E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Cinta Buta Sang Penulis Muda [ Bagian II ]

===================================================
CINTA BUTA SANG PENULIS MUDA
===================================================

Bagian II


Tut Nat Net Not Nat Net Not! Terdengar nada tuts pesawat telepon Boy yang sengaja ditekan saat menghubungi penerbit yang sudah hampir setahun ini belum juga mengabarinya. Maklumlah, kini Boy memang sudah lelah menunggu lantaran tersiksa di dalam ketidakpastian, ketidakpastian akan nasib naskah novel-nya yang selama ini telah menjadi tumpuan harapan. Harapan akan terpenuhinya kewajiban dia sebagai seorang hamba Allah, seorang hamba Allah yang mempunyai kewajiban menyampaikan kebenaran walaupun cuma satu ayat. Selama ini, dia sudah begitu sabar menunggu karena takut dikatakan tidak professional. Maklumlah, sebab dia cukup mengetahui kalau banyak penerbit yang tidak suka jika sering dihubungi oleh penulis. Karena itulah Boy jadi sabar menunggu. Namun kini, buah dari kesabarannya itu adalah kekecewaan yang amat sangat.
"Jadi, karya saya tidak memenuhi standard?" tanya Boy kepada bagian redaksi dengan nada kecewa."Jika memang demikian, kenapa saya tidak segera dihubungi?" tanya Boy lagi dengan agak sewot.
"Maaf, Mas. Saya karyawati baru sini. Saya tidak tahu mengenai naskah lama yang masuk."
Dalam hati, Boy langsung menggerutu, "Maaf-maaf… Maaf pala lu peyang. Emangnya lu gak pernah ngecek naskah yang udah ditolak apa?" Tak lama kemudian, pemuda itu sudah kembali berkata-kata, "Ya sudah, Mbak. Kalau begitu besok saya akan mengambil naskah itu."
"Maaf, Mas. Naskah yang sudah masuk tidak bisa diambil kembali, itu untuk arsip kami."
"Tapi, Mbak. Sebelumnya saya juga sudah pernah mengajukan naskah, dan ternyata boleh diambil tuh," jelas Boy perihal naskahnya yang pernah ditolak, saat itu dia sempat menunggu hampir enam bulan.
"Wah, Mas. Mengenai itu saya kurang tahu. Mungkin ini peraturan baru."
Mengetahui itu, lagi-lagi Boy langsung menggerutu. "Peraturan baru pala lu bau menyan. Dasar penerbit kagak professional, udah ngengantung gua hampir setahun, eh skarang naskah gua malah kaga dibalikin. Dasar… Ngakunya sih penerbit islami, tapi bertindak zolim kepada penulis pemula kayak gua." Lantas dengan perasan yang masih dongkol, pemuda itu sudah kembali berkata-kata, "Ya sudah kalau begitu. O ya, Mbak. Ngomong-ngomong, apa saya bisa mengirim naskah melalui email? Soalnya saya berniat memasukkan naskah baru saya," tanya Boy yang tidak mau kalau naskahnya akan diambil lagi.
"Naskah apa Mas?"
"Masih novel, mbak."
"Wah, sepertinya kalau novel…"
"Kalau novel kenapa, Mbak?"
"Eh, tidak jadi deh mas. Kalau Mas mau mengirim naskah lewat email, kirim saja ke zamzamku_novel@airzamzam.co,id."
"Mbak, memangnya perusahaan Mbak lagi tidak butuh novel ya?" tebak Boy.
"Sepertinya sih begitu. Tapi, tidak tahu juga ya, Mas. Soalnya kan bukan saya yang mengambil keputusan. Coba saja Mas kirim, barang kali saja karya Mas akan mendapat perhatian."
"Hmm… kalau begitu baiklah, Mbak. Dalam waktu dekat, naskah itu pasti sudah saya kirim. Sudah ya, Mbak. Terima kasih. Wassalam…"
Usai menelpon, Boy langsung termenung. "Hmm… sebaiknya gua emang harus ngirim naskah itu dalam bentuk email. Sebab kalo enggak begitu, gua gak mungkin sanggup," pikir Boy yang masih merasa berat dengan peraturan penerbit yang mengambil naskahnya.
Maklumlah, untuk mencetak naskah itu kan butuh biaya. Kalau diambil lagi, berarti dia harus mengeluarkan biaya lagi jika hendak mengajukan naskah yang sama ke penerbit lain. Sungguh… hal itu memang cukup memberatkannya. Maklumlah, dia itu kan cuma pengacara alias pengangguran banyak acara. Sedang orang tuanya juga bukan orang kaya yang bisa mensubsidinya setiap saat. Hampir setiap hari dia tidak pernah pegang uang, hanya kalau lagi ada proyek kecil-kecilan saja baru dia bisa punya uang. Dan itu juga tidak seberapa, paling hanya cukup untuk beli kertas satu rim plus tinta suntik satu kotak. Untung saja dia masih menumpang sama orang tua, jadi kebutuhan makan dan kebutuhan listrik untuk komputernya memang masih disubsidi.
