E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Merah Muda & Biru - Bagian 9

Sembilan


Sepuluh tahun telah berlalu. Semenjak Bobby menekuni bisnis MLM, penghasilannya pun meningkat drastis. Beberapa usaha kecil yang didirikan dengan modal yang didapatnya ketika menjalankan MLM sudah berjalan dengan baik, salah satunya kini sudah tumbuh menjadi perusahaan besar berskala Internasional. Hal itu bisa terwujud karena ilmu MLM yang selama ini dipelajarinya telah diterapkan untuk kemajuan perusahaannya sendiri, yaitu dengan cara mengadopsi sistem MLM yang Islami.
Kini Bobby memang sudah menjadi seorang konglomerat dengan penghasilan yang boleh dibilang berlebihan. Namun begitu, dia tidak lupa dengan kewajibannya untuk membayar zakat. Kelebihan uang yang direzekikan kepadanya itu pun, sebagian selalu disisihkan untuk membantu sesama. Dan yang terpenting adalah, dia bisa mengelola uang itu agar senantiasa membawa manfaat. Selama ini dia berusaha tidak tergoda menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang bersifat duniawi, belanja barang-barang mahal yang tidak terlalu penting misalnya. Dia berpendapat, lebih baik uang itu dipakai untuk membuka lapangan kerja baru yang Islami. Karenanyalah, dia pun mencoba mendirikan sebuah rumah produksi yang Islami. Sebuah rumah produksi yang memberi kesempatan kepada seniman-seniman Islam untuk bisa berkarya dengan tanpa melanggar aturan Al-Quran. Namun, tantangan yang dihadapi pada usaha barunya itu tidaklah mudah, beberapa kendala mengenai halal-haram memang tidak mudah untuk diatasi. Tapi karena tujuannya adalah ibadah, maka ia pun akhirnya tidak begitu mementingkan keuntungan, yang terpenting baginya adalah bagaimana ia bisa membuat film/sinetron yang bermutu dan mengajak orang untuk berbuat baik, yaitu dengan mengangkat cerita-cerita yang Islami. Walaupun menurut prediksi, cerita seperti itu tidaklah begitu komersil. Namun begitu, dia tetap ngotot untuk memproduksinya. Sekali lagi, itu semua lantaran tekadnya yang kuat untuk beribadah, bukan semata-mata mencari keuntungan.
Saat ini pun Bobby sedang membicarakannya dengan seorang sutradara yang dipercaya bisa mewujudkan keinginannya itu. Kepada Sang Sutradara, Bobby mengemukakan keinginannya untuk membuat sinetron murni untuk tujuan ibadah. Karenanyalah, dia tidak mau jika proses pembuatan sinetron Islami, namun dengan cara yang tidak Islami. Semisal, jika ada adegan suami istri yang menyentuh istrinya dengan mesra. Bobby tidak mau jika aktor dan aktris yang memerankan adegan itu bukanlah suami istri, karena dalam Islam tidak dibenarkan pemuda dan perempuan yang bukan muhrimnya untuk saling bersentuhan.
Bukan film laga saja yang membutuhkan peran pengganti, namun dalam film yang akan Bobby produksi itu ternyata membutuhkan banyak pemeran pengganti yang akan menggantikan adegan yang menurut Bobby cukup berbahaya. Semisal, adegan ketika seorang penjahat yang sedang menyandera seorang gadis. Dalam adegan itu, si penjahat mendekap si gadis sambil mengarah pisaunya ke arah ulu hati. Saat itulah dibutuhkan adanya peran pengganti, yaitu si gadis dalam adegan itu harus digantikan oleh seorang pria yang telah di make up menyerupai si gadis. Bukan itu saja, awal adegan pemerkosaan pun sama-sekali tidak ditampilkan, yang ditampilkan hanya para setan yang tengah bersorak kegirangan sambil berseru “Ayo terus… lampiaskan nafsumu, kau pasti akan bersama kami di Neraka, Ha... ha... ha…!”
Itulah segala persyaratan yang Bobby ajukan kepada sang Sutradara yang kini sedang berpikir keras untuk bisa mewujudkan semua itu. “Pak Bobby, sebenarnya bisa saja saya melakukan itu. Namun, hal itu pasti akan membuat biaya produksi semakin membengkak. Padahal, belum tentu film yang tidak komersil ini akan sukses di pasaran. Apakah Bapak tidak takut rugi, jika nanti biaya produksinya tidak tertutupi.”
“Kita kan belum mencobanya, Pak. Lagi pula, soal rezeki itu kan urusan Tuhan. Kalau Tuhan memang menghendaki saya untuk mendapat keuntungan dari usaha itu, maka tidak mustahil film itu akan disukai pasar,” jawab Bobby optimis.
“Baiklah, Pak. Kalau begitu, kapan saya sudah bisa mulai memproduksinya?”
“Insya Allah, setelah urusan perizinan dengan Penulis yang menulis naskah cerita yang akan kita produksi ini beres. Soalnya, si Penulis ini juga tidak menghendaki jika ceritanyayang akan kita angkat ke layar kaca nanti justru membuat dampak yang tidak baik.”
“Baiklah, Pak Bobby. Jika sudah tidak ada lagi yang dibahas saya mohon pamit, hari ini saya harus menyelesaikan produksi episode terakhir sinetron yang sedang saya buat.”
“O… Silakan, Pak. Terima kasih karena sudah menyediakan waktu untuk bertemu saya.”
“Sama-sama, Pak. Mari…”
Bobby pun mengantarkan orang itu hingga keluar ruangan. Pada saat yang sama, tiba-tiba saja HP-nya yang berada di saku berbunyi.
“Iya, ada apa, Sayang…?” tanya Bobby menjawab panggilan itu.
“Bang, cepatlah pulang. In-Intan, Bang…”
“Intan kenapa?”
“Intan kecelakaan, Bang…”
“Innalillahi… Baiklah, Sayang…  aku akan segera pulang.”
Setelah memutuskan sambungan, Bobby pun segera pulang menjemput istrinya dan bersama-sama menuju ke rumah sakit. Kini mereka tengah menunggu di depan ruang gawat darurat dengan perasaan cemas. Hingga akhirnya seorang dokter datang menemui mereka.
“Bagaimana, Dok?”
“Syukurlah...  Atas izin Tuhan, putri Bapak bisa diselamatkan.”
Betapa senangnya Bobby dan Dewi yang mendengar kabar itu, mereka pun segera bersujud sukur atas pertolongan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
“Terima kasih, Dok!” Ucap Bobby kepada Dokter yang telah dipercaya Tuhan sebagai perantara keselamatan putrinya.
“Sudahlah, Pak. Itu kan memang sudah tugas saya,” jawab Sang Dokter yang menyadari kalau itu semua memang atas izin-Nya.
