==================================================
Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.
==================================================
Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336
==================================================
Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336
==================================================
SATU
Benih Cinta
Tin! Tin! Tin! Suara klakson bersautan di tengah macetnya jalan yang melintasi pasar, angin sepoi-sepoi pun terus bertiup dibawah naungan senja yang teduh. Saat itu seorang gadis tampak melangkah—menyusuri ramainya jalan yang melintasi area pertokoan. Gadis itu tampak anggun, melangkah dengan gaya bak seorang model di atas catwalk—memperagakan u can see putih, berpadu jeans biru ketat yang sangat serasi dan begitu pas melekat di tubuhnya yang aduhai. Rambutnya pun tampak bagus—panjang sebahu dan dibiarkan tergerai. Sesekali gadis itu tersenyum, teringat akan kenangan manis yang begitu indah. Kini gadis itu sedang menaiki sebuah angkot yang akan mengantarnya menemui seorang teman lama. Maklumlah, sudah hampir setahun ini dia tak menjumpainya, dan semua itu dikarenakan kesibukannya yang membosankan, bahkan seringkali membuatnya marah, sedih, dan tentu saja kesepian. Apa lagi kalau bukan rutinitasnya sehari-hari yang bercampur dengan perkara cinta yang tak kunjung ada kepastian.
Di dalam perjalanan, mata gadis itu sempat menangkap kemesraan yang ditunjukkan oleh sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Sungguh tampak membahagiakan dan membuatnya betul-betul iri, bahkan di benaknya terbayang sudah bagaimana bahagianya jika dia yang dipeluk, dicium, dan dibelai oleh sang Pujaan Hati. Lama gadis itu larut dalam angan yang membuai hingga akhirnya dia tiba di tempat tujuan. Kini gadis itu tampak turun dari angkot dan langsung melangkah menuju rumah temannya. Ketika melintasi sebuah warung, tiba-tiba "Angel!" seru seorang pemuda memanggilnya.
Seketika gadis itu menoleh, bersamaan dengan itu senyumnya pun mengembang, memperlihatkan gigi putihnya yang bagaikan untaian mutiara. "Raka!" pekiknya gembira seraya buru-buru menghampiri pemuda yang dilihatnya tampak begitu santai, duduk di depan warung yang lumayan sepi. "Apa kabar?" tanya Angel seraya menjabat tangan pemuda itu.
"Baik?" jawab Raka singkat. “Eng… kau sendiri bagaimana?” Raka balik bertanya.
"Masih sama seperti dulu, Kak. Bete…”
“Kau itu, masih saja tidak berubah. Eng... Kau datang ke sini betul-betul mau belajar komputer kan?” tanya Raka kemudian.
“Iya, Kak. Belakangan ini aku memang sedang kursus komputer, dan masih ada pelajaran yang belum aku mengerti. Maklumlah, gurunya terkadang memang kurang jelas saat memberi pelajaran.” jawab Angel.
“Eng… Kalau begitu, yuk langsung ke kamarku!" ajak Raka kemudian.
“Ka-Kamar!” ucap Angel terbata, seketika itu ingatannya langsung tertuju ke masa lalu--dimana di kamar itu dia pernah dibuat menangis.
“Ayo, An! Apa yang kau tunggu?” tanya Raka membuyarkan ingatan Angel.
“I-iya, Kak.!”
Lantas kedua muda-mudi itu segera melangkah ke kamar yang dimaksud, dan tak lama kemudian keduanya sudah tiba di tempat tujuan. Sejenak Angel memperhatikan sekekeliling ruangan, dilihatnya tempat tidur Raka yang senantiasa bersih, juga berbagai pernak-pernik hiasan yang indah dan tidak banyak berubah. Di atas sebuah meja belajar, dilihatnya sebingkai foto yang tampak kosong. Lama juga angel memperhatikan bingkai foto yang kosong itu, hingga akhirnya Raka pun ikut memperhatikan bingkai foto itu seraya berkata. “Tahukah kau? Hingga saat kini aku belum menemukan gadis yang pantas mengisi bingkai itu?” kata pemuda itu seraya duduk ditepian tempat tidurnya.
