E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Cahaya Bintang - Bagian 5

Lima



Setelah beberapa bulan menjalin cinta dengan Nuraini, akhirnya Bobby mulai bisa melupakan Winda. Sungguh dia tidak menyangka kalau Nuraini adalah sosok gadis pujaan yang sangat didambakannya. Berkat kehadiran Nuraini di dalam kehidupannya, dia merasa menjadi manusia baru yang beruntung. Hidupnya yang semula begitu sepi kini berganti menjadi penuh warna-warni. Namun belakangan ini, dia melihat Nuraini agak berubah. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya, sesuatu yang semakin membuat Bobby terus bertanya-tanya. Karena rasa penasaran yang amat sangat, akhirnya dia pun membicarakan hal itu pada kekasihnya.
“Apa??? Ka-kau sudah dilamar orang?” tanya Bobby dengan keterkejutan yang amat sangat.
Nuraini mengangguk.
“Kau menerimanya?” tanya pemuda itu lagi.
“Kak, dia itu pemuda yang baik dan juga beriman. Terus terang, aku merasa berdosa jika menolak lamarannya.”
“Tapi, Nur. Kau kan sudah mempunyai kekasih.”
“Kita kan baru sebatas kekasih, Kak. Apakah itu cukup kuat untuk menolak lamarannya?”
“Tentu saja. Bukankah jelas-jelas aku sudah lebih dulu memilikimu.”
“Kau jangan lupa, Kak. Aku belumlah milikmu.”
“Jadi, karena itu kau bisa seenaknya menghianatiku.”
“Aku tidak mengkhianatimu, Kak. Namun aku hanyalah menjalankan apa yang sudah digariskan Tuhan padaku. Salah sendiri, kenapa kau tidak cepat-cepat melamarku?”
“Apa! Kau pikir menikah itu seperti membalik telapak tangan. Apa kau pikir dengan keadaanku sekarang, aku bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik?”
“Kak, ingatlah...! Bahwa semua perkara itu Tuhanlah yang mengaturnya. Manusia hanya tinggal menjalani apa yang sudah digariskan padanya. Dan Mengenai apa yang akan terjadi kemudian, hanya Tuhan yang mengetahuinya. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalani dengan selalu mengharap kasih sayang-Nya. O ya, Kak. Kalau kau mau tahu, sebenarnya orang yang melamarku itu adalah sahabatmu sendiri, dialah Randy yang selama ini selalu mengajarkan kebaikan padamu.”
“A-apa??? Ra-Randy... be-benarkah yang kau katakan itu?” tanya Bobby dengan keterkejutan yang amat sangat.
Nuraini mengangguk.
“Dasar pengkhianat, pagar makan tanaman! Sungguh aku tidak menyangka dia akan tega berbuat begitu. Sungguh dia memang sudah sangat keterlaluan dan tak berkeperimanusian, tega-teganya dia mengkhianatiku. Padahal, selama ini aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Sungguh kini dia sudah tidak layak lagi menjadi sahabatku. Terus-terang, aku betul-betul menyesal dan kecewa karena telah bersahabat dengan manusia seperti dia.“
“Kau tidak mengerti, Kak. Dia sama-sekali tidak seperti yang kau tuduhkan.”
“Alah! Sudahlah...! Kini aku sudah tahu siapa dia sebenarnya. Dan kau juga, kenapa kau begitu tega menghianatiku, kenapa kau mau saja dilamar olehnya?”
“Kak, kau lupa dengan kata-kataku tadi. Bahwa semua ini adalah karena kesalahanmu sendiri. Andai kau cepat melamarku mungkin tidak seperti ini kejadiannya.”
“Cukup, Nur! Aku tidak mau mendengar kata-katamu lagi. Kau memang gadis yang picik. Jika kau bijak, paling tidak kau ultimatum aku dulu,“ kata Bobby seraya bergegas meninggalkan Nuraini.”
“Kak Bobby, tunggu...! Aku mau bicara padamu!” tahan Nuraini.
Tampaknya Bobby memang sudah tidak mau mendengar kata-kata Nuraini, dia terus saja berlalu tanpa menengok sedikitpun. Pada saat yang sama, Nuraini tampak terduduk di atas kursi dengan perasaan yang sangat menyesal. “Kak Bobby, maafkanlah aku! Sungguh aku tidak menyangka akan seperti ini kejadiannya.”
