E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Sayap Bidadari Bagian 6 [ Ungkapan Hati ]

ENAM
Ungkapan Hati


Tuk! Tuk! Tuk! Suara jemari Angel terdengar mengetuk-ngetuk balai kayu yang didudukinya. Saat itu dia tampak gelisah, pikirannya menerawang jauh – memikirkan Bobby dan juga naskah yang akan dikembalikannya. Sesekali gadis itu tampak memperhatikan Raka yang duduk disebelahnya, ingin rasanya dia mengatakan sesuatu pada pemuda itu, namun entah kenapa lidahnya terasa begitu kelu.    
“Kau kenapa, An? Dari tadi aku lihat kau seperti orang kebingungan,” tanya Raka heran.     
“Ti-tidak apa-apa, Kak,” jawab Angel terbata, “Eng… Bagaimana kalau kakak saja yang mengembalikan naskah ini? Biar aku menunggu saja di sini," lanjutnya kemudian.
"Lho, kau ini bagaimana sih? Bukankah dia memintamu membaca lantaran mau tahu pendapatmu. Kalau aku yang menyerahkannya, terus aku harus bilang apa?"
"Kak... Se-sebenarnya..." Angel tidak melanjutkan kata-katanya, saat itu dia tampak begitu berat untuk mengatakannya.
"Sebenarnya ada apa, An?" tanya Raka penasaran.
“Ti-tidak, Kak. Aku tidak mau mengatakannya.”
“Hmm… Jadi begini sikapmu sekarang, kau tidak mau berterus terang lagi padaku? Baiklah… Aku sadar kalau aku ini memang hanya teman biasa.”
“Kak… Baiklah, aku akan mengatakannya terus terang. Eng... A-aku mencintai Kak Bobby, Kak."
"A-apa??? Ka-kau mencintainya?" tanya Raka dengan keterkejutan yang tak terkira.
"Betul, Kak. Bukankah Kakak pernah bilang, kalau aku boleh memilih selain diri Kakak. Dan itu karena kita memang tidak mungkin bisa bersatu."
Sejenak Raka terdiam, raut wajahnya pun berubah sedih, dan tak lama kemudian dia kembali berkata, "Iya, An. Kau betul. Hingga saat ini orang tuaku memang masih belum bisa merestui hubungan kita. Eng... Jika kau memang betul-betul mencintainya, aku rela kau menjadi miliknya." Usai mengatakan itu, Raka pun kembali terdiam, saat itu dikejauhan sayup-sayup terdengar tembang manis dari Nadin yang berjudul "My Heart", yang kebetulan memang sedang tayang di TV. "Angel... bisakah kita mencintai yang lain," ucap pemuda itu kemudian.
"Kak... Bukankah tadi Kakak sudah merelakannya. Percayalah padaku! Kita pasti bisa, kak."
"Ya, semoga saja begitu," ucap Raka berharap. "O ya, An. Bukankah kau mencintainya. Lalu, kenapa kau justru seperti enggan bertemu dengannya?"
"A-aku takut, Kak. Bagaimana kalau dia menanyakan perihal keterlambatanku membaca naskahnya. Selain itu, aku juga malu, Kak. Lihat saja penampilanku sekarang! Beda sekali kan?"
"Kau sih pakai potong rambut segala. Padahal, kau itu lebih cantik dengan potongan kemarin. Sebab, potongan sekarang ini seperti..." Raka tidak melanjutkan kata-katanya.
"Seperti apa, Kak...?"
"Tidak, Ah. Aku tidak mau bilang."
"Cepat bilang, Kak! Awas, ya! Kalau tidak bilang aku marah nih," ancam Angel.
"Kau tidak pernah berubah juga. Selalu saja memaksakan keinginanmu. Kau itu seperti anak kecil, tahu."
"Biarin... Ayo cepat bilang! Seperti apa?"
"Baiklah... Potongan rambutmu itu seperti tante-tante."
"Tuh, iya kan. Tadi kakakku juga bilang begitu. Makanya aku malu bertemu Kak Bobby, nanti dia malah tidak suka padaku."
"An... Bobby tidak akan seperti itu, dia tidak akan menilai seseorang berdasarkan penampilannya. Sebab aku kenal betul siapa dia."
"Benarkah begitu?"
"Iya, An. Masa sih aku bohong padamu."
"Terus, bagaimana kalau dia marah perihal naskahnya?”
