E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Merah Muda & Biru - Bagian 5

Lima



Kini Bobby telah mempunyai tiga orang istri, dan setelah setahun hidup bersama mereka, akhirnya dia mulai mengalami kesulitan. Padahal, selama ini dia sudah berusaha untuk menafkahi mereka dan berlaku adil kepada ketiganya. Adil yang dimaksud bukanlah soal perasaan, melainkan soal materi. Dan itu juga bukan sama rata, namun sesuai dengan kebutuhan. Misalkan kepada istri yang bernama Reni, maka dia akan memberikan uang lebih banyak untuk biaya pendidikan ketimbang istrinya Dewi. Soalnya Reni mempunyai anak yang lebih besar yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang lebih besar pula. Namun, kepada Nina yang sudah mempunyai penghasilan, dia hanya memberikan nafkah batin. Maklumlah, karena pendapatan istrinya itu memang sudah mencukupi. Selama ini, justru istrinya itulah yang sering memberinya uang lantaran kasihan melihat suaminya sering bokek. Karenanyalah, disaat pembantunya tidak ada, Bobby rela menggantikan peran Nina untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan berusaha memberikan perhatian lebih kepada putri mereka yang kini sudah duduk di kelas lima SD. Sungguh dia seorang yang sedang mengalami ujian berat, yang jika tidak mempunyai iman yang kuat bisa membuatnya menjadi kufur.
“Ya Tuhan... Apa yang harus kulakukan untuk terus mempertahankan bahtera rumah tanggaku. Kenapa Engkau tidak memenuhi janji-Mu untuk memberikan rezeki yang cukup? Bukankah selama ini aku sudah berusaha, dan kenapa kehidupanku malah makin bertambah susah?” tanya Bobby membatin karena pada saat itu dia lebih mendengar bisikan setan yang tengah mengomporinya untuk berprasangka buruk kepada Tuhannya.
Maklumlah, segala himpitan ekonomi yang dihadapi kini telah membuat akal sehatnya agak terganggu. Bahkan kepalanya pun terasa benar-benar mau pecah dan hampir membuatnya putus asa. Bagaimana tidak, sewaktu kedua anaknya yang lain sudah masuk sekolah, semua kebutuhan biaya pun semakin meningkat. Apalagi ketika seorang orang istrinya sudah hamil lagi, Bobby benar-benar semakin dibuat pusing. Maklumlah, Bobby itu hanya seorang karyawan rendahan, dan dia merasakan semua itu sungguh sangat memberatkan. Gajinya sebulan saja, hanya cukup buat makan kedua keluarganya yang lain.
Tapi untunglah, akhirnya Bobby menyadari kalau Tuhan tidak mungkin memberi ujian yang di luar kesanggupannya. Karenanyalah dia pun memohon ampun akan prasangka buruknya dan semakin gigih berjuang untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Alhasil, dia pun terpaksa harus cari sampingan, bisnis sana-sini, dan terkadang meminjam uang dari teman-teman dekatnya. Karena bila minta sama Nina tentu tidak mungkin, selain dia memang tidak mau membebani istrinya, dia pun merasa Nina sudah terlalu baik karena selama ini sering memberinya uang dan tidak pernah menuntut macam-macam. Bagi Bobby, hal itu sudah merupakan keuntungan yang besar dan tidak sepantasnya dia mengharapkan lebih dari itu.
Setelah sebulan membanting tulang, akhirnya Bobby bisa juga mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Hal itu dikarenakan bukan pejabat saja yang bisa mempunyai pekerjaan rangkap, Bobby pun bisa. Selama menjadi office boy di kantornya, dia merangkap sebagai pengecer koran dan pedagang asongan, dan hasilnya pun cukup lumayan. Namun hal itu tidak berlangsung lama, akibat kenaikan BBM dapur rumah tangganya pun kembali kembang-kempis. Karenanyalah dia kembali memutar otakmencari peluang agar kebutuhan rumah tangganya bisa memcukupi.
Setelah berusaha mencari, akhirnya Bobby menemukan peluang yang diduga cukup bagussebuah peluang yang bisa membuatnya kaya mendadak. Maklumlah, ketika dia sedang membersihkan ruang kerja bosnya, dia menemukan brangkas rahasia yang tersembunyi di balik lukisan, dan di dalamnya pasti ada ratusan juta rupiah. Lalu, dengan gaya seorang maling frofesional dia mencoba membuka brangkas yang dilengkapi dengan sistem pengamanan yang begitu canggih. Dasar Bobby, ilmu maling yang dulu dipelajarinya lewat internet ternyata begitu berguna. Benar saja, ketika pintu brangkas terbuka tampaklah tumpukan emas dan uang yang begitu banyak.
“Gila... Kenapa emas dan uang sebanyak ini tidak disimpan di Bank,” pikir Bobby keheranan.
Saat itu Bobby benar-benar tergoda, sungguh sulit rasanya untuk menyia-nyikan kesempatan yang ada. "Wah, kalau kuambil semua pasti aku akan kaya, dan hidupku pun tentu akan lebih baik. Tapi... Jika tertangkap tentu aku akan lama dipenjara. Anak dan istriku pasti akan sangat menderita. Hmm... bagaimana ya?”
