E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Duka Lara - Bagian 8

Delapan



Di sebuah stasiun kereta api, seorang gadis tampak melangkah dengan tergesa-gesa. Sesekali dia terlihat mengelap peluh yang mengalir di keningnya, dan sesekali dia tampak membetulkan posisi pegangan tangan pada koper besar yang dijinjingnya. Ketika gadis itu hendak melewati pintu keluar, tiba-tiba gadis itu dihadang oleh seorang pemuda berperawakan tegap.
 “Si-siapa kau? Ke-kenapa kau menghalangi jalanku?” tanya Lara tergagap, menduga orang itu mau berbuat jahat padanya.
“Lara... masa kau lupa dengan suaraku,” kata orang itu pelan.
“Ka-kau mengenalku. Si-siapa kau sebenarnya? Ma-maaf jika aku benar-benar lupa!”
“Ini aku, Lara. Bobby...”
Mengetahui itu, Lara langsung terkejut. “Ka-Kak Bobby! Be-benarkah kau Kak Bobby...?” tanyanya seakan tak percaya.
“Iya, Ra. Ini memang aku.” Saat itu Bobby langsung membuka ponconya dan menyingkap rambut yang menutupi sebagian wajahnya.
“Kak Bobby...” kata Lara tak berkedip memandang wajah tampan yang selama ini begitu dirindukan. “Ke-kenapa kau menyembunyikan wajahmu, Kak?” tanyanya kemudian.
“Lihat ini,” kata Bobby seraya memberikan selebaran yang didapatnya di jalan.
Lara pun segera menanggapi selebaran itu dan memperhatikan foto-foto yang terpampang di dalamnya. “Ja-jadi... ka-kau seorang ‘teroris’?” tanya Lara terbata ketika mengetahui kalau salah satu foto yang ada di selebaran itu adalah Bobby.
“Tidak, Ra. Aku tidak seperti yang kau duga,” jawab Bobby mencoba meluruskan.
Lara kembali memandang Bobby, kemudian dia menatap mata pemuda itu dalam-dalam. “La-lalu... kenapa gambarmu bisa ada di selebaran ini?” tanya gadis itu penuh kebingungan.
“Ceritanya panjang, Ra. Waktu itu...” tiba-tiba Bobby terdiam. Saat itu dia tampak serius memperhatikan empat orang pria yang sedang berjalan di peron. “Lihat di sana! Bukankah mereka yang mengejarmu waktu itu?”
Lara pun segera menoleh memperhatikan apa yang dikatakan Bobby, “Be-benar, Kak. Merekalah orangnya,” ungkap Lara setengah terkejut. “Me-merekalah orang-orang yang telah membunuh Kak Randy,” ungkapnya lagi sambil terus memperhatikan para penjahat yang sudah berada di dalam kereta yang mulai melaju.
Mengetahui itu Bobby tampak terkejut, “A-apa! Ja-jadi Randy...” Pemuda itu tak kuasa menyelesaikan kalimatnya, saat itu dia hanya bisa tertunduk dengan penuh kesedihan.
Saat itu, Lara pun ikut sedih. Kemudian dengan berlinang air mata, gadis itu segera menceritakan semua kejadian yang memilukan itu.
“Kurang ajar! Kalau saja kutahu mereka yang membunuh Randy, tentu kemarin malam aku sudah menghabisi semuanya,” kata Bobby geram.
“Ja-jadi, yang menghajar mereka kemarin itu kau, Kak?” tanya Lara hampir tak mempercayainya.
“Iya, Ra. Itu memang aku.”
“Ka-kalau begitu maafkan aku, Kak...! Kalau saja aku tahu, tentu aku tidak akan meninggalkanmu.”
“Sudahlah, Ra! Aku bisa mengerti kok.”
“Kak... Terima kasih karena kau sudah menyelamatkan aku.  O ya, sebetulnya aku sedang mencarimu. Ketahuilah! Setelah kepergian Randy, aku merasa betul-betul kesepian. Kini hanya kaulah yang bisa meredam rasa kesepianku itu,” ungkap Lara mengenai perasaannya setelah ditinggal pergi oleh kekasihnya.
