E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Misteri Kehadiran Arwah - Bagian 9

Sembilan



Esok siangnya cuaca tampak cerah. Di sebuah jalan yang macet, kendaraan tampak merayap dengan perlahan. Suaranya yang bising menambah kejengkelan Rani yang saat itu baru saja pulang sekolah. Di tambah lagi dengan asap hitam yang tampak mengepul dari knalpot sebuah bis kota tua yang tak terawat.
Kini Rani sedang duduk di sebuah halte yang cukup ramai, menunggu bis kota yang akan mengantarnya pulang. Sejenak dia memperhatikan orang-orang di sekitarnya, dilihatnya beberapa orang penumpang tampak naik-turun bis, tak ketinggalan para pedagang asongan dan pengamen yang mencoba mencari peruntungan.
"Blok-M Blok-M. Ayo, kosong... kosong...!" terdengar suara kondekturnya yang berteriak keras.
Rani tertawa mendengar ucapan kondektur itu, walaupun dia sudah sering mendengarnya. Namun kalau dipikir-pikir, lucu juga kalau bis yang sudah penuh masih juga dibilang kosong.
Rani masih duduk menunggu, dalam hati dia mulai merasa resah. "Aduh, kok lama sekali sih," keluhnya seraya bangkit berdiri, kemudian matanya kembali memperhatikan setiap bis yang mendekat.
Setelah lama menunggu, akhirnya bis yang dinantikannya tiba. Melihat itu, Rani segera beranjak bangun dan bergegas naik. Pada saat yang sama, si Kondektur terlihat membantunya untuk menaiki bis yang terlihat sudah penuh sesak. "Lumayan bisa pegang-pegang cewek cantik," kata si Kondektur dalam hati.
Bis kota kembali melaju, bersamaan dengan si Kondektur yang mulai menagih ongkos penumpang. "Cring… cring… cring..." terdengar bunyi uang recehan si kondektur yang memberi tanda kepada para penumpang yang belum membayar. Rani segera mengeluarkan uang pas dan memberikannya kepada kondektur itu. Pada saat yang sama, seorang pemuda tampak beranjak dari duduknya dan mempersilakan Rani duduk.
"Terima kasih! Saya bisa berdiri kok!" tolak Rani kepada pemuda itu.
"Duduk saja, Dik! Sebentar lagi saya akan turun," jelas pemuda itu.
"Terima kasih ya!" ucap Rani seraya duduk di samping seorang ibu yang sedang menggendong bayinya.
Rani tampak memperhatikan bayi itu, dilihatnya bayi itu sedang tertidur pulas, wajahnya yang lucu tampak begitu polos. Bayi yang belum mempunyai dosa itu terjaga sesaat, kemudian matanya yang jernih tampak menatap Rani dengan penuh tanda tanya. Tak lama kemudian, Bayi itu kembali terlelap.
Rani terus memperhatikan bayi itu, sementara itu ibu si Bayi tampak memandang Rani sambil tersenyum. "Pulang sekolah, Nak?" tanyanya membuka pembicaraan.
"Iya, Bu," jawab Rani sambil tersenyum. "Berapa usianya, Bu?" tanyanya kemudian.
"Empat bulan," jawab si Ibu ramah.
Rani tampak memperhatikan bayi itu lagi, "Namanya siapa, Bu," tanya Rani seraya mengusap-usap kepala bayi itu dengan penuh kasih sayang.
"Rina Dewina," jawab si Ibu.
"Benarkah!" ucap Rani seakan tidak percaya. "Namanya mirip sekali denganku, Bu. Cuma beda sedikit saja" jelas Rani kemudian.
"Memangnya namamu siapa, Nak?" tanya si Ibu.
"Namaku Rani Dewina, Bu."
"Benarkah! Kalau begitu, namamu memang mirip sekali dengan nama putriku," kata si Ibu seraya tersenyum.
Rani segera membalas senyuman itu dengan rona merah di wajahnya. Dan tak lama kemudian, keduanya sudah kembali berbincang-bincang.