Seandainya dia tidak berhenti sebagai operator warnet, mungkin saat ini kehidupan masih sedikit lebih baik. Tapi karena dia lebih mengutamakan keyakinannya, maka dia pun lebih memilih berhenti. Hal itu terjadi seiring dengan bertambah ilmu agamanya, yang mana membuatnya lebih bisa membedakan mana yang hak dan yang tidak. Dulu, ketika menjadi operator, dia sering sekali mencuri waktu untuk chatting dan browsing. Saat itu, tidak sedikit pelanggannya yang diabaikan karena dia lebih mementingkan urusan pribadinya. Hingga akhirnya, dia pun bisa membuang kelakuan buruk itu dan menjadikan dirinya sebagai operator warnet yang teladan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, dia pun semakin peka mengenai halal dan haram. Hingga pada suatu ketika, dia memutuskan untuk berhenti lantaran dia tidak mau terlibat dengan urusan dosa. Sebab, dia ingat betul dengan hukum sebab-akibat yang pernah dipelajarinya. Dosa seorang penanam anggur yang mengetahui anggurnya dibuat minuman keras, sama juga dengan dosa seorang pemabuk yang meminumnya. Siapa yang terlibat dengan urusan dosa pasti akan menerima dosa pula. Karena itulah, dia tidak mau terlibat di warnet itu lantaran pemiliknya sama sekali tidak melarang orang-orang yang mau berbuat dosa, melihat photo dan film porno misalnya.
Kini Boy memang sedang kesulitan dalam hal mencari pekerjaan tetap. Maklumlah, dia itu kan cuma lulusan SMA, yang mana kemampuan intelektualnya memang masih sangat rendah. Jadi, setiap perusahaan hanya mempercayainya untuk menjadi office boy, tidak lebih. Dan itu pun kebanyakan bukan karyawan tetap, tetapi karyawan kontrak yang rentan terhadap eksploitasi yang berlebihan. Dan ternyata, hal itu pun tidak mudah lantaran sedikitnya lowongan. Karena itulah, kini dia lebih memilih untuk hidup di kuadran kanan, yang mana jika dia tekun menjalaninya maka dia akan menjadi seorang pengusaha sukses yang mapan. Namun, ternyata hal itu tidak mudah juga. Dulu, dia pernah beberapa kali membuka usaha bersama temannya, dan dia mengalami kegagalan. Dulu, dia juga pernah bergabung dengan beberapa MLM, dan itu juga mengalami kegagalan. Kenapa hal itu bisa terjadi, sebab keyakinannya yang tidak mau terlibat dengan dosa-lah penyebabnya. Hampir sebagian besar sektor di kuadran kanan dan kiri terlibat dengan dosa, dan itu karena belum adanya penegakkan hukum yang ideal (islami). Dan akibatnya, banyak orang yang terpancing untuk menghalalkan berbagai cara. Karena itulah, kini Boy hanya mau bekerja jika pekerjaan itu halal dan berkah. Dan jika uang yang selama ini dikumpulkannya sedikit demi sedikit dari hasil kerja serabutannya itu sudah mencukupi, dia berniat akan segera menikah dan akan membuka sebuah warung kecil yang halal lagi berkah, demi untuk menghidupi anak istrinya kelak. Semula dia ingin menjadikan kegiatan penulis sebagai mata pencariannya, namun karena dia khawatir hal itu justru akan menodai tujuan utamanya, maka niat itu pun segera diurungkan. Masa cuma gara-gara uang dia harus mengalahkan idealismenya.
"Aduuh… gimana ya? Masa sih gua harus mengambil duit tabungan lagi, padahal kan itu buat masa depan gua. Padahal, belon tentu naskah gua bakal di terima. Kalo trus diambilin dan gak ada pemasukan, lama-lama bisa abis juga. Gak, gua gak boleh ngutak-atik tuh duit, kecuali itu emang buat urusan yang betul-betul mendesak. Pokoknya gua harus berusaha nyari dulu, kalo gak dapet, baru deh gua kepaksa ngorbanin tuh duit buat modal kawin and buat buka warung," pikir Boy yang lagi pusing memikirkan biaya untuk ke warnet. "Andai aja tuh penerbit gak pake ngambil naskah gua, mungkin skarang gua udah bisa ngajuin naskah baru yang udah gua cetak itu. Kalo aja gua tau bakalan begini jadinya, gua gak bakalan buru-buru nyetak tuh naskah. Biar duitnya bisa gua pake buat ke warnet."
Sungguh saat itu Boy sangat kecewa dengan penerbit yang dirasa telah menzoliminya. Namun anehnya, sudah dikecewakan begitu rupa, eh dia masih saja mau mengirimkan naskahnya kepada penerbit yang sama. Begitulah Boy, walaupun pada mulanya dia sempat berpikiran negatif, namun pada akhirnya dia bisa juga berpikiran positif. Karenanyalah, dia bertekad untuk tetap mengajukan naskahnya ke penerbit yang sama. Mungkin gua ini emang lagi sial aja kali, katanya ringan. Maklumlah, tujuannya utamanya menulis adalah untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang hamba Allah yang bertakwa. Jadi, bagaimanapun beratnya ujian yang diberikan Tuhan, dia harus terus berusaha sesuai dengan kemampuannya. Selama ini, dia sudah begitu banyak berbuat dosa. Dan ketika dia menyadari kalau dirinya telah diberi kesempatan, maka dia pun tidak mau menyia-nyiakan. Sebab, dengan menulislah kini dia bisa menjadi lebih baik, walaupun masih jauh dari sempurna. Sebab, menjadi orang baik itu memang membutuhkan proses. Tulisannya adalah tempatnya berkaca, dan tulisannya adalah nasihat untuknya. Dan jika tulisannya bisa dibaca orang, lantas orang itu menjadi lebih baik, maka itu adalah sebuah investasi. Karena itulah, mumpung dia masih diberi kesempatan, dan mumpung hayat masih di kandung badan, dia harus terus berjuang dan berjuang untuk bisa berinvestasi. Sebab, investasi itulah yang kelak bisa menyokong kehidupan akhiratnya agar menjadi lebih baik. Andai pun dia mendapat penghasilan dari hasil usaha menulisnya itu, maka hal itu akan dianggap sebagai bonus atas cita-citanya yang luhur.
