E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Misteri Kehadiran Arwah - Bagian 7

Tujuh



Esok harinya, Rani yang baru pulang sekolah tampak memasuki pekarangan rumahnya dengan agak tergesa-gesa. Maklumlah, cuaca memang terasa cukup panas, sinar matahari yang tidak bersahabat terasa begitu menyengat kulit. Hal itulah yang membuat gadis itu ingin cepat tiba di rumah, berada di bawah naungan atapnya yang teduh.
Kini gadis itu sudah berada di ruang tamu, kakinya yang semampai tampak diselonjorkan di atas meja, santai sekali. Rani terus melepas lelah sambil menikmati es kelapa muda yang dibelinya di warung Bu Ijah. Setelah rasa lelahnya hilang, Rani pun segera ke ruang makan untuk menikmati makan siang yang dibelinya dari rumah makan langganannya. 
Selesai makan, Rani tampak kembali ke ruang tamu. Kini dia sedang duduk di tempat itu sambil membaca sebuah majalah. Beberapa menit kemudian, dia tampak melangkah ke kamar ayahnya. Ketika sedang membersihkan dan merapikan ruangan itu, tiba-tiba saja matanya tertuju pada sepucuk surat berwarna biru yang tergeletak di atas meja kecil. Lalu dengan serta-merta diambilnya surat itu dan diamati dengan penuh seksama. Surat itu sama sekali tidak mencantumkan identitas pengirim. Selain itu, surat tersebut juga tidak menggunakan prangko.
"Aneh!" kata Rani dalam hati seraya mengeluarkan isi surat itu. Tak lama kemudian, dia sudah duduk di tepi tempat tidur sambil mulai membacanya. "Jangan takut… aku bukan mau mengganggumu. Aku cuma mau memberitahumu perihal Jodi. Begini Sayang... sebenarnya pemuda yang kau bangga-bangga itu tak lebih hanya pemuda busuk yang seharusnya mati di tanganku. Tapi aku tidak melakukan itu, aku cuma memberinya pelajaran dan memperingatinya agar tidak mendekati Rani lagi. Seandainya dia berani coba-coba untuk melanggar, aku tidak segan-segan untuk membunuhnya. Mulai sekarang, awasi putrimu itu dan jangan biarkan dia menemui Jodi."
Begitulah isi surat yang dibaca Rani. Dan hal itu membuatnya merinding ketakutan. Dengan perasaan yang masih diselimuti rasa takut, Rani segera memasukkan surat itu ke amplopnya lagi, kemudian meletakkannya kembali di atas meja.
Sejenak Rani menatap surat itu, lalu dengan segera beranjak ke teras depan. Kini dia merasa takut jika harus berada di dalam rumah. Hal itu dikarenakan surat yang baru dibacanya, ditambah lagi dengan bayang-bayang kejadian dua hari yang lalu—serentetan peristiwa yang selalu membuat Rani merinding bila mengingatnya.
Kini gadis itu sudah duduk di kursi teras sambil memikirkan isi surat yang baru dibacanya, kemudian mencoba menghubungkannya dengan peristiwa malam itu. "Hmm... apakah kejadian malam itu ulah orang yang mengirim surat pada Ayah? Sebenarnya siapa dia, kenapa dia menyuruh ayahku untuk menjauhkanku dari Jodi? Apakah dia wanita yang waktu itu menemui Ayah? Hmm... mungkinkah Ayah mempunyai hubungan khusus dengannya? Kalau begitu, benar juga yang dikatakan Jodi waktu itu. Tapi kenapa...?" Rani terus bertanya-tanya dalam hati.
Kini Rani teringat ketika Jodi mengatakan perihal sesuatu yang tidak beres di rumahnya, dan semua itu karena ulah tukang sihir yang tidak mau menghendaki hubungan mereka. Rani tampak semakin bingung, dia terus berpikir di dalam rasa takut yang kian menyelimuti. Sesekali dia menatap ke sekelilingnya, bahkan dia sudah siap lari jika terjadi sesuatu di rumah itu.
Rani masih memikirkan semua peristiwa yang membingungkan itu, hingga akhirnya dia mendengar langkah kaki di dalam rumahnya. Lantas dengan serta-merta dia memusatkan pendengarannya, namun suara itu tak terdengar lagi. Karena penasaran, Rani segera mengitip ke dalam rumah melalui kaca depan yang gordennya sedikit terbuka, kedua matanya tampak dibuka lebar-lebar—mencari siapa yang ada di dalam.
"Hmm... sepertinya, tadi memang ada orang," gumam Rani seraya terus memperhatikan ke dalam rumah.
Mendadak dia melihat sekelebat bayangan putih yang melayang cepat memasuki kamar ayahnya. Mengetahui itu, seketika bulu kuduk Rani berdiri, kemudian dengan serta-merta dia berlari ke jalan raya tanpa berani menengok ke belakang sedikitpun.
Kini gadis itu sudah berada di tepi jalan dengan wajah yang sangat ketakutan, saat itu dia sudah tidak berani kembali ke rumah. Pada saat yang sama, sebuah angkot tampak melintas di jalan tersebut. Melihat itu, wajah Rani tampak berseri-seri, dia menduga ayahnya pasti berada di angkot tersebut. Namun dugaannya itu ternyata meleset, angkot itu terus berlalu dan akhirnya menghilang di kejauhan.