Mereka terus berbincang-bincang selama perjalanan, hingga akhirnya bis itu tiba di tempat tujuan. Mengetahui itu, Rani segera pamit kepada si Ibu yang ternyata sangat baik kepadanya.
Setelah turun dari bis, Rani langsung membeli nasi bungkus di tempat biasa, kemudian pulang ke rumah dengan menumpang angkot. Beberapa menit kemudian, gadis itu sudah tiba di rumahnya. Seperti biasa, suasana di rumah itu terasa begitu sepi. Maklumlah, sang Ayah memang biasa pulang kantor setelah sore hari, dan Rani selalu merasa kesepian karenanya.
Setelah bersih-bersih, Rani segera menyantap nasi bungkus yang baru dibelinya. Setelah itu dia bergegas untuk mengganti pakaian, kemudian bergegas ke kamar ayahnya untuk merapikan tempat itu. Betapa terkejutnya Rani ketika melihat kamar itu lagi-lagi sudah ada yang merapikan.
"Ini benar-benar aneh," katanya dalam hati. "Hmm... sebenarnya apa yang telah terjadi? Semenjak kematian ibu, selalu saja ada kejadian aneh yang aku alami. Hmm... apakah Ayah sudah kembali lagi dengan kesesatannya, kembali bersekutu dengan setan? Kalau memang demikian, aku takut sekali jika harus tinggal di rumah ini. Nanti kalau ayah pulang, akan kudesak beliau untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Kalau beliau tidak mau mengatakannya, maka dengan berat hati aku akan meninggalkan rumah ini." Setelah bertekad begitu, Rani segera beranjak ke ruang tamu dan membaca majalah di tempat itu. 
Hari telah menjelang petang. Pada saat itu Rani tampak sudah terlelap di atas sofa. Sementara itu di area pemakaman, seorang pemuda tampak sedang berdiri di hadapan nisan Yana. Kini pemuda itu sedang meletakkan koin emas di atas pusara makam. Pada saat yang sama, tiba-tiba saja dari dalam makam terdengar jerit rintih kesakitan. Sementara itu, pemuda yang bernama Jodi tampak tersenyum sinis mendengar rintihan yang begitu memilukan. Rupanya pemuda itu beniat membinasakan sosok Yana yang selama ini sudah mengganggunya.
"Hai!!! Apa yang sedang kaulakukan???" Teriak seseorang menegurnya.
Seketika Jodi terkejut seraya menoleh ke asal  suara, saat itu dia melihat seorang kakek yang tampak tergesa-gesa menghampirinya. Mengetahui itu, Jodi segera mengambil koinnya dan berlari tunggang-langgang.
Sang Kakek yang ternyata juru kunci di pemakaman itu tak kuasa untuk mengejar, dia cuma terpaku sambil memperhatikan kepergian pemuda itu dengan seribu tanda tanya. Kini Kakek itu sudah berjongkok di sisi makam Yana seraya membuka penutup botol air mawar yang dibawanya. Setelah melakukan itu, sang kakek tampak berdoa dengan khusuknya.
Sementara itu di tempat lain, Branden terlihat baru saja pulang dari kantor. Kini dia sedang berada di teras depan dan mulai memasuki rumahnya. Ketika baru saja melewati ambang pintu, dilihatnya Rani sedang tertidur pulas di atas sofa. Branden cuma geleng-geleng kepala melihat putrinya tertidur di tempat itu, lalu dia segera duduk di sisinya.
Kini Branden sedang memandangi wajah putrinya yang tampak begitu damai, kemudian membelai kepalanya dengan penuh kasih sayang. Mendadak Rani terjaga, "Ayah…" ucapnya seraya menatap ayahnya yang tampak tersenyum tipis, kemudian dia segera duduk di sisi beliau.
"Rani, apakah kau masih mengantuk, Sayang...?" tanya Branden. "Kalau kau masih mengantuk, sebaiknya pindah saja ke tempat tidur!" sambungnya kemudian.
