E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Malam Pertama di Dunia 101

===================================================
KISAH DUNIA PARALEL
===================================================

Malam Pertama di Dunia 101



Di pagi hari saat aku terbangun, aku betul-betul terkejut lantaran mengetahui bed cover alas tidurku berwarna merah jambu. Dan aku semakin terkejut ketika di sebelahku ada seorang gadis manis yang sedang terlelap. Li-lisa… Deg. Detak jantung seakan terhenti, saat itu aku baru menyadari kalau aku dan Lisa sama-sama tidak berbusana. Kuperhatikan keadaan di sekelilingku, dan ternyata aku sedang berada di kamar Lisa yang ada di dunia 09. O my God. Ti-Tidaaakkkk….!!! Teriakku dalam hati.
Saat itu di lantai, kulihat pakaianku dan pakaian Lisa tampak berserakan. Lantas dengan segera kuambil pakaianku dan langsung mengenakannya. "Duhai Allah… apa yang telah kuperbuat? Sungguh aku ini hamba-Mu yang sangat berdosa karena sudah melakukan itu. Duhai Allah… Ampunilah dosa-dosaku. Sungguh aku tidak sadar ketika melakukannya."
"Mau ke mana, Bang?" tanya Lisa tiba-tiba mengejutkanku. "Bang… aku masih mau bersamamu. Bukankah selepas sholat subuh Abang sudah berjanji mau terus menemaniku."
Hah, kenapa Lisa bicara begitu? Wah, ini pasti ada yang tidak beres. "Lis? Ngomong-ngomong, kenapa kamu memanggilku Abang. Bukankah biasanya kamu menyebut nama?" tanyaku penasaran dengan tanpa melihatnya sedikit pun.
"Abang… aku kan istrimu. Masa sih istri memanggil suami cuma menyebut nama, kan tidak sopan, Bang."
"Apa! Kamu istriku? Masa sih?"
"Lho… Abang gimana sih? Masa lupa sama istri sendiri."
Wew, tidak salah lagi. Pasti aku sudah disasarkan lagi ke dunia lain, entah dunia nomor berapa, sebab tidak mungkin Lisa sudah menjadi istriku, pikirku dengan hati yang begitu lega lantaran mengetahui kalau ternyata aku tidak berzina. Tapi, kenapa masih SMA kami sudah menikah. Ja-jangan-jangan karena kecelakaan. Ya sepertinya sih memang begitu. O ya, aku kan harus segera menjawab pertanyaan Lisa barusan. "Hehehe…! bagaimana aktingku tadi, bagus tidak?" tanyaku seraya memandang ke arahnya, saat itu dia masih di tempat tidur dengan tubuh terbalut selimut.
"Huh, Abang mengagetkanku saja. Kupikir Abang sudah diganggu oleh Jin perempuan itu lagi," katanya mengomentari.
"Jin Perempuan? Lho kenapa kamu berpikiran begitu?" tanyaku tidak mengerti.
"Yah, Abang. Masa sih tidak paham. Bukankah salah satu tujuan kita menikah karena hal itu, yaitu agar Abang tidak diganggu lagi oleh Jin perempuan yang naksir sama Abang. Makanya tadi aku sempat terkejut karena sikap Abang tadi sama persis dengan sikap Abang waktu itu, yaitu ketika Abang datang ke rumahku dan menanyakan perihal bros status," jelas Lisa panjang lebar. "O ya, Bang. Abang masih mengamalkan Surat Al-Jin ayat 21 kan?
Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan."
Bang… Abang sudah tidak berkomunikasi dengan Jin perempuan itu lagi kan?" tanya Lisa penuh keingintahuan.
Setelah mendengar semua itu, akhirnya aku mengetahui kalau aku sedang berada di dunia 101. Dan aku baru tahu kalau aku yang di dunia ini ternyata bisa berkomunikasi dengan Jin. Hmm… Pantas saja waktu itu dia sempat dibawa pergi oleh Jin perempuan itu, dan akhirnya akulah yang terpaksa menggantikannya. Hmm… apakah kali ini juga karena itu, entahlah…?