"Kenapa Ayah belum pulang?" tanya Rani  sambil memberanikan diri memandang ke arah rumahnya yang tampak begitu sepi. Saat itulah, tiba-tiba dia merasakan sebuah sentuhan pada pundaknya. Tak ayal, Rani langsung terpekik sambil membalikkan badannya. "Aduh, Ayah…! Ayah membuatku kaget saja," ucap Rani sambil menepuk-nepuk dadanya perlahan.
"Sedang apa kau di sini, Nak?" tanya sang Ayah.
Rani tidak menjawab, dia tampak tersenyum lebar karena ayahnya sudah pulang. "Ayah pulang jalan kaki ya?" tanyanya kemudian.
"Tidak. Ayah pulang naik angkot."
"Angkot yang barusan lewat itu?"
"Iya... memangnya kenapa?"
"Kok Rani tidak melihat Ayah."
"O... itu karena Ayah memang tidak turun di sini. Tadi Ayah sengaja turun di depan warung Bu Ijah untuk membeli rokok."
"O, begitu..." ucap Rani mengangguk-angguk.
Pada saat itu Branden tampak menggandeng lengan Rani, "Ayo, Nak. Kita masuk!" ajaknya kemudian.
Saat itu Rani tampak enggan, dia menatap ayahnya dengan penuh rasa cemas, kemudian pandangannya beralih ke arah rumah yang tampak begitu sepi.
Mengetahui tingkah putrinya yang demikian, Branden tampak heran, kemudian dia menduga pasti yang tidak beres di rumah itu—sesuatu yang membuat Rani takut. Sejenak Branden menatap ke arah rumahnya, melihat apa yang sedang diperhatikan putrinya. "Hmm... tidak ada yang mencurigakan. Sebenarnya apa yang membuatnya takut?" tanya Branden dalam hati.
Kini Branden tampak memperhatikan putrinya yang sedang menatap ke ujung jalan. "Ayo Rani. Kenapa kau masih berdiri di situ? Bukankah sebaiknya kita masuk ke dalam!" ajaknya sekali lagi.
Rani menggeleng. "Biar Rani di sini saja Ayah," ucapnya pelan.
"Kau ini bagaimana sih? Lihatlah! Hari sudah semakin gelap. Apa kau mau terus berdiri di tempat ini?" tanya Branden.
Lagi-lagi Rani menggeleng.
"Nah, kalau begitu ayo kita masuk!" ajak Branden lagi.
Rani tampak menatap ayahnya. "Baiklah, Ayah. Tapi, biarkan Rani berjalan di belakang Ayah!" pintanya berharap.
Branden setuju. Dia segera melangkah ke teras dengan hati-hati, sementara itu Rani tampak mengekor di belakangnya.
Kini lelaki itu sedang membuka pintu rumah dengan sangat perlahan, kemudian melongok ke dalam dengan was-was. "Hmm... tidak ada apa-apa," kata Branden dalam hati seraya mulai melangkah masuk.
Sementara itu, Rani yang masih mengekor di belakangnya tampak mengamati ruangan itu dengan penuh rasa cemas. "Ayah…!" serunya tiba-tiba.
Branden agak terkejut mendengar suara Rani. "Ada apa, Sayang...?" tanya lelaki itu seraya menoleh ke belakang—memandang wajah putrinya yang terlihat begitu cemas. "Sebenarnya ada apa denganmu, Nak? Tidak biasanya kau seperti ini. "
"Rani takut, Ayah. Rani takut."
"Takut...?" Branden tampak mengerutkan keningnya, kemudian duduk bersantai di sofa. "Ya sudah, kalau begitu kenapa kau masih berdiri di situ? Mari sini, duduk dekat Ayah!" sambungnya kemudian.
Rani menurut, dia segera melangkah dan duduk di sisi ayahnya. "Ayah, surat itu dari siapa?" tanya Rani tiba-tiba.
"Su-surat... surat yang mana?" tanya Branden tidak mengerti.
"Itu, Yah… Surat  yang tergeletak di meja kecil di kamar Ayah," jelas Rani.
"Ja-jadi kau sudah membacanya?’
Rani mengangguk. "Ayo, Yah. Lekas katakan!" desaknya kemudian.
Branden memandang putrinya, raut wajahnya seperti sedang berpikir. "Tidak! Aku tidak boleh mengatakannya, dia belum siap untuk mengetahui semua hal yang telah terjadi di rumah ini," kata Branden dalam hati.
"Siapa yang mengirim surat itu, Ayah…?" tanya Rani sekali lagi.
"Begini Sayang... sebaiknya kau lupakan saja perihal surat itu. Ayah sendiri juga tidak tahu siapa pengirimnya. Semula Ayah juga bingung ketika membacanya, apa lagi sampai membawa-bawa nama Jodi segala. Tapi sekarang, Ayah sudah tidak memikirkannya lagi. Ayah menganggap semua itu merupakan pekerjaan orang iseng yang mau merusak ketenteraman keluarga kita," jawab Branden. "O ya, apa kau sudah makan?" tanya lelaki itu kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Rani tidak menjawab, dia tampak menunduk sambil meremas jemari di pangkuannya.
 "O ya, bagaimana tentang Jodi. Apa kau sudah bertemu dengannya?" tanya Branden lagi.
Rani tetap membisu, dia tidak mau menjawab pertanyaan ayahnya selama sang Ayah belum menjawab pertanyaannya dengan jujur. Saat itu dia menduga ayahnya telah berbohong, sehingga dia tidak mau menerima penjelasan yang baginya terkesan menutup-nutupi.
