E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Merah Muda & Biru - Bagian 3

 Tiga



Seminggu kemudian, di siang yang cerah. Bobby terlihat sedang duduk termenung memikirkan kedua anaknya. Sebagai seorang ayah yang baik, dia merasa harus bertanggung jawab, memberikan nafkah halal dan pendidikan yang baik misalnya. Setelah merenung agak lama, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk pergi ke rumah temannya yang tinggal di pinggiran kota. Dengan harapan, temannya itu bisa membantunya mencarikan pekerjaan.
Setibanya di sana, Bobby tampak kecewa. Ternyata temannya itu baru saja di PHK dan juga sedang mengalami kesulitan yang sama. Akhirnya dengan langkah gontai, pemuda itu kembali pulang bersama harapan hampa. Dalam perjalanan, pemuda itu terus memikirkan masa depan kedua anaknya.
Kini pemuda yang bernama Bobby itu tampak sedang beristirahat di sebuah halte terminal sambil menikmati segarnya teh botol dingin. Sambil terus menikmati minuman itu, dia tampak memperhatikan keadaan sekitarnya. Bis-bis antar kota terlihat keluar masuk terminal silih berganti, angkot-angkot pun tampak berjajar menunggu para penumpang. Bobby terus memperhatikan suasana di terminal itu hingga minumannya habis.
Namun ketika dia hendak membayar, tiba-tiba dia dikejutkan oleh kehadiran seorang wanita yang dulu begitu lekat di hatinya. “Re-Reni... Sedang apa kau di sini?” tanya pemuda itu heran kepada wanita yang kini bediri dihadapannya.
“Bo-Bobby! Syukurlah akhirnya kita bertemu di sini,” ucap wanita itu gembira. “Oh, Bob. Terus terang, selama ini aku sudah mencarimu ke sana-ke mari, dan hal itu hampir saja membuatku putus asa. Namun ketika aku hendak pulang kampung, eh malah bertemu di sini. Ini namanya pucuk dicinta, ulam pun tiba.”
“Hmm... Sebenanya apa keperluanmu hingga mencariku begitu rupa? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak bertemu lagi?”
Wanita itu menatap Bobby dengan pandangan sayu, kemudian dengan berat hati dia pun berusaha mengatakannya, “Bob... se-sebenarnya. A-aku...”
“Sudahlah, Ren! Lekas katakan! Apa keperluanmu sebenarnya?”
“Tunggu ya, Bob!” Reni menoleh kepada seorang anak kecil berusia empat tahun, “Lia. Sini, Nak!” panggilnya kepada anak itu.
Lantas, dengan segera anak itu berlari menghampiri ibunya.
“Oh my God! Ren tolong jangan katakan kalau dia itu anakku!”
“O… Ja-jadi, selama ini kau sudah mengetahuinya, dan kau sama sekali tidak mau bertanggung jawab?”
Mengetahui kepastian itu, seketika Bobby membatin. “Ya Tuhan... kenapa aku bernasib seperti ini. Ternyata dia memang anakku juga, dan sekarang aku sudah mempunyai tiga orang anak instant.”
“Bob... Kenapa diam? Cepat jawab pertanyaanku tadi!”
“Tidak, Ren. Semua itu tidak seperti dugaanmu. Selama ini aku memang tidak mengetahuinya, dan aku pun tidak tahu kalau kita pernah berhubungan intim.”
“Bob, apa maksud perkataanmu itu? Kenapa kau bilang, kau tidak tahu kita pernah berhubungan intim.”
“Ceritanya panjang, Ren... Pokoknya panjang sekali. Dan saat ini pun, aku sudah dibuat pusing oleh semua perkara itu.”
“Perkara apa, Bob?”
“Ya soal anak-anakku.”
“O, Jadi kau sudah menikah?”
“Ups...!” tiba-tiba Bobby tersadar akan ucapannya barusan.