“Aku juga, Ra. Sebetulnya semenjak malam itu aku benar-benar kehilanganmu dan merasa begitu kesepian.”
“A-apa maksud perkataanmu itu, Kak?”
“Aku bohong kalau aku tidak mencintaimu, dan aku melakukan semua itu demi sahabatku. Kalau kau mau tahu, sebenarnya aku sangat mencintaimu, dan saat itu aku benar-benar kehilanganmu. Sejak itu hidupku begitu sepi, siang dan malam aku selalu merindukanmu. Hingga akhirnya aku bisa meredam kesepianku itu, yaitu setelah perjumpaanku dengan seorang gadis yang telah begitu tulus merawatku, dan karenanyalah akhirnya aku pun mencintainya. Namun karena perbedaan keyakinan, akhirnya kami berpisah. Kini yang menjadi harapanku cuma kau Lara. Kaulah satu-satunya gadis yang kucintai sebagai kekasih dan bisa mengobati kesepianku... Lara, kini cintaku hanya untukmu.”
“Benarkah...?” tanya Lara dengan air mata mengembang.
Bobby mengangguk, dan tatapan matanya pun mengisyaratkan hal itu. Mengetahui itu, air mata Lara tiba-tiba berderai bahagia. Kini dia kembali teringat dengan goresan yang dibuat Bobby di pohon, ciuman hangat yang tak pernah dilupakan, dan juga ukiran kata-kata cinta pada cincin perak yang dibuatkan untuknya. Kini dia kembali yakin kalau semua itu memang telah dilakukan Bobby sebagai tanda cintanya yang tulus. “Oh, Kak... aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa saat itu kau bisa mengambil keputusan itumengorbankan perasaanmu yang begitu mencintaiku hanya demi sahabatmu?”
“Randy itu sahabat yang baik, Ra. Aku pernah berhutang nyawa padanya. Karenanyalah aku tidak mau membuat dia menderita, aku tidak mau berbahagia di atas penderitaannyadi atas penderitaan orang yang hampir mengorbankan nyawanya sendiri demi untuk menyelamatkanku. Lagi pula, aku yakin sekali kalau sahabatku itu akan membahagiakanmu, sebab dia itu betul-betul mencintaimu. Dan karenanyalah aku terpaksa memutuskanmu demi kebahagiaan kalian berdua. Lara... katakanlah sejujurnya! Apakah kau merasa bahagia saat bersamanya?“
“Iya, Kak. Walaupun pada mulanya aku merasa menderita karena harus berpisah denganmu, namun pada akhirnya aku bisa bahagia karena Randy telah memberikan sebuah harapan baru yang membuatku menjadi sangat mencintainya. Saat itu pun aku memaknai perpisahan kita itu sebagai sebuah karunia yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku merasa Tuhan memisahkan kita karena kau memang bukan pria yang tepat untukku. Sebab, pria yang baik hanya untuk wanita yang baik, dan pria yang masih suci hanya untuk wanita yang masih suci.”
“Ra, apa maksud perkataan terakhirmu itu?”
“Maaf, Kak. Kau itu memang pemuda yang baik, tapi bukankah kau sudah tidak suci lagi.”
“A-apa??? Aku sudah tidak suci lagi? Kenapa kau bisa mendugaku begitu?”
“Eng.. bukankah malam itu, di saat kau dan Nina jadian, kalian pergi ke hotel dan....”
“Cukup, Ra! Kini aku mengerti. Kau sudah menduga aku dan Nina telah berbuat yang tidak-tidak. Iya kan?”
 Lara mengangguk.
“Kau salah, Ra. Sebenarnya waktu itu kami pergi ke hotel bukan untuk itu, namun untuk...” Bobby pun segera menceritakan kejadian malam itu.
"O, jadi begitu,” kata Lara mengerti bahwa waktu itu Bobby dan Nina pergi ke hotel bukanlah untuk berbuat yang tidak-tidak.