"Tidak, Ayah. Rani sudah tidak mengantuk," jawab Rani seraya merenggangkan persendiannya.
"Ya sudah… kalau begitu sekarang kau mandi! Ayah mau beristirahat di sini. O ya, tolong ambilkan Ayah minum, Sayang…!" pinta Branden kepada putrinya.
Rani segera menurut. Setelah memberikan segelas air bening kepada ayahnya, Rani langsung bergegas mandi. Sementara itu, Branden tampak duduk bersantai untuk melepaskan lelahnya. Saat itu hembusan angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka.
Beberapa menit kemudian, Rani yang sudah selesai mandi tampak duduk di sisi Ayahnya, kemudian mulai membuka pembicaraan. "Yah, Rani mau meminta penjelasan Ayah!" pintanya dengan wajah yang serius.
"Penjelasan apa, Sayang...?" tanya ayahnya.
"Penjelasan tentang perihal keanehan yang selama ini terjadi di rumah kita. Rani merasa, selama ini Ayah selalu menutup-nutupinya. Sekarang Rani ingin mendengarkan penjelasan dari Ayah, apa yang sebenarnya telah terjadi di rumah ini?"
"Aduh, Rani... sebaiknya kau lupakan saja semua itu! Mulai saat ini sebaiknya kau memikirkan masalah sekolahmu saja, biarlah semua keanehan yang kaubilang itu Ayah sendiri yang menyelesaikan!"
"Baiklah, Ayah. Rani tidak akan bertanya lagi soal itu, sekarang Rani mau belajar dulu. Bukankah tadi Ayah bilang, Rani harus memikirkan tentang urusan sekolah."
"Nah... itu baru anak Ayah. Ayah senang sekali jika kau mau menuruti apa yang Ayah katakan."  
"Sudah ya, Ayah! Sekarang Rani mau belajar dulu," ucap Rani seraya melangkah pergi.
 
 

Malam harinya, di sebuah rumah yang tampak megah, sesosok tubuh bergaun putih tampak melayang mendekati jendela kamar yang tertutup. Itulah jendela kamar Yuli yang terletak di lantai atas. Pada saat itu, Yuli terlihat sedang asyik bersandar di atas tempat tidurnya. Membaca majalah sambil mendengarkan tembang manis yang mengalun merdu.
Ketika sedang asyik-asyiknya membaca, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara ketukan di jendela kamar. Seketika Yuli menatap ke arah jendela, kemudian segera beranjak untuk memeriksanya. Gadis itu tampak membuka kaca jendela dan memperhatikan sekitarnya dengan penuh seksama. Bersamaan dengan itu, hembusan angin dingin terasa menerpa wajahnya. Yuli menggigil, merasakan hawa dingin yang begitu menusuk kulit.
Yuli terus memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sementara itu di benaknya timbul segala pertanyaan yang membuatnya sedikit bingung, "Apa benar yang kudengar tadi? Masa iya ada orang usil yang mau mengetuk jendela kamarku. Kamar ini kan terletak di lantai atas. Tapi, sepertinya tadi aku memang benar-benar mendengar suara ketukan. Jangan-jangan..."
Seketika itu juga Yuli merinding, lalu dengan segera menutup jendela kamarnya rapat-rapat. Kini gadis itu sudah kembali bersandar di tempat tidur sambil membuka majalahnya kembali. Baru saja dia membaca sebentar, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. Kali ini suara itu berasal dari balik pintu kamarnya. Yuli segera memusatkan pendengarannya ke arah pintu. Tiba-tiba suara itu kembali terdengar, tapi kali ini terdengar agak pelan dari yang tadi. Karena pendengarannya terganggu, Yuli segera mematikan stereo set-nya dan kembali memusatkan pendengaran, namun suara itu tak terdengar lagi. Karena penasaran, akhirnya Yuli beranjak ke pintu dan membukanya dengan perlahan, kemudian mengintip ke luar dengan hati-hati sekali. "Aneh... tidak ada siapa-siapa," katanya dalam hati.