Bobby tampak berpikir keras, mencari tahu bagaimana caranya agar bisa mengambil harta itu dan tetap aman tak terlacak oleh polisi. “O ya, Ini kan harta panas. Bos pasti tidak akan mengadukan hal ini kepada polisi, karena bisa-bisa dia juga akan tertangkap karena telah menyimpan harta ilegal. Masa iya kantor kecil ini punya kekayaan begitu banyak, apalagi semuanya cuma disimpan di brangkas. Aku yakin sekali kalau semua ini adalah harta kotor, kalau tidak segera kuambil nanti semua harta ini pasti akan keburu dicuci, dan aku tidak mungkin mempunyai kesempatan seperti ini lagi.”
Ketika Bobby hendak mengambil semuanya itu, tiba-tiba…”Tidak, ini bukan harta yang halal. Ya Tuhan… Aku tidak mau memberikan nafkah untuk anak istriku dengan harta yang haram. Tapi, inilah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan semua masalahku.”
Lagi-lagi Bobby kembali berpikir keras, dia terus merenung dan menimbang dari segi baik buruknya, jangan sampai dia tergoda bisikan setan sehingga salah mengambil keputusan. Setelah merenung agak lama, akhirnya Bobby mengurungkan niatnya. Saat itu juga dia langsung bertaubat dan memohon ampun kepada Tuhan karena kekhilafannya. Kini pemuda itu pergi meninggalkan ruangan dengan hati yang tentram, dia percaya Tuhan pasti akan memberikan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan persoalannya tanpa harus berbuat dosa.

   

Esok harinya, ketika Bobby hendak mengambil koran untuk dijual. Dia dikejutkan oleh berita yang dibacanya di surat kabar. Bosnya yang selama ini menggaji dia sekarang sedang ditahan aparat, dan semua itu karena kasus yang berhubungan dengan harta yang ditemukannya malam itu.
“Syukurlah, semalam aku tidak jadi mengambil uang itu. Kalau tidak, bisa-bisa aku juga bakalan masuk penjara,” katanya seraya bergegas menuju ke kantor.
Setibanya di tempat tujuan, dia melihat banyak polisi berada di tempat itu. Beberapa karyawan yang bekerja di kantor itu tampak berkumpul membicarakan nasib mereka. Bobby pun ikut bergabung dengan mereka untuk mengetahui nasibnya yang belum jelas.
Sungguh sial, ternyata kantor itu merupakan tempat pencucian harta panas. Dan karenanyalah terpaksa ditutup karena semua asetnya merupakan hasil tindak kejahatan. Kini Bobby tampak berpikir keras mengenai statusnya yang menjadi pengangguran karena tidak bisa bekerja di kantor itu lagi. Tidak mungkin hanya dengan mengecer koran dan menjadi pedagang asongan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Mau tidak mau dia memang harus menjadi pekerjaan di tempat lain, yang penghasilannya minimal sama.
Akhirnya dengan langkah lunglai, Bobby beranjak  meninggalkan tempat itu, dia berniat pulang ke rumah istrinya yang bernama Reni, yang kini tinggal di sebuah rumah kontrakan—tak jauh dari tempatnya bekerja. Dalam perjalanan pulang, pemuda itu terus berpikir keras, kepalanya pun terasa benar-benar mau pecah. “Hmm… sepertinya ada suara orkes dangdut, “ gumam Bobby ketika sayup-sayup dia mendengar alunan musik di kejauhan. “Ya, tidak salah lagi. Itu memang orkes dangdut. Kalau begitu, untuk menghilangkan stress sebaiknya aku ke sana saja,” gumamnya lagi seraya bergegas ke tempat yang dimaksud.
Setibanya di tempat itu, dia melihat banyak sekali penonton yang berjoget ria. Maklumlah, orkes itu memang yang terkenal di Ibu kota. Orkes pengiringnya bagus dan biduannya pun seksi-seksi. Kini Bobby sudah berbaur dengan para penonton, terlena dengan kelezatan suara yang didengarnya, juga goyangan biduannya yang aduhai. Hingga akhirnya pemuda itu pulang dengan hati agak terhibur karena masalahnya sedikit bisa dilupakan, namun dampak lain ketika melihat pertunjukan itu membuatnya ingin segera menemui sang istri.
“Aduh, kenapa setelah melihat goyangan penyanyi tadi aku jadi begitu bergairah?” Katanya dalam hati seraya menghampiri sang Istri yang kini dilihatnya sedang duduk di teras. “Ren... Ayo sini, ikut Abang!” ajaknya seraya meraih tangan istrinya.
“Ada apa sih, Bang?” tanya Reni yang tidak mau beranjak dari duduknya.
“Aku minta itu, Ren.”
“Minta apa, Bang?”
“Itu tuh...“
“Apaan sih?”
“Ituuu...”
“Hmm... pasti libidomu lagi naik ya?”
“Iya, Sayang...! Ayolah!”
“Maaf, Bang! Hari ini Reni baru aja dapet. Bahkan badan Reni pun lagi tidak enak.”
“Apa! Kau tidak bohongkan?” tanya Bobby kecewa.
“Masa aku bohong, Bang. Melayani suami kan memang sudah kewajibanku.”
“Baiklah kalau begitu, Abang bisa melakukannya sendiri.”
“Main sabun, maksudnya?”
“Ya... apa boleh buat.”
Setelah berkata begitu, Bobby pun melangkah ke kamar mandi. Dan Ketika dia hendak melakukannya tiba-tiba, “Astagfirullah... Kenapa aku masih pakai cara lama yang tidak patut ini. Aku kan punya Istri lain, kenapa tidak dengan salah satu dari mereka.”
Lantas Bobby segera keluar kamar mandi dan kembali menemui istrinya. Saat itu si Istri tampak tersenyum, “Sudah ya, Bang? Kok cepat sekali sih?” tanya sang Istri mengomentari.