Kini Boy tampak sedang memikirkan naskah lamanya yang pernah ditolak, yang kini masih berada di Bandung¾di rumah sahabat temannya yang juga seorang penulis. "Hmm… kenapa ya naskah gua belon juga dibalikin? Gile bener, padahal tuh naskah udah pengen banget gua ajuin ke penerbit. Payah juga tuh temen gua, katanya sahabatnya itu penulis yang bertanggung jawab, tapi kenapa sampe sekarang gua belon juga dikasih kabar. Ah masa bodolah, mo dibalikin kek, mo enggak kek. Pokoknya Gua gak peduli. Mo di kasih masukan kek, mo enggak kek, gua juga gak peduli. Mending skarang gua mikirin naskah gua yang baru ditolak. Hmm… kayaknya gua kudu ngerefisi lagi tuh naskah, mungkin ada bagian yang emang enggak memenuhi syarat. Andai aja tuh penerbit mau berbaik hati dengan ngasih gua masukan, mungkin gua bisa lebih gampang ngerefisinya. O iya ya, belon tentu naskah gua itu dibaca. Kalo gak dibaca, gimana mereka bisa kasih masukan. Ah, udalah… ngapain gua pusing-pusing mikirin hal kayak begitu. Mending gua cari tau sendiri, apa kira-kira yang membuat naskah gua itu ditolak."
Lantas, Boy pun segera menyalakan komputernya. Tak lama kemudian, dia sudah membaca naskahnya yang baru ditolak. Usai membaca, Boy tampak berpikir keras. "Hmm… kayaknya udah oke semua. Dan menurut temen-temen gua juga begitu. Tapi, kenapa masih di tolak juga ya? Wah, kayaknya gua perlu bantuan seorang penulis andal buat ngoreksi tuh naskah. Tapi… skarang kan gua gak punya kenalan penulis andal barang seorang pun. Wah, kayaknya gua bakalan ngeluarin biaya lagi buat ke warnet. Sebab, cuma dengan cara itulah gua bisa kenalan sama penulis andal."
Boy terus memikirkan bagaimana caranya agar naskahnya itu bisa diterbitkan. Sungguh saat ini dia sedang berpacu dengan waktu, di antara umur dan investasi akhiratnya yang tak pasti. Akankan dia sempat berinvestasi sebelum nyawa lepas dari raganya. Sungguh sebuah perjuangan yang tak mudah dan bisa saja membuatnya menjadi seorang pecundang yang menyerah kalah. Sementara itu di tempat berbeda, seorang gadis tampak sedang menulis di depan komputernya. Dialah Lala yang kini sedang asyik menulis mengenai perasaannya kepada Boy.
Andai dia tau… Anda dia dapat memahami… alangkah bahagianya aku. Tidak kupungkiri, aku memang mencintainya, dan aku pun sangat menyayanginya. Namun, aku tak kuasa… aku tak mempunyai keberanian… aku ini hanyalah makhluk lemah yang tak berdaya. Sungguh… Aku tak yakin bisa membahagiakannya, dan aku takut sekali jika sampai mengecewakannya. Walaupun sebetulnya nuraniku ini terus memohon, merintih, dan minta dikasihani agar aku mau berterus terang. Namun, aku tak mempedulikannya, aku tak menghiraukannya… Sebab, aku masih percaya kalau cinta tak harus memiliki. Namun, ketulusan mencintai itulah yang terpenting. Biarlah aku hidup menderita, biarlah aku tetap di dalam kesendirian yang menyiksa, asal kan dia bisa berbahagia bersama Indah¾sahabat sejatiku.
Beberapa hari yang lalu, Lala dan Indah telah bertemu. Saat itulah Indah menceritakan perihal pertemuannya dengan Boy. Dan betapa terkejutnya Lala ketika mengetahui kalau mereka telah mencintai pemuda yang sama.
"Gimana ni, La?" tanya Indah waktu itu.
"Selama ini kamu udah cukup menderita, In… dan aku gak mo kalo hal itu sampai menambah penderitaan kamu."
"Tapi kamu sendiri…"
"Udahlah, In…! Aku sanggup kok ngejananin hidup kayak begini. Lagi pula, bukankah kamu dah pernah bilang, kalo kamu tuh gak mungkin bisa hidup tanpa Boy."
Indah menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca, "Kamu emang sahabatku yang paling baik, La. "
"Udahlah, In…! Lagi pula, kamu itu emang pantes banget buat dia. Kamu tuh lebih cantik, dan kamu juga lebih sempurna ketimbang aku," kata Lala seraya tersenyum.
Melihat itu. Indah pun tersenyum, saat itu sebulir air matanya tampak meluncur di pipinya. "Terima kasih, La" ucapnya seraya memeluk Lala dengan erat. " Setelah melepaskan pelukannya, gadis itu pun kembali berkata-kata," Aku lega sekali, La. Kini aku masih punya kesempatan buat nyelamatin diri dari lelaki separuh baya yang mo ngelamar aku itu."
"Jadi… kamu tetep mau ngejadiin Boy sebagai pacar boongan."
Indah mengangguk. "Iya, La. Kayaknya emang cuma cara itu yang bisa aku lakuin. Selain aku bisa selamat dari lelaki beristri tiga itu, aku juga bisa ngasih perhatin ke Boy tanpa perlu khawatir dia bakal tau kalau sebenarnya aku tuh sangat mencintainya, dan besar kemungkinan dialah yang justru akan menyatakan cintanya padaku. Buktinya, dia sendiri yang bilang kalo suatu hari kelak dia mungkin saja bisa jatuh cinta padaku."
Lala tersenyum. "Tentu In. Dia pasti akan sangat mencintaimu."