Akhirnya Yuli tidak mempedulikannya. Dia kembali menutup pintu dan melangkah ke tempat tidur, kemudian menyalakan stereo set-nya lagi. Kini suara musik kembali mengalun merdu. Bersamaan dengan itu, Yuli tampak bersiap-siap untuk bersandar kembali di tempat tidurnya. Namun belum sempat dia bersandar, tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar.
"Siapa sih!" serunya seraya menatap ke arah pintu dengan wajah yang begitu kesal.
Tok Tok Tok! suara itu kembali terdengar.
"Maaang! Kau ya? Sudah deh jangan suka usil! Nanti kalau aku sudah marah betulan, kau akan tahu akibatnya!" teriak Yuli kepada orang yang dikira pembantunya.
Selama ini Yuli memang sudah cukup bersabar menghadapi pembantunya yang selama ini memang suka diberi hati, tapi selalu minta kepala itu. Selama ini dia memang sering dibuat kesal dengan segala tingkah-lakunya yang kadang-kadang menjengkelkan. Tapi karena pembantunya itu baik dan jujur, Yuli tetap mempertahankannya.
Tiba-tiba suara ketukan kembali terdengar. Kali ini Yuli sudah benar-benar marah, lantas dengan segera dia beranjak bangun dan membuka pintu kamar dengan tiba-tiba.
"A-apa!" seru Yuli terkejut ketika mengetahui di depan pintu tidak ada siapa-siapa. "Aneh... tidak mungkin Mang Udin bisa lari secepat itu. Dia kan bukan orang sakti. Lalu, siapa ya?" tanya Yuli keheranan.
Lantas dengan diselimuti perasaan takut, Yuli terus memperhatikan ke sekelilingnya. Kedua matanya tampak waspada memandang ke setiap sudut ruangan, melirik kesana-kemari—mencari orang yang telah mengetuk pintu kamarnya. Keheningan malam membuat Yuli semakin takut, namun keingintahuannya yang besar memaksa dia untuk memberanikan diri. Sambil terus waspada dia mulai melangkah, kemudian menuruni anak tangga dengan hati-hati sekali. Setibanya di lantai bawah, Yuli langsung melangkah ke dapur dengan perlahan. Dia menduga orang tadi pasti bersembunyi di tempat itu.
Yuli terus melangkah. Tiba-tiba dia mendengar ada langkah kaki yang membuntutinya, lalu dengan segera dia menoleh ke belakang. Ternyata di belakangnya tidak ada siapa-siapa. Mengetahui itu, seketika Yuli bergidik seraya mempercepat langkah kakinya.
Kini gadis itu sudah berada di ruangan dapur dan langsung mengamati ruangan itu dengan penuh seksama. Bersamaan dengan itu, di belakangnya melintas sesosok tubuh dengan gaun putih yang berkibar-kibar. Namun Yuli tidak mengetahui hal itu, dia terus memeriksa ruang dapur dengan penuh rasa was-was. Setelah dirasa cukup, Yuli berniat untuk memeriksa ruang tamu. Namun belum sempat dia melangkah, tiba-tiba sesosok tubuh putih meluncur turun dari atas lemari dan berdiri tepat di hadapannya. Seketika Yuli terkejut, jantungnya pun langsung berdebar kencang. "Aduh Kitty, kau mengagetkanku saja. Sini pus…!" Panggil Yuli kepada sosok putih yang ternyata kucing kesayangannya.
Yuli segera menggendong kucing itu dan membawanya ke ruang tamu. Kini dia sudah berada di ruangan itu dan sedang menatap ke arah jam dinding yang dilihatnya sudah menunjukkan pukul 24.00. Pada saat yang sama, tiba-tiba kucing yang ada di gendongannya tampak menggeram, rupanya dia mengetahui kehadiran sosok Yana yang kini berada di ruangan itu.