“Itu terserahku, mau lama kek, mau cepat kek, itu bukan urusanmu,” jawab Bobby sewot.
“Maaf deh! Jika pertanyaanku tadi menyinggung perasaanmu.”
“Ya sudah. O ya, Sayang... Hari ini aku akan pergi untuk sebuah keperluan penting. Jadi, aku baru bisa kembali setelah satu minggu.”
“Kalau itu memang penting. Reni tidak keberatan, Bang.”
“Aku pesan, selagi aku pergi kau jangan ke mana-mana! Dan ini uang belanja untuk keperluan satu minggu,” pesan Bobby seraya memberikan uang yang dipinjamnya dari seorang teman ketika bertemu di orkes dangdut tadi.
“Iya, Bang. Reni akan menuruti apa yang Abang katakan.”
 “Kalau begitu, aku berangkat sekarang.”
 Setelah pamit dengan ciuman mesra, akhirnya Bobby melangkah pergi. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemuda itu sudah berada di dalam bus kota yang menuju ke kediaman Nina, dia duduk di dekat jendela yang terbuka. Angin sepoi-sepoi yang berhembus sungguh memberikan kesejukan. Dalam perjalanan itu, Bobby tampak mengamati benda yang selama ini sudah membuatnya terus bertanya-tanya, yaitu dua buah simbol kelamin yang saling terkait. “Hmm... Benda ini betul-betul sudah membuatku bingung, soalnya tidak mungkin orang menulis kata-kata ini tanpa suatu tujuan. Pasti kata-kata ini mengandung maksud tertentu yang jika dipecahkan tentu akan memberikan sesuatu yang berharga.”
Bobby terus memikirkan perihal benda itu, hingga akhirnya dia tiba di kediaman Nina. Saat berjumpa dengan sang Istri, dia pun langsung disambut dengan sebuah pelukan dan ciuman yang begitu mesra. “Kok sudah kembali, Bang?” tanya sang Istri heran.
“Memangnya kenapa, Sayang? Apa kau tidak senang kalau aku pulang cepat?” Bobby malah balik bertanya.
“Bu-bukan itu maksudku. Terus terang, aku senang sekali kau pulang cepat. Tapi, aku cuma heran saja, kok tidak seperti biasanya Abang pulang cepat.”
“Nina sayang, terus terang aku sudah rindu sekali denganmu. Sekarang pun aku ingin melepas kerinduan itu bersamamu. Yuk Sayang, kita ke kamar!”
“Sekarang, Bang? Apa tidak sebaiknya Abang mandi dulu!”
Mengetahui itu, seketika Bobby langsung mencium ketiaknya sendiri, “Hehe… Kau betul Nin. Sepertinya aku memang harus mandi dulu.”
“Kalau begitu, ayo Bang kita mandi sama-sama!”
Lantas mereka pun bergegas mandi, setelah benar-benar bersih keduanya langsung masuk kamar dan bercumbu rayu di tempat itu. Hingga akhirnya Bobby bisa menyalurkan hasratnya dengan maksimal. Bahagia sekali dia saat itu, sampai-sampai dia sempat melupakan kesulitan yang dihadapinya. Kini pemuda itu tengah berbincang-bincang dengan istrinya yang masih tanpa busana, namun berselimutkan bed cover yang lembut.
“Kau puas, Sayang…?” tanya Bobby kepada istrinya yang terlihat manja bersandar di dadanya.
“Iya, Bang. Terus terang, setelah menjadi istrimu aku benar-benar bisa merasakan kebahagiaan yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya. Terus terang, kau lebih perkasa ketimbang mantan suamiku dulu. O ya,  kalau aku boleh tahu, sebenarnya kau minum obat apa?”
“Aku tidak minum obat apa-apa. Selama ini aku cuma berkonsentrasi agar bisa mengendalikan katup sperma, sehingga terjadilah yang namanya multiple orgasme.”
“Benarkah? Aku kira cuma wanita saja yang multiple orgasme. Tapi, ternyata pria juga bisa begitu ya?”
“Tentu saja. Karena itulah aku bisa bertahan lama karena sperma tidak dikeluarkan semua, namun sedikit demi sedikit bersama cairan pendampingnya saja. Rasanya pun tak jauh berbeda seperti mengeluarkan sperma seluruhnya. Kebanyakan orang justru langsung mengeluarkan semuanya, kalau sudah begitu bagaimana mungkin bisa bertahan lama.”
 “O… jadi begitu ya, Bang.” Nina tampak menganguk-angguk. “O ya, Bang. Ngomong-ngomong, kenapa Abang tidak kerja? Hari Sabtu kan seharusnya Abang masuk kantor.”
“Eng… kantor Abang sudah ditutup, Nin.”
“Tutup...? Kenapa, Bang?”
Bobby pun segera menceritakan semuanya. Hingga akhirnya, “Begitulah, Nin. Sebenarnya aku pun kini lagi bingung mau cari kerja di mana.”
“Sudahlah, Bang. Lebih baik Abang buka usaha saja, biar aku yang berikan modalnya.”
“Tidak, Nin. Aku tidak mau membebanimu. Lagi pula, aku belum berani menanggung risikonya. Coba kalau nanti usaha itu bangkrut, apa tidak akan merugikanmu.”
“Tidak apa-apa, Bang. Namanya juga orang usaha. Kalau bangkrut, itu sih biasa. Kalau nanti kau memang bangkrut, aku akan kasih modal lagi, dan kau bisa buka usaha lagi. Gampang kan?”