“Tidak akan, An. Aku saja yang membacanya lebih lama dari kamu tidak pernah dimarahi, apalagi kamu.”
“Eng, baiklah... Kalau memang begitu, ayo kita berangkat sekarang!" ajak Angel bersemangat.
Lalu tanpa buang waktu, mereka pun segera berangkat menuju rumah Bobby. Setibanya di tempat tujuan, keduanya segera menemui Bobby dan berbincang-bincang di teras muka.
"Maaf ya, Kak. Kalau aku terlalu lama mengembalikan naskah Kakak," ungkap Angel kepada Bobby.
"Sudahlah! Aku maklum kok. Kau pasti sibuk, iya kan?"
"Iya, Kak. Maklumlah, setiap kali aku mau membaca naskah Kakak, ada saja temanku yang datang dan memintaku untuk mendengarkan keluh kesahnya. Bukankah kau pernah bilang kalau aku ini tempat penampungan keluh-kesah teman-temanku. Dan tampaknya mereka memang tidak mau mengerti, kalau aku sendiri juga sedang punya banyak masalah yang terkadang membuatku bingung—kepada siapa harus menumpahkannya. Tapi untunglah, Tuhan selalu memberi jalan agar aku bisa menumpahkannya. Seperti yang belum lama ini terjadi. Ketahuilah! Sebetulnya sudah lama sekali aku tidak pernah menghubungi Raka. Maklumlah, selama ini aku sibuk menuntut ilmu. Semula aku berniat menemuinya karena aku sedang kursus komputer, dan karena aku ingat Raka jago komputer lantas aku pun berniat minta diajarkan olehnya. Maksudnya sih, biar nilai kursusku jadi bagus. Eh, ujung-ujungnya aku bukan belajar tapi malah curhat sama dia. Hihihi...! Semula dia sih sempat marah padaku, katanya aku datang cuma lagi butuh saja. Tapi untunglah, dia itu memang teman yang baik—biarpun begitu dia tetap mau mendengarkan keluh-kesahku," jelas Angel panjang lebar.
Mendengar itu, Raka langsung komentar. "Ya namanya juga anak kecil. Kalau tidak dituruti pasti ngambek. Ketahuilah, Bob! Jika Angel sudah ngambek bisa membuat orang di sekelilingnya jadi pusing tujuh keliling. "
"Bohong, Kak," ucap Angel seraya memasang tampang galak pada Raka. "Kak Raka! Kau ini apa-apaan sih," kata Angel seraya mencubit pinggang pemuda itu.
"Nah, lihat sendiri kan, Bob. Dia itu memang suka begini," komentar Raka lagi.
Saat itu Bobby cuma cengar-cengir melihat kelakuan Angel yang demikian. "O ya, ngomong-ngomong bagaimana pendapatmu soal naskahku?" tanya Bobby mengalihkan pembicaraan.
"O ya, Kak. Sebetulnya aku sudah menulis pendapatku itu pada buku catatanku. Tapi, aku belum sempat menyalinnya. Nanti ya, jika sudah pasti akan kuberikan pada Kakak."
"Ya sudah kalau begitu. Tapi, kau kan bisa mengemukakannya secara singkat."
"Iya, Kak. Secara garis besar cerita itu sudah cukup bagus. Namun menurutku masih ada beberapa bagian yang masih perlu diperbaiki."
"O ya, apa itu?"
"Wah, aku lupa, Kak. Pokoknya semua itu ada di buku catatanku."
"Baiklah... Aku mengerti, kok. O ya, ngomong-ngomong… Bagaimana dengan kursus komputermu?"
"Aku sudah tidak pernah datang lagi, Kak. Habis waktu itu kalian mentertawakan aku sih," jawab Angel.
"Tuh, iya kan, Bob,” kata Raka tiba-tiba, “Aku yakin, dia pasti ngambek karena waktu itu kita telah mentertawakannya. Dia itu memang suka begitu, Bob. Makanya kalau bicara sama dia itu harus hati-hati! Sebab, kalau tidak kau tahu sendiri akibatnya kan?"
"Hmm... Pantas saja waktu itu aku tidak bertemu Angel,” kata Bobby mencoba menceritakan perihal penantiannya yang menjemukan. “Kalian tahu tidak, waktu itu aku sempat menunggu Angel di tempat kursusnya sambil terus berdiri di pinggir jalan. Aku baru tahu kalau menunggu selama itu, selain menjemukan ternyata juga bisa membuat kedua kakiku jadi pegal, pegaaal sekali rasanya."