Kedua cewek itu terus berbicara dari hati ke hati. Sementara itu, Boy sedang mempersiapakan naskah yang akan di kirimnya lewat email. Naskah utamanya yang terdiri dari biografi penulis, sinopsis, pengantar, dan 22 bab isi di satukan dalam satu file. Kemudian sebuah surat pengantar naskah untuk redaksi di tulis pada file terpisah, berisi tentang keunggulan naskah serta visi dan misinya. Kedua file itu kelak akan dijadikan attachment. Kini Boy sedang menulis surat pengantar pengajuan naskah yang juga menjelaskan mengenai isi kedua attachment tadi.



Kepada Yth.
Redaksi
Penerbit Air Zam Zam
Assalamu‘alaikum Wr. Wb.
Dengan hormat,
Mengetahui pihak penerbit juga bersedia menerbitkan cerita fiksi, maka penulis mempercayakan naskah yang berjudul KETIKA CINTA BERSEMI DI HAMPARAN BUNGA LAVENDER ini untuk dipertimbangkan kemungkinan penerbitannya.
Biografi penulis dan sinopsis terlampir pada naskah utama. Pengantar naskah berisi tantang keunggulan cerita berikut visi dan misinya.
Demikianlah yang bisa penulis sampaikan mengenai naskah cerita yang penulis ajukan ini, dan penulis sangat berharap pihak menerbit mau mempertimbangkannya. Sebelum dan sesudahnya penulis ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamu‘alaikum Wr. Wb.
Hormat saya,
BOY ISKANDAR
(Penulis)



Begitulah Boy, yang dulu pernah mengirim naskah secara to the point alias tidak menggunakan basa-basi kini telah menyadari bahwa pihak penerbit itu memang perlu dihargai. Maklumlah, mereka kesal dan tidak suka dengan penulis pemula yang to the point. Akibatnya, naskah milik penulis yang tidak menghargai penerbit akan langsung disingkirkan. Ngapain juga kami menghargai penulis seperti itu, toh dia juga tidak menghargai kami sebagai mitranya. Begitulah kata mereka.
Kini Boy sudah mematikan komputernya dan sedang memikirkan Lala. "La… kenapa sih lu gak segera jawab lamaran gua? Padahal kan, gua mo nikah sama lu bukan buat main-main, gua tuh serius banget kalo emang lu lah yang gua percaya bisa ngebahagiain gua. Sebab, gua percaya banget kalo lu bakal selalu ngingetin gua kalo ampe gua salah jalan, lu bakal selalu menghibur gua kala gua susah, dan lu juga bakal ngurus anak-anak gua dengan penuh kasih sayang. La… besok gua mau ke rumah lu. Soalnya gua butuh banget kepastian lu. Terserah lu mau ngejawab apa, yang penting gua udah berusaha. Kalo pun lu ngejawab ‘enggak’, itu artinya kita emang gak berjodoh. "
Boy terus memikirkan Lala, hingga akhirnya dia betul-betul yakin kalau dia memang harus mengambil sikap. Pada saat itu, di luar rumah terdengar suara brisik yang membuatnya buru-buru keluar rumah. Kini pemuda itu tampak sedang menyaksikan rombongan pengantin yang diiringi oleh tetabuhan halabu yang begitu meriah, penuh dengan nuansa keceriaan yang membuatnya betul-betul iri. Betapa bahagianya pengantin lelaki itu, yang tak lama lagi akan segera disandingkan dengan belahan jiwanya di atas singgasana cinta yang membahagiakan, pikir Boy seraya kembali ke kamarnya sambil terus membayangkan dirinya yang sedang diarak seperti itu.


Esok paginya di ufuk Timur, matahari mulai bercahaya menerangi jagad pertiwi tercinta. Bias sinarnya yang keemasan memancar menghidupi setiap mahluk ciptaan Tuhan. Burung-burung pun bernyanyi riang, menyambut kedatangannya yang penuh dengan keberkahan, juga penuh dengan makna cinta sejati. Cinta yang tanpa pamrih, yang dengan ketulusannya telah dipersembahkan untuk kesejahteraan umat manusia, dan juga demi ketakwaannya kepada sang Pencipta. Ia tidak pernah sekali-kali melawan, demi berjalannya sebuah roda kehidupan.

Di sebuah kamar yang bak kapal pecah, seorang pemuda tampak sedang menyisir rambutnya. Dialah Boy yang sedang berdandan dengan rapi karena hendak berkunjung ke rumah Lala. Setelah terlihat oke, pemuda itu pun segera bergegas pergi. Kini pemuda itu sudah tiba di tempat tujuan, dia sedang duduk berhadapan dengan seorang gadis yang mengenakan cadar. Mereka duduk di kursi teras yang empuk, dan di dalam suasana yang terasa sangat nyaman. Keduanya berbincang dengan penuh keseriusan sambil sesekali menikmati indahnya taman yang ada di sekitar mereka. Bunga hias warna-warni tumbuh dengan subur di atas pot-pot yang berjajar dengan rapi. Rerumputan pun tampak segar menghijau, menghampar hingga ke sudut taman. Beberapa pohon cemara dan palem merah yang ditanam dengan estetika keindahan sungguh memberikan kesejukan. Dan semakin lengkaplah keindahan taman itu dengan adanya air terjun kecil yang mengalir deras, dari tebing buatan menuju ke kolam kecil yang dipenuhi oleh ikan hias berwarna-warni.
"La…Kenapa skarang lu jadi berubah? Dari busana lu, sikap lu, semuanya udah berubah. Skarang lu udah pake cadar. Padahal, cadar itu kan menurut sebagian besar ulama enggak wajib. Dan yang paling bikin gua penasaran adalah sikap lu itu, yang udah gak seperti dulu. Emangnya ada apa sih La?"