Gadis itu terus larut di dalam penyesalan, sementara itu di dalam sebuah jeep, Bobby tampak begitu kalut. Sungguh pemuda itu tidak menyangka kalau sahabatnya yang selama ini dikenal baik ternyata telah tega mengkhianatinya. Dan setelah agak lama menyusuri jalan yang menuju rumah Randy, akhirnya Bobby tiba juga di rumah sahabatnya itu. Kini pemuda itu tampak sedang bertatap muka dengan sahabatnya yang diketahuinya telah berkhianat. Dalam hati, dia ingin sekali menghajar Randy yang dianggapnya sudah menzolomi saudaranya sendiri. Namun karena pemuda itu masih mempunyai rasa hormat, maka ia pun mengurungkan niatnya. “Ran, apa benar kau telah melamar Nuraini?” tanya pemuda itu memastikan.
 “Kau benar, Bob. Kalau kau mau tahu, sebetulnya selama ini aku pun mencintainya. Untunglah kau tidak cepat melamarnya sehingga aku masih mempunyai kesempatan. Lagi pula, aku menduga selama ini Nuraini paling hanya kau jadikan sebagai pelarian. Coba katakan padaku sejujurnya! Kau tidak benar-benar mencintainya kan, hingga kini kau masih mencintai Winda. Iya kan?”
“Kau salah, Ran. Kalau kau mau tahu, sekarang ini aku sudah begitu mencintainya. Semula aku memang merasa tidak mungkin bisa pindah ke lain hati, namun setelah aku mengenal Nuraini, pandanganku pun mulai berubah. Dia itu bukan hanya cantik, tapi juga berkepribadian seperti Winda. Sungguh bodoh jika aku tidak bisa mencintai gadis seperti dia.”
“Benarkah?” tanya Randy ragu.
Bobby mengangguk.
“Jika kau memang mencintainya, kenapa kau tidak segera melamarnya?”
“Aku belum siap, Ran.”
“Kalau begitu, itu memang sudah salahmu sendiri. Andai kau berkeyakinan kalau setiap kejadian di dunia ini adalah ketentuan Tuhan, tentu kau tidak akan terlalu banyak pertimbangan terhadap sesuatu yang baik. Kau itu sudah menunda-nunda kebaikan, Bob. Sehingga takdir yang semula akan membawamu kepada kebahagiaan, yaitu menikah dengan Nuraini, kini telah lewat dan telah berganti menjadi hukuman, yaitu lepasnya Nuraini darimu. Bukankah kau sudah mengetahui kalau Nuraini itu gadis yang baik, malah kau bilang kepribadiannya itu sama seperti Winda. Nah, jika memang benar demikian, apa alasanmu untuk menunda-nundanya. Jika alasanmu memang belum siap, kapan kau akan siap, Bob? Aku yakin, kau tidak akan pernah siap jika alasanmu itu selalu karena belum siap.”
“Kau benar, Ran. Kini aku sungguh menyesal karena telah menyia-nyiakan kesempatan itu. Karenanyalah aku mohon padamu, kiranya kau mau membatalkan lamaran itu!”
“Itu tidak mungkin, Bob. Mau disembunyikan ke mana mukaku dan muka kedua orang tuaku jika aku sampai membatalkannya. Apa kau lupa dengan pelajaran yang sudah aku ajarkan padamu, yaitu janganlah kau merebut gadis yang sudah dilamar oleh saudaramu sendiri.”
“Iya,  Ran. Aku ingat, tapi kan...”
“Sudahlah, Bob. Semuanya sudah terlambat. Lagi pula, apa yang bisa menjadi jaminan kalau nantinya kau akan menikahi dia.”
“Nyawaku, kau boleh membunuhku jika aku sampai tidak menikahinya.”
“Benarkah yang kau katakan itu? Begitu besarkah cintamu kepadanya sehingga kau begitu yakin kalau kau memang akan menikahinya.”
“Tentu saja, aku kan memang sangat mencintainya. Jika tidak, untuk apa aku memohon padamu.”
“Hmm... aku rasa memang begitu. Karena begitu cintanya kau kepada Nuraini, sampai-sampai kau melanggar larangan agama dengan mau merebut gadis yang sudah dilamar oleh saudaramu sendiri.”
