E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 16

Enam Belas



Setelah sekian lama tinggal di kota, Bobby merasa tidak nyaman. Batinnya benar-benar merasa tersiksa. Maklumlah, karena dia masih muda dan belum menikah. Segala hal-hal yang dianggapnya merusak pikiran selalu saja menyerangnya dari segala arah. Dimana-mana dia dapat menyaksikan kemungkaran merajalela, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Maklumlah, karena selama ini dia belum sepenuhnya istiqamah, dan darah mudanya pun masih bergejolak. Pada akhirnya Bobby memutuskan untuk pergi ke desa dimana paman dan bibinya dimakamkan, dia berniat menempati rumah yang dulu ditempati oleh Pamannya itu. Di sana dia ingin menjadi seorang petani dan mencoba menjadi seorang penulis. Dengan menjadi seorang penulis, dia berharap bisa menyampaikan segala ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu agama.
 Begitu memasuki gerbang desa, dia kembali teringat saat pertama kali dia berjumpa dengan Dewi. Semua ingatannya tentang Dewi kembali terbayang, dari pertama dia kenal sampai dia terpaksa harus berpisah dengannya. Ketika dia mengingat-ingat masa lalu, hatinya kembali merasakan sakit yang amat sangat. Bagaimana tidak, orang yang begitu dicintainya telah direbut paksa, paman dan Bibinya dibunuh secara keji, sedangkan Ibunya meninggal dalam kebakaran hebat. Itu semua akibat pertemuannya dengan Dewi. Tiba-tiba Bobby beristigfar, rupanya setan sedang berupaya untuk menggodanya dengan ingatan itu. Setelah mengembalikannya kepada Sang Pencipta, bahwa itu memang sudah kehendak-Nya. Hati Bobby pun menjadi tenang kembali.
Kini Bobby sudah tiba di depan rumah Pamannya. Rumah itu sekarang tampak sudah rusak parah, gentengnya banyak yang pecah dan sebagian dindingnya tampak sudah bobol. Di dalamnya terlihat puing-puing berserakan dengan sabang-sabang yang menghitam. Dia berniat untuk memperbaiki semua itu dengan uang yang didapatnya selama ini. Ketika sedang berpikir untuk merenovasi  rumah itu, tiba-tiba di kejauhan terdengar azan Ashar berkumandang. Lalu dengan segera pemuda itu pergi ke surau untuk segera menunaikan sholat.
Seusai sholat pemuda itu tampak duduk-duduk di teras surau sambil terus berzikir. Hingga tak terasa matahari tampak mulai kembali ke peraduan. Malam nanti, pemuda itu berniat menginap di rumah Pak Dirja, orang tua yang dulu memberitahukan perihal pembunuh paman dan bibinya. Sekaligus ingin membicarakan niatnya menetap di desa itu.
Pemuda itu terus berzikir hingga waktu sholat magrib tiba, dan seusai sholat pemuda itu langsung melaksanakan niatnya. Ketika sedang dalam perjalanan menuju rumah Pak Dirja, pemuda itu berjumpa dengan seorang wanita yang tidak asing baginya. Saat itu, dia benar-benar tidak percaya dengan pengelihatannya sendiri. Wanita yang selama ini ada di hatinya, sekarang ada dihadapannya. Kini kedua pasang mata tampak saling berpandangan, saat itu waktu seakan berhenti berputar. Lama mereka berpandangan, hingga akhirnya Bobby mulai membuka suara,"Dewi...!"
"Kak Bobby! Benarkah itu kau, Kak? Ataukah ini hanya mimpi."
"Tidak, Wi. Ini benar-benar aku... Bobby."
"Kak Bobyyy... " ucap Dewi seraya memeluk orang yang begitu dicintainya. "Kak, selama ini aku selalu merindukanmu," katanya sambil terus memeluk Bobby.
Bobby tidak membalas pelukan itu, dia hanya membiarkan saja kekasihnya melepaskan rindu. Tersentak Dewi terkejut dengan sikap Bobby yang demikian, "Kak, kenapa? Apakah kau tidak merindukanku, dan apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi"
"Wi, sampai saat ini aku masih mencintaimu, dan aku juga merindukanmu. Wi... bukankah kau sekarang sudah menjadi istri orang. Selain itu, kita bukan muhrim, Wi. Tidak sepantasnya kita berbuat begini, dan sebaiknya cepat kau lepaskan pelukan ini!"
