E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Jaka & Dara - Bagian 2

Dua



Dara tampak begitu senang, soalnya pagi ini dia akan kembali bertemu dengan  teman-teman sekelasnya. Dan seperti biasa, dia akan mengusili mereka. ^_^
"Nah itu dia, seorang target sedang asyik duduk melamun," ucap Dara dalam hati.
Riko teman sebangkunya itu enggak menyadari kedatangan Dara yang dengan perlahan banget udah berhasil berada di belakangnya. Dan...
"Hayo!!! Lagi ngelamun jorok ya?" tanya Dara tiba-tiba seraya menutup kedua mata cowok itu.
Si Riko pun langsung kaget bukan kepalang, "Astaga naga... makan nasi pakai garam enak juga. Aduh, siapa sih ini?" tanyanya dengan kedua mata yang masih tertutup.
"Coba tebak, kalo betul dapat seratus!" kata Dara dengan suara yang sengaja udah diubah sejak awal.
"Siapa sih? Wati ya?"
"Teeet... salah."
"Mirna..."
"Teeet... masih salah."
"Hmm... pasti si Linglung yang suka usil. Dara binti Bobo eh Bobby."
"Kasar!!!" kata Dara seraya menjitak kepala cowok itu dan memberinya nilai seratus.
"Kok marah?" tanya Riko kesal.
"Habis pakai bawa-bawa nama orang tua segala. Emangnya sederet kata-kata sebelumnya belum cukup apa?" tanya Dara membela diri.
 Belum sempat Riko berkata-kata, tiba-tiba bel masuk terdengar meraung-raung. Lalu dengan segera kedua muda-mudi itu masuk kelas dan bersiap-siap untuk berjuang, menuntut ilmu untuk meraih masa depan yang gemilang. Begitu semua udah duduk manis di tempatnya masing-masing, ternyata sang Guru belum juga muncul. Tak ayal, Dara dan teman-teman langsung ribut di kelas. Katanya, daripada bete, lebih baik haha-hihi alias cekakan sambil becanda-becindi. Namun suasana yang semula begitu riuh bak pasar kaget, tiba-tiba menjadi sunyi-senyap bak kuburan. Dan itu semua lantaran sang Ibu Guru yang masuk kelas enggak bilang-bilang.
"Selamat pagi semua!" ucap sang Ibu guru yang masih saja berdiri di ambang pintu.
"Pagi Buuuuuu..." jawab anak-anak kompak.
"Maaf anak-anak, hari ini Ibu datang agak terlambat karena ada sedikit urusan," kata Ibu guru lagi seraya melangkah masuk. "O ya, anak-anak. Sekali lagi Ibu minta maaf, pada jam pertama ini Ibu tidak bisa mengajar kalian karena ada keperluan lain. Jadi, pelajaran Bahasa Indonesia terpaksa diundur dan digantikan dengan pelajaran kimia," lanjut sang Ibu guru lagi.
Setelah memberitahukan hal itu, Ibu guru langsung pamit. Sementara itu di luar kelas, Pak Gahar sang Guru Kimia tampak udah siap menggantikannya. Sial banget buat Dara, jam pelajaran pertama adalah pelajaran kimia. Padahal pelajaran itu yang paling dibencinya, dan dia selalu mendapat nilai jelek dengan pelajaran yang selalu membuatnya pusiiiiiing. Pokoknya cewek itu selalu dibuat bete oleh pelajaran yang satu itu. Selain harus memikirkan rumus yang membuatnya pusing, dia juga harus menghafalkan berbagai macam molekul.
Seperti biasa, Pak Gahar memasuki ruangan dengan tampangnya yang gahar alias galak dan mengerikan. Kini beliau sedang di depan kelas, bersiap-siap mau mengajarkan mereka soal ilmu kimia. Berbagai rumus yang membuat bete, satu per satu diajarkan. #@z.... ~%&... Pusiiiiiing... enggak satu pun yang Dara mengerti, semuanya emang sulit dan membuat kepala cewek itu makin mau pecah. Sejenak Dara melirik Riko yang duduk di sebelahnya, dan kayaknya cowok itu juga mengalami hal serupa. Tampangnya yang lumayan ganteng terlihat agak kusut lantaran enggak bisa mikir. Sebentar-sebentar dia garuk-garuk kepala, lalu mencoba corat-coret sedikit, terus gigit-gigit ballpoint, dan akhirnya dia memandang Dara dengan penuh curiga.