Setelah Intan dipindah ruangan, Bobby tampak sedang memandangi putrinya yang kini masih belum sadarkan diri. Saat itu Bobby hanya bisa berdoa agar putrinya lekas sembuh, dan saat itu dia tampak optimis kalau putrinya akan baik-baik saja. Sebab, sang Dokter memang sudah meyakinkannya.
Selama Intan berada di rumah sakit, ketiga istri Bobby selalu bergantian menjaga Intan dengan penuh perhatian hingga akhirnya gadis itu diizinkan pulang. Bobby sangat bersyukur mempunyai ketiga orang istri yang kini sudah betul-betul menjadi istri-istri yang sholehah. Saat ini pun, Bobby dan ketiga istrinya, juga beserta anak-anak mereka tampak sedang berkumpul untuk berdoa bersama dalam acara syukuran yang diadakan di kediaman Dewi. Begitulah keluarga Bobby yang mulai menyadari akan arti kehidupan, yang tanpa menghiraukan ego terus berupaya konsisten untuk menjalani kehidupan sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhan seru sekalian alam.


 

Di siang yang cerah, di ruang tamu kantornya. Bobby tampak sedang berbicara dengan seorang wanita mualaf yang akan menjadi pemeran utama wanita dalam film yang akan diproduksinya. Saat itu dia juga ditemani oleh sutradara dan asisten sutradara yang akan menggarap film tersebut.
"Saudari Olivia, apakah skenario yang diberikan padamu sudah kau pelajari?’
“Sudah, Pak.”
“Nah, Olivia. Apakah kau siap memerankan peran itu?”
“Insya Allah, Pak. Terus terang, karakter yang akan kuperankan itu memang cukup menantang. Maklumlah, aku ini kan masih gadis, sedangkan karakter itu adalah seorang janda yang kehidupannya sangat jauh berbeda dengan kehidupanku sehari-hari. Bagiku hal itu sangat menarik dan yang pasti akan menambah pengetahuanku dalam soal akting.”
Bobby dan aktris muda itu terus berbincang-bincang mengenai film yang akan diproduksinya. Sebuah film yang mengisahkan tentang ketabahan janda muda yang ditinggal mati suaminya. Dimana pada film itu janda muda itu mendapat ujian yang cukup berat, digoda banyak pemuda hidung belang, difitnah oleh para wanita yang dengki dan masih banyak lagi.
“Baiklah, kalau begitu sekarang coba kau perlihatkan padaku salah satu adegan yang ada dalam skenario itu!”
“Baik Pak,” kata Olivia seraya bangkit dari duduknya dan mulai berakting.
Dia berakting disaat janda muda itu baru saja diperkosa oleh seorang pemuda hidung belang. Sambil menangis si janda meratap kepada Tuhan mengenai nasibnya, “Ya Tuhan... Apa yang telah terjadi padaku? Padahal, selama ini aku sudah berhijab. Namun, kenapa masih ada pemuda yang tega memperkosaku?”
Saat itu, si setan yang diperankan oleh asisten sutradara tampak tertawa terbahak-bahak. “Hahaha...! Makanya untuk apa kamu berhijab. Semuanya itu tidak ada gunanya, buktinya pemuda itu masih juga memperkosamu, Hahaha...!!! Hijabmu sama sekali tidak berguna karena tetap membuat pemuda itu bernafsu padamu. Hahaha...!”
“Jangan dengarkan dia, wahai wanita mulia!” kata malaikat yang diperankan oleh Pak Sutradara. “Kau adalah korban. Sesungguhnya pemuda itu bernafsu bukan lantaran melihatmu, tapi karena dia melihat wanita tetanggamu yang seksi itu. Kau adalah wanita yang tak berdaya, karenanyalah dia berani memperkosamu. Andai kecantikan wajahmu yang tak bercadar itu tidak berpadu dengan keindahan tubuh wanita tetanggamu itu, mungkin dia tidak akan menjadi gelap mata. Semua itu terjadi karena ketidaktahuanmu, yang memang masih belum berhijab dengan sempurna. Ketahuilah, sekarang ini wajah sudah berubah fungsinya, dan itu semua akibat tayangan cabul yang telah mencuci otak pemirsanya. Di mana ciuman bibir dan oral sex merupakan bagian dari kegiatan sex yang menyenangkan. Karenanyalah, tutuplah wajahmu agar orang telah dicuci otaknya tidak membayangkan hal-hal yang tak layak kepadamu...!”
“Ya, Tuhan. Ampunkanlah segala dosaku yang tidak menyembunyikan kecantikan ini sehingga membuatnya jadi demikian. Aku sungguh tidak menduga, kecantikanku ini sudah membawa petaka,” si janda muda itu terus meratap memohon ampun kepada Tuhannya. Dia betul-betul merasa bersalah, akibat kebodohannyalah dia menjadi korban pemerkosaan.
Setelah memerankan adegan itu, akhirnya Olivia kembali ke tempat duduknya. Saat itu, Bobby langsung mengomentarinya. “Saudari, Olivia. Terus terang, saya terkesan dengan kemampuanmu beraktingmu. Biarpun kau belum punya nama, namun aktingmu tidak kalah bagus dengan mereka yang sudah punya nama. Karenanyalah, kau memang pantas untuk diberi kesempatan.”
“Terima masih, Pak. Dengan kesempatan ini saya akan berusaha sungguh-sungguh untuk bekerja sebagai seorang professional.”
“Hmm... Baiklah kalau begitu, kau kuterima. Dan hari ini juga kau akan menandatangani kontrak kerja sama kita. Namun, sebelum kau menandatanganinya sebaiknya kau baca dulu isi kontrak ini baik-baik!” kata Bobby seraya menyerahkan kontak kerja sama kepada Olivia.
Setelah menerima lembaran itu, Olivia pun segera membacanya dengan seksama. Dan tak lama kemudian, “Baik, Pak. Saya menyanggupi isi kontrak ini.”
“Baiklah kalau begitu, sekarang kau boleh menandatanganinya,” kata Bobby seraya memberikan sebuah pena padanya.
Lantas Olivia pun segera menanggapi pena itu dan menandatangani kontrak, kemudian dengan segera pula dia menyerahkannya kepada Bobby. Setelah Bobby menyelesaikan urusan kontrak itu, dia pun kembali bicara. “Nah, Saudari Olivia. Mulai sekarang kau akan bekerja sama dengan Pak Sutradara.”
Setelah berkata begitu, Bobby pun pamit untuk meninggalkan ruangan. Dia pergi untuk menghadiri acara kumpul keluarga yang biasa diadakan setiap bulan, yaitu makan dan bercengkerama bersama ketiga istri dan anak-anaknya untuk meningkatkan tali persaudaraan.




Setahun kemudian, di teras belakang kediaman istri Bobby yang bernama Nina. Bobby dan istrinya itu tampak sedang bercakap-cakap. Saat itu Bobby sedang membicarakan perihal keinginannya untuk menikah lagi.