“Aku bukan hendak mau merebut dia darimu, Ran. Tapi... aku justru memohon kerelaanmu.”
“Hmm... baiklah kalau begitu, sebaiknya sekarang kau bicara kepada Nuraini. Apakah dia bersedia lamarannya kutarik kembali lantaran kau begitu mencintainya. Dan apakah dia rela menanggung malu karena sebab batalnya lamaranku.”
“Ka-kau bersedia membatalkannya, Ran.”
“Kini semuanya tergantung kepada Nuraini, Bob. Terus terang, aku merasa berdosa jika membatalkan lamaranku begitu saja tanpa persetujuannya lebih dulu. Sebab jika aku membatalkannya dengan alasan karena kau tak bisa melepaskannya sungguh tidak masuk di akal, akan dianggapnya pemuda macam apa aku ini.”
“Baiklah, Ran. Aku akan bicara padanya, dan aku yakin dia pasti mau. Sebab aku meyakini kalau sesungguhnya dia pun tak menghendaki hal itu. Terima kasih, Ran. Kau memang  sahabatku yang paling baik. O ya, maafkan aku yang telah menuduhmu yang tidak-tidak.”
“Sudahlah, Bob... sebaiknya sekarang cepat kau temui dia!”
“Iya, Ran. Wassalamu’alaikum...”
“Wa-allaikum salam...”
Saat itu Bobby bahagia bukan kepalang, dan kali ini dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Saking gembiranya dia pun memacu mobilnya dengan sangat cepat, sampai-sampai tidak mempedulikan keselamatannya sendiri. Akhirnya pemuda itu pun tiba kembali di kediaman Nuraini. Kini dia tampak sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita yang mirip dengan Nuraini.
“Apa? Nuraini sedang pergi keluar,” ungkap Bobby dengan nada kecewa.
“Betul, Nak Bobby. Katanya sih dia mau pergi memancing bersama Haris di tempat biasanya,” jelas ibunya Nuraini.
"O, kalau begitu sebaiknya aku mohon diri sekarang, Bu.”
"O ya, apa mungkin ada pesan yang bisa Ibu sampaikan.”
“Tidak, Bu. Wassalamu’alaikum...”
“Wa Allaikum salam… Hati-hati di jalan Nak Bobby!”
“Iya, Bu. Terima kasih.”
Bobby pun segera kembali ke mobil dan memacunya menuju ke tempat Nuraini biasa memancing. Saat itu, Bobby lagi-lagi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, sungguh dia sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan sang Pujaan Hati. Setibanya di tempat tujuan, pemuda itu langsung memarkir mobilnya di tepian telaga dan segera melangkah menuju ke lokasi yang cukup jauh, yaitu di daerah yang masih banyak ditumbuhi pepohonan lebat. 
Pemuda itu terus melangkah dan melangkah, menyusuri jalan setapak yang di kanan-kirinya banyak ditumbuhi ilalang. Tak lama kemudian, pemuda itu tiba juga di tepian telaga yang ditumbuhi pepohonan bambu yang begitu lebat dan menyeramkan. Kini pemuda itu melangkah melewati rimbunnya pohon bambu yang sebagian akar-akarnya tampak digenangi air. Setibanya di tempat yang agak kering, sayup-sayup terdengar suara sepasang muda-mudi yang sedang berduaan, tertawa riang seolah mendapat kepuasan. Saat itu, dari balik kerimbunan pohon bambu, Bobby melihat seorang pemuda tampak sedang mengenakan celana panjangnya, sementara yang gadis tampak sedang mengancingkan bajunya.
“Nu-Nuraini...?” tanya Bobby dalam hati. “A-apa sebenarnya yang dia dilakukannya bersama Haris di tempat sepi seperti ini?” tanya pemuda itu hampir tak bisa mempercayainya. Lantas dengan rasa penasaran yang teramat sangat, pemuda itu pun terus mengamati keduanya dengan penuh seksama.
“Nur, aku senang bisa membuatmu ceria kembali,” kata Haris puas.
“Iya, Kak. Kakak memang hebat, terus terang aku betul-betul puas dengan pengalaman  yang luar biasa ini. Terima kasih ya, Kak!”
“Kalau begitu, maukah kau melakukannya di lain waktu?”