“Kau baik sekali, Nin. Namun, aku tidak mau seperti itu. Sebelum membuka suatu usaha aku harus tahu ilmunya dulu. Sebab kalau tidak, aku tentu akan bangkrut lagi dan lagi.”
“Yang kau katakan itu ada benarnya juga, Bang. Tapi, kau kan bisa belajar dari pengalaman. Mungkin setelah sekian kali bangkrut baru kau bisa dapat ilmunya.”
“Masa harus seperti itu, Nin. Menurutku, bukankah lebih baik belajar dari pengalaman orang lain. Sehingga kita tidak perlu ikut-ikutan melalui proses yang sama.”
“Kalau begitu, kenapa kau tidak melakukannya?”
“Itulah masalahnya. Saat ini aku belum bertemu dengan orang yang tepat dan mau mengajariku. Karenanyalah, aku tidak berani membuka usaha yang berisiko tinggi. Untuk saat ini, aku cuma berani berjualan koran atau menjadi pedagang asongan.”
“Aduh, Abang. Usaha begitu bagaimana mungkin bisa hidup sejahtera.”
“Bukan apa-apa, Nin. Untuk saat ini, mungkin cuma itulah proses yang bisa kujalani. Risikonya kan tidak seberapa.”
“Baiklah, kalau begitu terserah Abang saja. Sebenarnya, bagiku Abang tidak bekerja pun tidak apa-apa, soalnya aku masih bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga.”
“Nin, sebenarnya aku tidak mau seperti itu. Terus terang, selama ini aku merasa bukan suami yang bertanggung jawab karena selama ini kaulah yang mencari nafkah. Kalau kau mau tahu, keinginanku sebenarnya adalah aku yang mencari nafkah dan kau menjadi ibu rumah tangga, bukan malah sebaliknya. Terus terang, selama ini  aku merasa bukan laki-laki karena tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan aku malu kodratku sebagai laki-laki kalah dengan perempuan.”
“Hmm… Rupanya Abang sudah kena penyakit minder. Eh, Bang... dengar ya! Sekarang ini kan sudah jamannya emansipasi wanita. Jadi, kau tidak perlu minder karenanya. Posisi laki-laki dan perempuan itu kan sudah sejajar, sehingga tidak perlu malu karena kalah dengan perempuan.”
“Sebenarnya, Bukan itu saja persoalannya, Nin. Namun, aku juga khawatir jika kau sering berada di luar rumah.”
“Maksudmu, aku akan selingkuh, begitu?”
“Bu-bukan begitu maksudku. Tapi, aku khawatir bosmu itu akan berbuat macam-macam padamu. Nah, sekarang aku tanya. Apa yang sudah dilakukan bosmu selama ini?”
“Ti-tidak, Bang. Bosku itu baik kok, di-dia tidak pernah berbuat macam-macam,” jawab Nina tergagap karena tidak mau berterus terang. Pada saat itu, batinnya sempat menyesal karena ketidakterusterangannya. Maklumlah, selama ini bosnya itu ternyata memang suka melakukan pelecehan seksual terhadapnya.
“Benarkah yang kau katakan itu, Nin?” tanya Bobby memastikan.
Nina mengangguk, ternyata dia masih juga merahasiakannya.
“Hmm... untung saja bosmu itu baik. Coba kalau tidak…” Bobby menggantung kalimatnya. Kemudian dia menatap Nina dengan pandangan sedih, “Aku tidak sanggup membayangkannya, Nin. Itulah kenapa aku begitu khawatir jika kau berada di luar rumah.”
“Sudahlah, Bang...! Kau jangan terlalu khawatir! Percayalah padaku, kalau aku ini masih bisa menjaga diri! Tapi aku janji, jika kelak kau sudah bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, aku tentu akan berhenti dari pekerjaanku itu. Kini aku mengerti, ini bukanlah soal emansipasi atau masalah karirku semata. Tapi, aku merasa kalau semua ini adalah bentuk kasih sayangmu padaku.”
“Terima kasih, Nin! Kau memang istri yang sangat pengertian.”
“Kau juga seorang suami yang baik, Bang. Kau sudah begitu memperhatikanku.”
 Akhirnya, sepasang suami-istri itu pun kembali bercumbu rayu. Dan tak lama kemudian mereka sudah bergumul di bawah selimutsaling memberi kasih sayang. Sementara itu di tempat lain, istri kedua Bobby yang bernama Reni tampak sedang berbincang-bincang dengan temannya yang bernama Rosa.
“Maafkan aku, Ros! Aku tidak berani keluar rumah, kalau suamiku tahu dia pasti akan marah sekali,” jelas Reni
“Sudahlah, Ren. Suamimu pasti tidak akan marah, kita kan mau pergi arisan bukannya mau ke tempat yang bukan-bukan.”
“Kau tidak kenal suamiku, Ros. Jangankan pergi ke arisan, pergi ke pengajian saja dia larang jika tanpa seizinnya. Kalau aku berani melanggar, maka dia akan murka sekali.”
“Ren, suamimu itu orang yang aneh ya?”
“Tidak, Ros. Suamiku itu orang yang baik, selama ini dia tidak pernah marah jika bukan karena Allah.”
“Lantas, kenapa dia marah jika kau pergi ke pengajian.”
“Sebenarnya, dia bukan marah karena aku pergi mengaji. Tapi dia marah karena aku pergi tanpa seizinnya.”
“Hmm… Bagiku suamimu itu tetap saja orang yang aneh. O ya, kalau begitu sekarang sebaiknya aku pamit. Nanti, kalau kau yang keluar akan kuberitahu.”
“Terima kasih, Ros.”
