja dan tanpa Ayah duga sama sekali. Andaipun diceritakan, tentu membutuhkan waktu yang sangat lama, dan semuanya itu belum tentu bisa kau mengerti.”
“Ceritakanlah, Ayah…! Aku kan sudah besar, dan aku pasti bisa mengerti.”
“Sudahlah, Laras...! Biarpun kau sudah besar, tapi kau belum cukup umur untuk mengerti semua itu. Nanti, jika kau sudah dewasa, Ayah pasti akan menceritakannya.”
“Sungguh, Ayah?”
Bobby mengangguk, kemudian dengan penuh kasih sayang dia membelai kepala putrinya. “Laras! Sekarang kau main di sana dulu ya! Kini Ayah mau bicara pada ibumu,” pintanya kemudian.
“Iya, Ayah,” kata Laras seraya melangkah untuk melihat-lihat bunga yang belum sempat diperhatikan semua. Pada saat yang sama, Bobby tampak berbincang-bincang dengan Nina.
“Bagaimana, Nin? Apakah aku harus menikahimu?” tanya Bobby seraya menatap mata wanita itu.
“Itu terserahmu, Bob! Aku tidak akan memaksa jika kau memang tidak bersedia. Keinginanku sesungguhnya ialah kau mau mengakui kalau kau memang ayahnya. Kau lihat sendiri, betapa bahagianya anak itu ketika mengetahui kalau kau adalah ayah yang sesungguhnya,” jelas Nina panjang lebar. “O ya, ngomong-ngomong apakah kau sudah menikah?” tanyanya kemudian.
“Terus terang, saat ini aku belum menikah. Tapi...” Bobby menggantung kalimatnya, dalam hati pemuda itu tampak berat untuk mengatakannya.
“Tapi apa, Bob. Ayolah katakan padaku!”
“Maaf, Nin! Aku tidak bisa mengatakannya.”
“Hmm... Apakah kau sudah mempunyai kekasih, dan kau akan menikahinya?”
“Eng... Bisa juga seperti itu. Tapi...”
“Sudahlah, Bob! Kau tidak perlu menjelaskannya, aku bisa mengerti kok. Kini semuanya kuserahkan padamu, apapun keputusanmu akan kuterima dengan senang hati!”
“Benarkah yang kau katakan itu, Nin?”
“Benar, Bob. Kan sudah kubilang kalau aku tidak mau memaksamu, aku cuma mau kau mengakui Laras itu sebagai anakmu, itu saja. Jika kau memang mau menikah dengan wanita lain atau pun denganku itu terserah kepada keputusanmu. Bob... Ketahuilah! Dulu, orang tuaku mendesak agak aku mengakui siapa ayah dari anakku ini, tapi aku tetap merahasiakannya karena aku tidak mau menyusahkanmu. Aku menyadari kalau semua ini bukanlah karena kesalahanmu, tapi karena kesalahanku yang tidak bisa menahan diri. Dan aku melakukan semua itu karena aku mencintaimu.”
 "Oh, Nin. Aku tidak menyangka kau bisa berbuat seperti itu. Nin... kalau kau mau tahu, sebenarnya aku masih mencintaimu, dan aku pun ingin membina keluarga bersamamu. Tapi... sekarang ini aku masih menganggur. Apa mungkin aku bisa membahagiakan kalian berdua?”
“Kalau memang itu alasanmu, kau tidak perlu khawatir, Bob. Terus terang, saat ini aku mempunyai pekerjaan yang gajinya terbilang mencukupi. Jadi, jika kau memang masih menganggur aku rasa itu tidak menjadi persoalan, semua kebutuhan keluarga biar aku yang menanggungnya.”
“Eng... Kalau begitu, berilah aku kesempatan untuk memikirkannya. Terus terang, saat ini aku belum bisa mengambil keputusan.”
“Aku mengerti, Bob. O ya, ini alamat rumahku. Kalau kau sudah siap, kau bisa datang kapan saja, tapi jangan saat jam kantor.”
“Baiklah, Nin. Aku pasti akan datang,” kata Bobby seraya memperhatikan kartu nama yang berikan oleh Nina. “A-apa! Ja-jadi, selama ini kau bekerja sebagai sekretaris di perusahaan itu,” kata pemuda itu tidak menyangka kalau Nina telah bekerja di perusahaan Johan.
“Bob, apa kau tahu tentang perusahaan itu?” tanya Nina dengan raut wajah khawatir.
“Ya, aku tahu perusahaan itu besar dan beromset milyaran.”
“Eng... Apa cuma itu saja yang kau ketahui?”
“Maksudmu…?” tanya Bobby pura-pura bingung.
"Ah, tidak apa-apa. Sebenarnya aku heran kenapa kau begitu terkejut ketika mengetahui aku bekerja di situ,” jawab Nina merasa lega karena menduga Bobby tidak mengetahui perihal perusahaan itu lebih jauh.
“Bagaimana aku tidak terkejut, Nin. Hal itu tampak aneh buatkubagaimana mungkin kau bisa menjadi sekretaris di perusahaan sebesar itu,” jelas Bobby sengaja tidak menceritakan perihal keterkejutan yang sebenarnya.
"O, jadi kau cuma heran karena aku bisa menjadi sekretaris diperusahaan itu?” tanya Nina memastikan.
“Coba kau pikir! Bagaimana mungkin aku tidak heran. Semasa SMP kau itu kan sudah menikah, lalu bagaimana mungkin bisa menamatkan S2.”
Nina tersenyum, kemudian dengan panjang lebar wanita itu segera menjelaskan semuanya. “Bagaimana, apa sekarang kau masih bingung?” tanyanya kemudian.
“Hmm... jadi semua itu karena bantuan orang tuamu. Kalau memang demikian, aku sama sekali tidak heran. Sebagai seorang konglomerat yang mempunyai banyak uang, tentu hal itu bisa dengan mudah diwujudkannya.”
“Bu! Aku lapar!” ungkap Laras yang tiba-tiba sudah berada di dekat mereka.
Nina tampak memperhatikan putrinya sejenak, kemudian pandangannya segera beralih kepada Bobby. “Bob, kita makan dulu yuk!” ajaknya kepada Bobby.
“Tapi, Nin...”
“Ayolah, Bob! Di sana kita bisa berbincang-bincang lebih banyak,” ajak Nina lagi.
“Ayolah, Ayah! Kita makan sama-sama,” ajak Laras bersemangat.
“Baiklah kalau begitu, mari kita berangkat!”
Tak lama kemudian, mereka pun naik ke mobil dan segera melaju meninggalkan tempat itu. Daun-daun yang berguguran di tengah jalan tampak beterbangan, tersapu hempasan angin dari kendaraan yang mereka tumpangi.