"Bang, kok bengong sih? Tanya Lisa lagi membuyarkan pikiranku."
"E, i-iya… Sungguh aku tidak pernah berkomunikasi dengan Jin. Apalagi itu Jin perempuan, tidak akan pernah."
"Eng, baguslah kalau begitu. O ya, Bang… Abang masih mau terus menemaniku kan? Kalau begitu sini dong, Bang. Jangan berdiri saja di situ!"
Mengetahui itu, jantungku pun langsung berdegup kencang. Hmm… betul juga dia. Sekarang kan dia istriku, jadi tidak apa-apa jika kami berduaan di tempat tidur sambil… Entah kenapa tiba-tiba saja di hatiku ada perasaan tidak enak, sepertinya hati kecilku melarangku untuk melakukannya. Dan akhirnya aku pun sadar kalau hatiku nuraniku ternyata telah memperingatkan kalau Lisa bukanlah istriku, sebab aku di dunia ini hanya meminjam jasad suaminya. Wedew, kalau begitu bakal susah jadinya. Hmm… bagaimana ini. Terus terang aku begitu menginginkannya, lagi pula jika aku tak bertingkah sebagai suaminya, dia pasti bingung. Tapi jika aku mengabaikan peringatan itu, tentu aku bisa berdosa. Karena itulah aku pun buru-buru mencari alasan untuk menolaknya, "Tidak ah. Terus terang, aku tidak enak pada orang tuamu. Masa jam segini masih di kamar sih. Nanti mereka pikir kita ini pemalas."
"Mereka pasti maklum, Bang. Bukankah kita ini pengantin baru?"
O, jadi pengantin baru toh. Pantas habis sholat maunya langsung tidur lagi, dan pantas saja Lisa maunya di kamar melulu. "Bukan apa-apa, Lis. Selain itu sebetulnya aku sudah lapar, mau sarapan dulu. O ya, kamu mau sarapan apa? Biar aku yang buatkan ya?"
"Abang? Itu kan kewajibanku. Terus terang, aku tidak enak kalau Abang yang
menyiapkan sarapan."
"Tidak apa-apa, Sayang…? Aku buatkan telur dadar saja ya. Udah ya, Sayang… sampai nanti di meja makan," pamitku seraya buru-buru melangkah ke dapur. Maklumlah, kalau tidak begitu aku pasti tidak tahan juga.
Wew, ternyata aku di dunia ini adalah pengantin baru. Sambil masak aku terus melamunkan Lisa, melamunkan malam pertama kami berdua. Wah, pastinya indah sekali. Jangankan malam pertama, tadi saja ketika bersamanya sudah begitu indah. Dia memanggilku Abang, dan malah ingin terus kutemani. Wah, betul-betul membahagiakan. Sungguh betul-betul sulit dibayangkan betapa indahnya jika hal ini terjadi juga di duniaku.
"Bang! Telurnya hangus tuh," kata Lisa tiba-tiba memberitahuku.
"Ups!" ucapku seraya buru-buru mematikan kompor.
"Memangnya lagi mikirin apa sih, Bang? Kok telurnya sampai hangus begitu."
"Barusan Abang memikirkanmu, Lis… Abang teringat lagi dengan malam pertama kita."
"Ah, Abang… Aku jadi malu kalau abang mengingat soal itu."
"Ma-Malu…? Malu kenapa?"
"Sudah ah, aku tidak mau membicarakan hal itu. Sini, biar kini aku saja yang menyiapkan sarapan buatmu. Lebih baik, sekarang Abang duduk menunggu di meja makan!"
Saat itu aku menurut saja. Sungguh aku betul-betul bahagia jika mempunyai istri sepertinya. Hmm… apakah Lisa yang di duniaku juga sama seperti dia? Ya, semoga saja begitu.
Beberapa menit kemudian, kami sudah makan bersama sambil berbincang-bincang perihal bulan madu kami. Saat itu aku ingin sekali mengajak berbulan madu di Bali. Namun karena aku ingat dia bukan istriku, aku pun merasa tidak berhak. "Lis bagaimana kalau kita lupakan sejenak masalah itu. Eng.. bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan," kataku berusaha keras untuk melawan pikiran sesat yang tiba-tiba saja menyerangku.