“Apa! Abang mau menikah lagi?” Nina tampak terkejut.
“Iya, Sayang… Boleh kan?” Bobby berharap.
“Tidak boleh,” tolak Nina.
“Mengertilah, Sayang… Aku mau menikah lagi bukan lantaran aku kepingin daun muda, tapi ini benar-benar karena alasan ibadah.”
“Hmm… Jadi karena kau ingin Ibadah ya, Bang. Hmm… memangnya, ibadah yang selama ini kau lakukan masih belum cukup sehingga kau butuh istri lagi untuk beribadah? Lagi pula, memangnya tidak ada cara lain yang bisa meningkatkan ibadahmu itu selain menikah lagi? Bang, terus terang… Jika kuizinkan aku khawatir kelak kau akan menikahi banyak wanita karena alasan ibadah.”
“Sayang… ini tidak seperti yang kau pikirkan, bukan maksudku seperti itu. Terus terang, aku melakukan ini semata-mata karena ingin menolong gadis itu. Karenanyalah, ibadah yang kumaksud bukan seperti yang kau kira, yang bisa dengan cara lain. Soalnya ini memang bukan menyangkut diriku saja, tetapi juga melibatkan orang lain, yaitu gadis yang ingin aku nikahi itu.”
 “Baiklah kalau begitu, sekarang coba jelaskan padaku, apa maksudmu dengan beribadah yang kau maksudkan itu!”
“Hmm… Begini, Sayang. Gadis itu adalah seorang aktris yang kini bekerja padaku, dan dia juga seorang mualaf yang saat ini belum mengerti betul ajaran Islam. Gadis itu masih labil dan mudah terpengaruh bisikan setan. Belum lama dia telah mengancam akan bunuh diri jika aku tidak menikahinya. Rupanya dia sudah terobsesi denganku dan sepertinya cinta yang melekat di hatinya telah membuatnya buta. Dia sama sekali tidak peduli kalau aku sudah mempunyai tiga istri, katanya lebih baik mati dari pada tidak bersamaku.”
“Astagfirullah…! Benarkah yang kau ceritakan itu, Bang?”
“Hmm... Apa sekarang kau sudah tidak percaya lagi dengan kata-kataku?”
“Maaf, Bang! Bukan maksudku begitu, tapi… Terus terang, aku hampir tidak bisa percaya kalau ternyata ada gadis yang sampai begitu.”
“Semula aku pun berpikir begitu, namun saat ituketika dia nekad mau melompat dari jendela kantorku yang berada di lantai 20, mau tidak mau aku pun harus mempercayainya.”
“Hmm… Kasihan sekali dia. Sepertinya dia memang membutuhkan pertolonganmu, Bang.”
“Ja-jadi… Kau mengizinkanku?”
“Ya… Aku mesti bagaimana lagi. Terus terang, aku pun merasa ikut berdosa jika dia mati lantaran aku tidak mengijinkanmu menikah lagi. Tapi, di lain sisi aku takut jika orang menganggapmu tukang kawin. Sekarang kan, kau seorang publik figur yang mana setiap langkahmu selalu dipantau oleh para wartawan. Aku sebagai istrimu tentu percaya padamu, tapi apakah orang lain akan percaya…”
“Itu juga yang saat ini sedang membuatku bingung, apakah aku harus menikahinya secara resmi atau tidak.”
“Hmm… Bagaimana jika Abang menikahinya di bawah tangan saja, dan pernikahan ini untuk sementara dirahasiakan dulu. Kau bisa mengumumkannya nanti, jika kondisinya memang sudah memungkinkan.”
Akhirnya Bobby pun mempertimbangkan perkataan istrinya itu. Sebagai seorang produser terkenal, dia memang tidak mungkin bisa seperti dulu. Jika ada sesuatu yang menyangkut dirinya, apalagi jika itu sesuatu yang menarik tentu akan segera diberitakan, dan hal itu pasti akan menjadi santapan publik yang cukup hangat.


 

Setelah mendapat izin dari ketiga istrinya, dan juga mendapat restu dari anak-anaknya, akhirnya Bobby melamar Olivia. Kini keduanya sedang membicarakan soal rencana pernikahan mereka.
“Hmm… Kenapa kau tidak mau menikah di bawah tangan?” tanya Bobby.
“Tidak, Bang. Pokoknya aku tidak mau. Nanti, kalau terjadi apa-apa. Kau bisa seenaknya mencampakkanku, dan jika kita dikaruniai anak, aku khawatir kau tidak mau bertanggung jawab.”
Bobby tersenyum. “Kau jangan khawatir, Olivia… Ini untuk sementara saja. Jika kita ternyata memang bisa konsisten dengan apa yang sudah kita sepakati. Aku pasti akan menikahimu di KUA. Apalagi jika kau hamil, aku pasti kan segera menikahimu secara resmi.”
“Tapi, Bang...”
“Sudahlah, Olivia! Percayalah padaku. Aku juga tidak mau jika pernikahan kita tidak diakui oleh hukum di negara ini. Lagi pula, kenapa kau harus takut. Bukankah kau mencintaiku, karenanyalah percaya saja padaku. Terus terang, aku menikahimu bukan karena ingin main-main, namun karena aku ingin beribadah. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral, dan jika dibuat main-main tentu pelakunya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Tuhan. Kalaupun ternyata kita harus berpisah karena suatu sebab, aku pasti akan menceraikanmu dengan cara yang baik. Tapi, kemungkinan perceraian itu kecil sekali. Tentu saja jika kita sama-sama mau selalu merujuk kepada al-Quran dan Hadist, yaitu mengenai hak dan kewajiban sebagai suami-istri.”