"Ok, mengenai cadar akan aku jawab tuntas. Pertama, aku enggak mau pikiran para cowok jadi ngeres. Kayak kamu, Boy. Aku yakin pikiran kamu pasti suka ngeres setiap kali ngeliat kecantikanku. Selama ini kamu pasti sering ngebayangin aku, iya kan? Kedua, supaya aku enggak jadi cewek munafik. Sebenarnya aku suka bila cowok ngeliatin kecantikanku, tapi aku juga enggak mau bila mereka sampai menikmatinya. Terus terang, aku risih kalo ada cowok yang sampe begitu. Nah… Karena mengenakan cadar, aku ngerasa punya tameng yang bisa ngejaga aku dari kesombongan seperti itu. Dengan demikian keinginan suka diliatin itu bakalan ilang dengan sendirinya. Ketiga, sebagai bukti kepada orang yang aku cintai alias suamiku kelak, kalo kecantikanku cuma buat dia, bukan buat orang lain. Dan yang terpenting, semua itu adalah perintah Tuhan yang jelas-jelas emang harus aku taati. Karena sebagai seorang muslim, dari awal aku udah berikrar untuk mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir. Ikrar atau syahadat yang udah aku bawa sejak lahir itu punya konsekwensi besar dalam kehidupanku, yaitu bahwa aku enggak akan patuh dan enggak tunduk kepada siapa pun kecuali kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan mutlak ini mencakup ketaatan kepada Kalam Ilahi yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya. Nah, ketika Allah memerintahkan kepada kaum muslimat untuk berhijab dengan sempurna, seperti yang tertera pada surat An-Nur 31 dan Al-Ahzab 59.

Qs-An-Nur 31 . Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. 
QS-Al-Ahzab 59. Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal (sebagai wanita baik-baik), karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[1232]. Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada. 

Juga berdasarkan riwayat Bukhari dan Muslim. 
Diriwayatkan daripada Saidatina Aisyah r.a isteri Nabi s.a.w katanya: Apabila Rasulullah s.a.w ingin musafir, baginda biasanya mengadakan undian di kalangan isteri-isterinya. Undian tersebut dikeluarkan kepada isteri-isteri baginda. Sesiapa yang bernasib baik dialah yang akan keluar bersama Rasulullah s.a.w. Saidatina Aisyah berkata: Rasulullah s.a.w membuat undian di kalangan kami untuk memilih siapakah yang akan turut serta ke medan perang. Tanpa diduga setelah diundi akulah yang berjaya. Lalu aku keluar bersama Rasulullah s.a.w. (Peristiwa ini terjadi selepas turunnya ayat hijab). Aku dibawa dalam Haudaj (sebuah bilik kecil untuk perempuan yang diletakkan di atas unta). Dalam bilik itulah aku ditempatkan selama berada di sana. Setelah Rasulullah s.a.w selesai berperang, kami terus pulang. Kami berhenti rehat sejenak di suatu tempat yang berhampiran dengan Madinah. Ketika tiba waktu malam kami diminta supaya meneruskan perjalanan. Pada waktu yang sama aku bangkit dan berjalan jauh dari pasukan tentara. Usai membuang air besar aku kembali ke tempat kelengkapan perjalanan (tempat Haudaj berada, pent). Ketika aku menyentuh dadaku mencari kalung, ternyata kalungku yang diperbuat dari manik Zafar (berasal dari Zafar, Yaman) hilang. Aku kembali lagi ke tempat tadi mencari kalungku sehingga aku ditinggalkan dalam keadaan tersebut. Sementara itu beberapa orang lelaki yang ditugaskan membawaku mengangkat Haudaj ke atas unta yang aku tunggangi kemudian terus pulang. Mereka sangka aku masih berada di dalamnya. Saidatina Aisyah berkata: Wanita pada waktu itu semuanya ringan-ringan, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu gemuk karena mereka hanya memakan sedikit makanan menyebabkan para Sahabat tidak terasa berat ketika membawa serta mengangkat Haudaj. Apalagi aku pada waktu itu seorang gadis. Mereka membangkitkan unta dan terus berjalan. Setelah mereka bertolak aku menemukan kalung yang hilang tadi. Aku pergi ke tempat perhentian mereka semasa berperang, namun tidak seorang pun yang ada di sana. Lalu aku kembali ke tempat perhentianku dengan harapan mereka sadar telah kehilanganku dan kembali mencariku. Ketika berada di tempatku, aku terasa mengantuk dan terus tertidur. Kebetulan Safuan bin al-Muattal as-Sulami az-Zakwani telah ditinggal oleh pasukan tentara supaya berangkat pada awal malam hingga akhirnya dia sampai ke tempatku pada pagi tersebut. Dalam kesamaran dia melihat seorang manusia sedang tidur. Dia menghampiriku dan didapati aku yang tidur di situ. Dia mengenaliku karena pernah melihat aku sebelum hijab diwajibkan kepadaku. Aku tersadar oleh ucapannya "Innalillahi wainnailaii rojiun!" ketika dia mengetahui bahwa aku tidur di situ. Aku segera menutup wajahku dengan kain tudung. Demi Allah! Dia tidak bercakap dengan aku dan aku juga tidak mendengar kata-katanya walaupun sepatah selain ucapannya "Innalillahi wainnailaii rojiun!" sehinggalah dia meminta aku menunggang untanya. Tanpa membuang masa aku terima tawarannya dan terus naik dengan berpijak di tangannya, lalu kami pergi dalam keadaan dia menarik unta sehinggalah kami berjaya mendapatkan pasukan tentara yang sedang berhenti rehat karena panas terik.