“Bob! Tolong cepat kau jawab pertanyaanku tadi.”
“Baiklah, Ren. Kalau begitu, sebaiknya kita berbicara di halte itu saja!” ajak Bobby seraya melangkah menuju ke halte yang terlihat agak sepi.
Setibanya di tempat itu, Bobby dan Reni tampak duduk berdampingan, sedangkan anak yang berumur empat tahun tadi tampak menikmati es krim sambil bersandar di bangku halte.
“Nah, Bob. Sekarang katakanlah sejujurnya!” pinta Reni.
“Hmm... Baiklah, aku akan berkata jujur. Begini, Ren... Terus terang, aku belum menikah, dan aku masih seorang duda.”
“Jadi, kau pernah menikah dan mempunyai anak?”
“Tidak, Ren. Aku sama sekali belum pernah menikah.”
“Tadi kau bilang, kau seorang duda.”
“Entahlah, Ren. Aku sendiri juga bingung, apakah orang yang sudah mempunyai tiga orang anak masih bisa disebut bujangan. Dan apakah bisa disebut duda jika belum pernah beristri.”
“Tiga orang anak, belum pernah beristri? Bob... Aku benar-benar tidak mengerti...”
“Sudahlah, Ren! Lupakan saja masalah itu! Tujuanmu menemuiku kan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sama sekali tidak pernah kunikmati. Dan sekarang aku siap bertanggung jawab.”
“Tunggu dulu, Bob! Apa maksudmu dengan tidak menikmati?”
“Sudahlah, Ren. Kau tidak akan bisa mengerti. Percuma saja jika aku menjelaskannya padamu, karena ini memang sulit untuk dijelaskan.”
“Bob... Apakah waktu itu kau cuma mempermainkanku dan kau tidak menikmati sama sekali ketika kita berhubungan.”
“Yang satunya salah dan yang satunya benar.”
“Maksudmu?”
“Waktu itu aku sama sekali tidak ada pikiran untuk mempermainkanmu, cintaku padamu benar-benar dari lubuk hatiku terdalam. Dan kalau aku tidak bisa menikmati ketika berhubungan denganmu itu memang benar.”
“Bob, aku tidak mengerti. Kau sudah membuatku benar-benar bingung.”
“Ren... Semua itu karena obat.”
“Obat?”
“Ya... saat itu aku pasti sedang mabuk. Dan hal itulah yang membuatku kehilangan ingatan, aku sama sekali tidak merasa berhubungan intim denganmu.”
“Tapi sepertinya waktu itu kau begitu menikmatinya, dan kau pun sempat memuji diriku.”
“Pada saat itu memang iya, dan setelah pengaruh obat itu hilang-ingatanku pun terhapus seiring dengan pulihnya kesadaranku yang sesungguhnya. Selama ini aku seperti terkena amnesia, hanya sedikit peristiwa yang bisa kuingat. Dan itu hanya peristiwa ketika aku tidak menggunakan obat, sedangkan ketika aku menggunakannya sudah hilang tak berbekas, jika ingat pun seolah peristiwa itu terjadi di dalam mimpi.”
“Oh, Bob... Benarkah yang kau katakan. Apakah pengaruhnya bisa seperti itu?”
“Benar, Ren. Selama ini aku memang sudah hilang ingatan. Selama menggunakannya aku pun sering lupa, berapa butir yang sudah aku telan. Dan karenanya aku selalu menambah-nambah, seakan-akan aku merasa belum menggunakannya.”
“Jadi, selama kau masih menyimpan banyak persediaan kau terus menggunakannya tiada henti?”
“Ya begitulah kira-kira. Bahkan selagi mabuk, aku pun sering tidak ingat kalau persediaanku sudah habis, dan karena itulah aku sering mengobrak-abrik kamarku mencari-cari persediaanku yang kupikir masih ada.”