Dewi segera melepaskan pelukannya, lalu dia memandang mata kekasihnya dengan mata berlinang. "Tidak, Kak. Sekarang aku bukan istri siapa-siapa. Kini aku sudah menjanda," jelasnya kemudian.
"Benarkah itu, Wi?" tanya Bobby dengan wajah berbinar.
"Benar, Kak. Aku telah menjanda kira-kira tiga setengah tahun yang lalu."
"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Wi?"
"Wangsa telah meninggal karena terbunuh, Kak. Dan karenanya aku kembali ke sini. Aku tidak mau tinggal di Jakarta dengan harta Wangsa yang ternyata didapat dengan jalan yang tidak halal."
"Kasihan Wangsa, dia belum sempat bertaubat."
"Sudahlah, Kak...! Kenapa kau mesti memikirkan dia? Sebaiknya sekarang kita ke rumahku untuk menemui kedua orang tuaku!"
"Tidak, Wi... A-aku..."
"Sudahlah, Kak! Kamu tidak perlu khawatir! Kini orang tuaku tidak seperti dulu, mereka telah menyadari kekeliruannya. "
"Benarkah, Wi? Jika demikian, aku sangat bersyukur mendengarnya."
"Kak, sekarang kau jauh berubah. Kamu tidak seperti Bobby yang kukenal dulu, dan perubahan ini semakin menambah rasa cintaku."
"Alhamdulillah... Allah telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepadaku, dan semoga Nikmat Iman ini terus dilimpahkan kepadaku. Sebuah Karunia Mutiara Cinta yang tak ternilai harganya."
"Bob... sebaiknya kau menikahiku, dan kita bisa segera menumpahkan segala kerinduan ini dengan semestinya. Orang tuaku pasti akan senang jika kau datang melamarku."
"Baiklah kalau begitu, sekarang juga aku akan melamarmu."
Kini keduanya berjalan beriringan untuk menemui orang tua Dewi. Kebahagiaan terpancar di wajah keduanya. Setibanya di rumah Dewi, Bobby segera meminta orang tua Dewi untuk menikahkan mereka hari itu juga. Akhirnya dengan cara yang amat sederhana keduanya menikah, dan untuk sementara mereka tinggal di rumah orang tua Dewi.
Bobby sangat terkejut ketika mengetahui Dewi masih suci, dan dia sangat bersyukur dengan semua itu. "Jadi ketika selesai acara resepsi pernikahan itu, Wangsa meninggal karena tertembak?" tanya Bobby yang baru saja usai menafkahi istrinya.
"Benar, Kak. Dan yang menembaknya itu Pak Amir. Dia benar-benar sudah kehabisan kesabaran, hingga akhirnya menembaknya sampai tewas. Setelah itu dia menemani Pak Gahar yang sudah lebih dulu mendekam dipenjara karena kasus pemerkosaan, dan terakhir aku dengar Pak Gahar tewas karena perkelahiannya dengan Pak Amir."
"Sudahlah, Wi. Kita tidak perlu membicarakan tentang itu lagi. Kita doakan saja Pak Amir agar tetap tabah dalam menjalani hukumannya, dan segera bebas untuk kembali hidup bermasyarakat."
" Kak, aku benar-benar mencintaimu."
"Aku juga, Wi," kata Bobby seraya mengecup kening istrinya dengan lembut.
Kemudian mereka tertidur dengan tangan saling berpegangan. Di luar rumah, hujan baru saja berhenti. Tetes air yang jatuh ke kubangan terdengar mengisi kesunyian. Suara serangga kembali terdengar di malam yang dingin, dan nyanyiannya berkumandang bersama sinar bulan yang kembali bersinar indah.

 



Assalam….

Mohon maaf jika pada tulisan ini terdapat kesalahan di sana-sini, sebab saya hanyalah manusia yang tak luput dari salah dan dosa. Saya menyadari kalau segala kebenaran itu datangnya dari Allah SWT, dan segala kesalahan tentulah berasal dari saya. Karenanyalah, jika saya telah melakukan kekhilafan karena kurangnya ilmu, mohon kiranya teman-teman mau memberikan nasihat dan meluruskannya. Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih banyak.
Akhir kata, semoga cerita ini bisa bermanfaat buat saya sendiri dan juga buat para pembaca. Amin… Kritik dan saran bisa anda sampaikan melalui e-mail bangbois@yahoo.com

Wassalam…


[ Cerita ini ditulis tahun 2006 ]