"Enggak ah, Bang. Lisa lebih suka di rumah. Lagi pula, kita kan pengantin baru, Bang. Kata Ibu, tidak baik bagi pengantin baru keluar jalan-jalan sebelum merasakan indahnya malam pertama yang sesungguhnya."
"Ma-malam pertama yang sesungguhnya? Ma-maksud kamu apa?"
"Ah, masa Abang pura-pura tidak tahu sih. Abang kan belum berhasil menyemai benih."
"Menyemai benih…? Lho untuk apa harus melakukan itu?"
"Bang… kalau Abang tidak menyemai benih, bagaimana mungkin kita bisa punya anak. Bukankah itu tujuan lainnya kita menikah, yaitu agar kita bisa segera dikarunia anak."
O, kini aku mengerti. Ternyata suaminya belumlah berhasil membelah duren. Ya, tidak salah lagi, pasti itu maksudnya dengan menyemai benih. Wah, payah juga si Bois di dunia ini, masa sih belum juga berhasil. Kalau begitu, biar aku saja yang melakukannya. Astagfirullah…! Pasti barusan itu lintasan pikiran setan lagi. Tidak, aku tidak boleh melakukan itu. Tapi ini kesempatan emas, rugi kalau disia-siakan. Wah, gawat. Setan terus saja berusaha memperdayaku. Hmm… bagaimana ini? Kasihan juga Lisa. Jika tidak diperlakukan sebagaimanamestinya, tentu dia bisa kecewa. Hmm… Sepertinya aku memang harus membahagiakannya. Tapi… Tidak, itu tidak mungkin. Biarpun maksudnya baik, tapi kalau melanggar ajaran Al-Quran tentu aku bisa berdosa.
"Bang… kok bengong sih?" Tanya Lisa membuyarkan pikiranku.
"Eh, i-iya nih… barusan aku sedang memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan."
"Mmm… Bagaimana kalau kita ke kamar lagi saja, Bang? Kita…"
"Tidak, tidak… Setelah aku pikir-pikir, sehabis sarapan yang enaknya itu minum kopi sambil baca koran. Ya tidak salah lagi, itulah yang akan kulakukan sekarang," kataku seraya beranjak bangun.
"Mau kemana, Bang?"
"Buat kopi."
"Jangan, Bang! Biar aku saja yang buatkan."
"Benarkah? Kalau begitu Makasih ya. O ya, nanti tolong antar ke teras ya!"
"Iya, Bang"
Ingin saat itu aku mengecup Lisa dan setelah itu baru melangkah pergi. Namun karena kutahu itu bisikan setan, lantas aku pun langsung mengambil koran dan bergegas ke teras. Saat itu, kulihat Tante Ida tampak sedang mengusuri tanaman hiasnya. Beliau tampak mengenakan busana kurung ungu bermotif bunga. Wah, rajin juga beliau, pikirku kagum. Dia itu sama seperti ibuku yang juga mencintai tanaman hias.
"Selamat pagi, Tante!" ucapku kepada Beliau.
"Wa’allaikum salam, Nak. Ngomong-ngomong, kenapa kamu masih saja memanggilku dengan sebutan Tante? Bukankah aku ini sudah jadi ibumu, panggillah aku dengan sebutan Ibu, biar terdengarnya lebih enak!"
"Iya, Tante. Eh, Bu?"
"Nah gitu dong. O ya, ngomong-ngomong pengantin baru kok jam segini sudah keluar kamar?"
"I ya Tante. Mau baca koran nih."
"Wah, ternyata kamu lebih suka baca koran ya?" tanya Tante Ida menyindir.
"Baca koran itu penting, Tante. Eh, Bu. Biar wawasanku bertambah."
"Ya, itu memang betul. O ya, ngomong-ngomong Lisa masih di kamar ya?"
"Tidak kok, Bu. Dia lagi membuatkan kopi untukku. Nah itu dia," kataku memberitahu.