Yuli yang mengetahui kucingnya menggeram seperti itu menjadi sangat heran, "Ada apa pus?" tanyanya seraya membelai kepala kucing itu dengan lembut. Betapa terkejutnya Yuli ketika kucing itu tiba-tiba meronta dan akhirnya melarikan diri ke arah dapur.
Kini Yuli tampak mengawasi sekelilingnya dengan penuh rasa was-was, kedua bola matanya terus bergerak memperhatikan keadaan ruangan yang tampak begitu hening. Tiba-tiba bulu kuduk Yuli berdiri, dia teringat cerita temannya yang mengatakan kalau hewan sangat sensitif dengan yang namanya makhluk halus, apalagi pada malam Jumat seperti sekarang—dimana menurut kepercayaan sebagian orang, kalau malam Jumat adalah saatnya makhluk-makhluk itu bergentayangan. 
Lantas dengan perasaan takut yang semakin berkembang, akhirnya Yuli berlari ke kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Ketika dia akan merebahkan diri di tempat tidur, tiba-tiba dia melihat sepucuk surat tampak tergeletak di atas seperainya yang berwarna biru. “Hmm… siapa yang meletakkan surat ini?” tanya Yuli seraya mulai membacanya.
Betapa terkejutnya Yuli ketika mengetahui isi surat itu, seketika bulu kuduknya langsung merinding. Di dalam surat itu, sosok Yana menjelaskan semua jati dirinya, dia juga menjelaskan mengenai jati diri Jodi dan mengungkapkan semua kebusukan pemuda itu. Selain itu, dia juga meminta kepada Yuli agar bersedia mengungkapkan jati diri Jodi kepada Rani.
"Ra-Rani… ja-jadi yang mengetuk-ngetuk pintu tadi arwah ibunya Rani." Yuli kembali bergidik. "Hmm... jadi selama ini Jodi telah membohongiku. Ternyata Rani itu bukan sepupunya, tapi kekasihnya. Tapi... kenapa aku yang diminta oleh ibunya untuk mengungkapkan jati diri Jodi?" tanya Yuli seraya berpikir keras. "Hmm... apakah Jodi memang sebusuk itu? Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia sudah mempunyai istri di Tokyo. Tapi... apakah semua yang dikatakan arwah Yana dalam surat itu benar adanya? Mungkinkah Arwah itu mencoba memperalatku dengan cerita bohong yang membuatku terpaksa mengambil koin emas itu?"
Tiba-tiba Yuli teringat dengan peristiwa di depan rumah Jodi, kemudian dia segera menghubungkan peristiwa itu dengan perkataan sosok Yana di suratnya. "Ya… rasanya memang Jodi telah membohongiku, aku rasa wanita itu memang istrinya," kata Yuli menyimpulkan. "Kalau begitu, besok aku akan meminta kembali koin milikku itu. Terus terang, aku tidak rela jika koin itu digunakan untuk melindungi pria busuk seperti dia."
Ketika Yuli hendak merebahkan diri, tiba-tiba dia melihat sebuah bayangan putih yang sekejap melintas di balik jendela. Saat itu Yuli benar-benar terkejut ketika melihatnya, namun begitu dia mencoba memberanikan diri dengan tetap menatap ke luar jendela. Lama juga dia menatap, namun hal aneh yang diperkirakannya akan muncul sama sekali tidak terjadi.
Kini Yuli sudah merebahkan diri. Sejenak matanya melirik ke arah pintu, dan sesekali menatap ke arah jendela. Karena khawatir sosok Yana melintas lagi, akhirnya dia segera menutup gorden jendelanya rapat-rapat. Setelah itu dia kembali merebahkan diri seraya bersembunyi di balik selimutnya.
Yuli mencoba untuk tidur, namun dia tidak bisa tertidur sama sekali. Pikirannya terus menerawang entah ke mana. Sampai akhirnya dia bisa tertidur ketika hari sudah menjelang Subuh. Pada saat itu dia sudah benar-benar mengantuk, dan ketika mendengar suara orang mengaji di kejauhan dia pun langsung terlelap. Yuli tertidur dengan selimut tetap menutupi sekujur tubuhnya.