“Eng… Sa-sabarlah Kak! Aku yakin, suatu hari nanti Kakak pasti akan menemukannya,” ucap Angel terbata.
“Entahlah… Aku tidak terlalu yakin. Eng… Biarlah waktu yang akan menjawabnya. O ya, bagaimana kalau kita mulai belajarnya sekarang!” ajak Raka kemudian.
“Yuk, Kak.” Timpal Angel seraya duduk didepan komputer.
Bersamaan dengan itu, Raka pun segera duduk disebelahnya dan langsung terlibat didalam aktifitas belajar mengajar. Namun, belum juga lima belas menit berlalu, tiba-tiba "Kak, sudah dulu ya belajarnya! Kepalaku mulai pusing nih. Eng… Bagaimana kalau sekarang kita ngobrol saja!" ajak Angel kepada Raka.
"Lha...?" ucap Raka heran seraya mengerutkan keningnya, kemudian dia pun cengar-cengir merasa lucu sendiri. Sungguh pemuda itu tidak tahu kalau tujuan Angel yang sebenarnya adalah bukan mau belajar, melainkan mau curhat mengenai cinta sejatinya.
Tak lama kemudian, keduanya sudah larut di dalam perbincangan yang begitu hangat, hingga akhirnya. "Kak, baca deh ceritaku ini! Terus terang, aku mau tahu pendapat Kakak," pinta Angel seraya memperlihatkan kisah nyatanya yang ditulis dengan sepenuh hati.
"Wah, maaf ya, An! Terus terang, aku tidak punya waktu. Maklumlah, cerita temanku saja belum sempat kubaca," tolak Raka.
Saat itu Angel langsung kecewa, sungguh apa yang diharapkan mengenai kisah nyatanya sama sekali tidak terwujud. Namun kekecewaan itu tak berlangsung lama, kini dia justru tertarik dengan cerita yang dikatakan Raka tadi. "Eng... Ngomong-ngomong, cerita temanmu itu tentang apa, Kak?" tanya Angel penasaran seraya menutup buku catatannya.
"Mana aku tahu, aku kan belum sempat membacanya. Tapi, sepertinya sih tentang cinta," jelas Raka sambil memperhatikan Angel yang kini tampak tertunduk dengan jemari yang menepuk-nepuk buku catatannya.
"Eng, kisah nyata bukan?" tanya Angel lagi seraya memandang Raka dengan pandangan yang membuat pemuda itu langsung teringat kembali akan kenangan indah yang pernah mereka alami.
"Mmm… Mungkin juga. Kalau begitu, sebentar ya!" pinta Raka seraya beranjak mengambilkan naskah temannya dan memberikannya pada Angel. "Nih, kau lihat saja sendiri!" pinta pemuda itu kemudian.
Angel pun segera menanggapi naskah itu dan melihat bentuk fisiknya. "Hmm... Tebal juga," katanya dalam hati seraya membaca judul yang ada di cover muka. "Hmm... Demi Cinta Sejati, apa maksudnya ya?" tanya Angel dalam hati seraya memperhatikan gambar sepasang muda-mudi yang tampak menghiasi cover, keduanya tampak begitu mesra—berbaring di tempat tidur. "Hmm... Cover ini bagus juga," pujinya dalam hati seraya membaca nama penulisnya. "Hmm... Namanya Bobby. Eng... Ganteng tidak ya orangnya?" tanya Angel lagi dalam hati seraya mulai membaca sinopsisnya.
Tak lama kemudian, "Bagaimana, An?" tanya Raka tiba-tiba.
"Sekilas, cerita ini tampak menarik Kak," kata gadis itu mengomentari
"Eng... Apa kau mau membacanya?" tanya Raka serius.
"Kalau boleh sih, tentu saja mau," jawab Angel tak kalah serius.
"Baiklah… Kalau begitu, biar kau saja yang membacanya!" kata Raka setuju.