Kini Rani kembali melemparkan kalimat-kalimat yang disangkanya bisa membuat sang Ayah menyerah dan akhirnya mau menjelaskan semua kejadian aneh yang selama ini dialaminya. Tapi Rani salah duga, ternyata sang Ayah selalu memberikan jawaban yang sama. Karena tak juga mendapatkan jawaban yang memuskan, akhirnya Rani menyerah, dia tampak melangkah ke teras depan dengan perasaan kecewa. Pada saat yang sama, Branden tampak beranjak bangun dan mengikutinya.
Kini keduanya sudah duduk di kursi teras dan saling membisu. Setelah cukup lama membisu, akhirnya Rani mulai bersuara, dia segera menceritakan kejadian yang membuatnya bersikeras ingin mengetahui penjelasan dari ayahnya.
"Ayah… Tadi, ketika Rani sedang membersihkan kamar Ayah, Rani melihat surat itu dan membaca isinya. Isi surat itu telah membuat Rani begitu merinding. Orang yang menulis surat itu mengancam akan membunuh Jodi jika dia berhubungan dengan Rani, dan ketika Rani sedang duduk memikirkan masalah itu di sini, tiba-tiba Rani mendengar langkah kaki di dalam rumah. Ketika Rani mengintip ke dalam, Rani sempat melihat ada sekelebat bayangan yang melesat memasuki kamar Ayah. Kontan saja Rani ketakutan dan melarikan diri ke jalan raya," cerita Rani dengan sedikit takut karena mengingat kejadian yang dialaminya.
Setelah mendengar cerita itu, Branden langsung merenung. Di hatinya ada perasaan kecewa yang sangat mendalam, kekecewaan terhadap sosok istrinya yang selalu datang menghantui mereka. Hingga saat ini Branden masih belum mengerti, kenapa mendiang istrinya itu selalu datang mengganggu Rani, kenapa belakangan ini dia selalu membebani pikiran putrinya dengan membuat keganjilan-keganjilan di rumah itu. Walaupun sebenarnya Branden masih kurang yakin kalau itu adalah arwah istrinya, sebab baru-baru ini dia mengetahui tentang adanya jin pendamping yang biasanya suka menyerupai orang yang sudah meninggal. Karenanyalah Branden masih saja bingung dengan semua perkara itu sehingga dia tidak berani memastikan apakah itu memang arwah Yana atau cuma Jin pendampingnya.
Kini Branden menatap putrinya dengan penuh perhatian, kemudian menggenggam tangannya lembut. "O ya, Sayang. Tadi Ayah dapat surat dari Jodi," ucapnya seraya mengambil surat yang di maksud dan memberikannya kepada Rani.
"Terima kasih, Ayah!" ucap Rani senang karena menerima surat dari kekasihnya. "O ya, Ayah. Apakah Ayah berjumpa dengan dia?" tanya Rani bersemangat.
"Tidak, surat itu dititipkan lewat teman kerja Ayah."
Rani tampak mengangguk-angguk. "O ya, Ayah. Sekarang Rani mau ke kamar untuk membaca surat ini," katanya kemudian.
"Iya, Sayang..." ucap Branden seraya memperhatikan kepergian putrinya.
Kini Rani sudah berada di dalam kamarnya. Dia sedang duduk di tepi tempat tidur sambil membuka surat dari Jodi. Saat itu dia merasa begitu senang, bahkan wajahnya yang semula murung kini tampak berseri-seri, sepertinya dia sudah lupa dengan segala kejadian yang telah membuatnya takut. Namun ketika dia membaca isi surat itu, mendadak raut wajahnya berubah sedih. Kemudian di susul dengan air mata yang berderai melewati pipinya yang mulus.
"Jo kenapa kau tega memutuskanku. Apa benar semua itu karena orang tuaku yang tidak merestui hubungan kita?"
Rani terus menangis dan menangis. Sungguh dia sangat kecewa dengan keputusan itu dan tidak bisa menerimanya begitu saja. Setelah meletakkan surat yang baru dibacanya, Rani segera beranjak bangun. Kemudian melangkah ke sebuah meja kecil dan mengambil foto Jodi yang terpajang di meja itu. Sesaat dia pandangi foto itu dengan air mata yang terus berderai.
Kini gadis  itu  sudah kembali ke tempat tidur, tubuhnya tampak tertelungkup dengan kedua tangan yang memegang bingkai foto. Matanya yang basah terus memandangi foto Jodi yang sedang tersenyum, "Jodi…maafkan ayahku! Aku sama sekali tidak mengerti mengapa Ayah tidak merestui hubungan kita? Padahal, semula beliau sangat merestuinya. Belakangan ini sikap beliau memang agak aneh, sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Jo... terus terang aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku benar-benar menyesal karena kita harus berpisah dengan cara seperti ini, dan yang aku sangat sesalkan, semua ini adalah lantaran ulah ayahku. Beliau pasti melakukannya atas permintaan orang misterius yang hingga kini masih membuatku bingung."
Rani terus membatin dengan segala duka-laranya, air matanya selalu berderai jikalau mengingat kembali masa-masa indah bersama Jodi, sepertinya dia tidak sanggup untuk berpisah dengan pria yang begitu dicintainya.
Rani membaca surat Jodi sekali lagi, kemudian kembali memandangi foto kekasihnya dengan tangis yang tak kunjung henti. Hingga akhirnya Rani tertidur sambil memegang foto Jodi di dadanya.