Setelah mendengarkan penjelasan itu, akhirnya Olivia pun bersedia menikah di bawah tangan. Dia sadar kalau kelanggengan pernikahan itu tergantung kepada kedua pelakunya, selama keduanya mau memegang teguh nilai-nilai agama tentu mereka akan terus mempertahankannya, namun bila salah satu atau keduanya mementingkan ego, maka jalan yang terbaik adalah perceraian. Menikah di bawah tangan maupun tidak, bukanlah perkara yang perlu dibesar-besarkan. Sebab, jika hal itu dilakukan karena alasan darurat, dan memang itulah satu-satunya cara yang terbaik, kenapa tidak. Lagi pula, untuk orang yang mengerti agama tentu akan merasa was-was jika menikah di bawah tangan, baik si pria maupun wanita. Karena jika keduanya dikaruniai anak dan mereka bercerai, maka akan sangat sulit sekali menentukan siapa yang berhak mengasuh anak tersebut. Lain halnya dengan menikah secara resmi di KUA. Jika terjadi hal demikian, maka saat itulah lembaga pengadilan agama berfungsi sebagai penentu siapa yang berhak dan yang tidak. Ini penting, karena sebagai orang tua yang mengerti agama tentu merasa berkewajiban memberikan pendidikan yang baik dan nafkah yang halal. Andai saja, jika anak itu sampai diberikan hak asuhnya kepada orang yang salah, maka sangat dikhawatirkan anak itu akan mendapat pendidikan buruk dan nafkah yang haram. Walaupun Bobby tahu kalau oknum di KUA terkadang masih bisa di suap sehingga hak asuh akhirnya jatuh kepada orang yang tidak tepat. Itulah yang dikhawatirkan oleh Bobby sehingga dia berniat menikahinya secara resmi setelah Olivia ketahuan mengandung anaknya. Karena jika tidak, bisa saja anaknya itu akan diasuh oleh istrinya. Kalau istrinya mengerti agama tentu tidak menjadi masalah, namun jika tidak apakah anaknya kelak akan bisa menjadi anak yang sholeh. Walaupun dia tahu yang menentukan kesholehan seorang anak adalah Tuhan, namun dia berkewajiban untuk berusaha semaksimal mungkin. Jika orang yang sudah mengerti agama saja, belum tentu bisa mendidik anaknya menjadi sholeh, apalagi yang tidak (kecuali atas seizin Tuhan).


 

Sebulan kemudian, Olivia secara agama telah resmi menjadi istri Bobby. Kini sepasang pengantin baru itu tampak sedang berbagi kebahagiaan di apartemen Olivia. Mereka saling bercumbu rayu dan bermanja-manja bagaikan sepasang merpati yang sedang memadu kasih. Hingga akhirnya, Olivia yang sudah terpuaskan tampak melangkah ke kamar mandi untuk mandi wajib.
Sementara itu, Bobby yang hanya mengenakan kimono tampak masih berada di tempat tidur. Dia tampak bersantai dengan bersandar di kepala dipan, sedang kedua matanya tampak tertuju ke atas lemarimemperhatikan sebuah benda antik berbentuk persegi panjang.
Karena penasaran, Bobby pun mengambil benda itu dan mengamatinya dengan penuh seksama. Rupanya benda itu terbuat dari perak, sedang pada kedua sisinya yang saling berlawanan tampak dihiasi dengan kaca berwarna merah muda dan biru.
Kini Bobby tampak memperhatikan lubang yang terdapat pada kedua sisi yang dihiasi kaca berlainan warna itu. “Aneh... Lagi-lagi aku menjumpai benda yang penuh misteri. Kenapa pada kedua sisi ini dihiasi dengan kaca yang berwarna merah muda dan biru?” tanyanya dalam hati.
Kini pemuda itu mencoba menghubungkan benda itu dengan kedua simbol kelamin perak miliknya, yang mana pada masing-masing simbol itu terdapat tulisan merah muda dan biru. Belum sempat Bobby menyimpulkan, tiba-tiba dia mendengar suara Olivia yang memanggilnya. “Bang! Kemari sebentar, Bang!” seru Olivia.
“Iya, Sayang. Aku segera datang!” sahut Bobby seraya bergegas menemui istrinya yang ternyata lagi bersantai di dalam bak mandi. “Ada apa, Sayang...?” tanyanya kemudian.
“Itu, Bang. Tolong usir makhluk menjijikkan itu!” pinta Olivia seraya menunjuk ke arah makhluk itu berada.
“O, makhluk yang kecil itu, ya?”
Olivia mengangguk, kemudian dengan agak jijik dia tampak memperhatikan suaminya yang kini tengah berusaha menangkap makhluk itu, yang ternyata hanya seekor kecoa. Setelah berhasil, Bobby pun segera membuangnya keluar. Tak lama kemudian, dia sudah kembali menemui istrinya.
“Sudah dibunuh, Bang?” tanya Olivia.
“Aku tidak membunuhnya, Sayang....”
“Kenapa tidak dibunuh, Bang?” tanya Olivia lagi.
“Sayang... Makhluk kecil itu kan juga ciptaan Tuhan. Apa alasanku untuk membunuhnya?” Bobby malah balik bertanya.
 “Soalnya dia begitu menjijikkan, Bang. Dan dia telah membuatku merasa tidak nyaman.”
“Sayang... Maafkanlah makhluk itu! Aku rasa dia tidak bermaksud menakutimu, dia itu paling kesasar masuk ke mari.”
“Bang? Kalau dia datang lagi bagaimana?”
“Ya tinggal di usir saja.”
“Kalau terus-terusan datang?”
“Apa kau yakin, kalau yang datang itu kecoa yang tadi?”
Olivia terdiam, dia bingung harus menjawab apa.
“Sudahlah, Sayang...! Lupakan saja perihal kecoa itu! Kalau di sini memang banyak kecoanya, aku akan belikan untukmu pengusir serangga elektronik. Semoga dengan adanya alat itu, tidak ada lagi kecoa yang berani main ke mari. Nah, sebaiknya sekarang kau teruskan mandimu, aku mau kembali ke tempat tidur.”
 Setelah berkata begitu, Bobby segera kembali ke tempat tidur. Kini dia kembali mengamati kotak aneh yang sempat membuatnya menguras otak. Lama juga Bobby memikirkan perihal kotak itu hingga akhirnya Olivia selesai mandi.
“Kau tertarik dengan kotak itu, Bang?” tanya Olivia seraya duduk di dekat suaminya.
“Kau benar, Sayang. Eng... Ngomong-ngomong sebenarnya ini kotak apa?”
“Aku juga tidak tahu, Bang.”
“Aneh... Kau punya kotak ini, tapi kau sendiri tidak tahu kotak apa ini. O ya, ngomong-ngomong kau dapat kotak ini di mana?”
“Itu hadiah dari seorang ustad ketika aku baru menjadi seorang mualaf. Kata ustad itu, aku baru bisa mengetahui isinya jika sudah menikah. Tapi anehnya, hingga saat ini aku belum juga bisa mengetahui isinya. Padahal, aku kan sudah menikah.”
“Mmm... Sungguh mengherankan,” gumam Bobby seraya kembali berpikir keras. Kemudian dia kembali teringat dengan kedua simbol kelamin miliknya.
 “Hmm... Apa mungkin kedua simbol kelamin yang terkait itu berhubungan dengan kotak ini?” tanya pemuda itu dalam hati sambil memperhatikan lubang yang terdapat di kotak itu. “Hmm... ini memang seperti lubang kunci. Kalau begitu... Mungkin simbol kelamin itu betul-betul merupakan anak kunci, dan anak kunci itu bisa untuk membuka kotak ini. Dan mengenai tulisan merah muda dan biru itu aku rasa digunakan sebagai tanda yang sangat penting, karena mungkin saja itu sebagai peringatan yang menegaskan kalau sekali saja salah memasukkan anak kuncinya bisa membuat kotak ini tidak bisa dibuka sama sekali.”