"Benar nih?" tanya Angel hampir tak mempercayainya. "Eng... Ngomong-ngomong, Kak Bobby mengizinkan tidak?" tanyanya kemudian.
"Dia pasti mengizinkan. Sebab, sebelumnya dia pernah bilang kalau siapa saja boleh membacanya."
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, siapa yang membuat cover cerita ini?" tanya Angel lagi seraya kembali memperhatikan cover yang menarik hatinya.
"Ya, dia sendiri," jawab Raka singkat.
Seketika Angel terdiam, "Hmm... Bagaimana ya jika cover ceritaku dibuat sebagus ini?" tanya gadis itu dalam hati seraya membayangkan cover ceritanya yang tampak bagus. "O ya, Kak. Ngomong-ngomong, mau tidak ya dia membuatkan cover untuk ceritaku ini?" tanyanya kemudian.
"Wah, aku juga tidak tahu. Eng… Bagaimana kalau kau tanyakan saja langsung pada orangnya! Hmm... Bagaimana kalau sekarang kita ke rumahnya, sekalian berkenalan dengan dia?"
"Eng... Oke deh. Tapi, sekalian antar aku pulang ya!"
"Beres, Non. Ayo…!" ajak Raka seraya melangkah menuju ke sepeda motornya.
Tak lama kemudian, keduanya sudah berangkat menuju ke rumah Bobby. Sementara itu di sebuah kamar yang agak berantakan, seorang pemuda baru saja mengenakan pakaian seadanya. Maklumlah, dia itu baru saja mandi dan memang tidak berniat ke mana-mana. Kini pemuda itu sudah di depan TV sambil menikmati segelas teh manis dan sepiring roti sumbu. Saat itu dia tampak begitu santai, menikmati kesendiriannya yang tengah asyik berhayal menjadi tokoh utama di dalam kisah Butterfly Effect yang disaksikannya.
"Assalamu’alaikum!" ucap seseorang di luar rumah tiba-tiba.
Mendengar itu, Bobby segera mengintip lewat jendela, "O... Si Raka. Mau apa ya dia datang malam-malam begini?" tanya pemuda itu seraya melangkah menemuinya.
Tak lama kemudian, Bobby sudah bertatap muka dengan Raka, bersamaan dengan itu dia pun langsung diperkenalkan dengan Angel¬¬—seorang gadis yang entah kenapa tiba-tiba membuatnya jadi salah tingkah. Apa mungkin karena dia itu seorang jomblo yang baru saja menemukan belahan jiwanya. Pada saat yang sama, Angel tampak sedang memikirkan pemuda itu. "Hmm... Ternyata dia memang pemuda yang tampan."
"Yuk, masuk!" ajak Bobby tiba-tiba membuyarkan pikiran Angel.
Lantas dengan agak terkejut, Angel pun segera merespon, "Bi-biar di sini saja, Kak," ucapnya terbata.
"Ayolah, jangan malu-malu! Anggap saja rumah sendiri," ajak Bobby lagi.
"Iya, An. Yuk, masuk!" ajak Raka menimpali.
Lantas dengan malu-malu, akhirnya Angel mau juga melangkah masuk dan duduk di kursi teras. Kini Bobby dan Angel sudah duduk berdampingan. Pada saat yang sama, Raka langsung ke ruang tengah guna menemui adik Bobby yang kebetulan baru pulang dari luar negeri. Maklumlah, Raka memang sudah lama tidak bertemu dan mau mengetahui kabarnya, juga sekalian mau minta oleh-oleh.
Karena ditinggal berdua, Bobby pun semakin salah tingkah. Saat itu, berbagai hal yang berkenaan dengan Angel seketika kembali terlintas di benaknya, "Aduh... Kenapa dengan diriku? Kenapa perasaanku tiba-tiba jadi tidak karuan kayak gini. Hmm… Apa mungkin aku telah mencintainya?" tanya Bobby dalam hati.
"Kakak penulis, ya?" tanya Angel tiba-tiba membuyarkan pikiran pemuda itu.