“Ka-Kau menunggu Angel sampai seperti itu, Bob?” tanya Raka hampir tak mempercayainya.
“Ya, tapi sayang... Ternyata usahaku itu sia-sia belaka lantaran orang yang kutunggu sedang mogok belajar.”
"Ma-mafkan aku, Kak. Aku tidak menyangka kalau kakak sampai datang ke tempat kursusku dan menungguku selama itu," ucap Angel tulus.
"Kau tidak perlu minta maaf, An. Semua itu karena kebodohanku yang tidak sabar ingin bertemu denganmu dan mengetahui perihal naskahku.”
“Tidak, Kak. Aku tetap merasa bersalah. Andai saja aku bisa lebih cepat membaca naskah itu, tentu tidak akan seperti itu kejadiannya.”
Bobby tersenyum, “Baiklah… kalau kau memang merasa bersalah, mau tidak mau aku memang harus memaafkannya,” ucapnya kemudiam. Dalam hati pemuda itu menyesal juga lantaran ketidakterusterangannya, kalau dia menunggu Anggel bukan saja ingin mengetahui soal naskahnya, namun yang lebih utama karena dia ingin mengucapkan selamat atas kelulusan Angel sebagai wujud perhatiannya, dan yang tak kalah penting karena dia sudah sangat merindukannya. “O ya, An. Ngomong-ngomong, benarkah hanya karena kami telah menertawakanmu lantas kau jadi mogok belajar?" tanya Bobby kemudian.
"Ya, pokoknya itu karena kalian telah mentertawakan aku. Terus terang, aku malu sekali, Kak. Orang-orang sudah pada jago menggunakan Word Processor, eh aku baru mulai belajar. Aku benar-benar menyesal, kenapa saat masih di SMP aku tidak mau mengikuti pelajaran komputer. Coba waktu itu aku masuk di sekolah yang mewajibkan pelajaran itu, tentu kini aku sudah mahir."
"An... Bukankah waktu itu kau pernah bilang, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Apa kau tidak lebih malu jika betul-betul tidak bisa?"
"Sudahlah, Kak. Mending bicara yang lain saja. Terus terang, aku pusing nih."
"Iya kan, Bob. Dia memang selalu begitu, kalau dia tidak bisa menjawab pasti jawabannya pusing..."
"Biarin... Memang nyatanya aku suka pusing kok," bela Angel dengan wajah cemberut.
 Ketiga muda-mudi itu terus berbincang-bincang, hingga akhirnya waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. "Kak, aku pulang ya! Sudah terlalu malam nih," pamit Angel.
"Iya, An. Sepertinya memang sudah waktunya kau pulang. Tapi sebelum itu, aku akan memberikan sesuatu padamu."
"Apa itu, Kak?" tanya Angel penasaran.
"Tunggu sebentar ya!" pinta Bobby seraya melangkah masuk. Tak lama kemudian, dia sudah kembali dengan membawa amplop besar berwarna coklat. "Ini, ada naskah baru. Dibaca ya!"
"Aduh... Naskah lagi. Maaf deh, Kak. Belakangan ini aku lagi banyak masalah, nanti saja jika semuanya sudah beres. Terus terang, aku takut kalau akan terlalu lama membacanya,"
"Santai saja, naskah ini untukmu kok. Kau tidak perlu mengembalikannya, sebab aku sengaja menulis ini agar kau bisa memahami berbagai gaya menulis yang bisa digunakan. Maklumlah, sebenarnya naskah ini adalah kumpulan cerpen yang kutulis dengan berbagai gaya kepenulisan. Dengan begitu, kau akan menemukan gaya mana yang sesuai dengan karaktermu."
"Betul ini untukku?"
Bobby mengangguk.
"Kalau begitu terima kasih ya, Kak. Kau sudah mau repot-repot menyediakan semua ini untukku."
Saat itu Bobby hanya tersenyum saja. "O ya, ngomong-ngomong aku ikut dengan kalian ya!"
"Mau apa, Kak? Ini kan sudah malam."
"Aku cuma mau tahu rumahmu kok. Jika aku ada naskah baru, kau kan tidak perlu repot-repot datang kemari. Biar aku saja yang mengantarnya hingga ke rumahmu."