Nuraini mengangguk sambil merapikan tatanan rambutnya.
“Bagus... lain waktu tentu akan lebih hebat dari yang tadi,” kata Haris seraya menggendong ransel yang dibawanya. Kini kedua muda-mudi itu tampak bergerak meninggalkan tempat itu sambil terus berceloteh riang gembira. Pada saat yang sama, Bobby tampak sedang berpikir keras. “Hmm... sungguh aku tidak menduga kalau mereka baru saja melakukan itu,” gumam Bobby seraya tertunduk sedih. Saat itu perasaannya langsung hancur berkeping-keping karena sebab peristiwa yang baru dialaminya.
“Nuraini.... sungguh aku tidak menduga, kalau kau adalah gadis seperti itu. Sungguh selama ini kau telah memikatku dengan kepalsuan.“ Lantas pemuda itu segera melangkah pergi. Setibanya di mobil, dia pun langsung merebahkan diri di atas kap mobilnya dan merenungkan apa yang baru didengar dan disaksikannya. Saat itu hatinya terasa benar-benar hancur, dan dia benar-benar tidak menyangka kalau apa yang didengar dan disaksikannya itu telah begitu menyayat hatinya.



 
Malam harinya, Randy tampak sedang menelepon Nuraini. Rupanya pemuda itu ingin mengetahui perihal Bobby yang katanya mau datang menemui Nuraini, namun dia menjadi heran lantaran Bobby belum juga datang menemuinya. 
“Nur, kau jangan bercanda!”
“Sungguh, Kak. Dia memang belum menemuiku.”
“Hmm... aku benar-benar tidak mengerti akan sikapnya. Padahal ketika sedang bersamaku tadi, dia sudah tak begitu sabar ingin menemuimu. Bahkan aku sudah menduga, kalau dia pasti akan langsung melamarmu. Tapi ternyata...”
“Mungkin dia datang saat aku sedang pergi, Kak.”
“Memangnya kau pergi ke mana?”
“Aku pergi memancing bersama Haris.”
"O, kalau begitu... mungkin saja dia memang datang disaat kau pergi. Tapi...”
“Tapi apa, Kak?”
Tapi, bukankah dia bisa kembali lagi untuk menemuimu. Sekarang kan sudah pukul sembilan malam, masa sih sudah selama ini dia belum juga menemuimu.”
“Iya, ya... jika dia memang betul-betul mencintaiku, seharusnya dia itu sudah datang dan langsung melamar aku.”
“Ya, seharusnya memang seperti itu. Sebab, dia sudah begitu memohon padaku untuk membatalkan lamaranku, bahkan dia berani menyerahkan nyawanya padaku.”
“Hmm... ini memang benar-benar aneh.”
Kedua muda-mudi itu terus berbicara mengenai keanehan itu. Sementara itu di tempat lain, di tepian telaga. Orang yang sedang mereka bicarakan itu tampak masih termenung di atas kap mobilnya. Dia tampak termenung sambil memperhatikan air telaga yang tenang. kini pemuda itu tampak terlentang memandang ke arah bintang-bintang yang bertaburan. Matanya yang basah tampak tak berkedip memperhatikan bintang-bintang itu, dan ketika ia berkedip bulir air matanya pun langsung meluncur jatuh. “Ya Tuhan... aku betul-betul tidak mengerti akan garis hidupku yang sudah kau tentukan ini. Haruskah aku menikahi gadis lacur seperti dia, yang selama ini telah bersembunyi di balik topengnya yang hampir sempurna. Dan jika memang benar demikian, kenapa Engkau membukakan topengnya padaku, sehingga aku pun merasa berat untuk menikah dengannya? Ya Tuhan... apakah ini semua karena hukuman-Mu yang tak menghendaki aku memiliki gadis yang sudah dilamar oleh saudaraku sendiri?”
Pemuda itu terus hanyut di dalam kesedihan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk kembali pulang. Di dalam perjalanan, pemuda itu tampak memacu mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi dan berharap maut segera merenggutnya. Namun karena Tuhan masih melindungi, akhirnya dia tiba di rumah dengan selamat.