Esok harinya, Rani seperti enggan ke sekolah. Harapan akan masa depannya yang gemilang telah sirna seketika. Semenjak menerima surat itu, Rani memang tidak mempunyai gairah untuk hidup. Bahkan di benaknya terbayang sudah kehidupannya yang  terasa begitu hampa, sehingga dia pun merasa tidak mungkin sanggup untuk melaluinya. Namun, bisikan nuraninya terus meminta untuk melupakan semua itu, memintanya untuk tetap menjalani kehidupan seperti apa adanya. Hingga akhirnya, Rani mau mendengarkan kata hatinya itu. Walau terasa berat, dia mau juga berangkat ke sekolah.
Di sekolah, Rani masih saja terlihat murung. Semua pelajaran sama sekali tak bisa diserapnya, semua telah terkubur oleh kuatnya kekecewaan yang mendalam. Setelah pulang sekolah, gadis itu tidak langsung pulang ke rumah. Dengan berjalan kaki, dia  terus melangkah tanpa tujuan. Di benaknya terus terbayang akan kemalangan yang telah menimpanya. Setelah jauh melangkah, akhirnya Rani sampai di sebuah rel kereta api dua jalur. Tiba-tiba Rani menghentikan langkahnya, di kejauhan terlihat sebuah KRL (kereta rel listrik) yang akan melintas.
Rani tampak terpaku ketika Ular besi itu melintas di hadapannya, hembusan anginnya terasa keras menerpa. Ular besi itu memang tampak perkasa, kokoh dan begitu kuat. Berdiri di sampingnya saja sudah sangat menggetarkan jiwa, apa lagi jika berada dihadapannya. Begitulah yang ada di benak Rani akan keperkasaan si Ular besi, dan mendadak dia tersadar, dilihatnya KRL sudah pergi menjauh. Kini Rani melanjutkan langkahnya untuk menyeberang, namun ketika dia berada di tengah-tengah rel, tiba-tiba langkahnya terhenti. Kini segala keperkasaan tentang si Ular besi kembali hadir di benaknya, kemudian timbullah sebuah niat untuk melepaskan segala penderitaannya.
Lantas dengan langkah gontai namun pasti, Rani mulai berjalan menyusuri rel kereta api, dia berjalan searah dengan KRL yang baru saja melintas. Rani terus melangkah dan melangkah, sedang di hatinya terus merasakan penderitaan yang teramat sangat. Seolah pikirannya tak mau lepas dari bayang-bayang masa lalu, masa-masa indah ketika bersama sang Kekasih, masa-masa yang tidak mungkin akan terulang lagi.
Rani terus melangkah menyusuri rel yang lurus. Saat itu dia berharap sebuah KRL akan muncul di belakangnya dan menabraknya hingga hancur berkeping-keping, kemudian berakhirlah segala penderitaannya yang teramat pedih. Berakhir dengan cepat, secepat lepasnya nyawa dari raga. Tak lama kemudian, sebuah KRL datang dari arah belakang, klaksonnya terdengar meraung-raung—memperingati akan keperkasaan si Ular besi yang tidak main-main dengan segala yang ada di depannya. Rani sadar akan hal itu, tapi dia justru merasa senang karena sebentar lagi semua penderitaannya akan berakhir dengan cepat.
KRL terus melaju mendekati Rani, hingga akhirnya jarak kematian tinggal satu meter lagi. Di saat detik-detik kematian itu, tiba-tiba sesosok tubuh tegap melompat cepat dan menyambar tubuh Rani hingga akhirnya keduanya tampak bergulingan di atas kerikil, sedangkan si Ular besi terus melintas dengan segala keperkasaannya—dia terus menjauh seakan tidak peduli dengan semua itu. Pada saat yang sama, Rani terlihat sudah berdiri sambil membersihkan kotoran yang menempel di tubuhnya, sedangkan orang yang mendorongnya tampak berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang begitu serius.
"Dasar manusia tidak berakal! Jika kau ingin mati jangan di hadapan aku dong!" maki orang itu. "Terus terang, aku sudah pernah melihat orang mati tertabrak kereta. Tubuhnya hancur berkeping-keping, sungguh mengenaskan. Aku tidak mau melihat hal seperti itu untuk yang kedua kalinya," cerita orang itu dengan nada marah.
Rani tidak berkata-kata, dia hanya mendengarkan orang itu terus berbicara, sedangkan kedua matanya tampak menatap wajah tampan yang masih saja terlihat serius. Dia benar-benar tidak menduga kalau usahanya itu telah membuat pemuda itu begitu gusar.
"Paham kau?" tanya pemuda itu mengakhiri omelannya.
"Maaf kalau tadi aku telah merepotkanmu!" ucap Rani menyesal.
Mendengar itu, Pemuda tadi segera meredakan nada bicaranya. "Kenapa kau ingin bunuh diri?" tanyanya prihatin.
Rani tidak menjawab, dia justru meneteskan air matanya. Melihat itu, si pemuda kembali bicara, "Maaf kalau pertanyaanku tadi membuatmu sedih! Terus terang, sebenarnya aku tidak mau mencampuri masalahmu. Namun karena perbuatanmu tadi, rasanya aku perlu membantumu. Tapi kalau kau merasa aku ini bukan orang yang pantas, aku tidak akan memaksa. Aku sarankan, carilah orang yang bisa membantumu untuk menyelesaikan masalahmu. Bunuh diri bukanlah cara menyelesaikan masalah, hal itu justru akan membuatmu semakin menderita di alam sana. Mengerti?" tanya pemuda itu kepada Rani yang masih saja tertunduk sedih. "Baiklah... kalau begitu aku pergi sekarang," pamit pemuda itu seraya melangkah pergi.