“Kenapa, Bang?” tanya Olivia ketika melihat mata Bobby tampak berbinar-binar.
“Dengar Olivia! Sepertinya aku bisa memecahkan teka-teki ini, tapi...”
“Tapi apa, Bang?”
“Tapi, aku tidak yakin seratus persen kalau benda milikku itu merupakan anak kunci dari kotak ini,” jawab Bobby.
“Benda milikmu? anak kunci dari kotak ini? Bang... Aku benar-benar tidak mengerti.”
“Tunggu sebentar! Aku akan mengambil benda itu di laci mobil,” kata Bobby seraya pergi ke basement untuk mengambil benda yang dimaksud.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Bobby sudah kembali. Kini pemuda itu tengah duduk di tepi tempat tidur sambil mencoba membuka kotak misterius itu. Simbol kelamin wanita yang bertuliskan ‘merah muda’ dimasukkan ke lubang kunci yang terdapat pada sisi yang dihiasi kaca berwarna merah muda, kemudian dia memutarnya searah dengan arah jarum jam. Dan tiba-tiba TREK... TEK...
“Berhasil! Dugaanku ternyata benar, simbol kelamin ini memang merupakan anak kunci,” kata Bobby bersemangat.
Setelah mencabut anak kunci itu, Bobby pun melakukan hal serupa pada sisi yang berlawanan, yaitu sisi yang dihiasi kaca berwarna biru. Ajaib... Ketika anak kunci yang berbentuk simbol kelamin pria itu diputar searah dengan jarum jam, tiba-tiba tutup kotak itu terbuka. Kini Bobby tampak memperhatikan bagian dalam kotak itu, di dalamnya terdapat dua buah kubus kecil berukir yang sama persis bentuk dan ukurannya, juga gambar simbol-simbol yang ada pada setiap sisinya. Dan dari ke enam simbol itu, dua di antaranya adalah simbol kelamin pria dan wanita.
Masih di dalam kotak persegi merah muda dan biru, juga terdapat sebuah tabung perak berukir dengan bagian tengahnya yang seperti cincin tampak melingkari tabung, bagian yang seperti cincin itu berhiaskan batu permata yang begitu indah. Bobby pun mengambil tabung itu dan mengamatinya dengan penuh seksama.
Kini dia tampak memperhatikan kedua ujung tabung itu dengan penuh tanda tanya, pada kedua ujungnya yang diduga sebagai penutupnya itu masing-masing bertuliskan pria dan wanita dalam bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf arab. Selain itu, di dalam kotak itu juga terdapat selembar surat yang ditulis di atas kulit hewan. Tulisan itu pun berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf arab. Lantas dengan segera Bobby membacanya.
Kepada siapapun yang ditakdirkan membuka tabung dalam kotak ini harap dalam keadaan suci, karena dikhawatirkan jika dalam keadaan kotor setan akan dengan mudah membisikkan sesuatu yang menyesatkan. Ketahuilah, setan itu sangat senang berada di dekat orang yang dalam keadaan kotor.
Setelah membaca surat itu, Bobby tampak beranjak dari duduknya.
“Abang mau ke mana?” tanya Olivia.
“Aku mau mandi wajib dulu,” jawab Bobby seraya melangkah ke kamar mandi.
Usai mandi, Bobby segera kembali ke tempat tidur, kemudian dia mengambil tabung perak yang berukir itu dan mencoba membukanya. “Aneh... Kenapa tidak bisa dibuka?” tanya Bobby keheranan. Kemudian pemuda itu tampak mengamati tulisan yang ada di kedua penutup tabung itu. “Hmm... Apakah tabung ini harus dibuka bersama-sama dengan istriku?” tanya Bobby dalam hati. “Sayang coba kau pegang bagian yang ini, lalu kita tarik bersama-sama!” pintanya kepada Olivia.
Lantas dengan segera, Olivia menuruti permintaan suaminya. Ajaib... Tabung itu terbuka dengan mudahnya, namun tabung itu terbuka bukan pada bagian yang semula diduga sebagai menutupnya, melainkan terbagi dua yaitu tepat di tengah-tengah, dimana lingkar cincin berada.
Kini Bobby tampak mengambil segulung kulit hewan yang ada di dalam tabung itu, yang ternyata sebuah pesan dalam bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf arab. Lalu setelah mengucap Bismillah... Suami istri itu tampak membacanya bersama-sama. 
Wahai keturunan Adam penghuni dunia yang menjadi fitnah. Tidak Tuhan saksikan dunia yang telah diciptakan-Nya untuk menghukum Adam dan Hawa kecuali kesembilan ratus sembilan puluh sembilan ciptaan-Nya yang lain, yang di antaranya adalah sorga dan neraka, yang kelak akan menjadi tempat tinggal untuk seluruh umat manusia tergantung dari pada amal perbuatannya ketika hidup di dunia. Karenanyalah Tuhan memberikan kebebasan penuh kepada hamba-Nya untuk memilih, sorga atau neraka, atau tidak kedua-duanya atas nama cinta kepada Tuhanikhlas pada ketentuan-Nya yang Maha Bijaksana.
Setelah membacanya, suami istri itu tampak saling berpandangan. Sepertinya mereka saling mempertanyakan maksud dari tulisan itu.
“Bang, apakah ini seperti yang dinyanyikan Crisye?”
“Maksudmu?”
“Itu, Bang. Andai sorga dan neraka tak pernah ada...” jawab Olivia sambil menyanyikan sepenggal lirik yang sudah sangat dihafalnya.
“Ya, aku rasa memang begitu. Kita bebas memilih, menyembah Tuhan karena takut neraka, atau menyembah Tuhan karena ingin sorga, atau kita menyembah Tuhan bukan lantaran takut pada neraka juga bukan mengharapkan sorga, tapi lebih kepada rasa cinta kita kepada Tuhan, yang mana telah menyadari betapa Tuhan sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang bertakwa.”
“Kau benar, Bang. Dengan begitu, tidak ada lagi yang namanya keterpaksaan. Semuanya dilakukan atas nama cinta kepada Tuhan dengan penuh keikhlasan.”
“Betul, Sayang. Kita melakukan sesuatu atas dasar cinta kepada Tuhan. Seperti yang pernah kubaca pada buku cinta dan bahagia oleh Imam Ghazali.
Hati itu seperti gelas, tidak mungkin diisi madu -umpamanya- kalau masih berisi air. Tidak ada dua hati bagi satu orang. Cinta sempurna ialah yang memenuhi hati. Jika tidak, berarti masih ada sudut yang berisi lain daripada cinta kepada-Nya. Makin lebar sudut itu makin kuranglah cinta kepada-Nya. Makin banyak air, makin kuranglah madu dalam gelas. (Cinta kepada ibu bapak, anak istri dsb. Tidak akan mengurangi cinta kepada-Nya jika cinta itu memang karenanya-Nya).
