E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 10

Sepuluh



Semenjak kematian Ibunya, Bobby memutuskan untuk berkelana ke luar negeri. Pemuda itu ingin memperdalam pengetahuan agamanya di sebuah negara yang konon menjadi salah satu tempat rujukan yang baik untuk menuntut ilmu. Sebelum berangkat ke sana, pemuda itu berniat pergi ke Malaysia untuk transit dan menemui temannya yang ada di negara itu. Karena tak mempunyai cukup uang, akhirnya Bobby memutuskan untuk pergi ke Malaysia melalui jalur laut, yaitu melalui Pulau Sumatera.
Lalu dengan berbekal seadanya, pemuda itu segera berangkat ke Palembang. Di sana dia langsung menemui temannya yang memang berpengalaman dalam mengurus surat-surat yang diperlukan. Dan temannya yang warga palembang itu dengan senang hati mau membantunya. Setelah semua surat-suratnya siap, akhirnya Bobby berangkat ke Riau dan langsung berlayar ke Malaysia.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkah, akhirnya Bobby tiba di dermaga Malaka. Kemudian pemuda itu segera turun dari atas kapal dan bergegas menuju ke terminal bis. Saat itu, orang-orang terlihat hilir-mudik dengan segala keperluannya masing-masing, para pedagang tampak sibuk menawarkan dagangannya kepada calon pembeli.
Bobby terus melangkah mencari bis kota yang akan mengantarnya ke tempat tujuan. Dan setelah dapat, pemuda itu segera masuk dan duduk menunggu. Hingga akhirnya, bis yang ditumpanginya mulai berangkat meninggalkan terminal. Dari dalam bis, pemuda itu tampak terkagum-kagum melihat keindahan bumi Melayu yang tampak elok. Hingga akhirnya bis yang ditumpanginya mulai memasuki kota tujuan, saat itu matanya tak henti-hentinya memandang keindahan kota yang cukup bersih. Dan bersamaan dengan itu, di dalam bis berkumandang alunan tembang indah dari Raihan—sebuah grup nasyid yang cukup terkenal di negeri itu.
Sebenarnya... hati ini cinta kepada-Mu... Sebenarnya... diri ini rindu kepada-Mu... tapi aku tidak mengerti... mengapa cinta masih tak hadir... tapi aku tidak mengerti... mengapa rindu belum berbunga...
Sesungguhnya... walau kukutip semua permata di dasar lautan... sesungguhnya... walau kusiram dengan air hujan dari tujuh langit-Mu... namun cinta tak kan hadir... namun rindu tak akan berbunga....
Kucoba mengguyurkan... semua hadiah kepada-Mu... tapi mungkin karena isinya tidak sempurna tiada sering... kucoba menyiramnya... agar tumbuh dan berbunga... tapi mungkin  kerena airnya tidak sesegar telaga Kautsar...
Sesungguhnya... walau kukutip semua permata di dasar lautan...  sesungguhnya... walau kusiram dengan air hujan dari tujuh langit-Mu... namun cinta tak kan hadir... namun rindu tak akan berbunga... jika tidak mengharap rahmat-Mu... jika tidak menagih simpatik... padamu ya Allah.
Tuhan... hadiahkanlah kasih-Mu kepadaku... Tuhan... kurniakanlah rinduku kepada-Mu... moga kutahu... syukurku adalah milik-Mu.
Sejenak Bobby merenungi kata-kata itu, hatinya seakan bergetar dengan kedua mata yang tampak berkaca-kaca. Dan tak lama kemudian, terdengar pula tembang berikutnya.
Iman adalah mutiara... di dalam hati manusia... yang meyakini Allah... Maha Esa... Maha Kuasa...
Tanpa-Mu iman bagaimanalah... merasa diri hamba pada-Nya... tanpa-Mu iman bagaimanalah... menjadi hamba Allah yang bertakwa...
Iman tak dapat diwarisi... dari seorang ayah yang bertakwa... ia tak dapat dijual-beli... ia tiada di tepian pantai...