 

Esok harinya, sepulang dari Mall, Bobby langsung duduk melamun di tepian kolam ikan dan memandangi ikan-ikannya yang tampak riang gembira. Sungguh sangat kontras dengan perasaannya yang kini sedang dilanda kesedihan. Pada saat itulah, tanpa diduga-duga Randy datang menemuinya dan menceritakan perihal lamaran yang ternyata hanya sebuah sandiwara. Ketika mengetahui itu, Bobby sama sekali tidak terkejut, sebab dia memang sudah mengetahuinya dari mulut Nuraini sendiri. Bahkan dia sudah tidak mempermasalahkan hal itu lantaran kebenciannya kepada Nurainiyang diketahuinya telah mengkhianati cintanya.
“Sudahlah, Bob! Sebaiknya kau lekas temui Nuraini, dia sengaja melakukan sandiwara itu karena dia itu begitu mencintaimu,” pinta Randy yang menduga Bobby masih kecewa lantaran sandiwara itu.
“Ran, kau tidak perlu mengajariku soal itu. Ketahuilah! Hati nuraniku mengatakan kalau Nuraini itu bukanlah gadis yang tepat untukku, sungguh dia itu tidak seperti yang kuduga selama ini.”
“Kau salah, Bob. Nuraini itu adalah gadis yang baik, dan dia sangat layak menjadi pendampingmu.”
“Tidak, Ran. Hanya Winda-lah satu-satunya gadis yang tepat untukku. Dan aku percaya hanya dialah gadis yang bisa mengerti aku.”
“Bob, Winda itu tak mungkin bisa menjadi milikmu. Jika kau terus mengharapkannya, kau hanya membuang-buang waktumu.”
“Ran, kau jangan sok tahu. Kau jangan sombong dengan menjadikan dirimu lebih tahu dari Tuhan. Ketahuilah kalau sebenarnya jodoh itu bukan kau yang menentukan, melainkan  Tuhan-lah yang menentukannya.”
“Kau benar, Bob. Tapi kau juga harus ingat, bahwasannya manusia harus menyadari realita, dan ia harus berusaha mencari alternatif lain.”
“Aku kan sudah berusaha, dan ternyata Nuraini memang bukan untukku.”
“Bob, apa kau masih juga tidak percaya kalau soal lamaran itu hanyalah sebuah sandiwara.”
“Ya, aku percaya.. sangat percaya...  Namun, bukan itu persoalannya.”
“Lalu apa?”
“Ketahuilah kini aku sudah tidak tak berminat lagi padanya, sebab dia itu seorang gadis pendusta yang selama ini telah bersembunyi di balik topeng kebaikan. Hanya Windalah satu-satunya gadis yang terbaik untukku.”
“Bob, aku betul-betul tidak mengerti. Waktu itu sepertinya kau begitu mencintai Nuraini, lalu kenapa tiba-tiba kau begitu membencinya. Apakah semua ini karena sebab lamaran sandiwara itu, sehingga kau menganggapnya sebagai gadis pendusta yang tak pantas kau cintai. Bob, kau tidak fair. Apakah karena sebab kekurangan Nuraini yang terpaksa melakukan dusta putih itu, lantas kau membandingkannya dengan segala kebaikan Winda yang kau sendiri belum mengetahui pribadinya secara utuh.”
“Sudahlah, Ran. Terus terang, sebetulnya aku enggan untuk mengungkap aib Nuraini. Sebab dengan begitu, sama saja dengan mengungkap aibku sendiri. Bukankah kau sendiri yang mengajariku soal itu. O ya, Ran. Aku betul-betul tidak mengerti, kenapa sih kau begitu ngotot untuk menjodohkanku dengan Nuraini? Bahkan kau harus terlibat dengan dusta yang kau bilang putih itu. Apa iya ada dusta putih, setahuku dusta tidak berwarna, dusta tetaplah dusta.”
“Kau benar, Bob. Dusta tetaplah dusta. Tapi... aku terpaksa terlibat demi untuk kebaikanmu, dan juga kebaikan Nuraini. Bob, aku ini sahabatmu, dan aku sangat peduli denganmu.”
“Jika memang benar demikian, kenapa kau tidak berusaha mencari Winda dan menyatukan kami.”
“Itu tidak mungkin, Bob.”
“Kenapa?”
“Sebab, kini dia sudah menjadi milik orang.”
“A-apa! Ja-jadi dia sudah menikah?”