“Sama-sama, Ren. Assalamu’alaikum…”
“Wa’allaikum salam…”
Sepeninggal Rosa, Reni tampak termenung. Sebenarnya dia ingin sekali pergi ke tempat arisan itu, karena di tempat itulah dia bisa bergosip bersama teman-temannya. Maklumlah, dia itu kan perempuan, dimana kebutuhannya untuk berbicara sangat tinggi, yaitu sampai 40.000 kata setiap hari. Jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, dia pun bisa jadi bete seharian. Untung saja suaminya selalu menganjurkan dia untuk selalu berzikir dan bersalawat, juga membaca Quran sehingga kebutuhan itu bisa terpenuhi dengan baik.


 

Dua hari kemudian, disaat Nina baru pulang dari kantor, dia melihat Bobby sedang meringkuk di sofa seperti orang kedinginan. “Kau kenapa, Sayang…?” tanya Nina seraya duduk di dekat pemuda itu dan mencium keningnya. “Kau panas sekali, Bang.”
“Iya, Nin. Sejak tengah hari tadi, badanku tidak enak.”
“Kalau begitu, sebaiknya kita lekas ke dokter, Bang!”
“Tidak usah, Nin! Aku sudah minum obat dari warung, sebentar lagi juga sembuh.”
“Kau harus ke dokter, Bang! Sepertinya penyakitmu ini cukup parah.”
“Hmm… Baiklah, Nin. Jika kau memang begitu mengkhawatirkanku.”
“Nah, begitu dong. Ayo aku bantu ke mobil!” ajak Nina seraya membantu suaminya bangun. “Bik Ijah! Tolong kemari sebentar!” teriak wanita itu memanggil pembantunya yang sedang sibuk di dapur.
Tak lama kemudian, “Ada apa, Nyah?” tanya si pembantu yang terlihat sudah berusia separuh baya.
“Bik, kalau Laras sudah pulang mengaji. Bilang padanya kalau aku lagi mengantar Tuan ke dokter! O ya, tolong berikan uang ini padanya! Katanya pulang mengaji nanti, dia mau pergi ke toko buku. Dan jangan lupa, tolong sampaikan maafku karena tidak bisa mengantarnya!”
“Baik, Nyah. Saya akan menyampaikan amanat Nyonya buat Non Laras.”
“Kalau begitu, terima kasih, Bik.”
Setelah berkata begitu, Nina dan suaminya tampak melangkah menuju mobil. Tak lama kemudian, keduanya sudah melaju menuju tempat praktek dokter. Setibanya di tempat tujuan, tiba-tiba Bobby melihat seseorang yang sudah sangat dikenalnya. “Celaka! Itu kan temannya Dewi, biang rese,” keluh Bobby dalam hati.
Kini pemuda itu tak berani bergerak, dia terus bersembunyi di dalam mobil. Maklumlah, teman Dewi itu memang orang yang selalu membuatnya susah. Dia sudah kenal betul dengan Bobby, kalau bertemu pasti langsung nyerocos bak petasan renceng. Apalagi sudah lama sekali Bobby belum membayar hutang padanya, bisa-bisa dia didamprat habis-habisan.
“Ayo... Bang! Kenapa malah diam di situ?” tanya Nina tiba-tiba.
“Kau saja duluan, nanti aku menyusul!”
“Kau ini bagaimana sih? Bukankah kau yang ingin periksa?”
“Ups... iya ya. Kenapa aku malah lupa?” ucap Bobby seraya melirik ke tempat teman Dewi berada, dan ternyata wanita itu sudah pergi. “Syukurlah dia sudah pergi,” katanya dalam hati. “Ayo, Sayang...!” ajaknya kemudian.
Mereka pun segera melangkah masuk, dan ketika sampai di ruang tunggu Bobby merasa lega, soalnya hari ini dia nyaris tertangkap basah. “Alamak...” keluhnya tiba-tiba. Kini di hadapannya terlihat teman Dewi yang lagi asyik membaca majalah.
“Ada apa, Bang?” tanya Nina bingung melihat wajah Bobby yang tiba-tiba berubah seperti orang ketakutan.
“Nin, ayo kita pergi dari sini. Kita cari dokter lain saja, sepertinya pasiennya terlalu banyak, aku tidak mau menunggu terlalu lama.”
“Sudahlah, Bang...! Dimana-mana pasti sama. Lagi pula, menunggu sebentar kan tidak apa-apa.”
“Bukan apa-apa, Nin. Aku kan lagi kurang sehat, kalau disuruh menunggu bisa-bisa penyakitku malah bertambah parah.”
“Hmm… Kau ini ada-ada saja. Ya sudah, kalau begitu ayo kita cari dokter lain!”
Akhirnya, Nina dan suaminya kembali ke mobil dan bergegas menuju ke tempat praktek dokter yang lain. Setibanya di sana, antrian malah lebih banyak dari tempat semula. “Tuh, kan. Aku bilang juga apa. Di sini malah lebih banyak lagi,” komentar Nina.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Kalau begitu, aku berobat di sini saja.”
Nina memandang suaminya dengan alis sedikit merapat, “Hmm… Kalau menunggu terlalu lama, apa penyakitmu tidak akan bertambah parah?” tanyanya kemudian.
“Ya, habis mau bagaimana lagi. Mau tidak mau, sepertinya aku memang harus menunggu.”
“Syukurlah, kalau kau mau bersabar. Soalnya kalau kau cari tempat lain, aku rasa akan sama saja.”