Walau apapun caranya jua... engkau mendaki gunung yang tinggi... engkau merentas lautan api... namun tak dapat jua dimiliki... jika tidak kembali pada Allah...
Bobby kembali merenung, airmatanya pun mulai menetes. Kata-kata pada kedua tembang tadi semakin membuka pintu hatinya untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Kini hatinya semakin mantap untuk menuntut ilmu, karena tanpa ilmu tidak mungkin dia bisa mengenal Tuhannya, dan jika tidak mengenal Tuhannya bagaimana dia bisa mendapatkan Mutiara Cinta—sebuah nikmat iman sebagai wujud cintanya kepada Tuhan dan cinta Tuhan kepada hamba-Nya.
Akhirnya Bobby tiba di tempat tujuan, yaitu di sebuah pesantren tempat temannya menuntut ilmu. Dalam waktu singkat, pemuda itu sudah menjumpai temannya yang dulu pernah sama-sama kuliah di Jakarta. Setelah saling melepas rindu, akhirnya pemuda itu mulai menceritakan maksud kedatangannya.
"O, begitu... Jadi, kau ingin menuntut ilmu di Pakistan?" tanya Sapta memastikan.
"Benar, Ta. Aku ingin sekali memperdalam ilmu agama di sana," jelas Bobby.
"Kalau kau ingin ke sana. Kau bisa pergi bersama-sama dengan rombongan dari sini, mereka akan ke sana untuk tujuan pertukaran metode dakwah. Mereka bisa memberi bantuan dana untuk mengurus segala surat-surat yang kau butuhkan."
"Benarkah yang kau katakan itu, Ta? Kapan mereka akan berangkat?"
"Bulan depan, Bob. O ya, bagaimana kalau sekarang kau kuperkenalkan dengan mereka."
Saat itu juga, Bobby langsung mengangguk setuju. Dari wajahnya terpancar sebuah ekspresi kebahagiaan yang tiada tara. Hingga akhirnya pemuda itu bisa berjumpa dan berkenalan dengan anggota rombongan. Dan dalam waktu singkat, pemuda itu sudah terlihat akrab dengan mereka.
"Kalau kau memang ingin menuntut ilmu, kami bersedia membantu dengan menyisihkan sebagian uang yang kami punya," kata pimpinan anggota rombongan.
"Sebelumnya aku ucapkan banyak terima kasih karena Bapak dan teman-teman mau membantuku untuk menuntut ilmu di sana," ucap Bobby tulus.
"Sudahlah, Nak. Terus terang, kami sangat senang bisa membantumu. Karena pemuda sepertimu memang sangat dibutuhkan untuk perjuangan umat, dan karenanyalah kami tidak segan-segan untuk menyisihkan uang kami untuk itu," kata pimpinan anggota rombongan itu lagi.
Tiga minggu kemudian, Bobby mulai mengurus visa ke Bangladesh dan memesan tiket pesawat. Selama tinggal di Pesantren itu, sedikit banyak dia telah mendapatkan beberapa pelajaran yang sangat berharga.

 

Seminggu kemudian, rombongan itu berangkat menuju ke Bangladesh dengan menggunakan pesawat terbang. Setibanya di bandar udara Dhaka, rombongan segera berangkat menuju ke sebuah Pesantren di Kakrail. Dan setelah tinggal selama 45 hari di Pesantren itu, akhirnya rombongan melanjutkan perjalanan menuju ke Citagong.
Kini rombongan itu sudah berada di stasiun Tonggi. Dan setelah membeli tiket jurusan Tonggi-Citagong mereka pun segera menunggu di peron, menunggu kereta yang akan tiba. Suasana saat itu  tampak benar-benar ramai dan penuh hiruk-pikuk. Para pedagang tampak berjuang mengais rezeki hampir di sepanjang peron, para tuna wisma pun tak mau ketinggalan—mereka tampak meratap mengharap belas kasihan.