Saat itu Lisa langsung meletakkan kopi di meja teras dan duduk menemaniku.
"Lis, kamu sudah buatkan sarapan untuk suamimu?" tanya Tante Ida kepada Lisa.
"Sudah kok, Bu. Malah tadi kami sudah sarapan sama-sama."
"O, baguslah kalau begitu. O ya, kamu tidak lagi ngapa-ngapain kan, Sayang…?"
"Tidak kok, Bu."
"Kalau begitu, sini bantu ibu mengurus tanaman!"
"I ya, Bu."
Hmm… Ternyata enak juga ya menikah. Ada yang mau membuatkan sarapan dengan penuh cinta, membuatkan kopi dengan penuh cinta, pikirku seraya menyeruput kopi yang dibuat oleh Lisa tadi. Hmm… betul-betul nikmat sekali kopi yang dibuat dengan cinta ini. Bukan cuma rasa kopinya, namun yang lebih nikmat adalah cinta yang melekat di kopi, terasa betul-betul membahagiakan. Sungguh beda banget rasanya kalau kubuat sendiri atau dibuatkan sama pembantu.
Sementara itu, Lisa tampak masih asyik bersama Ibunya mengurus tanaman, sedangkan aku masih asyik membaca koran. Dan setelah semua berita menarik aku baca, lantas aku pun menjadi bingung. Maklum, biasanya jam segini aku kan masih sibuk belajar di kelas. Hmm… enaknya ngapain ya? tanyaku seraya berpikir keras. "Kenapa tidak ajak Lisa saja ke kamar, kan enak tuh…" saran setan kembali menggodaku. Wedew, bisa gila jika terus-terusan begini. Sungguh keinginan untuk selalu berdua di kamar dengan Lisa terus saja mengganggu pikiranku. Sampai-sampai pikiranku semakin ngeres karenanya, dan semakin lama semakin membuatku berani menghayalkan Lisa yang tidak-tidak. Ah, tapi biarlah. Masih mending aku cuma menghayal, daripada aku berbuat hal yang sesungguhnya. Hmm… sebetulnya berdosa tidak ya kalau aku sampai melakukan hubungan intim dengan Lisa? Tanyaku pada diriku sendiri. "Tidak. Kamu tidak akan berdosa. Sebab jika kamus sampai melakukannya, itu bukanlah kesalahanmu, melainkan kesalahan team alam bawah sadar yang telah menyasarkanmu ke dunia ini," kata hati kecilku. Betul juga kata hatiku itu. Tapi, benarkah itu kata hatiku, jangan-jangan itu cuma bisikan setan. "Tidak apa-apa, percayalah…! Sebab, seandainya kamu tidak dikembalikan ke duniamu, tentu dia itu istrimu yang sah. Tidak mungkin kan kamu akan menikah dengannya di dunia ini dua kali, apa kata orang-orang nanti," kata hati kecilku lagi. Ya, itu memang betul. Bagaimana jika aku tidak dikembalikan. "Eh, Bois. Dari mana kamu tahu kalau kamu tidak akan dikembalikan?" tanya hati kecilku tiba-tiba. Wah, yang barusan bicara itu pastilah hati kecilku, sebab dia memang berkata jujur. Ya, dari mana aku bisa tahu. Kalau begitu, aku harus bisa bertahan sampai besok pagi. Mungkin besok pagi aku sudah dikembalikan lagi. "Nah, begitu dong. Bertahanlah, jangan dengarkan segala bisikan setan yang menyesatkan!" Ya, kau benar hatiku kecilku. Aku akan berusaha untuk menuruti segala nasihatmu. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin memotong rumput yang kulihat sudah agak panjang. Karena itulah aku pun segera beranjak bangun menghampiri Tante Ida.
"Bu, boleh aku memotong rumput yang sudah agak panjang itu?"
"Lho, kok pengantin baru malah mau motong rumput sih. Memangnya tidak ada lagi kegiatan yang lebih menyenangkan?" tanya Tante Ida lagi-lagi menyindir.