Sepasang suami-istri itu akhirnya menunggu giliran dengan sabar. Sementara itu di tempat lain, istri pertama Bobby yang bernama Dewi tampak sedang duduk sendirian. “Aduh, malam ini sepi sekali. Andai Bang Bobby ada di sini tentu tidak akan seperti ini. Mmm… Tapi tak mengapa, Bang Bobby pergi lama demi untuk menafkahi keluarganya, dan itu menandakan kalau dia itu seorang suami yang bertanggung jawab. Lagi pula, setelah pertemuan nanti tentu dia akan membahagiakanku, seperti yang dilakukannya selama ini.”
“Bu, aku sudah mengantuk. Ayo dong temani aku!” pinta Intan tiba-tiba membuyarkan renungan Dewi.
Dewi pun memperhatikan Intan yang dilihatnya sudah begitu mengantuk, “Iya, Sayang… Ayo!” ajak Dewi seraya menuntun putrinya ke kamar.
 Sementara itu di luar rumah, beberapa orang pemuda terlihat baru saja melintasi jalan kecil yang ada di muka rumah dan memasuki sebuah rental play station yang hanya berjarak satu rumah dari rumah Dewi. Sebuah sepeda motor juga melintasi jalan kecil di muka rumah, suaranya yang bising sudah terbiasa di telinga Dewi dan anaknya. Begitulah kehidupan di tengah perkampungan padat, yang mana rumah-rumah kontrakan berjajarsaling menempel satu sama lainnya. Sehingga jika terjadi kebakaran pasti akan langsung merambat cepat ke rumah yang lainnya.


 

Esok harinya, Bobby sudah baikan, malah dia sudah siap untuk pergi menggilir istrinya yang lain. Seperti biasa, dengan alasan ada urusan penting dia mohon pamit kepada istrinya. Namun sayangnya, kali ini Nina melarangnya dengan alasan kondisi Bobby masih belum memungkinkan. Padahal, hari ini Bobby berkewajiban untuk menafkahi batin Dewi yang sedang hamil, sekalian katanya mau menengok bayinya yang masih dalam kandungan. Lalu dengan berbagai cara pemuda itu mencoba untuk membuktikannya, kalau dia itu memang sudah betul-betul sehat. Alhasil, setelah perjuangannya yang gigih akhirnya Bobby diizinkan pergi.
“Bang... Kalau boleh aku tahu, sebenarnya ada urusan apa sih? Terus terang, selama ini hal itu selalu membuatku bertanya-tanya. Sebenarnya selama ini kau selalu pergi ke mana, dan kenapa baru kembali setelah agak lama. Apalagi sekarang, hari ini kau begitu berkeras hati untuk pergi. Padahal, kau itu kan baru saja sembuh?”
“Sudahlah, Sayang...! Hal itu tidak patut diketahui olehmu. Jujur kukatakan, kalau kau mengetahuinya, sedang kau sendiri belum siap karena kurangnya ilmu, maka hal itu akan sangat membahayakanmu. Sebab, hal itu pasti akan membuatmu bingung, dan karena kebingunganmu kau mungkin bisa menjadi gila. Seperti seorang anak remaja yang menonton film untuk orang dewasa, bukankah hal itu bisa membahayakannya. Jika dia tidak tahu ilmunya tentu akan bingung bagaimana dia bisa menyalurkan hasratnya yang bergelora, jika dia anak yang ceroboh paling memperkosa anak tetangga, dan jika dia anak bodoh dan penakut mungkin akan menjadi gila. Suatu saat, jika kau kuanggap sudah benar-benar siap, aku pasti akan memberitahukannya padamu. Percayalah padaku, aku pergi bukan untuk melakukan hal yang tidak-tidak, namun aku pergi karena alasan ibadah.”
“Baiklah, Bang. Aku percaya padamu. Soalnya, suami temanku juga seperti Abang. Katanya, suaminya itu pergi tiga hari setiap minggu, satu minggu setiap bulan, dan 40 hari setiap tahun. Katanya lagi, suaminya itu pergi lantaran karena ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.”
“O ya, syukurlah kalau kau berpikiran begitu,” ucap Bobby sengaja tidak meluruskan kata-kata istrinya yang mengira dirinya melakukan hal yang sama seperti suami temannya itu.
Setelah berpamitan dengan sebuah ciuman mesra, akhirnya Bobby berangkat menuju ke rumah Dewi. Saat itu hari sudah mulai gelap, dan sialnya kemacetan yang terjadi tidak seperti biasanya. Maklumlah, karena ada sebuah kecelakaan kereta api, mau tidak mau kendaraan terpaksa merayap perlahan. Setelah merayap berjam-jam, akhirnya bis yang ditumpangi pemuda itu kembali berjalan lancar. Dan setibanya di sebuah persimpangan, Bobby segera turun dan menunggu angkot yang menuju ke tujuan berikutnya. Lama dia menunggu, namun angkot yang ditunggunya itu tak kunjung datang, hingga akhirnya kerongkongannya pun mulai terasa kering. "Hufff...! Hausnya. Sebaiknya aku beli minum di warung itu dulu,” kata Bobby seraya melangkah ke sebuah warung kecil di pinggir jalan.
Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ketika pemuda itu hendak mengambil uang di dompetnya, betapa terkejutnya diaternyata dompetnya itu sudah tidak berada di tempatnya. Lantas dengan segera dia mencari hingga ke tempat turun tadi. “Aduh, jatuh di mana ya? Apa mungkin jatuh di bis, atau barangkali aku telah kecopetan?” Bobby terus bertanya-tanya, hingga akhirnya pemuda itu mengikhlaskannya karena menyadari kalau musibah itu adalah ujian untuknya. Lalu dengan kerongkongan yang masih kehausan, pemuda itu terpaksa berjalan kaki ke rumah Dewi yang masih cukup jauh. Setelah berjalan kaki selama setengah jam, akhirnya Bobby tiba juga di rumah istri pertamanya. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.