Setelah agak lama menunggu, akhirnya kereta yang menuju Citagong tiba dengan gagahnya. Kini kereta itu sedang memasuki sepur dengan sangat perlahan, di dalamnya terlihat para penumpang yang berdesakan memenuhi gerbong. Setelah kereta itu berhenti, sebagian penumpangnya tampak berdesakan keluar, sedangkan yang mau naik tampak berdesakan memasuki gerbong. Pada saat itu, Bobby tampak berusaha menaiki gerbong yang sudah semakin padat. Dan karena saling berdesakan, tiba-tiba saja sandal jepit yang dikenakannya terlepas. Saat itu juga, Bobby langsung berusaha mengambilnya kembali, kemudian dengan segera pemuda itu berusaha menaiki kereta yang kini mulai bergerak maju. Kini pemuda itu sudah berada di dalam gerbong dan sedang mencari teman-temannya yang sudah masuk lebih dulu.
"Bob, sini, Bob!" panggil salah satu teman rombongannya yang melihatnya. "Kau ke mana saja, sih?" tanyanya kemudian.
"Oh, tadi sandalku terlepas, dan aku berusaha untuk mengambilnya."
"Untung saja kau tidak ketinggalan kereta, Bob. Lain kali kalau sandalmu terlepas, biarkan saja. Kau kan bisa beli lagi."
"Bukan itu masalahnya, Teman. Sandal itu kan pemberian sahabatku, dan aku tidak mau menyia-nyiakannya."
Mendengar penjelasan itu, teman Bobby tampak mengerti. Dia paham akan maksud pemuda itu. Jika Sahabatnya memberikan sandalnya untuk Bobby yang akan menuntut ilmu, tentu dia berharap pemberiannya itu akan bermanfaat, dan jika dia ikhlas, tentunya dia akan mendapatkan kebaikan setiap kali Bobby mempergunakan sandal yang diberikannya untuk tujuan yang baik.
"Minum tuan," tawar seorang pedagang di kereta itu dengan bahasa Bangladesh.
Bobby tampak bengong, dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan orang itu. Akhirnya pedagang itu terus berlalu dan kembali menawarkan dagangan kepada penumpang yang lain. Di Bangladesh Bobby sangat berhati-hati untuk membeli makanan, karena dia belum tahu apakah makanan yang dijual itu haram atau tidak. Karena kata teman-temannya, pedagang di situ kebanyakan non muslim.
Kini Bobby memandang keluar jendela. Hamparan sawah yang terbentang luas tampak menghijau, dan sesekali dia melihat sungai kecil yang berair keruh. Selanjutnya kereta api melewati rawa-rawa yang sama sekali tidak indah, perjalanan memang terasa sedikit membosankan. Pemandangan yang dia lihat hampir sama dengan yang ada di negerinya, namun begitu Bobby mencoba untuk tetap menikmatinya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan tiba di stasiun Tonggi. Kini rombongan itu sudah turun dan tengah berjalan menuju ke sebuah bis kota. Bis itu benar-benar penuh, semua penumpangnya terlihat berdesakan. Di atapnya terlihat barang-barang yang bertumpuk-tumpuk. Bukan hanya barang-barang, tapi manusia juga berada di atap bis itu. Tiba-tiba dari arah belakang bis, terlihat sebuah bis yang baru datang. Lalu dengan segera rombongan menghampiri bis itu dan berusaha menaikinya. Tak lama kemudian hal serupa pun terjadi, bis penuh sesak—di dalam maupun di atas bis. Dan setelah tak ada lagi yang naik, akhirnya bis itu berangkat meninggalkan stasiun dan berjalan menyusuri jalanan yang berdebu. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya rombongan itu turun di sebuah desa miskin yang agak terpencil.