"Iya nih. Kayak tidak ada kegiatan lain saja yang lebih menyenangkan," komentar Lisa menimpali.
Aku paham betul apa maksud perkataan Lisa, tapi karena hal itu tidak memungkinkan terpaksa aku pura-pura tidak tahu. "Eng… sepertinya yang lebih menyenangkan itu justru memotong rumput, Bu. Ya… Itung-itung olah raga pagi," jawabku sekenanya.
Saat itu Lisa tampak melirik padaku, dari ekspresinya kutahu kalau dia agak kesal. Saat itu aku ingin tertawa, tapi kutahan lantaran takut dia malah akan bertanya-tanya. "O ya, Bu. Ngomong-ngomong, gunting rumputnya di mana ya?" tanyaku lagi.
"Ada di gudang belakang, Nak."
Mengetahui itu, aku pun segera mengambilnya, dan tak lama kemudian aku sudah sibuk dengan kegiatan yang menurutku bisa mengalihkan pikiran kotorku. Sesekali kulihat Lisa yang tampak memperhatikanku, mungkin saat itu dalam hatinya dia berkata kalau aku adalah pria bodoh yang tak mau memanfaatkan indahnya masa pengantin baru. Beberapa menit kemudian, Tante Ida pamit untuk masak. Pada saat itu Lisa ikut masuk ke dalam, namun entah kenapa kemudian dia sudah keluar lagi dan langsung membaca koran di kursi teras.
Lama juga Lisa duduk membaca di tempat itu, sesekali kulihat dia tampak memperhatikanku. Saat itu, di wajahnya terlukis kejenuhan yang membuatku merasa betul-betul kasihan. Tapi, aku berusaha untuk tidak mempedulikannya. Entah kenapa tiba-tiba kulihat Lisa masuk ke dalam, dan tak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawa tissue seraya menghampiriku.
"Bang, biar aku lap keringatnya ya," katanya seraya mengelap keringatku. Ternyata dia bukan hanya mengelap, namun membelaiku hingga jemarinya menyentuh tengkukku. Saat itu aku sempat merinding dibuatnya. Hmm… ini pasti pancingan, kataku berusaha untuk tidak terpengaruh. "Lis, tolong ambilkan aku minum air bening dong!" pintaku agar dia bisa cepat pergi meninggalkanku. Dan usahaku itu ternyata berhasil, dia itu memang seorang istri yang patuh pada suami. Ketika dia pergi, aku pun buru-buru mengelap keringatku sendiri, kemudian segera duduk di kursi teras untuk beristirahat.
"Ini, Bang. Air minumnya," kata Lisa seraya menyodorkan gelas minum yang dibawanya padaku.
Saat itu aku langsung menyambutnya, "Terima kasih ya," ucapku seraya meneguknya hingga tak tersisa.
"Mau kuambilkan lagi, Bang?"
"Tidak usah, terima kasih. Aku sudah tidak haus lagi kok."
"Bang, Abang capek kan? Aku pijitin ya!"
Walah, pijitin. Itu pasti cuma alasannya saja, padahal yang sebenarnya dia itu mau memancingku. "Terima kasih, Sayang... Aku tidak mau merepotkanmu."
"Tidak apa-apa, Bang. Bukankah seorang istri itu wajib melayani suaminya."
"Iya itu memang betul. Tapi, bukankah kamu sendiri juga lelah karena tadi Membantu Ibu."
"Tidak apa-apa, Bang. Percayalah."
Duh, aku betul-betul bingung mau cari alasan apalagi. Tapi untunglah, hari sudah menjelang siang dan tidak ada salahnya jika alasan kali ini adalah makan siang. Karena itulah, aku pun mengajak lisa makan bersama. Saat makan, aku sengaja makan dengan lambat hingga akhirnya kudengar di kejauhan azan Juhur berkumandang. "Alhamdulillah, sudah Juhur rupanya. Lis, aku pergi ke masjid dulu ya. O ya, mungkin aku akan kembali setelah sholat Isya nanti," pamitku seraya buru-buru berkemas dan langsung bergegas ke masjid.