"Ada apa sih, Ra? Kok dari tadi elo ngeliatin gue terus."
"Eng... enggak kok, gue cuma..."
Belum sempat cewek itu bicara lebih lanjut, tiba-tiba sepotong kapur tulis mengenai keningnya, kemudian disusul dengan suara berat yang memarahinya.
"Dara!!! Kamu sedang apa. Kenapa kamu belum juga menjawab pertanyaan yang Bapak ajukan?"
"Ba-Bapak. Be-bertanya padaku... ka-kapan?" tanya Dara memastikan, soalnya dia benar-benar enggak nyadar kalo Pak Gahar udah mengajukan pertanyaan.
"Makanya, kalau Bapak lagi mengajar pikiranmu jangan ke mana-mana. Ayo, sekarang kamu maju ke depan kelas dan berdiri dengan satu kaki!"
"Teng...! Ala mak. Kenapa jadi begini," kata Dara membatin.
Setelah pegal berdiri, akhirnya Dara diizinkan untuk duduk kembali. Itu pun karena Pak Gahar udah pergi lantaran udah saatnya ganti mata pelajaran. Dan setelah bel istirahat berbunyi, cewek itu siap  menjahili orang sebagai pelampiasan atas kekesalannya setelah dihukum tadi.
"Kurang ajar!" maki Dara dalam hati.
Sial betul dia hari ini, mau mengusili orang, eh malah diusilin duluan.
"Dasar Retty tempayan dapur!", maki Dara lagi.
Soalnya, si Retty yang gendut itu berhasil mempermalukannya di tengah teman-teman. Saat itu, wajah Dara pun langsung merah karena malu. Apa lagi pada saat itu ada si Yosi yang sempat memperhatikan wajahnya yang merona.
"Aduh, aku malu banget," ucap Dara dalam hati ketika melihat Yosi tampak senyam-senyum memperhatikannya.
Padahal, Yosi itu kan cowok yang selama ini lagi diincernya. "Dasar tempayan dapur, gendut, jelek..." maki Dara berkali-kali. Soalnya dia sebel banget dengan cewek yang bernama Retty itu, jadi wajar dong kalo dia memaki melulu—soalnya itu manusiawi banget. Betul enggak? Enggakkkkk...!
  Pulang sekolah emang waktu yang paling mengasyikkan, apa lagi kalo lagi berkumpul dengan teman-teman, sambil ngeceng di Mal. Becanda and ketawa-ketiwi, terus sesekali mengusili para Cowok biar pada GR. Pokoknya asyik banget deh. Begitulah kata Dara mengungkapkan rasa senangnya. Selama ini cewek yang bernama Dara itu emang paling suka membuat GR mahluk yang bernama cowok, dan hal itu makin membuatnya percaya diri. Kalau dia itu emang cantik dan manis. Soalnya setiap cowok yang diperhatikan olehnya pasti langsung GR, bahkan sampai tidak berkedip ketika melihat kecantikannya yang tiada duanya. Tapi sayang... kali ini Wita, Seli dan Dita enggak bisa ikut. Soalnya mereka ada acara keluarga yang enggak mungkin ditinggalin, mereka pun terpaksa pulang buru-buru lantaran orang tua mereka udah mewanti-wanti, alias udah memberi peringatan keras, bahwa siapa yang  melanggar bisa kena hukum. Sebenarnya kurang asyik juga, jika mereka enggak ikut menebar pesona bersama Dara. Tapi bagi Dara hal itu enggak mengapa, biarpun dia seorang diri, dia PD saja tuh dengan yang namanya cowok.
Nah, benar kan. Kini cewek itu sedang mengincar seorang cowok yang lagi jalan sendirian. "Wow! Tampangnya oke dan body-nya bagus juga, lumayan atletis-lah. Cowok yang seperti itu tu yang paling asyik dibikin GR, kalo dia suka padaku tentunya bisa dimanfaatkan," kata Dara dalam hati.
"Alo cowok, sendirian aja nih?" tanyanya sambil cengar-cengir.
"Eng... eh iya, ada apa ya?" tanya cowok itu salah tingkah.
"Elo Hari kan?" tanya Dara pura-pura kenal.
"Maaf! Gue Rino. Eng.. elo siapa ya?"
"Kenalin, nama gue Leni," kata Dara menyamar.
"Gue Rino?"
"Iya, gue udah tahu. Kan tadi elo udah bilang."