Kini mereka tengah berjalan menyusuri jalan yang menuju ke pemukiman penduduk. Di kejauhan terlihat rumah-rumah tampak berjajar dengan warna kelabu, hal itu dikarenakan rumah-rumah itu terbuat dari tanah lumpur. Ada beberapa juga yang terbuat dari anyaman bambu. Semuanya berbentuk persegi dan tampak begitu sederhana, benar-benar rumah orang miskin yang hidup serba kekurangan. Tak lama kemudian, rombongan terlihat sudah memasuki pemukiman penduduk. Mereka terus berjalan menyusuri jalan setapak yang tidak diaspal. Orang-orang yang berada di luar rumah tampak memperhatikan rombongan dengan mata penuh tanda tanya. Orang-orang itu mengenakan pakaian seperti halnya orang India. Berpakaian gamis dengan menggunakan ikat kepala yang begitu khas.
Kini rombongan itu sampai di sebuah masjid yang ada di desa itu. Masjid itu tidak terlalu besar, namun dindingnya benar-benar tebal. Arsitektur masjid tersebut hampir sama dengan masjid-masjid di kebanyakan tempat. Kini rombongan tampak beristirahat dan menunaikan ibadah di tempat itu.

 

Malam harinya, rombongan menginap di masjid itu. Saat itu Bobby benar-benar heran, walaupun orang-orang di kampung itu begitu miskin, mereka mau datang ke masjid dan menyumbang makanan yang terbilang cukup mewah. Malam itu, rombongan dan masyarakat setempat makan bersama-sama, hidangannya roti gandum dengan daging cincang yang dimasak sedemikian rupa. Selain itu, ada pula daging yang dipanggang dengan bumbu yang sangat lezat. Minumnya pun susu kambing yang penuh dengan gizi.
Selama Bobby berada di desa itu, dia belajar banyak tentang kehidupan orang-orang yang tinggal di situ. Walaupun mereka hidup miskin, tapi mereka hidup dengan damai. Mereka tetap bersyukur dengan kehidupan mereka yang memang sudah demikian. Malah seorang petani yang hanya mempunyai satu sapi rela menyembelih sapinya hanya untuk menyambut para tamu yang memang mau bertukar metode berdakwah ke desa itu. Petani itu tidak memikirkan apakah besok dia dapat membajak sawahnya lagi atau tidak, karena dia percaya Tuhan pasti akan memberinya ganti dan pahala yang berlipat ganda.  
Selama Bobby tinggal di desa itu, dia mendapatkan pelajaran yang begitu banyak, dia menjadi mengerti akan kehidupan bermasyarakat secara islami. Karena kehidupan di tempat itu memang sangat bersahaja. Orang-orang di tempat itu sangat peduli dengan agama yang dianutnya. Mereka lebih mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan agama ketimbang kehidupan duniawi.

 

Setelah 45 hari, akhirnya Rombongan melanjutkan perjalanan ke Pakistan. Mereka berangkat dengan menggunakan pesawat terbang. Setibanya di bandara Karachi, rombongan segera menuju ke stasiun kereta api di Karachi untuk pergi ke suatu desa dengan menumpang kereta api yang menuju Rewin.
Kereta terus melaju di atas relnya, debu-debu tampak beterbangan mengiringi kereta yang terus melaju. Bobby memandang keluar jendela. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan tanah tandus yang berpasir. Pohon-pohon gurun tampak tumbuh di tanah tersebut, semuanya hanya berupa semak belukar. Hanya di sekitar oasis saja yang tumbuh pohon-pohon kurma yang terlihat menghijau.
Tak lama kemudian, kereta tampak melintasi tepi sungai Hindus. Saat itu, Bobby benar-benar takjub melihat keindahan sungai itu, matanya tak berkedip memandang sungai yang begitu lebar. Bobby terus memandang keindahan sungai Hindus, mulutnya tak berhenti memuji-muji kebesaran Tuhan.
Kini kereta melintasi peternakan. Peternakan itu begitu luas, di tempat itu banyak sekali onta, keledai, dan sapi. Semuanya terlihat gemuk dan sehat. Beberapa orang terlihat tengah menggiring hewan-hewan itu masuk ke kandangnya. Beberapa wanita berkerudung tampak membawa bejana air yang diletakkan di atas kepala mereka.