"Betul, An. Biarkan Bobby ikut. Lagi pula, jika kelak kau terlalu lama membaca naskahnya, dia kan bisa langsung menemui dan memarahimu. Hehehe...!"
Mengetahui itu, Angel langsung merespon, "Kalau begitu, aku tidak akan mau jika disuruh membaca naskah Kak Bobby lagi," ancam Angel dengan wajah serius.
"Tidak kok, An. Tadi itu aku cuma bercanda. Percayalah! Bobby tidak akan seperti itu. Sebetulnya aku cuma kasihan saja sama dia, jangan sampai dia menunggumu lagi di suatu tempat seperti yang diceritakannya tadi."
"Kau kan bisa mengantarkan Bobby ke rumahku, Kak."
"Iya, kalau aku lagi ada di tempat. Kalau tidak bagaimana?"
"Betul itu, An. Lagi pula, aku tidak mau jika sampai merepotkan Raka," timpal Bobby memberi alasan.
Karena alasan Bobby masuk akal, akhirnya Angel setuju juga. "Eng... Kalau begitu, baiklah... Kakak boleh ikut," katanya mengizinkan.
"Nah begitu dong," kata Bobby bersemangat seraya buru-buru mengeluarkan sepeda motornya.
Tak lama kemudian, ketiga muda-mudi itu sudah melaju ke rumah Angel. Saat itu Raka yang memboncengi Angel tampak melaju lebih dulu, sedangkan Bobby tampak membuntutinya. Setibanya di rumah Angel, Bobby sempat terheran-heran lantaran rumah Angel ternyata tidak begitu jauh dari gang tempatnya dulu mengantar. Lantas dalam hati pemuda itu langsung membatin, "Hmm... Kenapa waktu itu Angel bilang rumahnya jauh? Padahal, dari gang itu cuma butuh waktu dua menit untuk bisa sampai ke sini,” tanya Bobby seraya memperhatikan keadaan rumah Angel yang kecil dan tidak terawat. “Mmm… Apa betul ini rumahnya Angel?" tanya Bobby lagi hampir tak mempercayainya.
Rumah kecil itu bertingkat dua, bagian dasarnya terbuat dari batu bata yang kokoh, namun bagian atasnya terbuat dari kayu yang tampak lapuk. Kamar Angel berada di lantai atas, di sampingnya terdapat balkon sederhana yang juga terbuat dari kayu dan langsung terhubung dengan tempat menjemur pakaian. "Hmm... Apa mungkin karena ini yang membuatnya tidak mau diantar sampai ke rumah? Bahkan, tadi pun dia begitu keberatan jika aku ikut ke sini. Hmm… Apakah karena hal ini pula yang membuatnya tidak bisa bersatu dengan cinta sejatinya?" tanya Bobby dalam hati sambil terus memperhatikan keadaan rumah Angel yang ternyata bukan orang berada.
"Yuk masuk dulu, Kak!" ajak Angel kepada kedua pemuda itu.
Karena ajakan itulah, lantas Bobby dan Raka tidak langsung pulang. Kini mereka justru asyik melanjutkan perbincangan sewaktu di rumah Bobby. Saat itu mereka ngobrol di teras muka, di atas sebuah kursi bambu yang beralaskan bantalan yang cukup empuk. Bantalan itu terbuat dari sponge bekas berlapis kain yang terbuat dari kantong terigu.
Bobby, Raka, dan Angel terus berbincang-bincang hingga akhirnya... "Huaaahh...!" Raka menguap lebar. "Aduh...! Aku sudah mengantuk sekali nih. Kita pulang yuk, Bob!" ajaknya kemudian seraya melihat jam di HP-nya. "Gila...! Sudah hampir pukul dua belas," katanya lagi dengan agak terkejut.
"Benarkah? Perasaan kita baru sebentar berada di sini," komentar Bobby yang sebetulnya masih ingin berlama-lama di tempat itu—merasakan kebahagiaan bersama gadis yang dicintainya.
Mendengar itu, Raka langsung membatin, "Hmm... Tampaknya Bobby pun menyukai Angel, buktinya dia sampai tidak menyadari kalau waktu sudah berlalu begitu lama. Aku menduga saat ini dia tentu masih ingin berlama-lama dengan Angel. Hmm... Bagaimana ya?" Sejenak Raka memikirkan perihal itu, hingga akhirnya dia bisa juga mengambil putusan. "An! Aku pulang ya. Terus terang, aku sudah tidak kuat lagi. Maklumlah, belakangan ini aku memang kurang tidur," pamit pemuda itu. "O ya, Bob. Jika kau masih betah, biar aku pulang sendiri saja."