"Tunggu, Kak!" tahan Rani tiba-tiba.
Mendengar itu, si pemuda langsung menoleh dan segera menghampiri Rani. "Ada apa?" tanyanya pelan.
"Begini Kak. Sebenarnya..." Rani menggantung kalimatnya.
Pemuda itu segera menggenggam tangan Rani seraya berkata, "Ayo katakan saja! Kau tidak perlu sungkan padaku. Aku sungguh-sungguh akan membantumu, percayalah!"
"Begini Kak. Se-sebenarnya aku sedang patah hati. Aku merasa kehidupanku begitu berat dan penuh dengan penderitaan, sepertinya aku sudah tidak sanggup lagi hidup di dunia ini," cerita Rani lirih.
"Hmm... begitu. Jadi kaupikir dengan bunuh diri bisa menghilangkan penderitaanmu, begitu?"
Rani mengangguk.
"O ya, kenalkan. Namaku ‘Bobby’. Siapa namamu?" tanya pemuda itu lagi.
"Aku ‘Rani’."
"Hmm… ‘Rani’ nama yang bagus," puji Bobby. "O ya, bagaimana kalau kita bicara di warung itu? Di sana kita bisa bicara sambil menikmati es kelapa muda."
Rani tertunduk, sepertinya dia enggan mengikuti keinginan pemuda itu.
"Ayolah! Kau tidak perlu sungkan. Bukankah akan lebih enak kalau kita bicara sambil duduk dan minum es kelapa muda," desak Bobby.
Rani menatap pemuda itu, lalu mengangguk pelan. Tak lama kemudian, mereka sudah melangkah ke warung yang dimaksud. Kini mereka sedang duduk di warung sambil menikmati es kelapa muda yang begitu segar. Pada saat itu, Bobby  mulai menanyakan kembali perihal keinginan Rani untuk bunuh diri, kali ini Rani menceritakannya dengan lebih rinci.
"Rani... dengar ya! Sebenarnya bunuh diri itu tidak akan mengakhiri penderitaanmu. Hal itu justru akan membuatmu semakin menderita. Di akhirat nanti, kau pasti akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketahuilah, kalau setiap manusia yang hidup pasti akan mempunyai masalah, dan masalah itulah yang akan membuatnya semakin mengerti akan arti kehidupan. Sebagai manusia, kita dituntut untuk menyelesaikan segala masalah dengan cara yang baik, dan itulah hidup yang sesungguhnya. Kita sebagai manusia sengaja dikaruniai perangkat yang begitu kompleks karena untuk merasakan kehidupan. Apalah jadinya jikalau hidup tanpa mempunyai masalah, tentunya akan terasa hambar bukan? Kita merasa bahagia karena ada sedih, kita merasa mudah karena ada susah. Coba renungkan, seseorang yang ditinggal pergi oleh kekasihnya tentu akan sedih sekali, namun begitu dia bertemu kembali, kebahagiaan pun tak kan terelakkan. Satu lagi, seseorang yang mendapat sesuatu dengan cara bersusah payah pasti hasilnya akan dirasakan berbeda jika dibandingkan dengan orang yang mendapatkannya dengan cara mudah. Orang yang bersusah payah akan mendapatkan kepuasan tersendiri daripada yang mendapatkannya dengan cara mudah. Sebenarnya masih banyak lagi liku-liku kehidupan yang sebenarnya akan membuat kita lebih menghargai hidup itu sendiri, dan itulah yang dinamakan asam garam kehidupan yang akan membuat kehidupan kita menjadi lebih nikmat," jelas Bobby panjang lebar.
Rani terdiam, sepertinya dia sedang merenungi segala ucapan pemuda itu. Hingga akhirnya, Rani pun bisa menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya memang salah, kenapa hanya karena ditinggal kekasih dia menjadi lemah dan berpikir pendek begitu. Bahkan dia merasa benar-benar bodoh lantaran telah melakukan tindakan yang justru akan membuatnya semakin menderita.
"Kau benar Kak, aku memang telah salah bertindak!" ucap Rani menyesal. "Terus terang,  aku sangat berterima kasih karena kau telah menyadarkanku!" sambungnya kemudian.
"Sudahlah...! Kau tidak perlu berterima kasih padaku. Karena semua ini memang sudah kehendak-Nya. O ya, bagaimana jika kau kuantar sampai ke rumah?"
"Terima kasih Kak! Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula, saya bisa pulang sendiri kok," tolak Rani.
"Rani... izinkanlah aku untuk mengantarmu! Aku ingin memastikan kau tiba di rumah dengan selamat," desak Bobby.
Rani tidak menjawab. Dia memandang Bobby dengan pandangan yang penuh suka cita.
"Bagaimana...? Kau mau kan?" tanya Bobby.
Rani tersenyum, kemudian dia menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, ayo kita berangkat!" ajak Bobby.
Tak lama kemudian, keduanya tampak melangkah menuju ke sebuah sepeda motor besar yang di parkir di samping warung. Ternyata sepeda motor itu kepunyaan Bobby yang memang sudah diparkir sebelum peristiwa itu terjadi. Setelah menghidupkan sepeda motornya, Bobby segera memacunya menyusuri jalan yang mulai macet. Dalam perjalanan, mereka tampak asyik berbincang-bincang. Sesekali Bobby menghibur Rani dengan banyolan-banyolan yang membuat Rani tertawa terpingkal-pingkal. Untuk sesaat Rani bisa melupakan segala kepedihannya, wajahnya tampak begitu ceria. Setelah cukup lama menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.