Kereta terus melaju, sementara itu di dalam kereta teman-teman Bobby terlihat sedang bercakap-cakap. Mereka membicarakan masalah agama, sedangkan Bobby mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sesekali pedagang asongan melintas menawarkan makanan dan minuman. Kini kereta tampak memasuki bukit yang terbelah, di kanan-kirinya menjulang tebing-tebing terjal. Semak belukar tumbuh hampir di sepanjang tebing, seekor ular derik terlihat melintas di antara semak-semak yang rimbun.
Kereta terus melaju di antara tebing, hingga akhirnya kereta itu tiba di stasiun Rewin. Dan setelah menuruni gerbong, rombongan itu segera mencari bis yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan. Seperti halnya di Bangladesh, keadaan serupa juga terjadi di negara itu. Bis tampak penuh sesak sehingga membuat mereka terpaksa harus berdesakan lagi.
Setibanya di tempat tujuan, rombongan segera turun dari bis dan langsung melangkah menuju ke sebuah desa. Di kanan-kiri mereka hanya terlihat gurun tandus—bahkan hampir sejauh mata memandang. Pada saat itu, pakaian dan tas Bobby sudah dipenuhi dengan debu pasir yang melekat di sela-sela jahitan. Bukan cuma itu, pada sebagian rambutnya yang tidak tertutup kopyah seakan terasa begitu kaku. Hal itu dikarenakan debu yang melekat pada rambutnya yang memang agak berminyak. Kedua matanya terasa pedih dan terlihat memerah, kulitnya yang putih pun terlihat kemerahan karena terbakar teriknya sinar mentari.
Beberapa menit kemudian, rombongan sudah sampai di desa yang dituju. Kini mereka tengah disambut oleh orang-orang yang sepertinya sudah sangat dikenal oleh kepala Rombongan. Pada saat itu, kepala Rombongan langsung berpelukan dan sun pipi kiri-kanan kepada orang-orang itu, kemudian anggota rombongan yang lain juga melakukan hal serupa, tak terkecuali Bobby. Sambutan yang begitu hangat dan bersahabat itu sempat membuat Bobby terharu. Pemuda itu merasakan sudah tidak ada pemisah di antara mereka, walaupun mereka dari negara dan kebudayaan yang berbeda. Bobby merasakan sebuah ikatan persaudaraan yang begitu  kental—ikatan saudara sesama muslim.
Kehidupan orang-orang di desa itu tidak jauh berbeda dengan kehidupan orang-orang muslim di sebuah desa di Bangladesh yang begitu mencintai agamanya. Mereka pun disuguhkan hidangan yang terbilang istimewa. Setelah rombongan menikmati makanannya, mereka beristirahat untuk menghilangkan rasa lelah sepanjang perjalanan yang mereka tempuh. Pada hari-hari selanjutnya, anggota rombongan mulai melakukan kegiatannya untuk pertukaran berdakwah di desa itu, mereka saling bertukar informasi dan berbagi pengalaman tentang metode dakwah yang mereka terapkan di negara masing-masing.
Setelah waktu misi pertukaran metode dakwah habis, akhirnya Rombongan berniat kembali ke Indonesia. Sebelum pulang, pemimpin rombongan menitipkan Bobby kepada salah seorang kakek yang bersedia menampungnya. Dan Kakek itu pun sangat berminat menjadikan Bobby sebagai muridnya. Karena semasa muda, kakek itu pun gemar menuntut ilmu hingga ke seluruh penjuru timur tengah. Dan karena itulah kakek itu merasa berkewajiban menurunkan ilmunya kepada orang yang memang membutuhkan. Hingga akhirnya, Bobby diizinkan untuk tinggal menetap di desa itu bersama sang kakek yang bijak guna menuntut ilmu kepadanya.
Hari demi hari terus dilaluinya bersama sang kakek, menuntut ilmu setiap saat dan tanpa kenal lelah, hingga akhirnya pemuda itu bisa menyerap sedikit ilmu yang diturunkan kepadanya. Dan sekarang, bahasa setempat pun mulai lancar di lidahnya.