"Eng… Se-sebetulnya bukan. Menulis bagiku hanyalah media untuk menumpahkan perasaan, sedangkan profesiku sebenarnya adalah seorang pengacara, alias pengangguran banyak acara. Hehehe… Sebetulnya saat ini aku sedang belajar menjadi seorang graphic designer, dan dengan kemampuanku membuat program permainan, maka aku pun berniat merintis sebuah studio kreatif perangkat lunak yang islami."
"O, jadi benar kalau cover ini Kakak yang buat sendiri."
"Iya, betul. Memang kenapa?"
"Terus terang, menurutku cover ini bagus sekali, Kak."
"Benarkah bagus?” tanya Bobby seraya tersenyum, “Padahal, aku sendiri tidak yakin kalau cover itu betul-betul bagus. Sebab, aku memang tidak sepenuh hati saat mengerjakannya,” sambungnya kemudian.
"Wah, tidak sepenuh hati saja bisa sebagus itu. Bagaimana jika Kakak mengerjakakannya dengan sepenuh hati tentu akan jauh lebih bagus. Tapi jujur saja, walaupun aku tidak mengerti akan makna yang terkandung di dalamnya, namun menurut pandangan mataku cover yang Kakak buat itu memang tampak bagus. Eng, bukankah karya seni itu bersifat relatif, dan bagus tidaknya sangatlah tergantung dari selera dan sudut pandang orang yang melihatnya. "
"Eng, kalau begitu terima kasih atas penilaianmu," ucap Bobby tulus.
Angel pun tersenyum. “O ya, Kak. Kembali ke soal tulis-menulis, sebetulnya aku ini juga suka menulis loh. Ketahuilah! Ketika Raka memperlihatkan naskah Kakak, lantas aku pun jadi tertarik. Karenanyalah kini aku datang kemari agar bisa mengenal Kakak lebih jauh. Barangkali saja Kakak mau mengajariku bagaimana caranya menjadi menulis yang baik."
"Wah, sebetulnya aku pun masih belajar. Terus terang, aku merasa belum pantas untuk itu. Selama ini kan tulisanku belum diakui publik, dan karenanya aku tidak tahu apakah tulisanku itu baik atau tidak. Karenanyalah, apakah pantas jika aku mengajarkannya padamu?"
"Kak, tadi aku sempat melihat-lihat naskah Kakak sedikit, dan sepertinya tulisan kakak itu sudah bagus dan pantas dinikmati sebagai sebuah karya sastra. Menurut penilaianku, kakak itu sudah pastas untuk mengajariku. Sebab, jika dibandingkan dengan karyaku, jelas karya Kakak itu jauh lebih baik. Karenanyalah, jika Kakak mau mengajariku tentu aku akan senang sekali."
"Wah, aku betul-betul merasa tersanjung. Sungguh aku tidak menyangka, kalau kau akan menilai karyaku seperti itu. Baiklah… Jika kau memang menilaiku demikian, sungguh tidak sepantasnya jika aku sampai menolak. Terus terang, aku merasa berdosa jika sampai tak mau berbagi ilmu denganmu."
"Terima kasih, Kak."
"Kembali kasih. O ya, ngomong-ngomong... Selama ini kau sudah menulis berapa judul?"
"Ya, lumayanlah, Kak. Tapi semua itu cuma sebatas cerpen. Sedangkan untuk menulis novel baru kumulai beberapa bulan yang lalu, dan itu pun dimulai dengan kisah nyataku. O ya, Kak. Ngomong-ngomong, ini dia kisah nyataku," kata Angel seraya menyodorkan buku catatannya yang baru diambilnya dari dalam tas.