Dan setibanya di tempat tujuan, aku sempat terkejut lantaran melihat masjid tampak sudah membludak. Sungguh Mengagumkan… ternyata dihari biasa pun masjid telah dipenuhi oleh jamaah sampai tak ada bedanya dengan sholat jumat.
Usai sholat aku tidak langsung pulang. Maklum, aku takut jika Lisa terus memancingku. Karena itulah, untuk menghabiskan waktu, aku pun berzikir dan tidur hingga ashar tiba. Dan aku baru pulang setelah sholat isya sesuai janjiku pada Lisa.
Setibanya di rumah, aku langsung disambut dengan hidangan makan malam yang begitu mengudang selera. Saat itu kami sekeluarga makan bersama dengan penuh kehangatan. Usai makan Lisa kembali mengajakku ke kamar, namun aku menolak dengan alasan mau nonton acara kerohanian di TV. Setelah acara kerohanian usai kulanjutkan dengan menonton DVD resepsi pernikahan kami. Ternyata acara resepsi itu berbeda dengan yang biasa kulihat di dunia 09, tamu laki-laki dan perempuan tampak terpisah sehingga tidak mungkin ada kesempatan untuk bersentuhan.
Lama aku berada di depan TV hingga akhirnya aku benar-benar mengantuk. Saat itulah Lisa menganjurkan aku untuk segera tidur. Sungguh saat itu aku tidak tahu lagi alasan yang tepat untuk menolaknya. Selain itu, aku pun tidak tega jika sampai membuatnya sedih. Karenanyalah, akhirnya aku terpaksa menuruti anjuran Lisa tadi. Wew, berada satu kamar bersama gadis yang kucintai betul-betul membuat jantungku berdebar-debar. Entah kenapa aku yang semula mengantuk akhirnya malah segar kembali. Apa mungkin itu karena keinginanku yang begitu menggebu-gebu lantaran ingin mencumbui Lisa. Karena itulah, aku pun berusaha mengendalikannya dengan mengajak Lisa bicara. "Eh, Lis. Kamu tau kenapa aku belum juga berhasil menyemai benih?"
"Ya, tentu saja tau. Itu Karena kamu sayang padaku. Terus terang, aku begitu bangga padamu yang telah begitu sabarnya sehingga tidak segera melampiaskan nafsumu yang kutahu sudah begitu memuncak. Dan bukankah hal itu juga dianjurkan, yaitu sabar untuk menyemai benih hingga hari ke tujuh, sebab selain bisa menggantung rasa penasaran kita, hal itu juga tidak terlalu menyiksa diriku."
Saat itu aku betul-betul tidak mengerti dengan ucapannya, yaitu kenapa dianjurkan hingga hari ke tujuh, kenapa tidak langsung saja. Ya, saat itu aku betul-betul penasaran karena memang belum pernah mengalaminya. Lama juga kami berbincang-bincang hingga akhirnya kulihat Lisa menguap tak kuat menahan kantuk. "Lis, kalau kamu sudah mengantuk tidurlah…!" saranku kepadanya. Tampaknya saat itu Lisa memang betul-betul sudah mengantuk, dan dia pun memilih untuk langsung tidur tanpa minta yang macam-macam.
Sungguh malam itu adalah malam yang begitu berat buatku, bagaimana mungkin aku mampu bertahan tidak menjamahnya hingga pagi hari. Berkali-kali kulirik Lisa yang tidur di sisiku, dan berkali-kali pula keinginan itu terus menggodaku, hingga akhirnya aku pun berniat untuk melakukannya. Sungguh kesempatan yang ada memang sulit untuk bisa menghalangiku. Sebab, saat itu aku betul-betul yakin dia tidak akan marah, dan aku yakin sekali dia justru akan bahagia. Aku sama sekali tidak takut jika dia sampai hamil, sebab hal itu memang wajar bagi orang yang sudah menikah. Ya, aku yakin sekali, tidak mungkin pula Lisa akan malu jika dia telah dihamili oleh suaminya sendiri. Karena itulah, aku pun siap untuk menjamahnya, menikmati malam pertama bersamanya, bersama gadis yang begitu kucintai. Persetan dengan perkara dosa, bukankah nanti aku bisa bertobat. Namun, belum sempat aku mendekap Lisa, Tiba-tiba @#%!*~!%# aku sudah tidak sadarkan diri. Dan ketika sadar, aku sempat terkejut lantaran sedang terbaring di rumah sakit. Kali ini bukan hanya kakiku yang digips, tapi juga kedua tanganku.