Rani yang baru saja turun dari motor tampak tersenyum kepada Bobby, "Ayo Kak, silakan mampir dulu!" tawarnya ramah.
"Terima kasih! Lain kali saja. Kali ini aku harus cepat-cepat pulang," tolak Bobby. "Sudah ya, aku pergi sekarang!" pamitnya kemudian.
"O ya, Kak. Sekali lagi aku ucapkan banyak terima kasih!"
"Sudahlah...!" ucap Bobby sambil tersenyum.
Rani tersenyum, kemudian dia tampak memperhatikan Bobby yang kembali melaju dengan sepeda motornya, tak lama kemudian sepeda motor itu sudah tak terlihat lagi. Pada saat yang sama, Rani segera melangkah memasuki rumah. Kini dia terlihat sedang membersihkan diri dari segala kotoran yang melekat, dan setelah itu dia bergegas menuju ke kamarnya.
Setibanya di kamar, Rani langsung menghempaskan tubuh di atas tempat tidur. Kini gadis itu kembali teringat dengan Jodi, teringat akan keputusan Jodi yang begitu menyakitkan, dan dia menduga semua itu lantaran ulah ayahnya yang mengusir Jodi malam itu. Dia ingat betul ketika ayahnya membentak Jodi dengan begitu kasar, dan saat itu Jodi terlihat begitu gusar.
Kini Rani kembali murung, menghapus semua keceriaan yang semula menghias wajahnya. Tiba-tiba air matanya tampak berderai, mengalir melewati pipinya yang mulus, kemudian menetes membasahi bantalnya yang berwarna biru. Rani terus menangis, isak tangisnya terdengar begitu lirih. Selirih gesekan dawai biola yang mengalun panjang. 
Di tempat terpisah, di sebuah gedung perkantoran. Branden tampak sibuk dengan tugas-tugasnya. Ketika sedang sibuk-sibuknya, tiba-tiba telepon yang ada di meja kerjanya berdering dengan keras sekali. Lalu dengan segera lelaki itu mengangkatnya, "Hallo!" sapa Branden kepada orang yang menelepon.
"Hallo, Pak Branden! Ini saya, Pak Heru. Saya mohon Bapak segera ke ruangan saya!"
"Baik, Pak. Secepatnya saya akan ke sana," ucap Branden seraya menutup telepon itu.
Dengan agak tergesa-gesa, Branden tampak meninggalkan ruangannya. Tak lama kemudian, dia sudah sampai di ruangan Pak Heru. "Selamat sore, Pak!" ucap Branden sopan.
"Silakan duduk, Pak!" pinta Pak Heru sambil tersenyum.
"Terima kasih, Pak!" ucap Branden seraya duduk di hadapan Pak Heru.
Di sudut lain, terlihat Bu Siska yang terus memperhatikan Branden dari meja kerjanya.
 "Sebenarnya ada apa, Pak?" tanya Branden sopan.
"Begini, Pak... keperluan saya memanggil Bapak adalah untuk meminta maaf," ucap Pak Heru berterus terang.
"Mi-minta maaf? Maksud Bapak?" tanya Branden heran.
"Saya mohon, Bapak mau memaafkan saya," ucap Pak Heru tulus.
"Pak, saya benar-benar tidak mengerti? Bapak kan tidak punya salah sama saya?"
Tiba-tiba Bu Siska beranjak dari tempat duduknya, kemudian dia melangkah menghampiri Branden. "Saya juga minta maaf, Pak!" ucapnya tulus.
"O, jadi ini semua karena kejadian tempo hari. Bukan begitu, Bu?"
Bu Siska tidak menjawab, dia tampak menundukkan kepalanya. Melihat itu Branden kembali bicara, "Sebenarnya kejadian tempo hari sudah saya lupakan. Saya benar-benar maklum kalau saat itu Ibu marah sama saya."
"Sebenarnya bukan cuma itu, Pak. Kami telah..."
Belum sempat Bu Siska menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Branden sudah memotong. "Sudahlah Bu, lupakan saja peristiwa itu! Sebenarnya saya sudah memaafkannya sejak lama. Kalau pun ada kesalahan lain, Bapak dan Ibu sudah saya maafkan," kata Branden terus terang.
Bu Siska dan Pak Heru tampak saling berpandangan. Kemudian Pak Heru kembali bicara, "Pak Branden, hati anda sangat mulia. Saya benar-benar tidak menduga kalau Bapak akan berbesar hati mau memaafkan kami. Kami sungguh menyesal karena telah berlaku tidak layak terhadap Bapak, dan kami sangat berterima kasih karena Bapak mau memaafkan kami."
"Betul, Pak Branden. Kami sangat berterima kasih atas kemuliaan hati Bapak yang mau memaafkan kami," timpal Bu Siska.
Branden tidak berkata-kata. Dia memandang wajah Pak Heru dan sekretarisnya silih berganti. "Sudahlah...! Bukankah sudah sepantasnya, kita sesama manusia untuk saling memaafkan," katanya sungguh-sungguh, "O ya, kalau Bapak sudah tidak ada keperluan lagi, sebaiknya saya permisi dulu. Sebab, masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan," sambungnya kemudian.