Mengetahui itu, Bobby lekas merespon, "Tidak ah. Enak saja kau tinggalkan aku sendiri. Ketahuilah…! Jika aku pulang sendirian, bisa-bisa aku malah nyasar? Bukankah jalan ke sini sangat berliku, bahkan aku tidak yakin kelak aku masih ingat jalan menuju ke sini."
Angel yang sejak tadi diam, tiba-tiba ikut bicara. "Kak Bobby! Sebetulnya jalan ke sini mudah kok. Tadi aku sengaja meminta Raka lewat jalan tadi dikarenakan jalan yang biasa kulewati sedang dipakai hajatan. Tapi bukankah sekarang sudah jam segini, aku rasa pesta itu sudah bubar."
"Tapi, biar pun katamu mudah kalau aku belum pernah lewat jalan itu bagaimana aku bisa tahu. Karenanyalah, sebaiknya aku pulang bersama Raka saja. An, aku pulang ya!"
"Eng.. Iya deh. Kalian hati-hati di jalan, ya!"
Tak lama kemudian, Bobby dan Raka tampak sudah melaju dengan sepeda motornya masing-masing, hingga akhirnya mereka menghilang di kejauhan. Sementara itu, Angel yang kini sudah berada di kamar tampak sedang berkemas untuk tidur. Namun belum sempat dia merebahkan diri, tiba-tiba ingatannya langsung tertuju kepada naskah yang baru diberikan Bobby. Karena penasaran, lantas gadis itu pun berniat melihat-lihatnya sejenak. "Eh, apa ini?" tanya Angel heran ketika melihat sepucuk surat tampak terjatuh di pangkuannya. Entah kenapa, tiba-tiba saja Angel sudah tidak tertarik lagi dengan naskah yang hendak dilihatnya, namun dia lebih tertarik dengan sepucuk surat yang membuatnya begitu penasaran. Kini gadis itu sudah merobek aplop surat dan segera membaca isinya.


Hi, Angel sayang...!
Semoga Angel selalu dalam lindungan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amin...
Angel sayang... Ketahuilah... Kalau aku sangat mencintaimu, dan aku sangat sayang padamu. Aku tahu kau sudah mempunyai pujaan hati, namun bukankah kau pernah berkata kalau kalian sulit untuk bisa bersatu. Angel sayang... Berilah aku kesempatan untuk bisa membahagiakanmu. Kau tidak perlu melupakan cinta sejatimu, biarlah ia tetap berada di hatimu... Sebab, aku hanya mendambakan bisa mencintaimu. Sesungguhnya dengan itu saja sudah cukup buatku untuk bisa membahagiakanmu. Sejujurnya aku tidak peduli apakah kau bisa mencintaiku atau tidak, yang terpenting buatku adalah aku bisa mencintaimu dan mencurahkan kasih sayangku dengan sepenuh hati. Kalau kau mau tahu, kenapa aku mau bersikap demikian? Sebab hingga kini aku masih mempercayai, kalau cinta itu adalah mau memberi dan melayani orang yang dicintainya, dan bukannya mengharap imbalan dari orang yang dicintainya.
Angel sayang... Ketahuilah… Semula aku sempat ragu apakah kau memang pantas menjadi kekasihku. Maklumlah, usia kita memang cukup jauh berbeda. Namun setelah aku ingat kalau istri Nabi Muhammad yang bernama Siti Aisyah ternyata juga mempunyai perbedaan usia yang cukup jauh, malah bisa dibilang sangat jauh. Toh keduanya bisa menjadi pasangan suami-istri yang serasi, dan bahkan sangat harmonis. Karena itulah, akhirnya aku pun tidak mempermasalahkan usia lagi. Bagiku kau adalah belahan jiwaku, dan aku tidak akan menuntut banyak darimu. Aku hanya mau kau bisa menerimaku apa adanya, dan juga mau mendengar segala nasihatku yang tak menyimpang dari Al-Quran dan Hadits, semata demi untuk kebaikanmu.