Pada saat itu, Bobby tampak diam. Jangankan untuk membaca, menyentuh saja sepertinya enggan. Karena itulah Angel langsung kecewa dan segera menyimpan buku catatannya kembali. Dalam hati, gadis itu langsung menghakimi Bobby sebagai pemuda yang tidak berperasaan, pemuda yang tidak bisa menghargai karya orang, walau pun hanya sekedar saja. "Huh, dia sama sekali tidak tertarik dengan ceritaku. Jika begitu, bagaimana mungkin dia mau membuatkan cover-nya." Begitulah Angel, jadi berpikiran yang tidak-tidak. Padahal dalam benaknya, Bobby ingin sekali membaca cerita yang katanya kisah nyata itu. Sebab dengan demikian, tentunya dia bisa mengenal karakter Angel lebih jauh, yaitu melalui rentetan cerita yang ditulisnya. Namun karena saat itu dia sedang tidak mood membaca, lantas dia pun memilih untuk tidak menghiraukannya. Maklumlah, saat itu dia memang lebih tertarik untuk terus memperhatikan kecantikan Angel.
Karena mengetahui Angel kecewa, Bobby pun segera memberi alasan. "Eng, ceritamu itu belum selesai kan? Terus terang, rasanya agak sulit bagiku untuk memberikan penilaian terhadap sebuah karya yang belum selesai. Sebaiknya kau selesaikan saja dulu, jika sudah selesai pasti aku akan membacanya," jelas Bobby seraya tersenyum pada Angel.
Karena alasan itulah, akhirnya Angel kembali ceria. Namun tak lama kemudian, keduanya sontak terdiam, merasakan getaran aneh yang begitu tiba-tiba—terasa begitu syahdu, bagaikan duduk di tepian telaga yang tampak tenang, di temani oleh mendunya simfoni alam dan pesona keindahan bunga warna-warni yang tumbuh di atas hijaunya hamparan rumput. Sungguh sangat membahagiakan dan begitu membuai sukma. Begitulah perasaan dua insan yang kini sedang dilanda asmara, merasakan indahnya cinta yang terus tumbuh berkembang dengan begitu cepat. Akibatnya, mereka pun jadi tidak konsentrasi, hingga akhirnya mereka tak mampu lagi mengungkapkan berbagai hal yang sebetulnya menarik untuk dibicarakan.
"Hmm... Sungguh dia memang manis sekali. Andai saja dia mau jadi pacarku... tentu aku akan bahagia sekali," ungkap Bobby dalam hati. "Tapi..." seketika Bobby teringat dengan seorang gadis yang dijodohkan dengannya. Dialah Wanda, gadis manis yang menjadi pilihan orang tuanya. "Duhai Allah... Kenapa mesti dia? Mungkinkah aku bisa mencintai gadis yang selama ini hanya kulihat fotonya dan kudengar suaranya saja. Jika aku boleh memilih, aku lebih suka jika Angel yang menjadi pendampingku."
"Kak Bobby, aku pulang ya!" pamit Angel tiba-tiba membuyarkan pikiran pemuda itu.
"Pu-pulang? Bu-bukankah kau belum lama di sini. O, iya... Aku betul-betul lupa untuk menyuguhkanmu minum. Maaf ya, An! Sungguh aku benar-benar lupa, soalnya aku terlalu asyik berbincang-bincang denganmu," ucap Bobby yang baru menyadari kalau dia memang belum menyuguhkan minum. Sungguh saat itu Bobby tidak menghendaki jika Angel pergi dari sisinya, yang kini sudah membuatnya begitu syahdu.
"Kak... Sebetulnya aku mau pulang bukan karena itu, tapi justru karena saat di rumah Raka aku sudah kebanyakan minum."
"Benarkah…? Jika begitu kenapa tidak bilang dari tadi? Aku kan bisa menunjukkan kamar kecilnya."
"Tidak usah deh, Kak. Terima kasih. Lagi pula, bukankah sekarang sudah terlalu malam."
"Eng, baiklah… Kalau begitu, tunggu sebentar ya! Biar kupanggilkan Raka," pinta Bobby seraya memanggil Raka dan memberitahukan keinginan Angel. Maklumlah, saat itu Bobby menyadari kalau Angel adalah tamunya yang harus dihormati, bukannya pacar yang bisa ditahan dengan rayuan gombal.
Kini Bobby, Raka, dan Angel sudah kembali bertatap muka. "Kok cepat sekali ngobrolnya, An?" tanya Raka heran, padahal dia sendiri masih mau berlama-lama mendengar cerita adik Bobby soal pengalamannya di luar negeri.