Dalam riwayat itu jelas banget dikatakan kalau Istri Nabi menutup wajahnya, tentu istri Nabi berbuat kayak begitu karena ia telah disuruh oleh suaminya yang emang diperintahin sesuai dengan ayat hijab di atas. Sebetulnya masih ada hadits lain yang ngelukisin suasana kayak gitu, yaitu keadaan wanita pada zaman itu yang menutup wajahnya. Karena itu, di sinilah ikrar taat dan patuh tadi diuji. Apakah muslimah akan taat waktu diperintahin berhijab, atau malah ogah dan menolak. Kalau taat, kamu pasti bisa menebak, dia akan mendapatkan pahala, dan kalo menolak tentunya kamu juga bisa nyimpulin, dia pasti akan berdosa karena enggak taat kepada perintah Allah. Perlu kamu ketahui juga, Boy. Pendapat ulama mayoritas enggak melulu bisa dijadiin acuan yang hak, tapi Al-Quran dan Sunahlah yang paling hak buat dijadiin acuan. Apa gunanya kita dikasih akal kalo gak mo dipake.
Sesungguhnya ayat-ayat Al-Quran pun bilang bahwa tujuan diwahyukannya Al-Quran adalah buat mengajak manusia supaya mo berpikir dan merenung. Contohnya, dalam surat Ibrahim ayat 52 Allah menyatakan: (Al-Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Illah Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.
Dalam Al-Quran Allah mengajak manusia supaya gak ngikutin secara buta pada kepercayaan dan norma-norma yang diajarin masyarakat. Akan tetapi memikirkannya dengan terlebih dulu menghilangkan segala prasangka, hal-hal yang tabu dan yang mengikat pikiran mereka. Gimana, Boy… Jelaskan?" tanya Lala setelah penjelasannya yang panjang lebar itu.
"Gau tau, La. Pala gua pusing," jawab Boy sekenanya.
"O ya, mengenai sikapku yang jadi berubah, itu karena kamu udah ngelamar aku," jelas Lala melanjutkan. "Terus terang, kamu itu bukanlah pemuda yang cocok buatku. Cintamu kepadaku adalah cinta buta, kamu mencintaiku bukan karena kepribadianku, namun karena kecantikan lahirku. Seandainya dulu aku enggak menampakkan perhiasanku ini, mungkin kamu enggak bakal tertarik padaku? Iya kan?" jelas Lala panjang lebar.
"Lu benar, La. Gua emang cinta sama lu karena lu itu cantik. Tapi bukan itu aja, gua juga suka ama lu karena kepribadian lu."
"Boy… seandainya kecantikan ini lenyap, apakah kamu masih tetap mencintaiku?"
Sejenak Boy terdiam. "Itu pertanyaan yang susah, La. Elo tau kan, gua ini laki-laki. Gua bukan cewek yang bisa mencintai orang gak pake ngeliat fisiknya. Bagi gua, fisik itu penting. Kenapa? Sebab, emang hal kayak begitu yang bisa bikin gua nafsu, dan dengan begitulah naluri lelaki gua akan bekerja dengan maksimal. Dan akhirnya gua bakalan bisa punya anak. La… cowok ngeliat fisik seorang cewek itu sangat relatif. Seperti temen gua yang cinta mati sama ceweknya, padahal kalo gua liat tuh cewek jelek banget. Namun karena dia suka, ya gak jadi masalah. Masalahnya disini adalah, suka apa enggak. Seandainya kecantikan lu lenyap, lantas gua suka ya gak masalah, namun kalo enggak masa sih gua harus maksain diri. Nikahilah wanita yang menarik hatimu, begitulah kata orang bijak."
"Itu artinya, suatu hari kelak kamu bisa mencampakkan aku?"
Boy tersentak. "Gak begitu, La. Kalo lu emang udah jadi istri gua, gua gak akan seperti itu. Paling..." Boy tidak melanjutkan kata-katanya.
"Paling kamu akan kawin lagi kan?" tebak Lala.
"Kok lu negative thinking begitu sih, La? Maksud gua tuh, paling gua cuma bisa pasrah."
"Betul begitu?"
"Eng… gak tau juga deh. Gua ini kan cuma manusia, La. Gua gak tau apa yang bakal terjadi nanti, dan seandainya hal itu emang betul-betul terjadi, gua juga gak tau keputusan apa yang bakal gua ambil. Lagian, ngapain sih ngomongin hal kayak begitu. Sesuatu yang belon jelas sama sekali. Ya udah deh, kalo lu emang eggak mau, gua juga gak bakal maksa. Percuma kita terus berdebat, capek gua."
"Boy… kamu marah ya?"
"Gak, buat apa gua marah. Gua ini kan udah dewasa, La. Ngapain juga gua marah sama lu. Apa dengan begitu, lu bakalan mau jadi istri gua? Gak juga kan?"
"Boy… maafkan aku ya! Sebetulnya…" Lala menggantung kalimatnya.
Saat itu Boy cuma diam, kepalanya tampak tertunduk berusaha sabar menunggu.
"Boy… Sebetulnya aku tuh gak pantes menikah dengan kamu. Bukankah kamu udah baca naskahku? Kalau seorang pezina itu pantasnya menikah dengan pezina pula."
Boy tersentak, saat itu dia langsung teringat dengan masa lalunya yang kelam. "Iya, La… Kini gua sadar, kalo gua emang gak pantes buat lu. Gua ini emang udah gak suci lagi. Gua ini emang masih banyak dosa, dan gua emang belon mampu menjadi orang yang ikhsan. Tapi… gua mau berubah, gua mau jadi seperti itu, La. Karenanyalah gua mo nikah sama lu. Sebab gua percaya, lu pasti bisa bantu gua buat ngewujudin cita-cita itu."