Sebenarnya sudah lama juga aku mengetahui tentang hal itu, namun kini aku baru menyadari kenapa cinta itu masih juga tak hadir. Ternyata dunia dan isinya adalah fitnah, yang mana bila tidak menyikapinya dengan benar dan tidak menyadari maka akan sangat merugi.”
Kedua suami istri terus membahas masalah itu, hingga akhirnya mereka bertekad untuk saling mencintai karena Allah. Dan dalam upaya mencintai karena Allah mereka pun berusaha untuk tidak mencampurkan antar yang hak dan yang batil. Maklumlah, hal-hal seperti itu memang tidak mudah untuk dideteksi oleh keawaman keduanya yang memang masih belum sepenuhnya istiqamah dalam menjalani ajaran agama, sehingga dengan mudah bisa terpedaya oleh bisikan setan yang menyesatkan.
Selama ini mereka sangat kesulitan membedakan sesuatu itu hak atau sebuah kebatilan, begitu pun sebaliknya, sesuatu itu kebatilan atau merupakan sesuatu yang hak. Juga soal keikhlasan, sulit sekali untuk mengetahuinya. Karena ketidaktahuan itulah ikhlas yang sesungguhnya. Ketika seseorang tidak mengetahui dia berbuat ikhlas atau tidak, dan segera mengembalikannya kepada Tuhan, saat itulah sesungguhnya dia telah berbuat ikhlas.
Saat itu Olivia juga sangat bersyukur, karena cintanya kepada Bobby mungkin memang karena Allah. Dia mencintai Bobby bukan semata fisik belaka, namun lebih dikarenakan dia merasa Bobby itu merupakan figur pemimpin yang diyakini bisa membinanya menjadi seorang muslimah yang taat. Hubungan bercintanya pun diawali dengan pernikahan yang sah secara agama, tidak pernah dicemari oleh proses pacaran yang membahayakan, yang oleh sebagian orang sudah dianggap lumrah.
Kini Bobby tampak memperhatikan kedua kubus yang masih penuh misteri, dalam benaknya pemuda itu terus memikirkan perihal simbol-simbol yang menurutnya mempunyai arti penting dalam memahami arti kehidupan yang sesungguhnya, dan dia menduga simbol-simbol itu merupakan petunjuk untuk siapa saja yang memang ingin mengungkap rahasia kenapa Tuhan menciptakan manusia, yang bermula dari penciptaan Adam dan Hawa yang pada akhirnya harus tinggal di dunia karena telah berbuat dosa.
Kini pemuda itu tampak memperhatikan semua simbol yang ada di kedua kubus itu, enam buah simbol yang berbeda terdapat pada masing-masing kubus itu. Persis seperti dua buah dadu yang apabila di kocok akan menghasilkan kombinasi sisi yang berbeda. Namun pada kubus itu, simbol yang mempunyai makna itulah yang akan dikombinasikan.
Sebenarnya keenam simbol itu adalah, pertama simbol Lafaz Allah dan nama Rasul yang disatukan dalam bentuk kaligrafi, kedua simbol pria, ketiga simbol wanita, keempat simbol warna merah muda, kelima simbol warna biru, dan keenam adalah simbol dunia.
Karena bentuknya seperti dadu, maka Bobby pun mencoba memperlakukannya seperti benda itu. Dia mengocoknya di dalam tangan, dan setelah dirasa cukup, pemuda itu pun segera membuka genggamannya dan memperhatikan kombinasi simbol yang ada pada bagian atas kedua kubus itu.
“Hmm... wanita dan warna merah muda,” lalu Bobby mencobanya lagi, “Hmm kali ini, pria dan wanita.”
Bobby terus mengocok kedua kubus itu sehingga dia mendapat beberapa kombinasi seperti berikut, wanita dan dunia, Tuhan beserta Rasul-Nya dan dunia, wanita dan warna biru, pria dan warna merah muda, dunia dan warna biru, Tuhan beserta Rasul-Nya dan pria, Tuhan beserta Rasul-Nya dan wanita, dunia dan pria, Tuhan beserta Rasul-Nya dan warna biru, dunia dan warna merah muda, Tuhan beserta Rasul-Nya dan warna merah muda, dunia dan biru, merah muda dan biru.
“Hmm... semua ini benar-benar membingungkan, apa maksud dari kombinasi-kombinasi itu? Jangankan kombinasinya, beberapa simbol itu saja tidak aku pahami maksudnya.”
“Bang, berhentilah bermain dengan kubus-kubus itu! Sekarang kan sudah larut malam, bukankah besok kita mau pergi jalan-jalan. Bang...! Ayo dong... masa aku tidur sendirian, terus terang aku kepingin tidur sambil dipeluk olehmu,” pinta Olivia dengan suara manja.
“Iya, sebentar lagi, Sayang. Aku masih memikirkan arti pada simbol-simbol ini.”
“Bang... Ayo dong...!”
“Iya, iya...” sahut Bobby seraya beranjak menyimpan kubus itu, dan setelah itu dia pun segera merebahkan diri di sisi Olivia. Sambil terus mendekap Olivia, pemuda itu masih saja memikirkan perihal makna simbol yang sangat membingungkannya itu. Maklumlah, karena dari satu kombinasi saja bisa menghasilkan banyak pertanyaan.
Seperti halnya beberapa simbol yang sudah dia mengerti, yaitu seperti simbol pria dan wanita. Banyak sekali pertanyaan yang berkenaan dengan hal itu, seperti... untuk apa wanita diciptakan? apa yang harus dilakukan pria dan wanita dalam membina hubungan, seperti hubungan sosial, baik itu sebagai teman, saudara, maupun sebagai suami istri? Apa kewajiban wanita pada suaminya, juga apa kewajiban pria pada istrinya. Sebenarnya apa peran wanita itu sesungguhnya, sebagai hiasan atau lebih dari itu. Juga apa peran pria untuk wanita, sebagai pelindung atau penjajah yang senantiasa mengeksploitasinya, dan kenapa pula banyak wanita yang justru senang dieksploitasi. Kenapa ada wanita yang selalu menuntut kesetaraan gender, apakah karena pria sudah dianggap tak mampu lagi memainkan perannya, atau karena wanita memang sudah lupa dengan kodratnya? Sebenarnya apa yang sudah meruntuhkan tatanan yang pada mulanya sudah selaras menjadi seperti itu, sehingga banyak pria dan wanita menjadi bingung memainkan perannya sendiri?