"Sudah cukup, Kak." jawab Angel tak mau mengatakan hal yang sebenarnya.
"O, ya. Bagaimana soal cover-nya, sudah belum?" tanya Raka lagi.
"Nanti saja deh, kapan-kapan," jawab Angel.
Akhirnya Raka dan Angel pamit meninggalkan rumah Bobby. Pada saat yang sama, Bobby tampak memperhatikan kepergian mereka dengan penuh perasaan rindu. Saat itu dia cuma bisa berharap, semoga dia bisa segera berjumpa lagi dengan gadis yang kini sudah melekat di hatinya.
Setelah kedua tamunya kian menjauh, Bobby pun segera melangkah masuk. Kini pemuda itu sudah berada di atas tempat tidurnya, kedua matanya yang bening tampak memandang ke langit-langit, sedang pikirannya terus melayang—memikirkan gadis yang telah mencuri hatinya. Sungguh saat itu dia sudah dimabuk cinta, sehingga perasaan rindu terus mendera dan membuatnya serba salah. Pada saat yang sama, Angel yang sudah tiba di rumah juga sedang memikirkan Bobby. Sungguh perasaan aneh yang dirasakannya kini telah membuatnya betul-betul bingung. "Hmm... Apakah aku telah mencintainya?" tanya gadis itu dalam hati. "Sebab di-dia... Tidak...!!! Aku tidak boleh mengkhianati cinta sejatiku, sampai kapan pun aku akan terus mencintainya," kata Angel yang tiba-tiba teringat kembali dengan cinta sejatinya. "Ya, Tuhan... Sungguh aku merasa sangat berdosa karena hampir menghianati cinta sejatiku? Sungguh aku tidak mengerti, kenapa aku bisa sampai seperti itu. Apakah itu lantaran kami tidak mungkin bersatu? Ya, Tuhan… Sungguh aku tidak mengerti, kenapa hanya perbedaan lantas kami tak bisa bersatu? Padahal, kami begitu saling mencintai dan menyayangi. Sungguh aku tidak mengerti, kenapa Engkau membiarkan saja keinginan orang tuanya yang merasa berhak memisahkan kami?" tanya Angel lagi seraya kembali teringat dengan berbagai kejadian yang begitu meresahkan hatinya. Malam itu, Angel dan Bobby sempat bertemu di dalam mimpi. Sungguh sebuah mimpi yang membuat keduanya seolah sudah begitu dekat, hingga membuat cinta mereka kian tumbuh bersemi.
Esok paginya, Angel tampak sedang membaca naskah milik Bobby. Sungguh dia tidak menyangka kalau apa yang sedang dibacanya itu ternyata mirip dengan apa yang dialaminya, yaitu mengenai cinta sejati yang tak mungkin bisa bersatu. Dalam cerita itu, sang tokoh utama yang seorang pemuda tampan memutuskan untuk melupakan cinta sejatinya. Hingga akhirnya pemuda itu memutuskan untuk menikahi gadis yang bukan cinta sejatinya lantaran alasan ibadah. Walau pada mulanya gadis itu bukan cinta sejatinya, namun pada akhirnya dia bisa mencintainya dengan sepenuh hati—layaknya dia mencintai cinta sejatinya. Begitulah cinta, tumbuh karena terbiasa. Saat kekurangan bisa diterima dan perbedaan bukanlah masalah, maka manusia tak bisa mengelak dari cinta, cinta yang begitu membahagiakan dan membuat perasaan syahdu kala bersama orang yang dicintainya.