"Kalau begitu, silakan Pak! Dan saya mohon maaf karena sudah menyita waktu Bapak," ucap Pak Heru.
Branden tersenyum, kemudian dia segera melangkah untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam hati, Branden masih merasa bingung. Dia tidak mengerti apa sebenarnya yang sudah diperbuat oleh Pak Heru dan Bu Siska terhadapnya. Jikalau Bu Siska pernah mencaci-maki dirinya, hal itu dianggap hal yang wajar bagi seorang pegawai rendahan seperti dia. Namun permintaan maaf Pak Heru dan Bu Siska yang dinilainya agak berlebihan sempat membuatnya sedikit penasaran. Pada akhirnya, sosok istrinya datang dan menjelaskan semua hal yang membuatnya penasaran, hingga akhirnya dia pun bisa memaklumi keduanya.



Esok siangnya udara terasa panas sekali, teriknya sinar mentari terasa begitu menyengat kulit. Di teras sebuah rumah, seorang gadis berseragam abu-abu tampak sedang membuka pintu depan dengan agak tergesa-gesa. Dialah Rani yang baru saja pulang sekolah, saat itu dia terlihat begitu lelah.
Kini Rani sudah melangkah masuk dan sedang meletakkan tasnya di atas meja, kemudian dia juga meletakkan kantong plastik hitam berisi nasi bungkus yang baru dibelinya. Dengan santai dia duduk di sofa, kemudian melepaskan sepatu dan kaos kakinya. Suasana di rumah itu tampak begitu hening, sehening suasana makam di malam hari. Pada saat seperti itulah segala bayang-bayang masa lalu selalu menghantuinya, menteror dengan segala kenangan manis yang semakin membuat hatinya kian tersayat-sayat.
"Tidak! Aku tidak boleh memikirkan hal itu terus. Sebab, semakin aku mengingatnya, semakin pedih hati ini. Biar bagaimanapun, aku harus bisa melupakannya," kata Rani dalam hati seraya bangkit dari tempat duduk dan segera melangkah ke dapur. Di tangannya terlihat kantong plastik hitam yang diambilnya dari atas meja.
Rupanya Rani akan menyiapkan makan siangnya, sekaligus mengambil minum untuk melegakan kerongkongannya yang begitu kering. Belum sempat gadis itu tiba di dapur, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. Saat itu, matanya memandang ke arah dapur yang tampak begitu sepi. Sungguh suasana saat itu telah membuatnya sedikit takut. Lalu dia pun teringat dengan peristiwa waktu itu, dimana perabotan yang berada ruang dapurnya bergerak sendiri, kemudian disusul dengan pecahnya piring dan gelas yang hancur berantakan. Rani tampak menarik nafas panjang untuk menenangkan diri, kemudian berusaha untuk mengendalikan semua rasa takut yang telah merasuki pikirannya. "Tidak! Aku tidak boleh takut, ini kan rumahku sendiri," ungkapnya memberanikan diri.
Keinginan untuk melepas dahaga semakin membangkitkan keberaniannya, kemudian dengan mantap dia segera melangkah kembali. Rani terus melangkah, sedangkan jantungnya mulai berdegup kencang. Tiba-tiba dia teringat kembali dengan kejadian malam itu. Bersamaan dengan itu, lagi-lagi Rani menghentikan langkahnya.
Kini  gadis itu tampak berdiri di depan tirai yang menjadi pemisah ruang dapur. Entah kenapa, tiba-tiba  dia merasakan suasana di rumah itu terasa kian mencekam, bahkan jantungnya pun semakin berdebar kencang. Namun begitu, Rani berusaha memberanikan diri. Dengan perlahan dia mulai menyibak tirai itu. Begitu tirai terbuka, tiba-tiba sesosok tubuh hitam tampak melompat dari atas sebuah lemari kecil. Melihat itu, seketika Rani terkejut dan berteriak sejadi-jadinya.
Mendadak teriakan gadis itu terhenti, bersamaan dengan seekor kucing yang dilihatnya sedang mengeong-ngeong di dekat kakinya. Kucing itu terus mengeong-ngeong, kemudian berputar di kaki Rani sambil mengeluskan tubuhnya.
"Aduh, kau mengagetkanku saja," kata Rani seraya menggendong kucing itu dan membelainya dengan penuh kasih sayang. "Hmm... ini kucing siapa ya?" tanyanya dalam hati. "Pus, kau lapar ya? Kasihan sekali, rupanya tuanmu tidak memberimu makan ya?"
Lantas dengan santai Rani membuka nasi bungkusnya, kemudian mengambil kepala ikan dan memberikan kepada si kucing.
Rani kembali membelai kucing itu, saat itu hatinya terasa betul-betul damai. Sejenak dia memperhatikan si kucing yang tampak begitu rakus melahap kepala ikan yang cukup besar. Sesekali dia menggeram, takut jika makanannya diambil oleh Rani. Saat itu Rani cuma tersenyum, menyaksikan prilaku hewan yang tampaknya tidak tahu berterima kasih.
Kini Rani sedang menuang air bening ke dalam gelas yang baru saja diambilnya, kemudian meneguknya dengan segera. Seketika rasa dingin terasa melewati kerongkongannya, bersamaan dengan itu rasa dahaganya pun sirna dengan sendirinya. Setelah itu dia segera menyiapkan makan siangnya. Pada saat yang sama, sosok mendiang ibunya tampak sedang memperhatikan. Saat itu dia ingin sekali menampakkan diri di hadapan Rani, namun entah kenapa dia tak kuasa melakukannya.