Mengetahui itu, tiba-tiba saja air mata Lala berderai, sungguh saat itu dia tidak mampu lagi untuk membendung kesedihannya. Lama juga gadis itu larut dalam duka, hingga akhirnya dia kembali berkata-kata, "Maaf kan aku, Boy…! Se-seandainya…" Lala tidak mampu melanjutkan kata-katanya, saat itu hanya bisa menangis dan menangis, bahkan derai air matanya pun kian bertambah deras saja.
Kini keduanya terdiam, tak sepatah kata pun terucap, hanya ada berbagai perasaan yang tak mengenakan di dalam lubuk hati masing-masing, juga beban pikiran yang terus mendera.


Malam harinya, Boy tampak sedang memikirkan pertemuannya Dengan Lala. "Gile bener tuh cewek, udah bikin gua mati kutu. Heran… dari mana dia tau kalo gua udah gak suci lagi. Siapa ya yang udah ngebocorin rahasia gua. Apa mungkin si Haris sahabat gua yang juga kenal sama Lala, bukankah dia emang lagi marahan sama gua. Ya udalah, gua ini emang gak pantes kok buat Lala. Kini Lala kan emang udah jadi cewek shalihah. Padahal, dulu dia itu keliatan seksi banget. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya dia bisa juga nutupin keindahan body-nya. Dan siang tadi dia malah udah nutupin mukanya yang bikin gua gak bisa ngeliat kecantikannya lagi.
Heran… blajar di mana ya dia, kok bisa jadi berubah total kayak gitu? Sungguh gak lazim banget buat cewek di negeri ini. Andai aja ilmu agama gua tinggi, gua mungkin bisa ngebantah apa yang dia bilang. Tapi dasar, gua ini emang oon. Jadi, gua percaya aja sama yang dia bilang. Tapi kalo dipikir-pikir, emang bener juga sih apa yang dia bilang. Selama ini gua emang sering ngeres kalo ngeliat mukanya yang caem itu. Habis… gua kan belon kawin, dan hal kayak begitu emang susah banget buat gua ngindarin. Di saat libido gua lagi meledak-ledak, di saat hasrat biologis gua lagi bak genderang mo perang, puasa senin-kemis sama sekali gak mampu buat ngeredain nafsu gua, malah makin tambah parah. Kayaknya masih lebih efektif mencari kesibukan yang manfaat di rumah, nulis sesuatu yang positif, baca buku yang positif, atau apalah yang bisa ngalihin pikiran gua plus mengurangi interaksi sama perempuan. Ya… namanya juga puasanya orang awam, yang cuma mampu nahan lapar sama haus doang, gak seperti puasanya orang suci, yang udah mampu ngendaliin nafsunya dengan baik. Soalnya makan waktu yang gak sebentar buat bisa puasa setingkat itu, sedang diluar sana, godaan makin banyak aja. Ini emang dilema. Dan jalan satu-satunya jalan yang paling baik buat gua, ya gua emang kudu cepet kawin. Biar kalo libido gua lagi meledak-ledak, tentu gua bisa nyalurin dengan cara yang benar. Tapi kini gua gak tau kudu gimana lagi, kesempatan gua buat kawin skarang ini kayaknya udah kandas.
Mo taaruf pun kayaknya juga susah banget, mesti beginilah, mesti begitulah. Wah, repot. Gua kan susah banget buat berubah total kayak begitu. Salah satunya, masa gua disuruh berenti ngerokok dulu sama guru ngaji gua. Emangnya gampang apa. Gua bisa stress kalo sehari aja kagak ngerokok. Ya, namanya juga orang masih lemah iman, pokoknya susah banget buat ngilangin kebiasaan itu. Bagi gue, rokok itu udah jadi kebutuhan. Lagian, gua ini kan korban kebijakan pemerintah, yang gak mampu ngelindungin gua yang sejak SD udah gampang banget beli rokok. Saat itu kan gua masih anak-anak, mana bisa mikir kalo akibatnya bakal susah berenti kayak gini. Seandainya dulu gua udah bisa mikir, gak bakalan gua mau ngerokok. Andai aja ada cewek yang mo ngasih kesempatan mo dijadiin istri gua, trus dengan penuh kasih sayang, dan dengan penuh kesabaran, juga dengan kepedulian sejatinya mo kasih support ke gua supaya berenti ngerokok. Gua yakin, suatu saat gua pasti bakalan berenti."
Kini Boy sedang memikirkan isi cerita naskah Lala, yang kini membuatnya semakin tidak percaya diri. "Hmm… Masa sih gua harus tobat dengan cara ekstrim begitu, yang mana kalo gua gak mau ngejalanin hukuman itu, gua ini masih dianggap seorang pezina yang gak layak nikah sama cewek baik-baik seperti Lala. Hmm… gimana ya? Masa sih gua kudu kawin sama Indah yang seksi itu, yang kini belon jadi cewek shalihah. Tapi… sendainya dia udah jadi cewek shalihah, dia tentu pantes banget jadi istri gua. Bukankah dia itu dah gak suci lagi, sama kayak gua. Ups…! Kenapa ya gua selalu kepikiran kalo Indah itu udah gak suci lagi? Apa mungkin gua udah terpengaruh oleh ceritanya si Lala, yang selama ini gua kira telah terinspirasi dari kisah nyatanya si Indah."
Kini Boy kembali memikirkan dirinya yang sudah tidak suci lagi, bahkan dia sempat merenungi kembali Ayat dan hadits yang pernah dibacanya pada cerita Lala yang berjudul Digantung sang Belahan Jiwa. Dan untuk lebih jelasnya, dia pun segera membuka kembali naskah yang masih bercokol di komputernya itu.
Qs-An Nur 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. 

Qs-An Nur 3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin[1028].
[1028]. Maksud ayat ini ialah: tidak pantas orang yang beriman dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya. 