Sebenarnya pada malam itu, Bobby pergi ke hotel untuk memenuhi undangan Randy yang sangat mendadak. Malam itu, setibanya di hotel Bobby langsung menghubungi sahabatnya dan memberitahukan kalau dia sudah tiba di hotel bersama Nina. “Iya.. iya... lima belas menit lagi aku sampai di tempat tujuan. Sudah ya, sampai bertemu nanti!” ucap Randy mengakhiri pembicaraan.
Lima belas menit kemudian, Randy sudah tiba di tempat itu dan langsung menemui mereka. “Hi, Bob, Nin... Apa kabar!” sapa pemuda itu.
“Baik!” jawab Bobby dan Nina serempak.
“Tunggu sebentar ya! Aku mau menghubungi temanku itu di kamarnya,” kata pemuda itu seraya duduk di sebelah Bobby.
Randy pun segera menghubungi temannya, dan setelah itu dia kembali berbincang-bincang dengan Bobby dan Nina. “Untung saja kau bisa kemari, Bob. Sebab kalau tidak, tentu kita bisa kehilangan kesempatan emas. Soalnya proyek ini betul-betul bersih, dan kau tidak perlu khawatir akan terlibat dalam dosa.”
“Ya mungkin ini memang sudah rezekiku, Ran. O ya, Ran... ngomong-ngomong, tadi kulihat HP-mu pakai pelindung juga.”
“Betul, Bob. Sebenarnya aku mengetahui tentang pelindung ini sudah sejak lama, namun aku baru menyadari kalau dampak radiasi HP itu ternyata memang sangat berbahaya. Karenanyalah, mau tidak mau aku pun memang harus memakainya.”
“Ketika dalam perjalanan kemari, aku pun sempat membicarakan masalah itu dengan Nina. Dan sekarang ini aku pun merasa perlu untuk memakainya.”
Mereka terus berbincang-bincang, hingga akhirnya teman Randy datang menemui mereka. “Hallo, Pak Randy. Maaf kalau lama menunggu!”
“Sama sekali tidak, Pak,” kata Randy seraya tersenyum. "O ya, Pak. Kenalkan, ini Pak Bobbyarsitek yang akan mengerjakan proyek kita itu.”
“Apa kabar, Pak Bobby?” tanya teman bisnis Randy.
“Baik, Pak,”  jawab Bobby singkat.
"O ya, Pak Bobby. Ngomong-ngomong, apa benar kau yang mengerjakan gedung besar yang terkenal itu. Soalnya kata Pak Randy kaulah yang mengerjakannya, dan setelah itu kau hanya mengerjakan proyek-proyek kecil karena suatu sebab.”
“Betul Pak,” kata Bobby seraya menjelaskan alasannya.
Dan setelah saling berkenalan, mereka pun melanjutkan perbincangan di sebuah cafe yang cukup nyaman. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk membina kerja sama dalam mengerjakan proyek besar yang bernilai trilyunan rupiah. Namun sayangnya ternyata proyek itu cuma fiktif belaka, dan pada saat itu Bobby dan Randy adalah orang-orang yang diperalat untuk mengelabui para investor. Karenanyalah, ketika keduanya berada di puncak waktu itu mereka langsung dibekuk polisi dan akhirnya dibebaskan karena mereka memang tidak bersalah. Sebab, mereka itu juga korban yang diperalat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Para pelaku proyek fiktif itu berhasil ditangkap disaat melakukan transaksi penukaran dollar di dealing room sebuah bank di Jakarta, yaitu sebelum proses over booking kedua rekening on screen.
"O ya, Ra. Ngomong-ngomong, kenapa ketika kau tahu tentang perihal keberadaan kami di hotel, kau tidak berusaha untuk mencari tahu lebih jauh?”
“Tidak sempat, Kak. Apa lagi setelah Nina tiada, bukankah tidak baik membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal. Karenanyalah sejak itu aku tidak pernah membicarakannya kepadamu maupun kepada Randy. Kini aku betul-betul menyesal karena sering berprasangka buruk, dan karena hal itu pula yang membuatku sering gelisah.”