Angel sayang... Terus terang, sebetulnya aku sangat berharap kau mau menerima cintaku ini! Dan aku akan bahagia sekali jika kau mau menerimanya. Andai pun tidak, izinkanlah aku untuk selalu bisa mencintai dan menyayangimu. Biarlah nanti aku turuti saja keinginan orang tuaku yang menginginkan aku menikah dengan gadis pilihan mereka, yaitu gadis yang tak aku cintai. Bahkan aku sendiri tidak yakin apakah aku bisa membahagiakannya, sebab dia itu memang bukan gadis yang aku cintai. Ketahuilah! Syarat utama untuk bisa menjadi pemimpin adalah seorang pemimpin harus mencintai orang yang dipimpinnya. Karena itulah takdir wanita itu dipilih dan bukan memilih, sebab wanita itu bukanlah seorang pemimpin di dalam rumah tangga. Ketahuilah… Pria itu adalah pemimpin yang senantiasa berpikir secara rasional dan terkadang memang suka bentrok dengan pola pikir wanita yang rumit dan sangat emosional. Itulah kenapa aku memilihmu daripada wanita pilihan orang tuaku sendiri, sebab aku sangat mencintaimu. Dan aku percaya, dengan cinta itulah, Isya Allah seorang suami tidak akan tega untuk menceraikan istrinya, walau bagaimanapun buruknya konflik rumah tangga. Berbeda jika seorang pria menikahi wanita tanpa didasari cinta, bisa-bisa dengan begitu mudahnya dia akan menjatuhkan talak perceraian.
Angel sayang... Ketahuilah…! Setelah sekian lama aku mencari tambatan hatiku, hanya kaulah yang begitu kucintai sama seperti ketika dulu aku mencintai cinta sejatiku. Cerita "Demi Cinta Sejatiku" 75% adalah kisah nyata. Tokoh Irfan itu adalah aku, dan Thufa adalah gadis yang betul-betul aku cintai. Kini Thufa telah menikah dengan tambatan hatinya sendiri, dan karenanyalah aku tak mempunyai harapan lagi. Kini hanya kaulah gadis yang kucintai dengan sepenuh hatiku. Percayalah…! Kau itu bukanlah pelarian cintaku, sebab cintaku padamu sebesar cintaku kepada cinta sejatiku. Jika bukan karena itu, untuk apa aku menulis semua ini, yang sejujurnya adalah merupakan ungkapan perasaanku. Percayalah…! Ini bukan cinta buta, sebab aku semakin bertambah cinta padamu setelah mengetahui kalau kau itu begitu menyukai berbagai hal yang menyangkut kerohanian, yang dengannya kau bisa menjadi gadis yang shalihah. Seorang gadis yang suatu hari kelak bisa menjadi istri idaman, yang bersama suaminya bisa bersama-sama mengarungi dunia yang fana ini dalam upaya membekali diri guna meraih kebahagiaan di kehidupan selanjutnya, yaitu surga Allah SWT.
Demikianlah Angel sayang... Aku sengaja mengungkap ini agar kau tahu kalau aku benar-benar mencintaimu. Kutunggu jawaban darimu.
Bye... Angel sayang...! Sekali lagi aku doakan semoga Angel selalu dalam lindungan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amin...
Salam sayang selalu dari aku yang begitu mencintaimu... 
Bobby 


Setelah membaca surat itu, Angel tampak senang bercampur heran. "Dia panggil aku dengan sebutan ‘Sayang’? Huh, gombal sekali. Benarkah semua yang dikatakannya ini. Jangan-jangan... Ah, dia pasti cuma mau mempermainkanku. Mmm... Tapi, bagaimana jika dia memang betul-betul mencintaiku. Aduh, kini aku benar-benar jadi bingung. Tidak kupungkiri, aku memang sudah jatuh hati padanya. Tapi... Prosesnya kan tidak harus secepat ini. Lagi pula, aku kan belum mampu untuk melupakan Raka. Hmm... Benarkah Kak Bobby bisa menerimaku jika aku menduakan cintanya. Sungguh mengherankan, dia itu kan laki-laki. Tidak mungkin lelaki mau diduakan cintanya. Ya, aku rasa memang begitu. Maksud Kak Bobby bicara begitu pasti cuma alasan saja demi mendapatkan cintaku. Sungguh gegabah sekali dia, apa jadinya jika kelak ternyata dia tidak mau aku duakan. Lagi pula, dia kan tidak tahu cinta sejatiku. Kalau saja dia tahu, mungkin dia akan berpikiran dua kali untuk menyatakan cintanya. Kalau begitu, aku harus membicarakan masalah ini pada Kak Raka."