“Wi, Dewi...!” panggil Bobby berbisik sambil mengetuk pintu perlahan. Setelah tiga kali melakukan itu dan tidak juga dibukakan pintu, akhirnya Bobby memutuskan untuk tidur di luar. Saat itu Bobby menduga kalau istrinya itu sudah betul-betul terlelap, dan dia sungguh tidak tega untuk membangunkannya, apalagi jika putrinya yang juga diduga sedang terlelap juga ikut-ikutan bangun.
Setelah meminum air keran yang ada di muka rumah, kini pemuda itu tampak merebahkan diriterlentang di atas sofa bambu yang keras, lehernya tampak bertumpu pada lengan sofa yang juga keras, sedang kedua betisnya tampak tersanggah di lengan sofa yang satunya. Saat itu, Bobby merasakan sedikit nyaman. Namun, lama kelamaan lehernya mulai terasa pegal, apalagi pada saat itu nyamuk-nyamuk tampak tidak bersahabat. Karena tak tahan dengan posisi itu, akhirnya Bobby merubah posisi. Kali ini dia mencoba miring ke kiri dengan kaki meringkuk. Sejenak posisi itu dirasakan nyaman, namun akhirnya lehernya kembali terasa pegal. Lama juga Bobby bertukar-tukar posisi hingga akhirnya dia merasa betul-betul nyaman untuk sebuah ukuran kenyamanan saat itu. Walaupun posisinya kini sudah dirasakan nyaman, namun nyamuk-nyamuk yang menjengkelkan terus saja hinggap dan menggigitnya berkali-kali, sebagian yang lain tampak beterbangan di sekitar telinganya. Suaranya yang menjengkelkan itu sempat membuat Bobby menyerah dan berniat untuk membangunkan istrinya. Namun akhirnya Bobby mengurungkan niatnya, dia tidak mau dikalahkan begitu saja oleh nyamuk-nyamuk betina yang nakal itu, hingga akhirnya pemuda itu bisa tertidur juga ketika waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
Tiga jam kemudian, Dewi tampak keluar rumah. Betapa terkejutnya wanita itu ketika mengetahui suaminya tidur di luar. Lalu dengan serta-merta dia membangunkannya. “Bang...! Bangun, Bang! Sudah jam enam pagi,” seru Dewi seraya menepuk-nepuk kaki suaminya.
Mendengar itu, Bobby pun segera bangun. Kemudian dengan mata yang masih penuh belek, pemuda itu memperhatikan sekitarnya. “Huaaahhh...!” Pemuda itu menguap seraya merenggangkan persendiannya yang dirasakan kaku.
“Bang, kalau Abang masih mengantuk lebih baik tidur di dalam saja!”
“Huaaahhh...!” lagi-lagi pemuda itu menguap. “Wi, tolong buatkan aku kopi!” katanya kemudian.
Mendengar itu, Dewi segera melangkah ke dapur. Pada saat yang sama Bobby tampak melangkah untuk mengambil wudhu, setelah itu dia segera menunaikan sholat Subuh yang terpaksa ditunaikannya agak siang. Seusai sholat, Bobby tampak duduk di sofa bambu yang ditidurinya semalam sambil menikmati kopi buatan istrinya. Ketika dia menyeruput kopi itu, dia pun langsung merinding lantaran kopi itu terasa begitu pahit. “Wi! Ke sini sebentar!” Panggil Bobby kepada istrinya yang saat itu lagi sibuk menyapu.
Mendengar itu, Dewi pun langsung menemui suaminya. “Iya, Bang. Ada apa?” tanyanya seraya duduk di sebelah suaminya.
“Sayang... Coba kau cicipi kopi ini!”  pinta Bobby lembut.
Dewi tampak menggeleng.
“Kenapa?” Tanya Bobby heran, karena baru kali ini istrinya berani menolak permintaannya.
“Aku tidak suka kopi Pahit, Bang,” jawab Dewi.
“Ja-jadi, kau tahu kalau kopi ini pahit?”
Dewi mengangguk.
“Hmm... kau kan tahu kalau aku tidak suka kopi pahit. Tapi, kenapa kau masih juga membuatkanku kopi pahit?”
“Anu, Bang...”
“Anu apa?”
“Eng... anu... gulanya sudah habis, Bang.”
“Apa! Masa iya sudah habis? Seharusnya kan gula itu masih ada, karena tidak mungkin gula lima kilo habis dalam waktu yang begitu cepat.”
“Anu, Bang...”
“Anu apa?”
“Anu... tetangga kita, Bu Hadi dan Bu Parman sering meminta gula kita. Katanya  mereka tidak tega membuatkan kopi pahit untuk suaminya yang memang tidak punya uang untuk membeli gula. Karenanyalah, aku pun menjadi tidak tega dan akhirnya memberikan gula itu.”
"O, jadi kalau pada suamimu sendiri, kau tega karena harus meminum kopi pahit, begitu?”
“Tidak, Bang. Bukan begitu... A-aku...” Dewi menggantung kalimatnya.
“Aku apa?”
“Aku tidak tahu harus meminta kepada siapa? Lagi pula, aku malu Bang.”