Cowok itu tampak tersenyum, lalu garuk-garuk kepala, kemudian loncat-loncat. Enggak deh,  cowok itu cuma terlihat salah tingkah aja, enggak pakai loncat-loncat.
"Maaf ya! Sekarang gue lagi buru-buru, lain kali kita bisa ngobrol bareng," kata cowok itu mencari alasan karena udah gronggenk banget bo.
Mendengar itu, Dara pun cuma bisa tersenyum. Kini cowok itu udah bergegas pergi. Sepeninggal cowok itu, Dara kembali melanjutkan petualangannya. Kini cewek itu tampak sedang melangkah di koridor sebuah Mal, dan entah kenapa tiba-tiba ada seorang cowok yang terlihat memperhatikan gerak-geriknya. Cowok itu mengikuti dia semenjak memasuki pintu Mal hingga akhirnya Dara berada di lantai tiga. Entah mau apa dia sebenarnya, yang jelas hal itu udah membuat Dara jadi bertanya-tanya. Sejenak Dara melirik cowok itu, dan dia melihat cowok itu tampak memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Hmm... kayaknya cowok itu naksir sama gue. Mau apa lagi seorang cowok ngikutin cewek, kalo bukan mau kenalan. Tapi anehnya, dari tadi kok dia cuma ngikutin doang, layaknya seperti seorang detektif yang lagi menguntit buruan," duga Dara dalam hati.
Kemudian Dara sengaja memperlambat langkahnya, dan dia melihat cowok itu juga demikian. Akhirnya Dara berhenti di sebuah counter pakaian untuk melihat-lihat sejenak, dan lagi-lagi dia melihat cowok itu juga demikian. Kini cowok itu terlihat berhenti di counter sebelah sambil pura-pura melihat-lihat pakaian wanita. Walah, dia kepaksa banget ngelakuin itu lantaran di situ enggak ada counter pakaian cowok.
"Enggak salah lagi, dia emang ngikutin gue. Tapi, kenapa dia masih belum juga mendekat? Tampangnya emang keren, dan hal itu membuat gue kepingin juga kenalan. Tapi… Entah kenapa, kok sama cowok yang satu ini sikap gue jadi begini? Gue kok bisa jadi kurang PD begini? Hmm... apa mungkin ini karena cinta pada pandangan pertama, soalnya tu cowok emang lebih keren ketimbang Yosi," kata Dara lagi dalam hati.
Setelah sekian lama menunggu, ternyata cowok itu masih belum mendekat, dan hal itu benar-benar membuat Dara penasaran. Setiap kali dia menatap wajahnya, cowok itu selalu berpaling. Akhirnya Dara pun mencoba mendekatinya, dan ketika udah berada di dekatnya, eh cowok itu malah pura-pura enggak peduli.
"Hmm... apa mungkin dia seorang cowok yang pemalu dan enggak berani ngajak kenalan. Atau… dia seorang yang akan menculik gue dan akan memperkosa gue di suatu tempat. Ah, kayaknya enggak mungkin. Gue liat tampangnya tampak begitu baik, enggak ada sedikit pun tampang kriminal ada padanya. Aduh, kenapa sih ada Cowok yang seperti itu, kalo mau kenalan kenapa enggak langsung aja. Kenapa pake main detektif-detektifan segala. Masa mesti gue juga ngajak dia kenalan. Bisa-bisa… Ah, udalah. Sebaiknya gue biarin aja, mungkin nanti dia juga bakal mau kenalan," kata Dara dalam hati.
Setelah sekian lama berkeliling, akhirnya kaki Dara pun mulai terasa pegal. Sementara itu di kejauhan, cowok yang mengikutinya masih tetap seperti tadi. Akhirnya dengan sedikit kesal, Dara pun enggak mempedulikannya. "Huh, udah cukup gue memberi kesempatan, salah sendiri kalo dia enggak mau memanfaatkannya. Ya udah kalo begitu, mending sekarang gue  pulang," katanya lagi dalam hati seraya melangkah pulang.



Malam minggu berikutnya di puncak pas, empat orang cewek dan empat orang cowok tampak sedang ngobrol bareng. Mereka adalah Dara cs dan Boy cs, rupanya mereka sedang menikmati malam di puncak yang berudara dingin. Enggak lama kemudian, Boy terlihat menyendiri, dia duduk di dalam mobil sambil menikmati segelas bir. Dara yang melihat Boy lagi sendirian langsung menghampiri. "Kok sendirian aja, boy?" tanyanya seraya duduk di samping cowok itu.