"Tante…! Bois sudah sadar!" tiba-tiba kudengar suara Lisa yang terdengar begitu kegirangan.
"Benarkah? Tanya ibuku yang saat itu langsung menghampiriku.
"Is, ini berapa?" tanya beliau sama seperti waktu itu.
"Itu dua, Bu," jawabku pasti.
"Kamu tahu siapa nama Ibu?"
"Tentu saja, Bu. Nama ibu Nur Hikmah kan?"
"Kamu tau kenapa kamu bisa berada di sini?"
"Tidak, Bu."
"Makanya lain kali jangan mabuk-mabukan. Eh Bois, kamu tuh masuk ke sini karena kecelakaan pada saat pulang dari pesta Valentine."
"Iya Bois. Kita mengalami kecelakaan sewaktu pulang pesta malam itu. Tapi untunglah kamu bisa selamat, dan aku pun tidak apa-apa. Tapi… tidak demikian halnya dengan si Rijal, saat itu dia langsung meninggal di tempat."
"Innalillahi…!" ucapku terkejut karena tidak menyangka temanku itu meninggal dengan cara yang demikian, sungguh mengenaskan. Saat itu aku langsung bersyukur karena Tuhan masih memberiku kesempatan. Hmm… mungkin Tuhan masih menyelamatkan aku karena mengetahui aku mabuk bukanlah karena kemauanku, namun karena dikerjai sama anak-anak. Hmm… kalau begitu, akan kugunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya."
Saat itu, seorang berjubah serba putih kembali datang menemuiku sambil geleng-geleng kepala, sepertinya beliau tampak begitu kecewa. "Nak Bois. Hampir saja kamu melakukan perbuatan Dosa. Kamu tidak sadar bagaimana jika suami Lisa yang sebenarnya tau kalau istrinya ternyata sudah tidak suci lagi, Hah? Bisa-bisa dia menceraikannya tahu. Dasar manusia ceroboh," kata orang tua itu memarahiku.
Saat itu aku hanya diam saja, dalam hati aku sempat menggerutu atas omelannya. Huh, siapa suruh aku disasarkan pada situasi yang sulit seperti itu. Aku kan sudah berusaha, dan ternyata usahaku gagal. Sebab, situasinya memang sulit kuhindari.
"Jadikan itu pelajaran buatmu, Bois!" anjur orang tua itu tiba-tiba. "Ingat! Jangan sekali-kali kamu tidur berdua dengan wanita yang bukan istrimu, sebab tanpa perlindungan Tuhan kamu tidak akan sanggup untuk menahannya. Ingat itu baik-baik, kamu tidak akan sanggup.
Al Israa' 32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Allah s.w.t telah mencatat bahwa bani Adam cenderung terhadap perbuatan zina. Keinginan tersebut tidak dapat dielakkan lagi, di mana dia akan melakukan zina mata dalam bentuk pandangan, zina mulut dalam bentuk penuturan, zina perasaan yaitu bercita-cita dan berkeinginan mendapatkannya manakala kemaluanlah yang menentukannya berlaku atau tidak"
Setelah orang tua itu puas berkata-kata, akhirnya dia pun menghilang dari pandangan. Benar apa yang dikatakannya tadi, hal itu memang sulit. Sebab, dimana ada kesempatan, disitulah setan akan membisikan hal menyesatkan. Dan dimana manusia sudah membuka peluang, maka setan akan semakin mengusainya. Karena itu, waspadah…! waspadalah…! Jangan sampai manusia mendekati Zina, sebab hal itu adalah peluang setan untuk menjerumuskannya.