“Wi, sebenarnya bukan itu jawaban yang kumau. Terus terang, biarpun aku orang susah aku tidak mau meminta-minta. Jawaban yang kumau adalah kau bisa lebih bijaksana dalam mengatur kebutuhan rumah tangga. Dengar ya! Kita ini juga orang susah. Terus terang, aku keberatan jika harus menanggung kebutuhan rumah tangga orang lain. Kalau sekali-sekali sih tidak mengapa, tapi kalau sudah keseringan rasanya sudah tidak layak lagi. Bilang pada mereka, kalau memang tidak punya gula untuk kopi, ya tidak usah ngopi.”
“Baik, Bang. Lain kali kalau mereka meminta terlalu sering akan kubilang begitu,” kata Dewi sungguh-sungguh. Dalam hati wanita itu merasa suaminya itu merupakan orang yang pelit dan sangat perhitungan. Masa cuma gara-gara dimintai gula sampai marah seperti itu, bagaimana jika tetangganya meminta beras. Bisa-bisa suaminya itu akan marah besar dan akan memakinya habis-habisan. Begitulah Dewi berprasangka buruk kepada suaminya. Padahal, dia tidak tahu betapa suaminya selama ini begitu mati-matian mencari uang untuk keperluan rumah tangganya. Sebenarnya Bobby bukannya pelit, tetapi dia memang harus pandai-pandai dalam membelanjakan uang yang didapatnya agar kebutuhan rumah tangganya bisa terus terkecukupi. Karena jika tidak, dikhawatirkan keluarganya akan menjadi beban orang lain. Seperti kedua tetangganya itu, yang menurut Bobby sudah membebani keluarganya.
“Wi,” ucap Bobby membuyarkan pikiran Dewi.
“Iya, Bang.”
“Sekarang sebaiknya kau hutang gula dulu di warung Pok Minah.”
“Bang, hutang kita yang lalu saja belum dibayar, masa aku disuruh menghutang lagi. Terus terang, aku malu, Bang. O ya, Abang kan baru pulang usaha, pasti bawa uang banyak kan. Kalau begitu, berikanlah uang itu, Bang!”
“Huaaaahhh...” Bobby menguap. “Sudahlah, Wi. Kalau begitu sebaiknya aku tidak usah mengopi saja. Lebih baik, sekarang kau pijat aku. Terus terang, otot-ototku pada sakit lantaran tidur di sini. Setelah itu aku mau tidur lagi karena aku sudah tidak kuat menahan kantuk ini,” pintanya kemudianmengalihkan permintaan Dewi atas peristiwa yang sebenarnya enggan dia ceritakan. Lantas kedua suami istri itu bersama-sama pergi ke kamar, sementara itu Intan yang baru saja bangun terlihat senang karena kehadiran ayahnya. Kini anak itu tampak ikut-ikutan ibunya yang kini sedang memijat ayahnya, jarinya yang mungil tampak menekan-nekan betis ayahnya, yang saat itu dirasakan bukannya memijat tapi malah menggelitikinya. Walau dibuat geli, Bobby tidak melarangnya. Dia menghargai maksud baik putrinya yang memang mau memijatnya.


 

Malam harinya, Bobby tampak berbincang-bincang mengenai dompetnya yang hilang. Karenanyalah, dia meminta kepada wanita itu untuk bisa menerimanya dengan ikhlas. Namun sebagai wanita yang lagi kesulitan uang, dia pun merasa sulit untuk menerima kenyataan itu. “Bang... Kapan kita bisa melunasi hutang-hutang kita. Terus terang, aku tidak mungkin berani menghutang jika semua hutang itu belum dilunasi.”
“Baiklah, kalau begitu aku akan meminjam uang pada temanku. Semoga dia punya uang untuk melunasi hutang-hutang kita, dengan begitu kau bisa menghutang lagi.”
“Bang, apakah kita akan selamanya hidup dengan cara seperti ini?”
“Tentu saja tidak, Wi. Jika ada rezeki lebih, tentu aku tidak akan seperti ini. Terus terang, selama ini sebetulnya aku merasa tidak tenang jika belum melunasi hutang-hutang itu. Aku takut, Wi. Aku takut akan di panggil Tuhan sebelum bisa melunasi hutang-hutang itu. Beruntung jika kau mau membayarkannya. Kalau tidak, apa aku bisa mempertanggungjawabkan semua itu.”
Mendengar jawaban suaminya, akhirnya Dewi mau memahami dan tidak mempermasalahkannya lagidia tahu suaminya melakukan itu karena terpaksa. Kedua suami-istri itu terus berbincang-bincang hingga akhirnya Bobby berniat menengok bayinya yang masih dalam kandungan. Sementara itu di tempat lain, istri Bobby yang bernama Nina tampak sedang memperhatikan sebuah benda yang baginya cukup unik, yaitu sebuah simbol kelamin yang saling terkaitkepunyaan Bobby yang tanpa sengaja tertinggal di rumah itu.
“Hmm... merah muda dan biru. Aneh... apa maksudnya? Hmm... Apa mungkin ini sebuah jimat yang mempunyai kekuatan magis. Jika benar begitu, untuk apa Bang Bobby menyimpan benda seperti ini? Bukankah dia pernah bilang kalau jimat itu bisa membuat penggunanya menjadi syirik. Hmm... Kalau begitu, jika Bang Bobby kembali nanti aku harus menanyakan perihal benda ini.”
Kini wanita itu segera menyimpan benda itu di dalam laci, dan tak lama kemudian dia sudah berbaring di tempat tidurnya. Namun pikiran mengenai benda aneh masih saja terlintas dan membuatnya sedikit sulit untuk tidur.