Apa sebenarnya hakikat penciptaan wanita pertama kali, apakah Tuhan menciptakan Hawa hanya karena agar Adam tidak kesepian? Atau ada hal lain yang lebih penting dari itu? Adakah rahasia di balik peristiwa yang dialami Adam dan Hawa itu, dan kenapa setelah adanya Hawa itu lantas dia harus diusir dari Sorga? Sebenarnya apa tujuan Tuhan menciptakannya Hawa sebenarnya? Apakah karena Tuhan ingin membahagiakan Adam atau mau mengujinya, yang pada saat itu Adam berhasil dikalahkan oleh sebab bujuk rayu wanita, dan hal itu pula dikarenakan wanita berhasil termakan bujukan setan? Kenapa banyak pria yang jatuh karena ulah wanita, yang sejak dari jaman kuda gigit besi hingga hari ini masih saja terus terjadi? Apakah wanita memang diciptakan untuk itu, yaitu berpotensi sebagai alat setan untuk menjatuhkan pria, yang dengan pesona dan kelembutannya membuat pria tak berdaya. Jika memang demikian, sungguh kasihan wanita yang mau saja diperalat seperti itu, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak Bobby saat itu. Padahal semuanya Itu baru mengenai kombinasi mengenai dua simbol pria dan wanita yang belum sepenuhnya dia pahami, apa lagi jika dia sudah berhasil mengungkap kombinasi yang lain, tentu akan lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan baru yang akan timbul, yang mana jika dia mau berpikir mungkin bisa menjadikannya sebagai kunci untuk membuka tabir rahasia penciptaan.




Kini sudah setahun Bobby membina rumah tangga bersama Olivia. Selama ini dia bukan saja menjadi seorang produser, namun juga terlibat langsung dalam proses pembuatan Film. Maklumlah, selama ini dia memang sudah menerapkan kalau setiap pemeran yang sering bersentuhan karena tuntutan karakter haruslah suami-istri. Selain itu, karena Olivia juga sudah bosan lantaran selama ini dia harus memerankan karakter yang itu-itu saja, yaitu karakter yang selalu melajang. Sekali-sekali dia juga ingin berperan sebagai seorang kekasih atau pun seorang istri. Karenanyalah, mau tidak mau dia harus terjun sendiri untuk mendampingi Olivia yang kini sudah menjadi bintang terkenal.
Saat ini pun mereka sedang syuting sebagai suami istri. Dalam adegan itu Bobby berperan sebagai seorang suami yang sedang memanjakan istrinya. “Sayang... tataplah mataku!” katanya seraya memegang tangan istrinya dan meremasnya dengan lembut, kemudian dengan penuh kasih sayang dia mencium kening istrinya.
“Cut!” teriak Pak Sutradara. “Bagus Pak Bobby, sekarang kita bisa istirahat,” kata Pak Sutradara kemudian.
Bobby dan istrinya segera beristirahat. Sambil melepas lelah di atas kursi yang empuk, Bobby tampak memainkan kedua kubus miliknya. Kali ini dia melihat simbol dunia dan wanita, “Mmm... Dunia. Apa itu dunia? Menurutku dunia itu indah, karena panorama alamnya memang sangat indah. Flora dan faunanya pun begitu beragam, bahkan aku tidak sanggup jika harus mengenal semuanya. Hutan-hutan yang menghijau sangat menyegarkan mata, gunung-gunung yang menjulang tampak begitu perkasa, samudera yang luas dan begitu kaya dengan apa yang ada di dalamnya. Belum lagi hasil tambang yang beraneka ragam, sungguh telah mensejahterakan umat manusia. Subhanallah, Maha Besar Allah yang telah menciptakan semua itu. Bahkan, sampai mati pun aku tidak akan sanggup untuk memahami semuanya. Menurut Nabi, dunia itu sangat kecil... Ketika jari telunjuk dicelupkan dalam lautan dan setetes air yang menetes dari telunjuk itulah dunia dan seisinya, sedang seluruh air di lautan itu adalah kehidupan setelah di dunia. Selagi di dunia, manusia terpenjara oleh raganya yang terbatas, dan karenanyalah ia tidak mampu untuk menyelami dunia dan seisinya. Namun kelak, ketika di Akhirat, raga manusia akan jauh lebih sempurna, sehingga atas Izin Tuhan ia pun bisa menyelami alam ciptaan Tuhan yang justru lebih besar ketimbang alam dunia yang kecil itu. Kalau begitu, sungguh bodoh jika aku hanya mengejar dunia, apalagi sampai mati-matian mengejarnya dengan menghalalkan berbagai cara.
Mmm... Wanita. Apakah wanita itu? Apakah ia hanya sebagai perhiasan, perhiasan dunia yang indah dan menentramkan jiwa. Apakah wanita yang baik itu bagai oasis di tengah gurun Sahara, bagai embun pagi yang menyegarkan tumbuhan. Mmm... Dunia dan wanita. Apa sesungguhnya peran wanita di dunia ini, apakah sebagai pelengkap yang mana seharusnya bisa membuat kaum pria menjadi lebih dekat kepada Tuhan, bukan malah membuatnya berani melanggar perintah Tuhan, atau juga sebagai pilar kokoh yang menunjang peran suami dalam membina keluarga, atau terkadang bisa juga menjadi pemimpin untuk kaumnya sendiri, juga untuk anak-anaknya dalam urusan dunia, namun tidak sampai melupakan kodratnya sebagai wanita? Mmm... Apakah dunia dan daya tariknya dapat memicu wanita mengejar gemerlapnya dunia? Apa mungkin wanita berhias untuk menarik makhluk di dunia, dan apa mungkin wanita juga membuat pria ingin menghiasinya, walau bagaimanapun caranya, halal atau haram. Mmm... Apakah karena sebab wanita, sehingga menciptakan mata rantai yang membuat kerumitan di muka bumi ini. Bila dilakukan dengan benar maka akan menciptakan mata rantai kebaikan dan bila tidak dilakukan dengan benar maka akan menciptakan mata rantai kejahatan. Seperti burung gagak yang selalu membawakan segala pernak-pernik mengkilat untuk pasangannya dengan cara mencuri dari mana saja. Burung gereja yang berkelahi sampai mati untuk mendapatkan pasangan. Bahkan, tindak kejahatan membunuh pertama kali dilakukan manusia pun dimulai karena sebab wanita. Hmm... Apa lagi ya?“
Begitulah Bobby, setiap ada kesempatan selalu digunakannya untuk berpikir dan berpikir. Dengan menggunakan kedua kubus itu dia mencoba menggali berbagai macam pertanyaan, dan dari semua pertanyaan itu diusahakan untuk mendapat jawabannya. Sementara itu di tempat lain, kedua putri Bobby yang bernama Intan dan Lia tampak sedang jalan-jalan di sebuah Mal. Kedua anak itu kini sudah tumbuh menjadi gadis belia yang jika pemuda melihatnya tentu akan tergoda. Namun, saat ini para pemuda dipastikan tidak mungkin bisa melihat keindahan itu. Maklumlah, karena kedua gadis remaja itu mengenakan hijab dengan sempurna, yaitu mengenakan gaun kurung dengan jilbab yang bercadar. Mereka bisa melakukan itu karena sejak dini mereka sudah ditanamkan kalau keindahan tubuh mereka bukanlah untuk dipamerkan kepada publik, melainkan untuk kebahagiaan suami mereka kelak.