Riwayat Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a dan Zaid bin Khalid al-Juhani r.a kedua-duanya berkata: Sesungguhnya seorang lelaki dari kabilah al-A'rab datang kepada Rasulullah s.a.w dan berkata: Wahai Rasulullah! Aku datang kepadamu supaya kamu memutuskan hukuman ke atasku berpandukan kitab Allah. Kemudian berkata pula seorang yang lain (yang menjadi lawannya) dia itu lebih banyak ilmu darinya. Baiklah, hukumlah antara kami berdasarkan Kitab Allah, wahai Rasulullah! Sekarang izinkanlah aku untuk menjelaskannya kepadamu. Rasulullah s.a.w bersabda: Katakanlah. Dia pun bercerita: Sesungguhnya anakku telah menjadi pelayan orang ini, Suatu hari anakku telah melakukan zina dengan isterinya. Aku mendapat khabar bahwa anakku itu mesti dihukum rajam. Aku akan menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang hamba perempuan. Ketika hal itu aku tanyakan kepada salah seorang yang alim, aku diberitahu bahwa anakku itu hanya dikenakan hukuman sebanyak seratus kali rotan dan diasingkan selama setahun dan isteri orang inilah yang mesti dihukum rajam. Mendengar penjelasan itu, Rasulullah s.a.w lalu bersabda: Demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, sesungguhnya aku akan memutuskan hukuman ke atas kamu berpandukan kitab Allah (al-Quran). Seratus ekor kambing dan hamba perempuan tadi harus dikembalikan dan anakmu mesti dihukum rotan sebanyak seratus kali sebatan serta diasingkan selama setahun. Sekarang pergilah kepada isteri orang ini, wahai Unais! Jika dia mengaku, maka jatuhkanlah hukuman rajam ke atasnya. Maka Unais pun datang menemui wanita tersebut dan ternyata dia mengakui atas perbuatannya itu. Maka sesuai dengan perintah dari Rasulullah s.a.w maka wanita itupun dijatuhkan hukuman rajam
Riwayat Bukhari dan Muslim. Diriwayatkan daripada Saidina Umar bin al-Khattab r.a katanya: Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad s.a.w dengan kebenaran dan telah menurunkan kepada baginda kitab al-Quran. Di antara yang diturunkan kepada baginda ialah ayat yang menyentuh tentang hukuman rajam. Kami selalu membaca, menjaga dan memikirkan ayat tersebut. Rasulullah s.a.w telah melaksanakan hukuman rajam tersebut dan selepas baginda, kami pun melaksanakan juga hukuman itu. Pada akhir zaman aku merasa takut, akan ada orang yang akan mengatakan: Kami tidak menemukan hukuman rajam dalam kitab Allah iaitu al-Quran sehingga mereka akan menjadi sesat karena mereka meninggalkan salah satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Sesungguhnya hukuman rajam yang terdapat dalam kitab Allah itu mesti dilaksanakan ke atas pezina yang pernah menikah, baik lelaki ataupun perempuan apabila terdapatnya bukti yang nyata, baik dia telah hamil ataupun dengan pengakuan darinya sendiri.

Usai merenungi semua itu. Kini Boy tertunduk lesu. "Duhai Allah, haruskah aku menjalani hukuman itu? Hukuman yang mungkin tidak sanggup aku jalani. Dan jika aku tidak mau menjalaninya, benarkah tak sempurna tobatku selama ini? Jika itu benar, berarti… mau tidak mau aku memang harus menjalaninya. Tapi bagaimana caranya agak aku bisa menjalani hukuman itu, sedang di kampung halamanku tidak ada satu pun institusi yang merasa berhak untuk itu? Andaipun ada yang bersedia, mereka tentu akan dituntut dengan tuduhan penganiayaan, walapun itu dilakukan karena kamauanku sendiri. Seperti yang pernah terjadi pada sebuah laskar yang anggota minta dirajam lantaran telah berbuat zina. Duhai Allah, aku betul-betul resah dan gelisah. Adakah hal lain yang bisa menentramkan hatiku, selain dari menjalani hukuman itu?"
Boy menangis, sungguh dia tidak tahu bagaimana caranya agar dia bisa melaksanakan hukuman 100 kali sebat dan diasingkan selama setahun itu. Dan sanggupkah ia melaksanakannya, sedang saat itu setan terus mengomporinya agar segera melupakan perkara itu. Ngapain juga kamu minta dihukum. Lihatlah, banyak dari mereka yang berzina tapi tidak melaksanakannya, dan para ulama pun tidak terlalu mempersoalkannya. Tobatmu itu sudah lebih dari cukup, dan yang terpenting kini kau sudah tidak mengulanginya lagi. Benarkah begitu? Tanya Boy ragu.
Pada saat yang sama, Boy mendengar suara jam yang berdentang dua belas kali. Pada saat itulah lagi-lagi dia melihat bayangan putih yang berkelebat. "Kurang ajar, kenapa sih tuh bayangan putih lewat melulu," lantas dengan kesal pemuda itu segera ke luar rumah dan melangkah mendekati pohon belimbing yang ada disamping kamarnya.
"Oi, keluar lu. Tunjukin tampang lu. Skarang gua dah gak takut lagi sama lu, gua cuma takut sama Allah. Denger ya makhuk keparat, kalo sampe lu ganggu gua lagi, gua akan bakar lu jadi abu!" teriak Boy mengancam.
Kini Boy tampak menunggu reaksi atas ancamannya barusan. Saat itu suasana terasa betul-betul hening, dan sayup-sayup terasa hembusan angin malam yang menerpa wajah Boy. Karena tak ada reaksi, akhirnya Boy segera kembali ke kamar. Kini pemuda itu sudah merebahkan diri dan sedang memikirkan Indah.