Mendengar jawaban itu, Bobby jadi berpikir. Kalau setiap keburukan yang dilakukan seseorang adalah jalan untuk mengerti akan arti kehidupan, yaitu dimana keburukan dijadikan bahan renungan sehingga pelakunya tak mengulanginya lagi, maka budinya pun tentu akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
“Ra, aku sangat mencintaimu. Maukah kau menikah denganku?” tanya Bobby tiba-tiba.
Mendengar itu, Lara seketika terkejut. Sungguh dia tidak menyangka kalau pemuda itu melamarnya dengan mendadak seperti itu. “Kak, tidakkah ini terlalu cepat?”
“Tidak, Ra. Aku ingin cepat menikahimu karena aku tak mau menodai lagi cinta kita yang suci ini dengan hal-hal yang rendahseperti yang pernah kita lakukan selama pacaran dulubermesraan di luar ikatan yang sakral. Kini aku sudah lebih mengerti akan arti cinta yang sesungguhnya, yaitu cintaku kepadamu atas dasar cintaku kepada Tuhan. Karenanyalah, bagaimana mungkin aku mau menodai cinta itu dengan hal-hal yang tidak Tuhan kehendaki. Lagi pula, hanya dengan cara inilah aku bisa lebih meyakini kalau kau memang betul-betul mencintaiku. Sebab, aku mempercayai kalau pernikahan itu adalah suatu yang sakral dan mempunyai nilai ibadah. Dan jika pernikahan itu hanya dibuat main-main, maka pelakunya akan mendapat hukuman dari Tuhan.“ Bobby pun melanjutkan dengan menjelaskan kedua itu lebih detail lagi, sehingga Lara pun bisa memahaminya. Dan akhirnya dia mau menerima lamaran Bobby dengan penuh keikhlasan. 


 

Esok harinya, sepulang mengambil uang deposito yang kebetulan sudah jatuh tempo, Bobby langsung mengontrak sebuah rumah yang cukup besar. Berlokasi di sebuah pemukiman elit yang jauh dari keramaian. Di tempat itulah dia berniat untuk membina rumah tangga bersama Laracinta sejatinya yang sempat dia tinggalkan. Kini pemuda itu dan kekasihnya tampak berbincang-bincang perihal rencana pernikahan mereka.
“Bagaimana ini, Kak? Tampaknya orang tuaku tidak merestui pernikahan kita. Kata mereka, tidak sepantasnya aku menikahi seorang ‘teroris’. Dan mereka pun tidak mau mempunyai menantu yang sudah membunuh banyak orang.”
“Mmm... apa kau sudah menjelaskan kalau aku ini tidak terlibat?”
“Sudah, Kak. Namun, tetap saja mereka tidak percaya. Kata mereka, jika kau memang tidak terlibat kenapa tidak menyerahkan diri ke polisi.”
“Itu kan tidak mungkin, Ra. Bukti mengenai keberadaanku di dalam van waktu itu sulit untuk dibantah. Andai waktu itu kamera polisi tidak menangkap gambarku mungkin akan lain ceritanya.”
“Hmm... kalau begitu, bagaimana kalau Kakak sendiri saja yang menjelaskan kepada orang tuaku. Mungkin dengan begitu, mereka akan percayaseperti halnya aku mempercayaimu karena didukung oleh bahasa tubuhmu yang kupercaya tidak mungkin berbohong.”
“Tapi, Ra. Bagaimana jika mereka justru melaporkan aku kepada pihak berwajib?”
“Aku akan mengancam mereka. Jika sampai mereka melakukan hal itu, aku akan minggat, atau kalau perlu aku akan bunuh diri.”
“Laraku sayang... itu cuma ancamanmu saja kan? Dan kau tidak akan melakukan itu kan?”
“Tentu saja, Kak. Itu hanya ancaman saja.”
“Mmm... bagaimana jika orang tuamu berpikiran itu hanya ancaman saja, dan mereka pun tetap melaporkan aku?”
“Entahlah... aku tidak tahu.”