"Iya, Ra. Soalnya udara di luar dingin banget."
"Iya, Boy. Di luar emang dingin."
"Kalo gitu, minum aja bir ini," tawar Boy seraya menyodorkan gelas yang sedang dipegangnya.
"Enggak ah, gue enggak suka minum bir," tolak Dara.
Boy kembali menghirup birnya, sedang kedua matanya tampak memperhatikan wajah Dara. Saat ini dia begitu senang lantaran Dara mau menemaninya. Namun sayang, enggak lama kemudian Dara udah di panggil oleh teman-teman yang lain.
"Tuh, elo dicariin sama mereka," kata Boy memberitahu.
"Ok, Boy… Kalo gitu, gue tinggal dulu ya."
"Yoi, deh."
 Kini Boy kembali sendirian di dalam mobil. Setelah malam makin larut dan udara makin dingin, akhirnya mereka kembali ke Jakarta untuk pulang ke rumah masing-masing. Lagi-lagi Dara pulang larut malam. Kali ini si Ibu tampak udah menantinya di dekat jendela.
"Dara!!!"
"Ups...!"
"Kamu emang tidak pernah kapok ya!"
"Maaf, Bu! Soalnya..."
"Diam kamu!! Mulai saat ini kamu tidak boleh keluar kamar!" kata sang Ibu seraya menyita semua fasilitas yang ada di kamarmya.
Sungguh sial si dara, lagi-lagi dia harus dikurung dalam kamar, tanpa HP, radio, dan TV tentunya. Sementara itu di ruang tengah, sang Ayah yang baru aja selesai tadarusan tampak sedang duduk santai. Dan enggak beberapa lama, sang Istri terlihat datang menghampiri. "Aduh, Yah. Aku sudah capek dengan kelakuan Dara. Makin hari anak itu makin berani saja," keluh sang Istri seraya duduk di sebelah suaminya.
"Jadi aku mesti bagaimana, Bu?" tanya sang suami
"Tidak tahu, Yah? Pokoknya aku mau Dara bisa berubah. Selama ini aku sudah berusaha dengan cara yang Ayah anjurkan. Tapi, makin diberi hati anak itu malah makin membangkang."
"Apa iya, Dara seperti itu, Bu?"
"Tentu saja, Yah. Selama ini kan aku yang sering mengawasi dia, dan dia tidak pernah kapok dengan hukuman yang kuberikan."
"Apakah kau memberikan hukuman yang terlalu keras padanya?"
"Tidak, Yah. Aku selalu memberi hukuman seperti yang Ayah anjurkan. Itu Yah, dikurung dalam kamar tanpa fasilitas. Sekarang pun anak itu sedang menjalani hukumannya."
"Baiklah… kalau begitu, aku akan coba bicara dengannya," kata sang suami seraya melangkah ke kamar Dara yang ada di lantai atas.
Enggak lama kemudian, "Dara! Ayah mau bicara denganmu, Nak. Boleh Ayah masuk?" tanya sang Ayah yang tampak berdiri di muka pintu.
"Masuk aja, Yah! Dara juga mau bicara sama Ayah."
Setelah mendengar perkataan itu, sang Ayah pun langsung bergegas masuk.
"Sayang... Ayah dengar, kamu sedang dihukum?"
"Iya, Yah. Ibu emang tega... masa Dara mesti diam di kamar tanpa fasilitas. Kan bete, Yah. Coba, kalo Ayah yang dikurung di kamar tanpa fasilitas, apa Ayah enggak ngerasa Bete."
"Dara... Dara... namanya juga sedang menjalani hukuman. Kalau menjalani hukuman dengan diberi fasilitas, rasanya kok enak juga ya. Dihukum tanpa fasilitas saja, kamu tidak pernah jera. Apalagi dengan fasilitas, kamu mungkin akan menganggapnya dengan sebelah mata."
"Terus apa bedanya, Yah! Kan hukuman yang selama ini diberikan enggak pernah bikin Dara Jera, lalu kenapa masih juga diberlakukan. Ayah pikir setelah menjalani hukuman itu, Dara lantas berubah. Enggak juga, Yah. Dara malah jadi makin kepingin berontak karena selama ini Dara ngerasa enggak dipercaya. Kalo Ayah mau tahu. Biarpun selama ini Dara pulang larut malam, Dara tu enggak pernah melakukan hal yang di luar batas. Lagi pula, Dara kan pulang larut cuma malam minggu aja. Itu pun karena Dara ngerasa bete karena selama satu pekan harus belajar menuntut ilmu. Masa sih, Dara enggak boleh refreshing untuk menghilangkan semua kepenatan itu."