 “Kasihan sekali kau, Bob.“
“Ya kasihan sekali aku, dan karena hal itu pulalah yang kini membuat kepalaku mau pecah. Semua itu karena buah perbuatan jelekku dimasa remaja dan ketika menginjak dewasa. Sebenarnya bukan itu saja dampaknya, selama ini aku merasa tidak mempunyai gairah dan malas sekali. Bahkan akibat dari obat itu kini telah membuat aku enggan berusaha dan selalu meratapi nasib sehingga hidupku menjadi hancur dan tak berarti. Semakin hari daya ingatku pun semakin menurun, dan aku menjadi seperti orang linglung.”
“Hmm... kini aku mengerti dengan semua ucapanmu yang semula begitu membingungkanku.”
“Apa! Kau mengerti? Aku kan belum menjelaskannya.”
“Barusan, kau mengatakannya panjang lebar.”
“O ya, syukurlah kalau begitu.”
"O ya, Bob... Sekarang kau sudah berhenti kan?”
“Ya, Ren... Aku sudah berhenti sejak lama. Tapi, hingga kini keinginan untuk menggunakannya tak bisa kuhilangkan. Setiap ada kesempatan dimana barang haram itu berada, aku pasti tergoda. Dan jika saat itu imanku sedang lemah, aku pun terpaksa menggunakannya lagi. Terus terang, aku tak kuasa melawan keinginan yang begitu kuat dikarenakan bisikan setan yang terus menggodaku. Ketika aku menggunakannya lagi, gairahku pun kembali bergelora. Semangatku berapi-api, dan ide-ide cemerlang memenuhi kepalaku. Dan begitu pengaruhnya hilang, aku kembali seperti sedia kala, malas dan tidak mempunyai gairah.  Dan tentunya... linglung.”
“Berarti, hingga kini kau masih menggunakannya dong.”
“Kadang-kadang memang iya, namun begitu aku masih terus berupaya untuk melawannya. Dan jalan yang kini kutempuh adalah aku semakin giat mendekatkan diri kepada Tuhan, dan sebisa mungkin menjauhi orang-orang yang sekiranya berkemungkinan bisa membawaku kembali menggunakan barang haram itu. Karenanyalah, selama ini aku lebih senang menyendiri, dan aku hanya mau bergaul kepada orang-orang yang benar-benar bersih.”
“Syukurlah, Bob... Kalau memang itu yang kau jalani selama ini.”
"O ya, Ren. Lalu, bagaimana mengenai pertanggungjawabanku itu? Apakah aku harus menikahimu dan membesarkan anak kita bersama-sama?”
“Tentu saja, Bob. Tapi... Tolong kau ceritakan tentang anak-anakmu yang lain! Apakah mereka juga terlahir karena hal yang kau ceritakan itu?”
“Benar, Ren. Mereka pun terlahir karena hal yang sama. Seorang anakku yang lain berusia tiga tahun dan yang satunya malah sudah menginjak remaja.”
“Lalu ibu mereka, apa juga sepertiku. Mereka meminta pertanggungjawabanmu.”
“Ya... itu memang benar. Dan karenanyalah aku pusing tujuh keliling.”
“O ya, Bob. Apa mereka juga tahu tentang anakmu yang lain?”
“Tidak... Mereka tidak tahu. Cuma kau yang mengetahui hal ini, dan itu semua karena aku sudah terlanjur mengatakannya.”
“Kau juga harus mengatakan hal ini kepada mereka, Bob! Soalnya mereka juga berhak tahu. Dengan demikian kita bisa bersama-sama mengambil jalan yang terbaik, dan semuanya tergantung pada keputusanmu, siapa yang akan kau persunting nanti .”
“Ren, apa mungkin jika ketiganya kujadikan istri?”
“Gila kau, Bob. Otakmu memang sudah tidak beres, masa tiga-tiganya... pokoknya kau harus pilih salah satu!”
“Kalau begitu, siapakah yang harus kupilih?”