“Mmm... Kalau beitu baiklah... aku akan menemui kedua orang tuamu dan menjelaskan semuanya. Andai mereka mengadukan aku, aku akan menerimanya sebagai takdir yang harus kujalani. Ini memang berat, namun demi untuk menegakkan kebenaran aku siap menerima apa pun yang bakal terjadi.”
 “Eng, bagaimana kalau kita menikah dengan Wali Hakim saja, Kak?”
“Tidak, Ra. Ayahmu masih ada. Dan selama beliau tidak merestui dengan alasan yang dibenarkan oleh agama kita tidak mungkin bisa menikah.”
“Eng… Apa menurutmu, sekarang ini ayahku tidak merestui kita dibenarkan oleh agama?”
“Tentu saja. Bukankah beliau tidak merestui kita karena aku ini dianggap seorang ‘teroris’. Dan jika beliau memang mempunyai keyakinan kalau ‘teroris’ itu merupakan perbuatan yang melanggar ajaran agama, tentulah tindakannya itu tepat. Andai beliau mempercayai kalau aku bukan ‘teroris’ tentulah beliau akan merestuinya. Dan langkah terbaik yang memang harus aku lakukan adalah berusaha meyakinkan ayahmu, kalau aku ini bukanlah pria yang seperti diberitakan selama ini.”
Akhirnya sepasang kekasih itu sepakat untuk menemui kedua orang tua Lara. Sebab, saat ini mereka memang sudah tidak mempunyai alternatif lain, dan mengenai apa pun yang akan terjadi mereka serahkan kepada Tuhan, karena sebaik-baiknya tempat berserah diri adalah kepada-Nya. 


 

Seminggu kemudian, setelah Bobby dan Lara berusaha dengan gigih untuk meyakinkan kedua orang tua Lara, kalau Bobby bukanlah ‘teroris’ seperti yang diberitakan selama ini, akhirnya keduanya direstui untuk menikah. Pernikahan itu pun diselenggarakan dengan sangat sederhana karena ada kekhawatiran Bobby akan dikenali banyak orang. Saat itu pun Bobby sempat berjanji kepada kedua orang tua Lara, Jika kelak ia mempunyai bukti bahwa keterlibatannya dengan ‘teroris’ bukankah karena keinginannya, namun karena saat itu dia berada pada waktu dan tempat salah, maka ia pasti akan menyerahkan diri dan menyerahkan semua perkaranya kepada hukum. Maklumlah, undang-undang mengenai teroris masih belum sempurna, sehingga siapa pun yang mempunyai teman ‘teroris’ bisa dituduh sebagai ‘teroris’, walau pun sebenarnya ia sendiri tidak tahu kalau temannya itu merupakan seorang ‘teroris’. Karenanyalah ia harus mendapatkan bukti itu agar luput dari tuduhan, dan namanya pun bisa dibersihkan.
Hingga saat ini Bobby masih tetap mempunyai keyakinan kalau memperjuangkan keadilan itu masih bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih santun, karena agama yang diyakininya memang menganjurkannya demikian. Namun sebagai manusia yang tidak tahu apa-apa, Bobby berusaha untuk tidak menghakimi siapa pun. Sebab, dia menyadari betul kalau setiap perjuangan yang dilandasi oleh keyakinan yang kuat merupakan jalan untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dan perbedaan cara memperjuangkannya bisa jadi berbeda tergantung dari pemahaman agama dan sudut pandang orang yang mencari kebenaran itu. Karena itulah, tidak mustahil kalau seorang ‘teroris’ hanyalah sebagai  korban dari pemikiran yang keliru. Kini semuanya dikembalikan kepada Tuhan yang Maha Tahu segalanya, karena memang Tuhanlah yang paling berhak menghakimi benar salahnya seseorang.