"Bukan apa-apa, Sayang... kami bukannya tidak percaya, tapi kami khawatir kalau kamu sampai terjebak dengan hal-hal yang merugikan. Terus terang, gadis seusiamu itu masih rentan dengan yang namanya pengaruh lingkungan. Biarpun kamu sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak, tapi kamu itu belum bisa konsisten. Kamu itu bisa dengan mudah tergelincir dengan hal-hal yang Ayah dan ibumu khawatirkan itu."
"Dara konsisten kok, Yah. Buktinya, hingga saat ini Dara masih memegang teguh kata-kata Ayah untuk enggak berbuat macam-macam. Hingga saat ini, Dara tu enggak pernah bergaul dengan yang namanya narkoba. Dan Dara tu enggak pernah bergaul dengan cowok sampai di luar batas. Dara tu masih bisa ngebedain mana yang pantas Dara lakukan dan yang enggak."
"Iya, Ayah percaya kalau anak Ayah masih memegang teguh pesan-pesan orang tua. Tapi bukan itu yang Ayah khawatirkan. Yang ayah khawatirkan, kamu itu akan dijebak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mungkin hingga hari ini kamu masih beruntung karena bertemu orang-orang yang baik. Coba, bagaimana jika kamu bertemu dengan orang jahat yang ingin menghancurkan masa depanmu, apa kamu tidak akan menyesal nantinya."
"Tapi, Yah. Aku tu masih bisa ngebedain mana orang yang mau berbuat jahat dan yang enggak."
"Sudahlah, Sayang... kamu memang masih belum bisa mengerti dengan hal-hal semacam itu. Kamu itu masih labil dan segala tindakanmu masih penuh dengan emosi. Egomu masih dominan ketimbang nurani, jadi kamu akan sangat mudah untuk tergelincir."
"Ya udah, kalo Ayah pikir Dara emang seperti itu. Soalnya, Ayah emang enggak pernah tahu, atau mungkin enggak mau tahu soal kehidupan Dara yang seperti itu. Andai aja Ayah mau mengerti, tentu Ayah akan lebih bijaksana."
Sang Ayah cuma geleng-geleng kepala menanggapi perkataan itu. Walaupun dalam hati dia paham betul apa yang dikatakan Dara, soalnya kan dia dulu juga pernah muda dan melakukan itu semua. Baginya, Dara emang belum bisa memahami kata-kata ‘lebih baik mencegah dari pada mengobati’ atau ‘sepandai-pandai bajing meloncat pasti akan jatuh juga.’ Walaupun Dara mengerti tentang hal-hal yang membahayakan jiwanya, namun selama setan masih berkeliaran kemungkinan tergelincir akan sangat mungkin terjadi.
Kini sang Ayah sedang menuruni anak tangga sambil berpikir keras. Dalam benaknya dia kepingin menempatkan putrinya itu pada sebuah tempat yang aman dari hal-hal yang mengkhawatirkan dirinya. Apalagi kalo bukan di sebuah institusi yang ketat dan selalu menanamkan nilai-nilai agama kepada anak didiknya. Hingga akhirnya, hal itu pun mulai dibicarakan kepada sang Istri.
"Bu, bagaimana kalau Dara aku masukkan ke Pesantren saja."
"Ke Pesantren, Yah."
"Iya, Bu. Mungkin dengan lingkungan yang mendukung dan teman-teman yang baik, dia bisa berubah."
"Kalau itu emang yang terbaik, aku sih setuju saja. Tapi, bukankah Ayah tahu kalau watak anak kita itu keras sekali. Bagaimana kalau dia memberontak dan menjadi makin brutal."
"Itu sudah aku pertimbangkan, Bu. Dan ini adalah salah satu upaya kita agar dia bisa menjadi seperti yang kita harapkan. Kalau pun tidak, kita kan sudah berusaha. Apapun yang akan terjadi kemudian kita cuma bisa pasrah, menyerahkan semuanya kepada Sang Pengatur Segalanya. Dialah Tuhan yang Maha Esa—Sang Pembolak-Balik Hati, yang berhak menentukan baik tidaknya seseorang. Kita ini hanya manusia yang cuma bisa berusaha sesuai kemampuan, dan kita pun harus banyak berdoa agar putri kita itu mendapatkan hidayah-Nya."