Rani yang baru saja selesai makan segera menuju ke kamarnya, pada saat itu sosok mendiang ibunya sudah melesat pergi. Kini Rani sedang memasuki kamarnya. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui tempat tidurnya yang tadi pagi tidak sempat dia dirapikan kini sudah tertata rapi. Bukan cuma itu, buku-bukunya yang tidak sempat dirapikan juga telah tertata rapi. Saat itu Rani benar-benar sudah dibuat bingung, "Hmm... siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya Rani dalam hati. "Tidak mungkin Ayah yang melakukannya? Tadi pagi kan aku bangun kesiangan, dan ketika aku sedang sarapan beliau justru sudah berangkat lebih dulu. Hmm... apa mungkin Ayah kembali lagi setelah aku pergi, beliau kembali karena melupakan sesuatu. Ah, sepertinya itu juga tidak mungkin. Selama ini justru akulah yang selalu merapikan tempat tidurnya. Aneh… sebenarnya siapa yang telah melakukan semua ini?"
Akhirnya Rani memutuskan untuk tidak mempedulikan semua itu, bahkan dia berusaha berprasangka baik kalau ayahnyalah yang telah melakukan semua itu. Kini Rani sedang melepas pakaian sekolahnya, kemudian menggantinya dengan pakaian santai yang diambilnya dari dalam lemari. Setelah itu, dia segera melangkah ke kamar ayahnya.
Setibanya di dalam kamar, lagi-lagi Rani terkejut. Hal serupa yang terjadi di kamarnya juga terlihat di ruangan itu, semuanya sudah benar-benar rapi. Padahal, selama ini dialah yang biasanya merapikan tempat itu sepulang sekolah.
Karena semua sudah benar-benar rapi, akhirnya Rani kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Kini gadis itu sudah merebahkan diri di atas tempat tidur dan sedang memejamkan kedua matanya. Karena merasa lelah, akhirnya gadis itu tertidur pulas.
Ketika terjaga, Rani tampak terkejut. Dilihatnya sang Ayah sudah berada di sisi tempat tidur dan sedang memandangnya. "Sayang… Ayah ingin menyampaikan sesuatu tentang Jodi," kata Branden sambil terus memandang wajah putrinya.
"Apa itu, Ayah?" tanya Rani penasaran.
"Sesuatu kebenaran tentang Jodi, Sayang…" jawab Branden. "O ya, apakah selama ini kau masih mengharapkan dia?" tanyanya kemudian.
"Tentu saja, Ayah. Rani kan sangat mencintainya," jawab Rani terus terang.
"Sebaiknya kau lupakan dia, Sayang…!" pinta Branden.
"Kenapa Ayah menghendaki demikian?" tanya Rani lagi dengan alis tampak merapat.
"Bu-bukan apa-apa, Sayang… sebenarnya selama ini Jodi cuma mempermainkanmu. Dia sama sekali tidak mencintaimu."
Mendengar itu, Rani langsung duduk di atas tempat tidurnya. "Bohong! Ayah bohong! Kenapa Ayah tega berbuat begitu?" tanya Rani seraya menatap sang Ayah dengan mata yang berkaca-kaca.
Branden tak kuasa memandang wajah putrinya, dia tampak memalingkan wajahnya ke arah pintu. "Ayah tidak berbohong, Sayang... terus terang, Ayah tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya padamu," kata Branden menyangkal.
"Kenapa, Yah? Kenapa waktu itu Ayah mengusir Jodi? Sebenarnya apa salah Jodi sehingga Ayah tidak menyetujui hubungan kami? Jawab, Ayah. Jawab!" desak Rani lirih.
"Kau salah paham, Sayang... semua itu karena..." Branden tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak bingung dan tidak tahu harus berkata apa untuk menjelaskan kejadian waktu itu. kemudian dia kembali berkata, "Nak, sebaiknya sekarang kau mandi, lalu setelah itu kita makan sama-sama!" saran Branden seraya membelai kepala Rani dan mengecupnya dengan penuh kasih sayang. Setelah itu dia tampak melangkah ke kamarnya sendiri.
Kini Branden sudah berada di dalam kamar dan sedang mengganti pakaiannya. Ketika baru saja selesai, tiba-tiba "Bagaimana, Bran?" terdengar suara orang yang bertanya kepadanya.    
"Ya-yana…!" seru Branden kaget ketika melihat sosok Yana yang sudah berdiri di sampingnya.
"Bagaimana, Bran? Apa kau sudah menceritakannya?"  tanya sosok Yana lagi.
"Belum sepenuhnya, Sayang... saat itu Rani sama sekali tidak mempercayaiku. Aku sendiri bingung, bagaimana caranya agar dia mau percaya," jawab Branden. "O ya, bagaimana kalau kita cari orang yang bisa menjelaskan siapa Jodi sebenarnya!" sarannya kemudian.
"Baiklah kalau begitu, aku tahu siapa orang yang bisa menyampaikannya," jelas sosok Yana.
"Siapa?" tanya Branden.
"Jodi sendiri," ucap sosok Yana seraya menghilang dari pandangan.
Branden agak kecewa dengan kepergian sosok Yana yang begitu tiba-tiba, padahal dia masih ingin berbicara banyak dengan mendiang istrinya itu. Lantas dengan perasaan yang masih kecewa, Branden segera pergi ke meja makan untuk menikmati makan malam bersama putrinya.