“Itu terserah padamu. Terus terang, aku sama sekali tidak berwenang untuk memutuskannya.”
“Ren... apa kau masih mencintaiku?” tanya Bobby sungguh-sungguh.
“Kenapa kau menanyakan itu?”
“Tolonglah, Ren. Kau jangan malah balik bertanya! Sekarang jawab saja dulu pertanyaanku!”
Reni terdiam, dia memandang Bobby dengan pandangan yang penuh arti. “Iya Bob, aku akan selalu mencintaimu.”
“Benarkah yang kau katakan itu, Ren? Jika memang demikian, kenapa dulu kau tidak mengatakannya?”
“Entahlah, Bob. Aku sendiri juga tidak mengerti.”
“Ren... Sebenarnya hal itulah yang membuatku bingung. Mereka pun juga mencintaiku, dan aku benar-benar merasa sakit bila harus menyakiti salah satu dari kalian.”
“Memangnya, kau juga mencintai kami semua, Bob?”
“Benar, Ren. Karenanyalah aku merasa sulit untuk mengambil keputusan. Aku tidak mungkin menyakiti orang-orang yang juga mencintaiku. Tidak mungkin...”
“Bob... Pokoknya kau harus pilih salah satu. Jika tidak, aku tidak akan bersedia menikah denganmu. Sebab, aku tidak mau jika harus hidup dimadu.”
“Hmm... Kalau begitu baiklah. Jika kau memang tidak mau, terpaksa aku hanya akan menikahi kedua ibu dari anak-anakku yang lain. Bukankah mereka belum tahu mengenai hal ini, dan karenanyalah keduanya pasti tidak akan keberatan menikah denganku.”
Mendengar itu, Reni pun langsung sedih. “Oh, Bob... Kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu itu?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“Iya, Ren. Menurutku memang itulah jalan yang terbaik, dan aku sangat berterima kasih atas kebesaran hatimu.”
“Oh, Bob. Kenapa kau seperti itu? Kenapa kau tidak mempedulikan aku? Padahal, aku sangat mencintaimu. Sebaiknya kita membicarakan masalah ini bersama-sama, setelah itu terserah pada keputusanmu! Kau tidak boleh menyembunyikan semua ini!”
“Tidak! Itu tidak mungkin kulakukan. Maafkan aku, Ren! Aku tidak bisa menuruti kemauanmu, anggap saja kita sudah membahasnya bersama-sama dan ternyata mereka mau hidup dimadu, sedangkan kau tidak. Dan jadilah mereka menikah denganku.”
“Kau keterlaluan, Bob. Itu tidak mungkin terjadi, mereka pun pasti tidak mau hidup dimadu.”
“Lho! Sekarang kau sudah menjadi paranormal ya? Hebat sekali bisa menebak seperti itu.”
“Aku kan wanita, Bob. Aku tahu betul perasaan wanita yang sesungguhnya.”
“Ren... Kau sengaja ingin membuatku mati bunuh diri ya? Aku mengambil keputusan begini saja sudah begitu menyakiti perasaanku lantaran telah mengecewakanmu. Apalagi jika ditambah satu lagi, bagaimana perasaanku nanti.”
“Tapi Bob...”
“Ren... Apa kau tega menyakiti hati kaummu sendiri? Sekarang aku ingin tahu jawabanmu yang sesungguhnya, apakah kau bahagia jika aku ternyata tidak memilihmu?”
“Kau benar, Bob. Aku memang tidak bisa menyangkal, aku pasti akan merasa sakit dan kecewa. Ini benar-benar bagai buah simalakama, kedua-duanya membuatku sakit.”
“Itu karena kau telah mengetahuinya, coba kalau tidak. Kau pasti tidak akan merasa sakit. Lagi pula, kenapa sih kalau dimadu saja kau harus merasa sakit? Aku kan akan selalu mencintai dan menyayangimu dengan sepenuh hatiku.”