“Belum, Bob. Tapi... dia sudah menjadi kekasih orang.”
“Jadi... baru sebatas kekasih. Ketahuilah, Ran...! Selama dia belum dilamar orang, berarti aku masih mempunyai kesempatan. Kalau begitu, katakanlah! Di mana dia sekarang. Biar aku menemuinya dan langsung melamarnya.”
“Sudahlah, Bob! Lupakanlah dia, sebab tak lama lagi dia akan dilamar. Lagi pula, aku juga tidak tahu sekarang dia lagi ada di mana.”
“Be-benarkah yang kau katakan itu?”
Randy mengangguk. “Karenanyalah aku mohon kepadamu untuk segera menemui Nuraini, dan kemudian minta maaflah padanya. Bob... jika kau sudah mengenal dia aku yakin kau akan sangat mencintainya.”
“Tidak, Ran. Aku tidak mungkin bisa mencintai gadis munafik seperti dia.”
“Kau bicara apa, Bob! Teganya kau menuduh Nuraini seperti itu.”
“Kau tidak tahu, Ran. Kalau sebenarnya Nuraini itu tidak seperti yang kau duga selama ini. Ketahuilah kalau selama ini dia sudah menipumu dengan segala kedok kebaikan yang memikat itu.”
“Bob, kau memang sudah keterlaluan. Aku sungguh tidak menduga kalau kau bisa berkata seperti itu. Sebab aku tahu betul siapa Nuraini itu, dia adalah gadis baik-baik yang taat kepada perintah Tuhan. Tidak mungkin menjadi seperti yang kau tuduhkan itu.”
 “Iya, kan. Baru aku bilang begitu saja kau sudah sangat marah. Apalagi jika aku sampai mengungkapkan aib yang sebenarnya. Mungkin kau akan menuduhku sebagai tukang fitnah.”
“Aib? Aib apa itu, Bob. Katakanlah!”
“Tidak! Aku tidak akan mengatakannya padamu. Pokoknya kini semua terserah kepadamu, kalau kau mau percaya  padaku, ya syukur. Kalau pun tidak, ya tidak apa-apa. Yang jelas, aku tidak akan bersedia mengikuti keinginanmu untuk kembali mencintai Nuraini. O ya, aku sama-sekali tidak percaya kalau Winda sudah mau dilamar orang. Mungkin itu hanya siasatmu agar aku kembali pada Nuraini. Jika benar demikian, sungguh aku tidak menduga kalau sahabatku tega berbuat serendah itu.”
“Bob, kau bicara apa! Andai kau tahu yang sebenarnya tentu kau tidak akan menuduhku begitu.“
“Kalau begitu, katakanlah yang sebenarnya!”
“Baiklah, aku akan mengatakan hal yang sebenarnya.” Saat itu Randy tampak terdiam seperti memikirkan sesuatu.
“Ran! Kenapa kau diam?” tanya Bobby menyadarkan pemuda itu dari lamunannya. “Kau ini bagaimana sih, katanya mau mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi, kenapa kau malah diam?”
“Maaf, Bob! Aku tidak bisa,” kata Randy mengurungkan niatnya, dia betul-betul khawatir jika sampai memberitahunya tentu akan membuat Bobby menjadi seperti yang ada di bayangannya barusan. “Bob, kini aku bisa mengerti, cinta itu ternyata memang tidak bisa dipaksakan. Kalau kau memang tidak mencintai Nuraini, aku tidak akan berusaha lagi menjodohkanmu dengannya. Lakukanlah apa yang menurutmu baik, karena apa yang menurutku baik belum tentu baik untukmu,” kata pemuda itu melanjutkan.
Sungguh Bobby tidak menduga kalau akhirnya Randy akan mengatakan itu. “Terima kasih, Ran. Akhirnya kau mau mengerti aku,” kata pemuda itu puas.
“Bob, maafkan aku jika tak bisa membantumu!”
Setelah berkata begitu, Randy mohon pamit dan akhirnya pergi meninggalkan Bobby. Pada saat yang sama, Bobby tampak heran dengan perubahan prilaku sahabatnya yang begitu tiba-tiba. Entah kenapa dia pergi begitu saja dengan meninggalkan banyak pertanyaan, sepertinya pemuda itu sengaja menyembunyikan sesuatu yang tak sepatutnya dia ketahui.