Selagi mereka berjalan-jalan, banyak orang yang memperhatikan keduanya. Mereka memperhatikan bukan lantaran keindahan tubuh mereka, namun karena ketidaklaziman yang ada di negeri ini. Bagi mereka, hal seperti itu memang benar-benar aneh dan terkadang membuat penasaran sehingga memancing pertanyaan. Bagaimana mungkin pria akan tertarik jika melihat mereka seperti itu, dan bagaimana mungkin teman-teman atau saudara mereka bisa mengenali mereka. Sebetulnya pertanyaan-pertanyaan yang tidak patut itu memang ada baiknya jika diberi jawaban sehingga hal yang semula dianggap aneh tidaklah menjadi aneh. Jika orang mau berpikir, orang buta saja bisa mengenali orang di sekitarnya dan dia juga bisa menyukai lawan jenisnya. Kenapa orang yang normal mempermasalahkan itu. Kepekaan, itulah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Jika sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, tentu kepekaan indra yang lain akan meningkat. Dan karenanyalah persoalan yang sebenarnya bukan persoalan itu bisa terjawab. Orang tidak harus menggunakan mata lahir jika ingin mengenal sesuatu, namun mata batin lebih tajam pengelihatannya ketimbang mata lahir.
Begitulah Bobby menanamkan kepercayaan diri kepada putri-putrinya sehingga mereka benar-benar PD dengan busana yang mereka kenakan. Selama ini mereka lebih sering bergaul di lingkungan pengajian yang orang-orangnya sama seperti mereka, dan karenanyalah mereka pun secara otomatis menggunakan kepekaan mata batinnya sehingga tidak ada lagi masalah dalam pergaulan itu. Namun sayangnya, hal itu masih menjadi masalah ketika mereka bergaul di luaran. Maklumlah, hal itu dikarenakan orang-orang di luar pengajian tidak mempunyai kepekaan yang sama. Itulah kenapa selama ini mereka jadi terlihat exclusive, bukannya karena mereka tidak mau bergaul dengan dunia luar, tapi karena dunia luarlah yang sulit menerima keberadaan mereka.
Kini kedua gadis itu tampak menikmati santap siang di sebuah restoran cepat saji, pada saat itu pun mereka menjadi pusat perhatian. Namun karena sudah terbiasa, kedua gadis itu tidak menjadi risih karenanya. Mereka malah senang jika busana yang mereka kenakan itu menjadi bahan perbincangan. Dengan begitu, mereka berharap orang mau berpikir dan melihat dari sudut pandang yang positif. Sehingga dengan begitu, mereka bisa mengambil hikmah yang tersembunyi pada busana itu. Misalkan, dengan mengenakan busana itu wanita cantik tidak menjadi sombong karena kecantikannya dan wanita yang kurang cantik tidak menjadi minder karena kekurangcantikannya. Andai pun orang melihat dari sudut pandang negatif, minimal dia telah berpikir dan mungkin saja suatu saat akan dijadikan referensi yang berguna ketika mengkaji sesuatu yang penting.
Ketika kedua gadis itu makan, sepasang mata tampak terus memperhatikan. Entah apa yang ada di pikiran orang itu, hingga akhirnya dia pun memutuskan untuk menghampiri kedua gadis itu dan mengajak mereka bercakap-cakap. Lama juga orang itu bercakap-cakap sampai akhirnya dia pergi dengan meninggalkan kebingungan di hati kedua gadis itu. Kini keduanya tampak saling berpandangan seperti memikirkan sesuatu yang berkenaan dengan pembicaraan mereka tadi.
“Kak Lia, apa benar ayah kita itu terlalu ekstrim seperti kata orang tadi.”
“Hmm... Tidak adikku. Menurutku Ayah sama sekali tidak seperti itu, Ayah justru sangat lembut dan penuh kasih sayang. Kalau kau mau tahu, Ayah menganjurkan kita seperti ini karena beliau itu sayang pada kita.”
“Tapi, Kak. Orang yang tadi bicara pada kita itu sepertinya mengerti betul soal agama. Semua pendapatnya tadi sangat masuk akal, dan ketika menyampaikannya pun disertakan dengan dalil-dalil yang bisa dipertanggungjawabkan.”
“Dengar adikku! Boleh saja orang itu berbeda pendapat, namun tidak seharusnya kita percaya begitu saja. Lebih baik kita tanyakan pada Ayah mengenai pendapat orang tadi, dengan begitu semoga Ayah bisa memberikan jawaban kenapa orang tadi bisa berbeda pendapat.”
“Tapi, Kak. Sekarang ini kan Ayah terlalu sibuk dengan urusan syuting, apa beliau punya waktu untuk bicara pada kita.”
“Kita coba saja, Dik. Moga-moga kali ini ayah bisa meluangkan waktunya untuk kita.”
“Ya... Moga-moga saja begitu.”
"O ya, Dik. Bukankah kau juga mau ke toko buku? Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang, nanti malah keburu sore. O ya, ngomong-ngomong kau mau beli buku apa?”
“Itu, Kak. Buku resep dan buku mengenai kewajiban seorang istri kepada suaminya.”
“Apa! Buku mengenai kewajiban seorang istri. Hihihi...! Kau ini seperti mau menikah saja, pakai mau beli buku seperti itu.”
“Eng... Sebenarnya buku itu bukan untukku. Tapi, untuk Kak Laras. Katanya kalau aku pergi ke toko buku dia minta dibelikan buku itu.”
"O, begitu... Aku kira tadi untukmu. Kalau Kak Laras sih memang sudah pantas menikah, dan buku itu memang patut dia baca. O ya, ngomong-ngomong kapan ya dia menikah dengan Kak Arman?”
“Entahlah... Aku sendiri juga heran, kenapa hingga saat ini dia masih belum juga menikah. Padahal kata Ayah, gadis yang sudah seusianya harus cepat-cepat menikah karena bisa menimbulkan fitnah. Namun aku sendiri heran, kenapa hingga saat ini Ayah masih membiarkannya saja.”
“Sudahlah... Kita tidak perlu memikirkan itu! Mungkin saja Ayah terlalu sibuk sehingga beliau tidak sempat memikirkannya.”
“Ya mungkin saja seperti itu. Memang... Semenjak ayah jadi produser dan seorang aktor, beliau agak sedikit berubah.” Akhirnya kedua gadis itu pun berangkat ke toko buku. Dalam perjalanan, mereka masih membicarakan soal ayah mereka yang kini sudah sedikit berubah. Maklumlah, sebagai anak yang masih memerlukan perhatian, kesibukan ayah mereka itu dianggap sebagai biang kerok yang menyebabkan komunikasi mereka kurang lancar.