“Kau tidak mengerti, Bob. Aku hanya mau kau menjadi milikku seorang.”
“Itu namanya egois.”
“Kau yang egois! Coba kalau kau pada posisiku saat ini, apa kau mau diriku digilir ke sana-ke mari?”
“Jelas tidak. Sebagai laki-laki, aku tidak mungkin bisa menerima hal itu. ”
“Nah... Apa itu juga bukan egois.”
“Tidak, itu bukan egois. Aku ini kan laki-laki, dan laki-laki memang mempunyai hak untuk itu.”
“Kenapa kau berpikir hanya lelaki saja yang berhak untuk itu?”
“Karena laki-laki itu tidak mengandung. Lagi pula, ini menyangkut soal perasaan dan kehormatan seorang lelaki.”
“Apa bedanya? Apa kau pikir wanita tidak mempunyai perasaan yang sama.”
“Maaf! Aku tidak mengetahui hal itu. Sebab, aku bukan wanita.”
“Kau memang egois...”
“Sudahlah, Ren! Kenapa kita malah jadi bertengkar? Kalau begitu, baiklah... sekarang juga aku akan menuruti kemauanmu yang sesungguhnya, aku akan menikahimu secepatnya dan tidak akan memadu dirimu.”
“Be-benarkah yang kau katakan itu, Bob?”
“Benar, Ren... Percayalah akan kata-kataku! Secepatnya aku akan menyusulmu ke kampung dan menikahimu.”
“Tapi... bagaimana dengan perasaanmu? Dan apakah kau akan bunuh diri setelah menikahiku?”
 “Tidak, Ren. Aku tidak akan bunuh diri. Lagi pula, mana mungkin aku bunuh diri, itu kan perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang-orang dungu.”
“Jangan-jangan...  kau akan menikahi mereka tanpa sepengetahuanku.”
“Ren, aku tidak akan memadu dirimu. Percayalah...!” Tegas Bobby.
“Bob... janji ya! Terus terang, aku bahagia sekali mendengar putusanmu ini.”
“Iya, aku janji...”
Setelah puas berbincang-bincang, akhirnya Reni mohon pamit karena dia harus segera pulang kampung. Sementara itu, Bobby masih duduk di halte sambil memikirkan peristiwa masa lalunya, “Ren... kenapa dulu kita harus berpisah. Kenapa hanya karena hal sepele itu kau marah padaku, sehingga aku pun menjadi emosi dan akhirnya mengambil keputusan itu? Andai saja waktu itu kau mau bijaksana pada dirimu sendiri, tentu hal itu tidak perlu terjadi. Kenapa dulu kau begitu keras kepala dan sangat egois, bisamu cuma menangis dan marah-marah? Kenapa kau tidak pernah mau mengatakan apa yang ada di hatimu sebenarnya? Kenapa kau senantiasa menyembunyikan perasaan itu sehingga membuatku salah mengerti? Andai waktu itu kau mau mengakui kalau kau masih mencintaiku, aku pun tentu tidak akan meninggalkanmu.  Hmm... sudahlah... Semua itu sudah terlajur dan tak mungkin bisa diulang lagi.“
Kini Bobby tampak mengeluarkan dua buah simbol kelamin yang saling terkait yang ditemukannya waktu itu. “Hmm... Apa mungkin ini sebuah benda gaib, yang jika di dalam film bisa membuat orang biasa menjadi manusia super. Astagfirullah...! Kenapa aku bisa ngelantur sejauh itu. Ah, sudahlah... Sebaiknya sekarang aku pulang saja. ”
Akhirnya pemuda itu pun melangkah menaiki sebuah angkot yang menuju ke arah rumahnya. Dalam perjalanan, pemuda itu masih terus memikirkan perihal benda perak yang baginya penuh dengan misteri. Sesekali dia juga memikirkan perihal kehadiran ketiga anaknya yang tanpa disangka-sangka telah mengisi kehidupannya.