"Ah, akhirnya selesai juga aku membacanya. Hmm… Menarik juga cerita ini, walaupun alurnya agak sedikit berbelit-belit dan membuatku bingung. Hmm... Ini pasti kisah nyata yang bercampur dengan kisah fiktif. Entah yang mana yang nyata dan yang fiktif, tetapi aku yakin tokoh utamanya itu adalah penulisnya sendiri. Hmm... Jadi, dia itu orang yang mudah jatuh cinta," pikir gadis itu mencurigai. Lalu dalam sekejap, perasaan cinta yang semula bersemi mendadak mati begitu saja. "Tidak, aku tidak mungkin mencintai orang seperti dia, yang begitu mudahnya jatuh cinta. Sungguh dia tidak seperti cinta sejatiku yang selalu setia," pikir Angel lagi seraya menyimpan naskah yang baru dibacanya. "Tapi... Bukankah aku juga seperti dia, begitu mudahnya jatuh cinta," kata Angel lagi ketika dia kembali teringat dengan perasaannya malam itu.
Kini gadis itu tampak mengambil buku catatannya dan mulai membaca kisah nyata yang dialaminya, dan setiap kali dia membaca kisah itu, setiap kali itu pula dia teringat akan kenangan indah yang pernah dialaminya. Duhai belahan jiwaku tercinta... Duhai pujaan hatiku tersayang.... Ketahuilah! Kalau aku sangat mencintaimu, dan aku sangat menderita tanpa kehadiranmu. Maafkanlah aku yang hampir mengkhianati cintamu!"
Angel terus terlena di dalam lamunannya yang begitu membuai jiwa. Sementara itu di tempat lain, Bobby tampak sedang memikirkan gadis yang kini sudah mengisi relung hatinya. Bahkan setiap usai sholat dia selalu berdoa agar Angel bisa menjadi istrinya yang shalehah dan kelak bisa membahagiakannya, hingga akhirnya pemuda itu tersadar, kalau apa yang dicita-citakannya bisa saja tidak terwujud, dan itu semua karena dia menyadari kalau apa yang diinginkannya itu belum tentu sesuai dengan keinginan Tuhan. Karena itulah, dia pun menjadi lebih waspada untuk tidak sampai terjerat oleh jerat cinta yang membutakan dan tetap berusaha membuka diri untuk bisa mencintai yang lain.
Sekilas dugaan Angel memang benar, kalau Bobby memang orang yang mudah jatuh cinta. Tapi sayangnya, gadis itu tidak menyadari kalau Bobby jatuh cinta karena dia telah menangkap sinyal kimia yang telah dilepas Angel saat pertama kali mereka berjumpa. Cinta Bobby sebetulnya bukan karena dia mudah jatuh cinta, namun dia menjadi jatuh cinta karena Angel telah mengirim sinyal kimia kepadanya—yang tanpa disadari sudah terlepas ketika dia menilai kalau Bobby adalah pemuda yang tampan. Jadi, sebetulnya Bobby itu bukanlah mudah jatuh cinta, namun mudah untuk mencintai. Sekilas keduanya tampak sama, namun sebetulnya berbeda. Mudah jatuh cinta karena nafsu yang membutakan, yang mana berlandaskan hanya kepada kesenangan semata. Namun, mudah mencintai karena fitrah kemanusiaan, yang mana berlandaskan cintanya kepada Tuhan.
"Duhai Allah... Jadikanlah dia sebagai istriku yang shalehah, istri yang bisa membahagiakanku di alam fana ini. Amin..." pinta Bobby yang lagi-lagi berdoa kepada Tuhan setiap kali dia usai sholat. "Tapi... Bagaimana dengan gadis yang hendak dijodohkan denganku itu? Menurut ibuku, dia itu gadis yang baik, anak seseorang yang juga dari keluarga baik-baik. Bahkan Agustus nanti dia sudah diwisuda, dan itu artinya sudah tidak ada kendala lagi untuk pernikahan kami. Tidak seperti Angel yang statusnya belum jelas sama sekali, apalagi dia itu masih sangat muda dan mungkin belum ada pikiran untuk menikah. Duhai Allah... Kenapa harus seperti ini? Kenapa aku harus mencintai gadis yang belum jelas itu. Apakah dia itu memang cinta sejatiku, sehingga aku begitu mudahnya jatuh cinta. Padahal, aku sendiri belum mengenalnya dengan baik." Pemuda itu terus memikirkan pujaan hatinya, hingga akhirnya dia tertidur dan bertemu dengannya di dalam mimpi.