Apalagi sekarang, dimana perang ideologi masih terus berlangsung. Dimana setiap manusia yang beragama merasa berkewajiban untuk menyampaikan kebenaran yang diyakininya. Maka setiap orang yang berbeda keyakinan akan menjadi musuh karena menjadi penghalang kebenaran yang diwajibkan kepadanya agar disampaikan. Sehingga pendoktrinan dan perang pemikiran yang tak sehat terus berkembang, mencuci otak orang-orang awam agar bisa menerima keyakinan yang disampaikan itu. Hingga akhirnya perang kepentingan pun tak terelakkan, yang mana masing-masing pihak berusaha memperjuangkan keyakinannya dalam kancah percaturan politik. Dalam perang kepentingan itulah, kekuasaan menjadi sarana yang paling mempuni guna mewujudkan cinta-cita mereka. Dilema... sungguh bagai buah simalakama. Hanya Pemerintahan Islam yang betul-betul Islami-lah yang bisa mendamaikan dunia ini dari perang kepentingan. Andai setiap pihak yang mau memperjuangkan Pemerintahan Islam dengan cara yang Islami, mungkin tidak akan ada lagi pihak yang merasa terzolimi.
Karenanyalah, sebagai orang awam, Bobby lebih memilih untuk tidak memikirkan masalah yang pelik itu lebih jauh. Dia lebih memilih memperbaiki budinya sendiri, yaitu dengan membaktikan diri kepada Tuhanberbuat baik dan menyampaikan kebenaran dengan cara yang lebih santun. Dia menyadari kalau tugasnya di dunia ini hanya untuk menyampaikan kebenaran dan bukan memaksakannya. Karenanyalah dia tidak mau ambil pusing dengan manusia yang menolak apa pun yang disampaikannya, semua dikembalikan kepada budi mereka sendiri yang sudah dikaruniakan Tuhan dengan akal yang dengannya dia bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak. Untuk itulah, kini dia terus berusaha untuk senantiasa mencintai semua makhluk ciptaan Tuhan yang beragam, dan berusaha bijak menyikapi setiap perbedaan yang ada. Namun dalam hatinya masih ada keraguan, apakah dia bisa betul-betul mencintai jika pada budinya tidak ada kepedulian sejati. Karenanyalah, selain menyampaikan kebenaran, dia pun berusaha untuk mengajak orang untuk mengikuti jejaknya yaitu memperjuangkan kebenaran dengan cara yang penuh kelembutan.
Saat ini pun Bobby sedang menyampaikan sebuah kebenaran kepada istri tercintanya dengan penuh kelembutan. “Sayang... ketahuilah! Bahwa melayani suami adalah ibadah yang dengannya kau bisa mendapat kebahagiaan di akhirat kelak. ”
“Iya, Kak. Namun, apakah semua hal yang bisa membahagiakan suamiku dapat kulayani?”
“Tidak, Sayang.... hanya hal-hal yang tidak menyimpang dari ajaran agama. Andai saja aku sampai memintamu untuk melayaniku, sedang hal itu bertentangan dengan ajaran agama kita, tolaklah aku dengan cara yang baik. Ketahuilah, Sayang... manusia itu tempatnya salah, dan jika aku sampai khilaf hendak melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Berilah peringatan kepadaku, dan sampaikanlah kebenaran itu dengan tanpa keraguan! Sekalipun kebenaran itu bisa jadi sangat menyakitkan.”
Suami istri itu terus berbincang-bincang mengenai hal-hal yang boleh dan tidak. Sementara itu di tempat lain, di sebuah ruangan yang dipenuhi berbagai barang mewah. Seorang pemuda tampak memberikan instruksi kepada empat orang anak buahnya. “Pokoknya kali ini kalian jangan sampai gagal! Jika kalian gagal lagi maka bonus tahun ini tidak akan kuberikan. O ya, gunakan ini untuk mendukung operasi kalian,” kata pemuda itu seraya memberikan sepucuk pistol kepada seorang anak buahnya yang dipercaya untuk pemimpin operasi. Dia bernama Reno, pemuda bertubuh kekar pemegang sabuk hitam.
“Baik, Pak. Kami akan berusaha,” kata Reno seraya menanggapi pistol itu.
Tak lama kemudian, Reno dan ketiga temannya segera meninggalkan ruangan. Mereka lantas menaiki mobil dan segera bergerak menuju ke wilayah yang menurut mata-mata mereka menjadi tempat persembunyian orang yang mereka cari.