Malam itu Angel jadi susah tidur. Lama dia terus memikirkan perkara yang memusingkan itu hingga akhirnya dia baru tidur setelah waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.
 

Sore harinya, Angel langsung menemui Raka. Saat itu dia langsung menumpahkan segala kebingungan yang menimpanya, yaitu segala hal yang berkenaan dengan surat yang dibacanya semalam.
"Lho... Memangnya kenapa? Bukankah seharusnya kau itu senang?"
"Tapi, Kak. Ini kan terlalu cepat. Terus terang, aku belum siap. Aduh, Kak... Sungguh hal ini telah membuatku bertambah pusing. Satu persoalan belum selesai, eh sudah ditambah persoalan baru. Kak… Sepertinya aku ingin mati saja."
"Ya, sudah. Kalau kau memang mau mati, apa perlu aku belikan tambang sekarang, biar kau cepat bisa gantung diri."
"Kak Raka... Ka-kau... Kau betul-betul ingin aku mati?"
"Habis, aku sudah lelah memberitahumu. Kau itu kan sudah dewasa, cobalah berani sedikit mengambil sikap, jangan seperti anak kecil begitu. Kalau kau memang masih mencintaiku, bukankah kau bisa menolaknya. Namun jika tidak, ya kau tinggal menerimanya. Berapa kali aku harus bilang kalau aku bisa merelakannya. Kupikir waktu itu kau sudah memahaminya, tapi ternyata..."
"Iya, aku ini memang masih seperti anak kecil, dan aku benar-benar bingung mengambil sikap. Ketahuilah, Kak… Jika aku jawab tidak, aku takut dia akan menikah dengan wanita pilihan orang tuanya. Namun jika aku jawab iya, aku kan belum begitu mengenalnya."
"Ya, Bobby memang ada-ada saja. Seharusnya kepada gadis sepertimu jangan menyatakan cintanya begitu cepat. Seharusnya dia itu berusaha untuk pendekatan lebih dulu."
"Kau benar, Kak. Seharusnya memang seperti itu, aku tuh maunya pendekatan lebih dulu."
"Tapi, aku mengerti kenapa Bobby bersikap demikian. Sebab, dia itu pasti sudah didesak oleh orang tuanya untuk segera menikah. Dan sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, tentu dia ingin segera membahagiakan kedua orang tuanya. O ya, An... Aku ingin tahu lebih pasti, apakah benar kau itu memang benar-benar mencintai Bobby?"
"Iya, Kak. Sepertinya aku memang benar-benar mencintainya."
"Kok sepertinya?"
"Eh, Iya… Iya... Aku memang benar-benar mencintainya."
"Eng, baiklah.... Jika kau memang benar-benar mencintainya, aku akan berusaha untuk membantumu."
"Nah begitu, Dong. Kata-kata itulah yang sejak tadi kutunggu-tunggu. Kak Raka, janji ya kalau Kakak mau membantuku menyelesaikan masalah ini! Eng, kini apa yang sebaiknya aku lakukan?"
"Mmm... Mudah saja. Kau jangan sampai mengatakan isi hatimu padanya!"
"Iya, aku juga tahu. Tapi bagaimana jika dia menanyakannya?"
"Usahakanlah jangan sampai bertemu dengan dia."
"Duh, Kakak ini bagaimana sih? Dia itu kan sudah tahu rumahku, dia pasti akan datang mencariku."
"I ya, An. Aku mengerti. Tapi untuk sementara, kau kan bisa tinggal di rumah saudaramu, atau sahabat perempuanmu."
"Hmm… Sepertinya itu ide yang bagus, Kak. Untuk sementara ini, sebaiknya aku memang harus menghilang."
 Kedua muda-mudi itu terus membahas masalah itu lebih lanjut. Sementara itu di tempat berbeda, Bobby tampak sedang memikirkan perihal surat yang diberikannya pada Angel. "Mmm... Angel pasti sudah membaca suratku. Lalu, kenapa hingga kini dia belum juga memberikan jawaban. Mmm… Kenapa ya? Apa dia sedang pikir-pikir dulu? Baiklah… Jika memang benar demikian, aku akan memberinya waktu hingga satu minggu. Namun jika ternyata dia masih belum juga memberi kabar, terpaksa aku harus menemuinya."